produksi perikanan budidaya untuk ekspor PROPEKAN, 2 program peningkatan produksi perikanan budidaya untuk konsumsi ikan masyarakat
PROKSIMAS, dan 3 program perlindungan dan rehabilitasi sumberdaya perikanan budidaya PROLINDA. Program tersebut ditunjung oleh 6 program
penunjang yaitu 1 pengembangan prasarana, 2 pengembangan sistem perbenihan, 3 pengembangan sistem produksi, 4 pengembangan sistem
pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan, 5 pengembangan sistem usaha budidaya dan 6 pengembangan sistem administrasi dan kelembagaan.
Menurut Cholik et al 2005 bahwa membangun akuakultur nasional haruslah berdampak positip pada hal sebagai berikut : tingkat konsumsi ikan oleh
masyarakat, tingkat pendapatan pembudidaya ikan, berkembangnya akuakultur berkelanjutan dan peningkatan ekspor, pengurangan tekanan terhadap
sumberdaya ikan wilayah pantai, pengkayaan stock ikan di laut dan perairan umum, pasok bahan baku bagi industri terkait dan pelestarian lingkungan hidup.
Pengembangan akuakultur harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sebagai pedoman dapat digunakan CCRF yang sudah diadopsi di banyak
negara. Akuakultur yang memiliki criteria tersebut merupakan akuakultur yang akan menjadi tumpuan harapan bangsa.
2.3. Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Budidaya
Perkembangan masyarakat dunia pada abad ke-21 telah menunjukkan kecenderungan adanya perubahan perilaku dan gaya hidup serta pola konsumsi
pangan dari daging merah red meat ke produk perikanan. Intensitas kegiatan atau kesibukan di era kompetisi ketat cenderung meningkat, mengakibatkan
manusia tidak leluasa lagi memanfaatkan waktu untuk menikmati makanan konvensional yang dimasak dan dikonsumsi di tempat jauh dari tempat bekerja.
Aktivitas perjalanan lintas daerah, kultural, negara, senantiasa membutuhkan makanan universal yang diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dari berbagai
agama, kepercayaan dan budaya. Kecenderungan peningkatan angka harapan hidup penduduk sebagai salah satu indikator penentu indeks kesejahteraan
human development index, menuntut persiapan manusia menyongsong era generasi berusia panjang older generation era. Salah satu bahan makanan
yang dapat memenuhi tuntutan di atas adalah produk perikanan. Hasil olahan produk ini dianggap lebih sehat dikonsumsi, netral, dan hasil olahannya sangat
beragam. Kebutuhannya di masa mendatang diprediksi melampaui 50
kebutuhan protein hewani masyarakat dunia 3 gkg berat badan per hari atau sekitar 54 kgkapitatahun.
Pasokan ikan dunia saat ini sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Namun demikian, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara
dan perairan internasional saat ini dilaporkan telah berlebih. Data FAO 2002 menunjukkan bahwa pasokan ikan dari kegiatan penangkapan di laut di sebagian
negara, diperkirakan tidak dapat ditingkatkan lagi. Demikian pula kecenderungan ini terjadi pada usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia. Bahkan
berdasarkan hasil penelitian oleh Komisi Stock Assessment pada tahun 2000
menunjukkan bahwa potensi lestari ikan perairan laut Indonesia mengalami penurunan dari 6,18 juta tontahun menjadi 6,01 juta tontahun. Oleh karena itu,
alternatif pemasok hasil perikanan diharapkan berasal dari perikanan budidaya akuakultur.
Saat ini akuakultur tidak hanya berperan menopang pemenuhan kebutuhan bahan pangan berupa protein hewani, akan tetapi juga dalam menyediakan
bahan baku bio-industri, dan upaya pelestarian spesies ikan yang terancam punah endangered species. Industri pengekstrak bahan aktif dari organisme
akuatik terutama laut, seperti berbagai jenis rumput laut, membutuhkan bahan baku dalam jumlah yang besar dan cenderung terus meningkat. Berbagai jenis
biota akuatik yang dieksploitasi seperti ikan kerapu terhindar dari ancaman kepunahan setelah berkembangnya kegiatan budidaya. Dalam pelestarian fungsi
lingkungan perairan, para pembudidaya ikan dapat menjadi ”pengamanan swakarsa” dari ancaman perusak lingkungan seperti: pengebom dan
penggunaan racun dalam kegiatan penangkapan ikan; pembuangan limbah industri ke perairan; penambangan karang. Harus disadari bahwa para
pembudidaya sangat berkepentingan dengan kualitas lingkungan yang terpelihara.
Peran akuakultur dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam mungkin tidak banyak disadari. Sumberdaya lahan pantai berpasir yang tidak
dapat dimanfaatkan untuk pertanian terbukti bermanfaat untuk tambak udang dengan konstruksi khusus seperti biocrete dan knock down concrete. Selokan
air atau saluran irigasi sangat produktif dan efisien untuk kolam air deras dan karamba ikan. Tambak-tambak garam yang awalnya berfungsi tunggal, melalui
modifikasi dan penerapan teknik akuakultur dapat berfungsi ganda yaitu
menghasilkan kista dan biomassa artemia, yang nilainya jauh lebih tinggi daripada garam yang dihasilkan.
Dalam kaitannya dengan keanekaragaman hayati, sumberdaya perikanan meliputi semua biota yang hidup di perairan tawar maupun laut. Indonesia
dengan perairan laut seluas 5,8 juta km2 merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia Soegiarto dan Polunin,
1981 dalam Dahuri, 2002. Kelompok utama biota yang memiliki jumlah spesies terbanyak di perairan laut Indonesia adalah moluska atau kekerangan 2.500
spesies terdiri atas kelompok gastropoda 1.500 spesies dan kelompok bivalve
1.000 spesies, diikuti oleh kelompok ikan lebih dari 2.000 spesies, kelompok krustase 1.502 spesies. Kelompok lainnya adalah hewan karang 910 spesies,
sponge 850 spesies, tumbuhan 832 spesies, ekhinodermata 745 spesies, burung 148 spesies, mamalia 29 spesies dan reptil 6 spesies. Sampai saat
ini pemanfaatan keanekaragaman hayati tersebut, baik untuk usaha akuakultur maupun bahan baku industri masih sangat kecil.
Walau akuakultur bermula dari penerapan teknologi yang sangat sederhana, bercirikan pedesaan rural farming activity dan subsisten atau
sampingan, seperti tambak di Jawa Timur, budidaya ikan mas di Jawa Barat, namun pada akhir abad 20 akselerasi perkembangan perikanan budidaya
menunjukkan kecenderungan industrialisasi dengan penerapan teknologi maju. Perikanan budidaya bukan lagi budidaya yang konvensional, tetapi kegiatan
ekonomi dengan manajemen modern yang berimplikasi besar pada berbagai sektor. Berbagai IPTEK berkembang untuk mendukung pengembangan budidaya
menuju skala besar dan bernilai tambah tinggi. Investasi dalam usaha ini juga melibatkan modal multinasional. Produk akuakultur telah membawa perubahan
besar bagi industri pangan yaitu menawarkan pasokan yang konsisten, tingkat harga yang relatif rendah dan jenis produk yang lebih sesuai dengan selera
konsumen, baik dari segi mutu maupun jumlah.
Guna mempertahankan stok atau potensi lestari sumberdaya ikan di perairan laut perlu alternatif pengelolaan yang tepat, dalam hal ini dapat
memberikan kesempatan sumberdaya ikan melakukan pemulihan secara alami dan mempertahankan pendapatan nelayan yaitu dengan pengembangan
perikanan tangkap yang berbasis pada perikanan budidaya. Perikanan tangkap berbasis budidaya ini pada prinsipnya adalah pengembangan budidaya ikan
untuk menunjang ketersediaan stok sumberdaya ikan di perairan umum atau laut
De Silva et al., 2006. Tujuan dari sistem pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan atau
pembudidaya dan sekaligus mempertahankan kelestarian stok sumberdaya ikan di alam.
Lebih lanjut di jelaskan De Silva et al. 2006, bahwa dalam pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya tersebut terlihat adanya interaksi antara
kegiatan perikanan tangkap dan budidaya. Pelaksanaan pengelolaan ini melibatkan pembudidaya ikan atau kegiatan budidaya ikan pada tahap
penyiapan benih ikan untuk ditebar dan kegiatan penangkapan setelah ikan
mencapai ukuran tertentu. Kegiatan budidaya yang dilakukan dalam pelaksanaan pengelolaan tersebut dalam bentuk kegiatan pembenihan ikan di hatchery,
dilanjutkan dengan pemeliharaan benih sampai siap ditebar dan dibudidayakan dalam karamba jaring apung.
Kegiatan perikanan tangkap dalam pengelolaan ini berperan pada saat pengaturan penangkapan ikan yang telah ditebar di perairan umum.
Penangkapan tersebut berdasarkan ukuran ikan, ikan yang dapat ditangkap adalah ikan yang sudah mencapai ukuran konsumsi. Sedangkan jumlah
penangkapan dalam sebenarnya tidak dibatasi sesuai jumlah ikan yang ditebar. Alat tangkap yang digunakan merupakan alat tangkap yang selektif dan tidak
destruktif atau merusak dan disesuaikan dengan jenis dan habitat ikan yang di tebar.
Sistem pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya terlihat interaksi mutualisme antara kegiatan budidaya pembenihan, pendederan dan
pembesaran dengan kegiatan penangkapan ikan di perairan umum tersebut. Dengan pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya,
kesejahteraan pembudidaya akan terjamin yaitu dari hasil usahan pembenihan dan pembesaran, sementara itu tingkat kesejahteraan nelayan juga akan
meningkat dengan ketersediaan stok ikan di perairan yang terjamin dan berkelanjutan sustainable.
Besarnya tekanan terhadap sumberdaya perikanan baik dari kegiatan penangkapan maupun perubahan dan penurunan mutu lingkungan pada suatu
kawasan perairan dapat dikendalikan diantaranya dengan kegiatan penebaran kembali benih ikan atau restocking, perbaikan mutu lingkungan dan
pengendalian kegiatan penangkapan. Sedangkan dalam hal pengelolaan sumberdaya pendekatan co-management terbukti lebih efektif. Karena dengan
pendekatan co-management seluruh stakeholders terkait dilibatkan dan merasa memiliki kepentingan terhadap objek yang dikelola seperti sumberdaya
perikanan.
Kegiatan perikanan tangkap berbasis budidaya culture based fisheries- CBF adalah salah satu model pengelolaan sumberdaya perikanan yang
menerapkan prinsip co-management yang pada pelaksanaannya melakukan upaya penebaran kembali restocking, pemeliharaan lingkungan perairan dan
pengendalian kegiatan penangkapan dalam rangka mewujudkan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan pada suatu perairan oleh masyarakat
setempat dengan pembinaan dan stimulasi dari pemerintah. Rangkaian kegiatan yang komprehensif tersebut oleh Lorenzen 1995 disebut sebagai adaptive
management yaitu pengelolaan berdasarkan aspek biologi ikan, biofisik perairan dan pemberdayaan pelakunya.
Model perikanan tangkap berbasis budidaya telah diadopsi banyak negara penghasil produk perikanan utama dunia dalam pemanfaatan sumberdaya
perairan untuk kegiatan perikanan seperti: China, Thailand, Vietnem, Philipina, Kamboja, Birma, Bangladesh, Laos dan Sri Lanka. Upaya ini dilakukan untuk
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang terdiri atas ikan dan perairan habitatnya bagi kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia kegiatan yang
hampir sejenis sudah menjadi kearifan lokal local wisdom di beberapa daerah seperti Lebak-Lebung di Sumatera Selatan, Ikan Larangan di Sumatera Barat,
Sasi di Maluku dan Awik-Awik di Nusa Tenggara Barat. Akan tetapi sebahagian kearifan lokal tersebut telah memudar atau kurang efektif karena pengaruh
modernisasi dan globalisasi. Untuk itu perlu dilakukan upaya perbaikan guna meningkatkan efektivitas pelaksanaanya, dimana model perikanan tangkap
berbasis budidaya dapat menjadi salah satu pilihan untuk dikembangkan.
Pada pelaksanaannya keberhasilan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya sangat ditentukan oleh aspek kelembagaan pengelola
organisasi, keanggotaan dan aturan, penetapan wilayah, penentuan jenis ikan yang akan ditebar, ketersediaan benih ikan, pengendalian kegiatan penangkapan
dan pengawasannya, serta untuk implementasinya di perairan laut yang bersifat
open acces maka model comunity-based fisheries management dapat diterapkan. Model comunity-based fisheries management telah
direkomendasikan oleh Valbo-Jorgensen dan Thompson 2007 sebagai hasil
kegiatan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya yang dilaksanakannya di Bangladesh.
Program pemacuan stok dalam rangka peningkatan sumberdaya ikan sudah dikembangkan di beberapa negara seperti Jepang, China dan Norwegia.
Pemacuan stok ikan di Jepang telah berdampak terhadap peningkatan produksi sea bream sebesar 8 dan Blue crab sebesar 22 . Laporan FAO tahun 1999
menyebutkan bahwa upaya pemacuan stok di perairan umum daratan di China dan Vietnam dapat meningkatkan hasil penangkapan sebesar 20 dari total
hasil penangkapan sebesar 2 juta tontahun. Sedangkan di Norwegia berhasil
meningkatkan produksi ikan hingga 32. Penerapan teknik pemacuan sumberdaya ikan di Indonesia yang berupa
penebaran dan introduksi ikan serta perlindungan sumberdaya ikan melalui penetapan kawasan suaka perikanan telah lama dilakukan terutama di perairan
umum daratan sejak jaman penjajahan Belanda. Meskipun kegiatan introduksi dan restoking ikan telah lama dilakukan, kontribusinya terhadap hasil tangkapan
belum menunjukkan hasil yang nyata bahkan di beberapa perairan berdampak terhadap penurunan keragaman dan kelimpahan species lokal yang disebabkan
oleh kompetisi dan atau predasi. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh penerapannya yang tidak didasarkan atas hasil kajian ilmiah yang memadai dan
tidak dilakukan atas kaidah pendekatan kehati-hatian.
Hal tersebut berbeda dengan peningkatan kelimpahan stok ikan melalui pengelolaan suaka perikanan yang dilakukan sejak sebelum penjajahan
Belanda, seperti suaka perikanan Danau Loa Kang dan Danau Batu Bumbun di DAS Mahakam, Kalimantan Timur yang dikelola pada masa Kerajaan Kutai
Kartanegara, sekitar 500 tahun yang lalu. Suaka tersebut sangat berperan dalam memasok benih ikan secara alami dan berperan dalam pelestarian sumberdaya
ikan. Dewasa ini, penerapan kearifan lokal dalam pengelolaan suaka tersebut telah luntur sehingga suaka yang ada tidak berfungsi optimal lagi.
Menurut Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2009 bahwa BRKP telah melakukan penerapan pemacuan sumberdaya ikan di Indonesia berbasis hasil
kajian ilmiah yang dirintis sejak tahun 2000 di perairan umum daratan dan laut. Di perairan umum daratan, pelaksanaan pemacuan sumberdaya ikan terutama
dilakukan di perairan waduk dan danau. Di beberapa kawasan, penerapan pemacuan sumberdaya ikan mulai mempertimbangkan aspek daya dukung
perairan, kesesuaian habitat dan jenis ikan, peluang kompetisi antara jenis ikan
tebaran dengan jenis ikan asli, jumlah padat tebar optimal, dan monitoring dan evaluasi keberhasilan ataupun kegagalannya serta diikuti dengan
pengembangan kelembagaan pengelolaannya. Di perairan laut, penerapan pemacuan sumberdaya ikan disertai penerapan teknik rehabilitasi habitat
terumbu karang.
Berbagai penerapan pemacuan sumberdaya ikan yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang menggembirakan antara lain:
a Introduksi ikan patin Pangasionodon hypopthalmus di Waduk Wonogiri, Jawa Tengah.
b Introduksi udang galah Macrobrachium rosernbergii di Waduk Darma, Jawa Barat
c Pengembangan suaka ikan bilih Mystacoleucus padangensis di Danau Singkarak, Sumatera Barat.
d Introduksi ikan bilih Mystacoleucus padangensis dari Danau Singkarak ke Danau Toba, Sumatera Utara.
e Penebaran kembali restocking ikan baung Mystus nemurus di Waduk Wadaslintang, Jawa Tengah
f Penebaran ikan bandeng Chanos chanos di Waduk Djuanda, Jatiluhur- Jawa Barat
g Rehabilitasi terumbu karang di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat dan Jemeluk, Bali.
Introduksi ikan patin siam ukuran 10-15 gram per ekor dengan jumlah total 45.000 ekor ke Waduk Wonogiri luas 7.800 ha dilakukan pada tahun 2002.
Ikan patin yang ditebarkan tersebut ternyata dapat melakukan pemijahan di muara sungai yang masuk waduk sehingga dengan melindungi kawasan
pemijahan dan asuhannya, tidak diperlukan penebaran kembali benih patin. Introduksi ikan ini telah meningkatkan produksi perikanan tangkap sebesar
112.215 kg tangkapan ikan patin senilai 785,5 juta rupiah pada tahun 2004 dan pada tahun 2007, hasil tangkapan ikan patin meningkat menjadi 150.034 kg
senilai 1,3 milyar rupiah.
Introduksi udang galah di Waduk Darma menghasilkan produksi sebesar 337,65 kg senilai 13,5 juta rupiah meskipun udang galah yang ditebarkan hanya
26.500 ekor atau 26,5 dari jumlah optimum penebaran, yaitu sekitar 100.000 ekor. Apabila penebaran udang galah dilakukan secara optimum maka ditaksir
akan dihasilkan produksi senilai 70-140 juta rupiah per tahun yang akan menambah pendapatan bagi 120 orang nelayan di perairan waduk tersebut.
Untuk mengatasi penurunan hasil tangkapan ikan bilih di habitatnya yang asli Danau Singkarak telah pula diterapkan pembentukan suaka buatan di
Sungai Sumpur, salah satu sungai yang masuk Danau Singkarak. Dari suaka buatan tersebut ternyata dapat melestarikan induk ikan bilih sebanyak 3,3 juta
ekor per tahun dan benih ikan bilih sebanyak 5,46 juta ekor per tahun. Benih ikan bilih ini masuk ke danau sebagai peremajaan stok ikan bilih yang akan ditangkap
nelayan.
Introduksi ikan bilih sebanyak 2.850 ekor, satu-satunya ikan endemik dari Danau Singkarak dilakukan ke Danau Toba pada tahun 2003. Ikan bilih yang
ditebarkan mampu tumbuh dan berkembang biak dengan baik sehingga pada tahun 2005, hasil tangkapan ikan bilih mencapai 653,6 ton senilai 3,9 milyar
rupiah. Hasil tangkapan ikan bilih terus meningkat sehingga pada tahun 2007 produksinya mencapai 8.500 ton dan pada tahun 2008 meningkat tajam menjadi
13.000 ton.
Pada tahun 2003-2004, penebaran kembali restocking ikan baung telah pula dilakukan di Waduk Wadaslintang. Ikan baung adalah ikan asli di perairan
waduk ini dan ekonomis tinggi, namun populasinya menurun karena tekanan penangkapan dan keterbatasan habitat pemijahannya. Upaya penebaran
kembali ikan baung ini telah berhasil meningkatkan hasil tangkapan sebesar 15 dari total hasil tangkapan ikan.
Pada tahun 2008, berdasarkan rekomendasi hasil riset, telah dilakukan penebaran ikan bandeng di Waduk Djuanda, Jawa Barat sebanyak 2,112 juta
ekor. Ikan bandeng tumbuh pesat dari ukuran rata-rata satu gram per ekor menjadi 100-150 gram per ekor dalam waktu 3 bulan setelah penebaran. Selama
empat bulan penangkapan telah tercatat sebanyak 65 ton ikan bandeng senilai 455 juta rupiah pada tingkat harga nelayan.
Pemacuan sumberdaya ikan dalam bentuk rehabilitasi terumbu karang yang dilakukan di perairan laut, seperti Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat dan
Teluk Jemeluk, Bali menunjukkan indikasi keberhasilan dalam pemulihan terumbu karang dan peningkatan kanekaragaman jenis ikan di perairan tersebut.
Belajar dari pengalaman empiris tersebut dengan rata-rata produksi perikanan tangkap perairan umum daratan sebesar 290.880 ton dan perikanan
tangkap di laut sebesar 4,3 juta ton, maka dengan pemacuan stok target
peningkatan produksi perikanan tangkap yang dicanangkan sebesar 19,24 dapat dicapai hanya melalui penerapan pemacuan stok di perairan umum
daratan saja. Pada tahun 2010 produksi perikanan tangkap di perairan umum daratan tersebut diprediksi akan mencapai sekitar 1,2 Juta ton.
Menurut Bell et al 2006, bahwa ada contoh keberhasilan dalam pemacuan stock yang dilakukan di Jepang tentang perikanan scallop.
Menurut Uki 2006, bahwa keberhasilan pemacuan stock yang dilakukan di Jepang
dalam pengkayaan stock di laut untuk peningkatan perikanan scallop di Hokkaido, Jepang dengan memberikan kontribusi panen tetap
tahunan sebesar 300,000 ton per tahun. Panen tersebut menggambarkan peningkatan kelipatan empat dalam penangkapan yang maksimum.
keberhasilan dari pengkayaan stok scallop di Hokkaido sebagai akibat : metode yang simple dan efektif dalam penangkapan dan pembesaran
spat dalam jumlah besar; habitat yang ideal untuk pengembangan scallop; rata-rata kelangsungan hidup spat sebesar 30. Selanjutnya disebutkan
bahwa elemen yang luar biasa dalam perikanan ini adalah pengembangan metode untuk penangkapan, pembesaran dan penebaran sebesar 2
milliar benih setiap tahun. Pemakaian spat yang liar tidak hanya untuk
bypass kebutuhan hatcheries, tapi juga menghilangkan resiko pengenalan binatang genetic modifikasi. Biaya mengumpulkan dan
pembesaran spat dalam ukuran tertentu dilakukan oleh nelayan. Mereka juga mengorganisir monitoring dan pengawasan populasi scallop dan
lingkungan pada 200 titik di area perikanan, menyesuaikan penangkapan spat setiap tahun agar dapat memenuhi kebutuhan estimasi untuk
menebarkan benih, menghilangkan predator starfish, dan memberikan pelatihan kepada anggota baru di koperasi.
2.4 Teori Sistem 2.4.1 Pengertian sistem