Latar Belakang Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Teluk Lampung )

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak diantara Samudera Hindia dan Pasifik. Negara ini mempunyai 17.504 pulau-pulau dengan luas sekitar 5,8 juta kilometer persegi. Panjang garis pantai Indonesia adalah sekitar 81.000 kilometer. Sekitar dua pertiga negara ini terdiri dari perairan laut. Perairan Indonesia yang luas ini merupakan sumber daya kelautan dan perikanan yang sangat besar. Lebih dari 10.000 spesies fauna dan flora tropis hidup di perairan ini. Pada tahun 1960-an, pada saat seluruh stakeholder perikanan sepakat menyatakan bahwa potensi perikanan laut Indonesia sangat melimpah, ternyata pernyataan tersebut didukung oleh data statistik perikanan tahun 1974. Produksi perikanan tangkap Indonesia pada tahun 1960 baru 410.043 ton dan naik 722.512 ton pada tahun 1968. Jadi hasil tangkapan tersebut hanya 6,6 1960 dan 11,6 1968 dari maximum sustainable yield MSY yang besarnya 6,2 juta ton. Saat itu dinyatakan bahwa ikan perairan laut Indonesia masih melimpah. Jumlah nelayan baru 870.137 orang pada tahun 1968 dan bahkan menurun menjadi 841.627 orang pada tahun 1970, yang selanjutnya naik kembali menjadi 854.000 orang pada tahun 1973. Namun demikian pada tahun 2004 produksi perikanan tangkap telah mencapai 4,5 juta ton atau telah dimanfaatkan sekitar 70,31 Barani, 2005. Berdasarkan kondisi ini, perlu ada suatu upaya untuk mempertahankan potensi sumber daya ikan SDI agar tidak terjadi overfishing. Penangkapan berlebih atau overfishing sudah menjadi kenyataan pada berbagai perikanan tangkap di dunia, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia FAO memperkirakan 75 dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh, dan mengalami tangkap lebih atau stok yang tersisa hanya 25 dari sumber daya yang masih berada pada kondisi tangkap kurang FAO, 2002. Total produksi perikanan tangkap dunia pada tahun 2000 ternyata 5 lebih rendah dibanding puncak produksi pada tahun 1995 tidak termasuk Cina, karena unsur ketidak-pastian dalam statistik perikanan mereka. Apabila sumber daya perikanan mengalami penurunan, maka stok ikan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih kembali, walaupun telah dilakukan penghentian penangkapan. Produksi perikanan tangkap di laut dan perairan umum daratan Indonesia menunjukkan kecenderungan yang stagnasi. Dari total produksi perikanan Indonesia, usaha perikanan tangkap masih memberikan sumbangan produksi yang terbesar yaitu sekitar 76,0, sedangkan sisanya berasal dari usaha perikanan budidaya. Stagnasi produksi perikanan tangkap Indonesia terutama disebabkan oleh pemanfaatan sumberdaya ikan yang melebihi daya dukungnya, penggunaan alat tangkap yang merusak sumberdaya ikan dan lingkungan khususnya di kawasan pemijahan dan asuhan ikan, serta kerusakan lingkungan perairan yang diakibatkan oleh pencemaran. Evaluasi tingkat pemanfaatan empat kelompok sumberdaya ikan yang berada di WPP-RI yang dilakukan oleh Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan pada tahun 2006 berdasarkan hasil riset BRKP menunjukkan bahwa dua puluh satu stoksub stok ikan atau sekitar 55,3 dari 38 stoksub stok ikan telah dimanfaatkan penuh bahkan sebagian ada yang telah melebihi daya dukungnya. Sementara itu, sembilan stoksub stok ikan atau sekitar 23,7 belum dapat ditentukan tingkat pemanfaatannya karena datainformasi belum mencukupi, sehingga hanya delapan stoksub stok ikan sekitar 21 yang pemanfatannya memungkinkan untuk ditingkatkan pada beberapa WPP tertentu Nurhakim, 2007 Selama kurun waktu 1960-2006, produksi perikanan tangkap di perairan umum daratan berfluktuasi antara 228.571-364.875 ton dengan rata-rata 290.260 ton per tahun dan sejak tahun 1995 mengalami stagnasi malahan cenderung menurun. Di perairan umum daratan, produksi perikanan tangkap yang stagnan ini diduga karena pengelolaan sumber daya ikan belum dilakukan secara rasional, di beberapa kawasan terjadi penangkapan ikan yang intensif dan cara- cara penangkapan yang merusak serta terjadinya degradasi lingkungan perairan. Indikasi yang paling jelas dan mudah dilihat adalah hasil tangkapan yang terus menurun, perubahan struktur populasi ikan dan ukuran individu ikan yang semakin mengecil. Dalam sektor perikanan budidaya akuakultur merupakan salah satu kegiatan produksi selain kegiatan penangkapan ikan dan pengolahan Gambar 1. Berbeda dengan penangkapan yang hanya memanen berburu ikan dari alam laut dan perairan umum, sungai, danau, rawa, dalam akuakultur pemanenan ikan dilakukan setelah kegiatan penyiapan wadah pemupukan, pengapuran, dan pemberantasan hama penebaran benih, pemberian pakan, pengelolaan air, penanggulanganpemberantasan hama dan penyakit, serta pemantauan sampling pertumbuhan dan populasi Effendi, 2004. Gambar 1. Akuakultur merupakan salah satu kegiatan produksi perikanan untuk memenuhi kebutuhan konsumen Effendi, 2004. Produk akuakultur bisa langsung dijual ke konsumen dalam bentuk hidup dan segar atau diolah terlebih dahulu menjadi komoditas yang berbentuk berbeda sama sekali, antara lain sosis, burger, dan baso ikan. Integrasi yang kuat antara kegiatan akuakultur dan industri pengolahan biasanya menghasilkan industri perikanan budidaya yang mantap, seperti budidaya ikan salmon dan lele catfish di Amerika Serikat. Di Indonesia integrasi tersebut mulai terlihat dalam industri budidaya patin dan ikan nila. Kedua ikan tersebut dibudidayakan hingga mencapai ukuran 1 kgekor, dan kemudian di-fillet atau pemisahan daging dari tulangnya deboning untuk dijadikan bahan baku industri makanan. Selain itu, dewasa ini juga sudah banyak integrasi antara kegiatan akuakultur dengan perikanan tangkap, yakni kegiatan restocking ikan di laut dan perairan umum. Kegiatan restocking adalah menebar benih ikan di perairan danau, waduk, sungai, teluk, rawa yang bertujuan meningkatkan stok stock enhancement ikan di perairan tersebut dalam rangka konservasi dan menaikkan Perikanan Perikanan Tangkap Pengolahan Akuakultur Perikanan Budidaya Konsumen pendapatan para pelaku perikanan tangkap nelayan. Kegiatan ini dilakukan secara reguler dan terus menerus dengan menggunakan benih yang dihasilkan dari kegiatan akuakultur pembenihan Effendi,2004. Gambar 2. Integrasi antara kegiatan akuakultur dan perikanan tangkap Effendi, 2004. Di Jepang, negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat dan Cina kegiatan restoking sudah menjadi kegiatan komersial, bukan sekedar kegiatan konservasi dan sosial. Kegiatan akuakultur pembenihan menjual benih kepada asosiasi, koperasi nelayan atau pemerintah daerah yang melakukan restocking, sementara nelayan melaporkan hasil tangkapannya untuk dikenai biaya charge pembelian benih oleh asosiasi atau koperasi tersebut Gambar 2. Perikanan masa depan tampaknya akan banyak terjadi integrasi, baik antara akuakultur dengan pengolahan maupun antara akuakultur dengan perikanan tangkap ataupun integrasi ketiganya Effendi, 2004. Integrasi yang sudah dilakukan di masyarakat walaupun tidak disengaja adalah perikanan tangkap berbasis budidaya, dimana benih yang dimasukkan ke dalam perairan adalah benih yang tidak laku dijual maupun benih yang produksinya berlebih. Banyak perusahaan pembenihan udang, kerapu, bandeng yang produksinya berlebih secara sukarela melakukan stocking pada perairan sekitarnya, walaupun masih mengabaikan kaidah restocking yang sebenarnya. Perikanan Tangkap Nelayan Akuakultur Pembenihan Asosiasikoperasi nelayan Gambar 3. Skema pengelolaaan perikanan tangkap berbasis budidaya Pada awal tahun 2000, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya telah mencanangkan Culture Based Fisheries sebagai program utama yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pada suatu perairan dengan mengoptimalkan peran serta masyarakat sebagai pengelola atau biasa disebut Community Based Fisheries Management. Namun demikian keberhasilannya masih dapat dikatakan jauh dari target yang diharapkan, sehingga perlu sosialisasi kepada seluruh stakeholder tentang pentingnya pemahaman pengelolaan sumberdaya perairan secara bersama. Menurut Jorgensen and Thompson 2007 Community Based Fisheries Management adalah pemahaman tentang penjelasan suatu bentuk pengaturan kelembagaan dalam pengelolaan perairan dan perikanan didasarkan oleh organisasi masyarakat lokal yang tergantung pada sumberdaya tersebut. Menurut Nikijuluw 2002, bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanannya sendiri dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan dan keinginannya, tujuan serta aspirasinya. Indonesia memiliki potensi budidaya laut yang cukup besar, berdasarkan hitungan sekitar 5 km dari garis pantai ke arah laut, potensi lahan kegiatan budidaya laut diperkirakan sekitar 24,53 juta ha. Luasan potensi kegiatan budidaya laut tersebut terbentang dari ujung bagian barat Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia. Komoditas-komoditas yang dapat dibudidayakan pada areal tersebut antara lain ikan kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang, kerang mutiara dan abalone serta rumput laut Dahuri, 2002. Lebih lanjut disebutkan oleh Nurdjana et al 1998 bahwa komoditas unggulan budidaya laut yang layak untuk dikembangkan antara lain adalah ikan kerapu, ikan kakap putih, tiram mutiara, kerang darah, abalone, rumput laut ikan hias laut, kerang hijau, teripang, tiram dan lobster. Luas perairan yang potensial untuk budidaya laut adalah 312.773 km 2 , yang terdiri dari perairan untuk budidaya ikan kakap putih seluas 213.428 km 2 , ikan kerapu 40.913 km 2 , kerang darah dan tiram 37.878 km2, teripang 5.159 km 2 , tiram mutiara dan abalone 4.286 km 2 , serta rumput laut 11.109 km 2 . Luasan ini dirasakan belum akurat. Untuk keperluan up-dating, luasan tersebut dievaluasi menggunakan metoda yang dianggap lebih akurat. Kawasan budidaya laut secara garis besar terdiri dari dua zone kawasan. Kawasan bagian laut mencakup daerah budidaya, daerah alur lalu lintas orang dan barang serta daerah penyangga. Kawasan darat antara lain diperuntukan bagi daerah perumahan, daerah usaha, daerah operasional serta sarana dan prasarana. Lahan budidaya laut merupakan faktor penting bagi pengembangan budidaya laut karena terkait dengan faktor biofisik lingkungan yang berkenaan dengan ketersediaan areal untuk pengembangan sarana budidaya laut baik secara fisik maupun kecocokan pemanfataannya. Faktor-faktor yang mendukung integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, antara lain adalah: 1 Lokasi geografis Indonesia yang strategis, yang memungkinkan akses jasa, produk perikanan dan kelautan ke berbagai bagian dunia; 2 Kawasan perairan laut yang sangat luas, serta iklim tropik yang memungkinkan untuk pengembangan budidaya laut berbagai ikan dan jenis kehidupan air lainnya; 3 Jumlah penduduk pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang relatif banyak merupakan faktor pendukung pengembangan perikakan tangkap berbasis budidaya; 4 Adanya sistem ekonomi terbuka yang telah memungkinkan keikutsertaan negara dalam zona perdagangan bebas regional, sehingga menyediakan peluang yang lebih besar untuk memasukkan produk perikanan Indonesia ke pasar global dan regional; 5 Adanya sertifikasi sistem pengendalian mutu yang telah diakui masyarakat dunia, sehingga dapat menjamin mutu produk perikanan Indonesia di pasar ekspor; 6 Adanya peningkatan permintaan ikan yang merupakan hasil perubahan kecenderungan dalam pola konsumsi makanan dunia. Sementara di pihak lain, terjadi penurunan produksi ikan di negara-negara lain, sehingga memperluas peluang Indonesia di pasar dunia. Namun demikian, perkembangan pembangunan perikanan budidaya masih dihadapkan pada berbagai kendala dan hambatan, baik yang bersifat eksternal maupun internal, kendala tersebut antara lain adalah: 1 Adanya globalisasi perdagangan dunia yang berdampak terhadap pemasaran produk perikanan, antara lain berupa: - Ekspor hasil perikanan yang semakin kompetitif. - Ketatnya persyaratan mutu yang diterapkan negara pengimpor. - Gencarnya isu lingkungan. - Tuntutan pelaksanaan Code of Conduct for Responsible Fisheries CCRF. 2 Terbatasnya peraturan dan perundang-undangan yang mengatur pembangunan perikanan budidaya 3 Adanya ketidak-pastian dan ketidak-konsistenan dalam masalah penataan ruang kawasan 4 Kurangnya upaya penegakan hukum yang berkaitan dengan budidaya perikanan 5 Kurangnya akses pemasaran produk perikanan 6 Kurangnya prasarana pemasaran dan fasilitas pasca produksi yang memadai 7 Belum memadainya teknologi yang tersedia untuk budidaya perikanan, seperti teknologi penyediaan benih ikan laut 8 Lambatnya penyediaan data dan informasi di bidang perikanan tangkap dan budidaya. Hal ini sangat terkait erat dengan adanya keterbatasan perangkat pendukung pengolahan data serta kualitas sumber daya manusia SDM di bidang statistik perikanan 9 Belum memadainya sarana produksi untuk pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya 10 Kurangnya pengetahuan para nelayan dan pembudidaya ikan mengenai kaidah integrasi perikanan tangkap dan budidaya 11 Belum efektifnya kelembagaan penyuluhan di bidang perikanan tangkap dan budidaya, sehingga aliran informasi dan teknologi perikanan tangkap budidaya menjadi terhambat dan bahkan terputus 12 Keterbatasan teknologi penangkapan ikan dan teknologi budidaya 13 Mahalnya input produksi yang di impor 14 Kurangnya ketersediaan aksesibilitas kredit untuk kegiatan usaha penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan 15 Kurangnya koordinasi dan sosialisasi program-program serta kegiatan pembangunan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. 16 Kurang kondusifnya faktor keamanan, sebagai akibat dari krisis ekonomi yang berkepanjangan Sumberdaya perairan Teluk Lampung telah dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan ekonomi masyarakat, di antaranya kegiatan penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pariwisata dan transportasi. Kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan adalah kegiatan ekonomi yang melibatkan sebagian besar masyarakat golongan menengah ke bawah. Kurangnya pengetahuan, terbatasnya keterampilan dan kemampuan manajemen usaha serta rendahnya askses permodalan adalah permasalahan utama dalam pengembangan masyarakat menengah ke bawah. Untuk itu diperlukan intervensi dan upaya pemerintah serta didukung strategi yang efektif dalam pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Teluk Lampung. Perairan Teluk Lampung merupakan daerah penangkapan ikan yang produktif dan memungkinkan dilakukannya operasi penangkapan ikan dengan berbagai alat dan metode penangkapan DKP Lampung, 2003 Kedalaman perairan Teluk Lampung tidak terlalu dalam dan perairannya relative tenang, nelayan dapat mengoperasikan berbagai jenis alat tangkap sesuai dengan jenis ikan yang menjadi target operasi penangkapannya. Nelayan dan pembudidaya di sekitar Teluk Lampung memiliki akses langsung untuk memanfaatkan sumberdaya perairan yang ada di perairan Teluk Lampung. Nelayan Lampung dapat memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada di Teluk Lampung sedangkan pembudidaya dapat memanfaatkan perairan yang memenuhi persyaratan teknis untuk pengembangan usaha budidaya laut dengan mengembangan komoditas yang strategis di perairan tersebut. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung Selatan 2005, rumah tangga perikanan laut Lampung Selatan terdiri dari 1.587 nelayan yang terdiri dari 472 orang nelayan tanpa perahu, 715 orang nelayan perahu tanpa motor, 201 nelayan dengan kapal motor. Pembudidaya ikan terdiri dari budidaya laut 442 orang, petambak 3.427 orang, budidaya air tawar 2.002 orang dan mina padi 108 orang. Produksi perikanan tangkap Kabupeten Lampung Selatan pada tahun 2004 mencapai 25.867,6 ton, terdiri dari jenis ikan Peperek, manyung, ikan biji nangka, kerapu, kakap, ikan kurisi, ikan ekor kuning, ikan kuro, teri, japuh , Lemuru, golok- golok parang- parang, Kembung , tenggiri, Layur, tongkol, dan ikan lainnya. Produksi perikanan budidaya laut di Lampung Selatan tahun 2006 adalah 1.569,28 ton atau naik 749,3 ton dari produksi tahun 2005. Produksi tahun 2006 tersebut terdiri atas kerapu bebek dan kerapu macan yang dihasilkan dari 264 RTP dengan 470 unit KJA. Unit KJA tersebut sebagian besar berlokasi di Tanjung Putus dan Pulau Puhawang. Usaha budidaya laut dengan KJA memerlukan modal usaha yang besar, untuk itu pengembangan perikanan budidaya perlu dilakukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan dan memperhatikan aspek-aspek terkait. Faktor yang perlu diperhatikan tidak hanya menyangkut hal teknis akan tetapi juga mencakup aspek sosial dan budaya. Berbagai masalah telah teridentifikasi terkait dengan pengembangan perikanan budidaya di Teluk Lampung, diantaranya: konflik penggunaan lahan dengan perikanan tangkap dan transportasi, sedimentasi perairan akibat pembukaan lahan pesisir dan lahan atas untuk berbagai kegiatan, serta ketidakteraturan penempatan dan tata letak KJA di kawasan budidaya. Memperhatikan besarnya kendala dan permasalahan terkait pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya maka pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya dapat dijadikan alternatif kegiatan ekonomi masyarakat yakni pengembangan kegiatan penangkapan ikan di suatu kawasan dengan didukung penyediaan benih dari perikanan budidaya.

1.2 Perumusan Masalah