Sub model potensi Pengembangan Sistem Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya

ditetapkan sebagai daerah perlindungan laut marine protected area maka kegiatan yang bisa dikembangkan pada kawasan tersebut adalah kegiatan pemanfaatan terbatas, diantaranya perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya.

5.4 Pengembangan Sistem Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya

Setiap daerah memiliki keragaman potensi dan sistem nilai dalam mengelola kekayaan SDA yang dimilikinya. Agar SDA tersebut dapat memberikan manfaat yang berkesinambungan, diperlukan kebijakan publik yang dirumuskan berdasarkan pendekatan sistem, yang dimulai dengan kemampuan dalam melakukan identifikasi potensi dan permasalahan lokal, serta dipadukan dengan perkembangan wilayah sekitar, regional maupun global. Pengelolaan wilayah bertumpu pada sumber daya lokal local based resources diyakini mampu memberikan manfaat pembangunan perikanan tangkap berbasis budidaya secara berkelanjutan. Namun demikian, dinamika globalisasi dan perubahan situasional yang semakin cepat membutuhkan keputusan yang mempertimbangkan seluruh aspek holistic, berorientasi pada tujuan yang jelas cybernetics dan dapat diaplikasikan effective Eriyatno, 1999.

5.4.1 Sub model potensi

Potensi SDI di Lampung Selatan menunjukkan bahwa CPUE cenderung negatif, hal ini menunjukkan bahwa SDI sudah mengalami penurunan sehingga perlu strategi pengelolaan yang tepat agar dapat mempertahankan atau bahkan memulihkan sumberdaya yang ada. Peningkatan pemanfaatan SDI dengan penambahan jumlah armada penangkapan harus dilakukan dengan hati- hati. Berdasarkan data jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Lampung Selatan yang semakin meningkat dengan pertambahan rata- rata tiap tahun 303 kapal per tahun, sementara itu peningkatan CPUE rata – rata tiap tahun hanya 0,5 ton. Dikawatirkan jika penambahan kapal yang beroperasi di Kabupaten Lampung selatan tidak di batasi atau direncanakan dengan baik dapat mengakibatkan CPUE di daerah tersebut akan tetap bahkan dapat mengalami penurunan. Gambar 47. Tren perkembangan jumlah kapal di Kabupaten Lampung Selatan. Sifat laut yang open akses memungkinkan sumberdaya ikan yang ada di Teluk Lampung bergerak ke perairan lainnya di luar Teluk dan tertangkap nelayan di luar Teluk, sejalan dengan itu juga kemungkinan adanya nelayan dari luar wilayah Teluk Lampung yang melakukan penangkapan ikan di dalam teluk, juga akan berpengaruh terhadap ketersediaan dan potensi sumber daya ikan di perairan tersebut. Kemungkinan adanya kegiatan penangkapan ikan di wilayah Teluk Lampung oleh nelayan dari luar sangat dimungkinkan karena secara umum potensi perikanan tangkap di wilayah perairan propinsi Lampung mengalami penurunan termasuk perikanan tangkap laut Ditjen Perikanan Tangkap, 2008; seperti terlihat pada gambar berikut : Gambar 48. Tren produksi dan effort perikanan tangkap Provinsi Lampung . Penurunan potensi sumber daya perikanan tangkap yang diindikasikan dengan penurunan hasil tangkapan per unit alat tangkap catch per unit effort merupakan fenomena dunia perikanan nasional bahkan internasional. Untuk Perkembangan Jumlah Kapal di Kabupaten Lampung Selatan y = 309.2x - 615697 1000 2000 3000 4000 5000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun J um la h U ni t P e na ngk a p Ik a n effort Linear effort CPUE Perikanan Tangkap Laut Prop. Lampung 5 10 15 20 25 2000 2002 2004 2006 2008 Tahun CP UE to n CPUE Linear CPUE menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap perlu dilakukan suatu program terpadu dan berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan melakukan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya, dengan system ini ketersediaan dan kelestarian sumberdaya dapat di pertahankan karena tujuan dari system ini selain meningkatkan produksi pembesaran dan kesejahteraan masyarakat juga untuk melakukan pengkayaan stok restoking. 1 Status Pemanfaatan Ikan Demersal Hasil perhitungan terhadap nilai maximum sustainable yield MSY sumberdaya perikanan demersal adalah 4742,281 ton per tahun dengan effort optimum 17106 trip per tahun, seperti pada Gambar 15. Sedangkan tingkat pemanfaatan SDI demersal di Teluk Lampung sudah mengalami over fishing sejak tahun 2004 sampai tahun 2007 atau sudah melebihi dari MSY Tabel 21. Kondisi ini berkaitan dengan peningkatan effort terhadap sumberdaya ikan demersal yang beroperasi di perairan Teluk Lampung mulai tahun 2001 14.700 trip dan mencapai puncaknya pada tahun 2003 22.535 trip dengan tingkat pemanfaatan atau produksi 89,55 dari potensi SDI demersal. Tingkat eksploitasi SDI demersal sudah mencapai jumlah tangkapan yang diperbolehkan JTB yaitu 80 dari nilai MSY, jadi sebenarnya mulai tahun 2003 tingkat pemanfaatan SDI demersal Teluk Lampung sudah mencapai eksploitasi penuh fully exploitated. Sementara aktifitas penangkapan terus berjalan meskipun dengan effort yang menurun, jumlah effort terendah pada tahun 2007 yaitu 10.680 trip . Penurunan effort kemungkinan terkait dengan penurunan potensi atau ketersediaan sumberdaya ikan yang sudah mengalami over fishing. Penurunan sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung juga diketahui dari tren CPUE ikan demersal yang menurun dari tahun 2001 sampai tahun 2007. 2 Status Pemanfaatan Ikan Pelagis Kecil Pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya ikan pelagis di Teluk Lampung terus mengalami peningkatan dari tahun 2001 sampai tahun 2007, yang terindikasi dari kenaikan jumlah effort atau trip penangkapan. Hasil analisa potensi sumberdaya ikan pelagis menunjukkan bahwa nilai MSY adalah 1396.931 ton per tahun dengan effort optimum 26707 trip per tahun, seperti Gambar 17. Berdasarkan nilai maximum sustainable yield, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis Teluk Lampung mengalami over fishing pada tahun 2003 sampai tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2006 dan tahun 2007 status sumberdaya ikan pelagis mengalami perbaikan menjadi fully exploited atau fully operational, seperti pada Tabel 24. Penurunan sumberdaya ikan pelagis pada tahun 2003 kemungkinan sangat erat hubungannya dengan peningkatan effort yang terjadi pada tahun tersebut. Pada tahun 2002 effort yang dilakukan di Teluk Lampung sebesar 18.600 trip dan pada tahun 2003 berlangsung 32515 trip atau terjadi peningkatan effort hamper 100. Kondisi ini sebanding dengan hasil tangkapan atau produksi yang dihasilkan dari 719,2 ton pada tahun 2002 menjadi 1510,2 ton. Jumlah produksi tahun 2003 tersebut sudah melebihi nilai MSY 1396.931 ton atau tingkat pemanfaatan SDI pelagis 108 dari potensi yang ada. Sedangkan pada tahun 2004 terjadi penurunan effort terhadap ikan pelagis tatapi produksinya tetap meningkat dan melebihi nilai MSY demikian juga pada tahun 2005. Pada tahun 2006 sampai tahun 2007 tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Teluk Lampung lebih rendah dari nilai MSY 85 – 90 tetapi kondisi ini tidak menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis tersebut sudah mengalami pemulihan. Hasil perhitungan CPUE ikan pelagis pada tahun 2006 dan 2007 lebih kecil dari nilai CPUE tahun 2005, kondisi ini mengindikasikan bahwa potensi sumber daya ikan pelagis di Teluk Lampung sudah mengalami penurunan. Sesuai pernyataan Hatoto 2000, bahwa salah satu indikasi yang menunjukkan sumberdaya perikanan sudah mengalami penurunan adalah terjadinya penurunan produksi per satuan usahaeffort CPUE. 3 Status Pemanfaatan Krustacea Produksi krustacea di Teluk Lampung sampai dengan tahun 2007 paling tinggi sama dengan nilai MSY 259,388 ton per tahun dengan effort optimum 6855 trip per tahun, seperti terlihat pada Gambar 19. Tingkat pemanfaatan sumberdaya krustacea mencapai kondisi over fising 100 pada tahun 2001 kemudian turun pada tahun 2002 dan 2003. Sementara pada tahun 2004 dan tahun 2005 mengalami over exploted atau mencapai lebih 100 dari potensi yang ada, sedangkan pada tahun 2006 dan 2007 mengalami mengalami penurunan pemanfaatan dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya krustacea hanya 30. Penurunan produksi sumberdaya perikanan krustacea pada tahun 2007 lebih dipengaruhi oleh penurunan jumlah effort yang dilakukan di Teluk Lampung. Effort atau upaya penangkapan yang dilakukan pada tahun 2007 sebesar 1267 trip atau 30 dari effort optimum. Dari hasil analisa tersebut, pemanfaatan sumberdaya krustacea di Teluk Lampung masih dapat ditingkatkan dengan menambah effort atau upaya penangkapan sebesar 60. Kondisi ini didukung data CPUE krustacea tahun 2007 yang menunjukkan peningkatan atau lebih tinggi dari tahun 2006. 4 Status Pemanfaatan Jenis Ikan Lainnya Sumberdaya ikan lain terdiri dari ikan teri dan ikan jenis lain yang tertangkap menggunakan alat tangkap bagan. Nilai MSY ikan jenis lainnya di Teluk Lampung adalah 5348,72 ton per tahun dengan effort optimum 65245,75. Hasil analisa pemanfaatan sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung seperti pada Gambar 21. Pada tahun 2007 pemanfaatan sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung masih di bawah nilai MSY yaitu 45 dari potensi sumberdaya yang ada. Sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung sebenarnya sudah pernah mengalami tangkapan lebih over fishing yitu pada tahun 2005 dan 2006, pada tahun- tahun tersebut produksinya melebihi nilai MSY 120. Hasil analisa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan jenis lain di Teluk Lampung menunjukkan bahwa potensi sumberdaya tersebut sudah mengalami penurunan yang diindikasikan dengan penurunan CPUE. Seperti yang terjadi pada tahun 2007 walaupun tingkat pemanfaatannya 30 dari potensi yang ada, tetapi dengan melihat nilai CPUE yang lebih kecil dari tahun 2006 menunjukkan bahwa sudah terjadi penurunan potensi sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan penambahan effort atau upaya penangkapan. Upaya yang perlu dilakukan untuk mempertahankan sumberdaya ikan lain di Teluk Lampung adalah dengan tidak menambah effort atau dilakukan pembatasan jumlah alat tangkap dan frekuensi penangkapan atau trip. Penurunan sumberdaya perikanan terjadi secara global, saat ini 80 dari stok perikanan dunia sudah mengalami eksploitasi penuh fully exploited, eksploitasi lebih over exploited bahkan sudah ada yang menunjukkan kepunahan collaps Mora et al, 2009. Kondisi ini dapat diketahui dengan beberapa indikasi yang muncul seperti jumlah tangkapan yang semakin menurun, ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil-kecil dan hilangnya beberapa jenis ikan endemik Hartoto, 2000; Worm,2006. McPhie dan Campana 2009, menyatakan umur maksimum dan umur saat matang gonad dapat untuk menduga rata- rata pertumbuhan populasi sementara ukuran tubuh ikan sebagai indikasi status suatu sumberdaya. Untuk menjaga kelestarian dan keberlangsungan sumberdaya ikan di Teluk Lampung diperlukan suatu strategi pengelolaan yang tepat dan komprehensip dengan strategi pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Strategi pengembangan potensi daerah akan sangat tergantung pada strategi pembangunan ekonomi yang dianut daerah. Dalam mengambangkan potensi daerah tidak boleh dilupakan perlunya membangun yang sifatnya berkelanjutan sustainable development. Pembangunan yang dilaksanakan di daerah tidak boleh sampai menguras SDA dan merusak lingkungan. Fungsi lingkungan dalam pembangunan harus tetap dipertahankan karena berfungsi sebagai sumber bahan baku untuk industri, sebagai pengolah limbah alami natural assimilator dan sebagai sumber kesenangan dan kenyamanan hidup. Dalam hal ini pemerintah daerah harus tetap bertindak sebagai pengewas dalam pembangunan, sehingga pembangunan yang terjadi di daerah tidak akan merusak SDA dan lingkungan. Seperti diketahui bahwa stock ikan di suatu perairan secara alami dipengaruhi oleh pertumbuhan growth, kematian alami mortality, penangkapan catching dan penambahan restocking. Dari keempat faktor tersebut penangkapan catchment yang dilakukan oleh manusia merupakan yang paling berpengaruh terhadap kondisi stock ikan di suatu wilyah perairan. Untuk itu perlu dilakukan pengaturan dan pengelolaan terhadap pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap untuk menjamin kelestariannya. Kegiatan penangkapan dengan teknologi modern yang dilakukan dengan tidak memperhatikan kelestarian atau keberlanjutan dari sumber daya dapat berakibat fatal, salah satunya terjadi lebih tangkap over fishing untuk jenis sumber daya ikan tertentu. Menyadari banyak sumber daya akuatik yang sudah mengalami lebih tangkap dan bahwa kapasitas penangkapan yang ada dewasa ini membahayakan konsevasi dan pemanfaatan yang rasional sumber daya, maka pengubahan teknologi yang bertujuan pada peningkatan lebih lanjut kapasitas penangkapan umumnya dipandang tidak diinginkan. Sebagai gantinya suatu pendekatan bersifat kehati-hatian pada pengubahan teknologi yang ditujukan untuk: 1. Meningkatkan konservasi dan kelestarian jangka panjang sumber daya perikanan 2. Mencegah kerusakan yang takterbalikkan atau yang tidak bisa diterima oleh lingkungan; 3. Meningkatkan manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh dari penangkapan 4. Meningkatkan keselamatan dan kondisi kerja para karyawan perikanan Teknologi perikanan yang berbeda mempunyai efek yang berlainan terhadap ekosisitem, komunitas penangkapan dan keselamatan para penggunanya. Sebagai contoh, lebih tangkap yang terjadi pada sumber daya akuatik adalah hasil dari efisiensi teknologi penemuan dan penangkapan ikan. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan yang bersifat kehati-hatian dalam pengembangan teknologi perikanan guna menghindari perubahan mendadak yang tidak direncanakan terhadap tekanan penangkapan. Termasuk dalam memperkenalkan atau mengaplikasikan suatu alat atau teknologi baru, juga harus menggunakan pendekatan kehati-hatian karena suatu teknologi perikanan akan menghasilkan efek samping terhadap lingkungan dan spesies non-target. Tujuan dari pengelolaan stok ikan adalah menjamin kelestarian dan keberlanjutan dari sumber daya ikan sehinga dapat dimanfaatkan oleh generasi berikutnya. Pengelolaan sumber daya tersebut dengan : close season fishing pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu, close area penutupanpelarangan penangkapan ikan pada daerah tertentu, pembatasan alat tangkap, dan sistem quota penangkapan. 5 Close season fishing Pengendalian pemanfaatan sumber daya perikanan dapat dilakukan dengan memberlakukan sistem close season fishing atau penutupan pelarangan aktifitas penangkapan pada musim tertentu. Kebijakan ini dilakukan berdasarkan siklus hidup dari ikan, karena pada musim tersebut ikan yang menjadi target penangkapan dalam kondisi siap memijah atau masih dalam tahap pertumbuhan yang masih memungkinkan ikan untuk tumbuh lebih besar atau ikan belum mencapai ukuran ideal untuk ditangkap. Pada saat penutupan daerah penangkapan perlu dilakukan pengawasan yang ketat dengan melibatkan masyarakat di sekitar perairan Teluk Lampung atau Kelompok Pengawas Masyarakat POKWASMAS apabila di sekitar Teluk sudah terbentuk kelompok pengawas. Namun apabila belum ada kelompok pengawas masyarakat, kelompok nelayan yang ada juga dapat difungsikan sebagai pengawas agar penutupan pada musim tertentu lebih efektif dan efisien. 6 Close area penutupan daerah dari operasi penangkapan Cara pengendalian eksploitasi sumber daya perikanan dapat dilakukan dengan cara penutupan suatu wilayah atau daerah perairan tertentu. Close area ini biasa diberlakukan pada daerah perairan yang merupakan daerah pemijahan atau daerah asuhan tempat mencari makan anak- anak ikan, seperti daerah perairan hutan mangrove dan padang lamun. Pelarangan penangkapan ikan di daerah ekosistem tersebut secara langsung dapat mencegah kepunahan jenis sumber daya ikan, karena proses regenerasi tetap dapat berlangsung. Penutupan daerah tertentu ini diharapkan dapat memberikan peluang bagi spesies ikan tertentu untuk berkembang biak secara alami tanpa diganggu oleh aktivitas penangkapan. Melakukan pemijahan sesuai dengan sifat alamiahnya, tumbuh dengan baik dengan memanfaatkan makanan yang ada disekitarnya. Penutupan daerah penangkapan dimungkinkan juga memberikan peluang bagi biota laut lainnya dapat tumbuh dengan subur dalam suatu ekosistem sehingga proses siklus hidup berjalan secara alamiah. 7 Pembatasan alat tangkap Tekanan eksploitasi daerah penangkapan di wilayah perairan Indonesia tidak sama antar satu daerah dengan daerah yang lainnya. Pada suatu daerah produksi perikanan masih tinggiproduktif, sedang di daerah yang lain telah mengalami penurunan produksi. Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan produksi tangkap suatu daerah perairan adalah meningkatnya atau tingginya armada penangkapan di daerah tersebut. Untuk daerah-daerah tertentu yang sudah mengalami penurunan produksi dapat diberlakukan pembatasan jumlah armada penangkapan untuk menghindari terjadinya tangkap berlebih terhadap sumber daya perikanan. Pembatasan alat tangkap harus juga disesuaikan dengan jumlah dan jenis stok yang ada dalam suatu perairan dengan kata lain bahwa jumlah dan jenis stok yang ada juga harus dihitung berdasarkan analisis yang tepat untuk menghindari pengambilan keputusan yang salah. Apabila stok ikan demersal yang sudah mulai menurun pembatasan alat tangkap harus diarahkan pada alat tangkap ikan demersal, demikian halnya ikan pelagik kecil yang sudah mulai berkurang pembatasan alat tangkap dilakukan pada alat tangkap yang tujuan penangkapannya pada ikan-ikan pelagik kecil. Hal ini seperti yang dilakukan pemerintah dalam pembatasan alat tangkap yang boleh dioperasikan di laut Jawa. 8 Sistem quota penangkapan Cara lainnya untuk mengendalikan atau melakukan pengelolaan stok sumberdaya perikanan tangkap adalah dengan memberlakukan sistem quota dalam penangkapan ikan. Sistem quota ini untuk membatasi jumlah penangkapan yang diperbolehkan untuk suatu jenis ikan atau dalam suatu wilayah perairan tertentu. Jumlah quota dapat ditentukan dengan analisis pendugaan stok dalam wilayah tersebut untuk setiap jenis ikan. Sehingga jumlah dan jenis hasil tangkapan yang diperbolehkan dapat dihitung berdasarkan pendugaan stok yang ada. Pembatasan jumlah hasil tangkapan ini akan sulit dilakukan tanpa dilandasai kesadaran yang kuat oleh para nelayan yang ada disekitar perairan tersebut, mengingat tidak adanya pengawasan yang dilakukan secara terus menerus. Disamping itu, pembatasan jumlah penangkapan ini akan berdampak pada jumlah alat tangkap yang dipergunakan di wilayah tertentu dan jumlah nelayan yang akan melakukan operasi penangkapan. Dengan sistem ini dapat menjamin tidak terjadi over fishing sumber daya perikanan di suatu wilayah perairan tersebut, juga proses rekruitmen dan regenerasi dapat tetap berlangsung secara alamiah dan berkesinambungan.

5.4.2 Sub model kesesuaian lahan