demikian pemanfaatan optimal sumberdaya pesisir harus mengakomodasi berbagai disiplin ilmu.
Untuk sumber daya pesisir seperti ikan, pemodelan yang menyangkut bagaimana mengelola sumber daya ini secara optimal dan berkelanjutan sudah
relatif “Well established”. Dimulai dengan model Gordon-Schaefer Gordon 1954 yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Clark dan Munro 1976,
model-model pengelolaan sumber daya ikan sudah relatif banyak diterapkan dan dikembangkan secara lebih kompleks dengan mengakomodasi berbagai
kompleksitas yang sebelumnya diabaikan. Demikian juga untuk sumber daya lainnya seperti mangrove dan terumbu
karang serta pulau-pulau kecil, belakangan sudah relatif banyak dikembangkan untuk menentukan bagaimana sumber daya alam tersebut dapat dikelola secara
optimal dan berkelanjutan. Namun demikian masih relatif sedikit yang mengembangkan keterkaitan antara suatu kawasan konservasi yang dimanfaatkan
sebagai suatu kawasan wisata dengan kegiatan ekonomi lainnya seperti perikanan, khususnya perikanan pesisir.
2.6 Pemodelan Konservasi, Wisata dan Perikanan
Sebagaimana dikemukakan di atas, pemodelan yang menyangkut interaksi antara kawasan konservasi, wisata dan perikanan masih relatif sedikit. Meski
Casagandri dan Rinaldi 2002 telah mengembangkan model wisata yang telah mengadopsi model bioekonmi perikanan, model tersebut belum sepenuhnya
mengintegrasikan kepentingan lain dan tidak mengakomodasikan konvergensi maupun divergensi antara kegiatan-kegiatan tersebut.
Fauzi dan Anna 2005 mengembangkan model valuasi ekonomi untuk menentukan apakah suatu kawasan konservasi dapat dijadikan sebagai kawasan
wisata dan sekaligus kawasan perikanan dengan membandingkan nilai ekonomi yang dapat dibangkitkan dari kawasan tersebut. Selain dengan pendekatan valuasi
ekonomi, Fauzi dan Anna 2005 juga mengembangkan model pengelolaan kawasan konservasi tersebut melalui pendekatan bioekonomi dan pendekatan
multiple use yang mengakomodasi berbagai kepentingan ekonomi di kawasan tersebut. Dalam penelitian ini kedua model yang dikembangkan oleh Fauzi dan
Anna 2005 tersebut akan dijadikan sebagai basis untuk mengembangkan model wisata, konservasi dan perikanan dengan melihat konvergensi dan divergensi dari
setiap aktivitas yang ada.
2.7 Kebijakan Wisata Bahari
Dalam suatu kawasan pariwisata di wilayah pesisir pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki ketrampilankeahlian dan
kesenangan bekerja yang berbeda, sebagai nelayan, petani, pendamping wisatawan, industri dan kerajinan rumah tangga dan sebagainya. Di lain pihak
sangat sukar atau hampir tidak mungkin untuk mengubah kesenangan bekerja sekelompok orang yang telah secara mentradisi menekuni suatu bidang pekerjaan.
Kawasan wisata di pesisir umumnya merupakan sumberdaya milik bersama common property resources yang dimanfaatkan oleh semua orang open access.
Setiap pengguna sumberdaya pesisir, dalam hal ini industri pariwisata, biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan. Oleh karenanya wajar jika pencemaran,
over-exploited sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi di kawasan pesisir. Aspek sosial ini sangat berkaitan dengan aspek ekonomi.
Dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan, khususnya dalam konteks pengembangan wisata bahari aspek sosial perlu
mendapat perhatian khusus mengingat kegiatan wisata perlu adanya keterlibatan masyarakat, yang merupakan wadah kehidupan bersama. Adanya kegiatan wisata
di suatu wilayah pesisir dan lautan tentunya menimbulkan interaksi sosial pada subsistem kehidupan fisik. Bahwa untuk membangun masyarakat di wilayah
pesisir dan laut diperlukan pemahaman sosiologi masyarakat pesisir. Sosiologi masyarakat pesisir berbeda dengan sosiologi pertanian yang basisnya pada
kegiatan pertanian di darat, sosiologi masyarakat pesisir ini direkonstruksi dari basis sumberdaya. Satria et al. 2002.
Pariwisata memiliki efek stimulasi terhadap ekonomi regional. Dalam hal ini, ada dua fase pengembangan pariwisata : pertama adalah fase pembangunan,
dimana investasi pada konstruksi meningkatkan permintaan barang dan jasa pada kawasan secara temporer. Kedua, selama fase operasional dari pariwisata,
pengeluaran turis mengalir ke dalam ekonomi. Pengeluaran dari turis ini memiliki
efek stimulasi yang lebih permanen. Perusahaan pariwisata menyediakan pekerjaan ekonomi regional dan konsekwensinya mereka membayar upah. Sektor
pariwisata adalah industri yang relatif labour intensive. Artinya adalah bahwa dengan stok modal yang relatif rendah menyediakan sejumlah pekerjaan yang
pasti. Selanjutnya permintaan akan pekerja berfluktuasi tergantung dari musim turis, sehingga pekerjaan yang ada adalah seringkali pekerjaan paruh waktu yang
dicirikan dengan status dan gaji yang rendah. Efek dari pariwisata ini tidak hanya terbatas pada efek langsung.
Aktifitas ekonomi regional yang menyediakan industri turisme dihadapkan pada permintaan yang meningkat. Lebih lanjut, permintaan konsumen akan
berkembang sebagai konsekwensi dari pendapatan regional yang meningkat. Akhirnya pemerintah nasional maupun regional akan mendapatkan manfaat ketika
revenue dari berbagai bentuk pajak seperti turis, pendapatan dan added value dari pajak, meningkat. Disamping itu, tingkat pengangguran akan berkurang
seiring dengan meningkatnya jumlah pekerjaan. Fenomena dimana ekspenditur turis tidak terbatas ke perusahaan dimana uang disimpan, disebut sebagai efek
multiplier dari tourist expenditure. Efek multiplier ini adalah rantai dari efek yang mengikuti perubahan dari tourist expenditure. Efek dari industri turis regional itu
sendiri disebut sebagai efek langsung, sedangkan efek pada perusahaan regional yang diakibatkan sektor turisme dan berbagai konsekwensi perubahan dalam
permintaan intermediate adalah efek tidak langsung. Efek induksi adalah efek dari peningkatan permintaan untuk barang-barang konsumsi sebagai konsekwensi
dari peningkatan pendapatan masyarakat di wilayah ini. Dilain pihak, permasalahan di suatu kawasan yang masih belum banyak di
perhatikan adalah yang berkaitan dengan issue pemanfaatan sumberdayanya yang bersifat multi guna multiple use. Konflik multi-user pada sumberdaya
perikanan non tropis misalnya adalah disebabkan oleh adanya alokasi yang tidak efisien diantara aktivitas pemanfaatan sumberdaya tersebut Huat 1980 diacu
dalam Fauzi Anna 2003. Lebih lanjut Hardin 1968 juga menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya common property secara bersama-sama merupakan
konflik yang sulit dipecahkan. Dalam kondisi seperti ini, individu akan mengabaikan biaya yang timbul akibat aktivitas mereka terhadap orang lain,
sehingga sumberdaya menjadi overexploited. Jika dikelola dengan baik, sebenarnya aktivitas secara kolektif multiple user dapat merupakan pemanfaatan
sumberdaya yang efisien Anderis 2000 diacu dalam Fauzi Anna 2003. Wisata adalah perpindahan sementara dari orang atau sekelompok orang
dalam jangka waktu tertentu ke tempat tujuan wisata yang terletak di luar tempat mereka biasa tinggal atau bekerja, kegiatan wisatanya dilakukan selama mereka
tinggal di tempat tersebut, dan fasilitasnya dipersiapkan untuk menunjang kebutuhan-kebutuhan wisatawan ini Gunn 1993. Waktu perjalanan wisata
dapat kurang dari satu hari tetapi juga dapat lebih dari satu bulan dengan jarak tempuh yang juga beragam. Adapun motivasi pendorong terjadinya aktivitas
wisata ini ada yang bersifat rekreatif seperti tamasya dan rekreasi; dan non- rekreati seperti budaya, olah raga, konvensi, spriritual, kesehatan dan lain-lain.
Pariwisata merupakan ekspresi yang digunakan untuk mendefinisikan semua hubungan dan fenomena yang menyertai orang-orang yang melakukan
perjalanan. Menurut Michaud 1983 diacu dalam Lourenco dan Jorge 2003, pariwisata mengelompokkan seluruh aktivitas yang berkaitan dengan produksi
dan konsumsi, yang melandasi perjalanan berkelanjutan tertentu, yang menyiratkan kegiatan menginap sekurang-kurangnya satu malam jauh dari daerah
berpenduduk untuk tujuan kesenangan, bisnis, keseharian, atau partisipasi dalam perkumpulan profesional, olah raga, atau keagamaan
.
Salah satu tujuan penting bagi wisatawan adalah kawasan pesisir dimana banyak terdapat potensi wisata yang dapat dikunjungi. Terdapat dua alasan
mengapa kawasan pesisir berpotensi untuk pengembangan wisata. Pertama, di wilayah pesisir terdapat beragam ekosistem yang memiliki nilai atraksi yang
tinggi seperti ekosistem terumbu karang, pantai pasir putih, hutan mangrove dan sebagainya. Kedua, permintaan demand akan pariwisata pesisir semakin
meningkat, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Pembangunan kepariwisataan bahari pada hakekatnya adalah upaya untuk mengembangkan dan
memanfaatkan objek dan daya tarik wisata bahari yang terdapat di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, yang terwujud dalam bentuk kekayaan alam yang indah
pantai, keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis.
Salah satu bentuk wisata yang saat ini mulai dikembangkan di Indonesia adalah wisata bahari yaitu satu bentuk wisata yang berorientasi terhadap
lingkungan bahari. Jenis wisata ini memanfaatkan lautan dan pesisir sebagai sumberdaya pariwisata, baik secara langsung berperahu, berenang, diving dan
lainnya maupun tidak langsung kegiatan wisata yang dilakukan di bagian daratnya seperti olah raga pantai, piknik untuk melihat atmosfer lautan dan
lainnya. Berdasarkan data Euro Asia Management, 1998 produk dan daya tarik yang dapat dikembangkan pada pariwisata bahari di Indonesia diantaranya adalah
wisata bisnis, wisata pesiar, wisata alam, dan wisata olah raga. Menurut Dahuri 2000, secara definisi wisata bahari adalah jenis wisata
minat khusus yang memiliki aktivitas yang berkaitan dengan kelautan, baik di atas permukaan laut marine maupun kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan
laut sub marine. Wisata bahari oleh pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pariwisata, dimasukkan kedalam wisata minat khusus. Wisata minat
khusus didefinisikan sebagai: suatu bentuk perjalanan wisata, dimana wisatawan mengunjungi suatu tempat kerena memiliki minat atau tujuan khusus mengenai
sesuatu jenis obyek atau kegiatan yang dapat ditemui atau dilakukan di lokasi atau daerah tujuan wisata tersebut.
Pada dasarnya suatu industri pariwisata merupakan suatu sistem yang ditunjang oleh beberapa subsistem untuk dapat berkembang dan berkelanjutan.
Demikian pula dengan industri pariwisata pesisir, dimana industri ini terdiri dari dua sistem yang komplek, yaitu 1 sistem pariwisata yang erat kaitannya dengan
sosial masyarakat, dan 2 sistem wilayah pesisir yang terkait dengan sistem lingkungan. Interaksi diantara kedua sistem ini dapat menjadi peluang
pengembangan kawasan wisata apabila berjalan sinergis seperti di Bali. Tetapi apabila kedua sistem itu sudah tidak dapat berjalan sinergis, maka dapat
menghancurkan kawasan wisata itu sendiri. Selanjutnya Dahuri 2000 juga menyebutkan bahwa besarnya potensi dan
keindahan taman laut Indonesia diakui juga oleh sejumlah pecinta wisata bahari internasional. Hal ini dibuktikan dari sebuah ekspedisi laut selama dua bulan lebih
Januari-Maret 2000. Tim ekspedisi yang bernama The Marine Parks Of Indonesia ini dipimpin oleh President of Raffles Marine Ltd, Singapore, Francis
Lee bersama TNI AL. Ketua tim ekspedisi, Francis Lee mengatakan, harus diakui bahwa Indonesia memiliki potensi wisata laut yang indah. Selama ini potensi
tersebut belum banyak digarap dan diketahui masyarakat internasional. Gunn 1993 menjelaskan bahwa suatu kawasan wisata dinyatakan sebagai
kawasan wisata yang berhasil bila secara optimal dapat mempertemukan empat aspek yaitu 1 Mempertahankan kelestarian lingkungannya; 2 Meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut; 3 Menjamin kepuasan pengunjung, dan 4 Meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan
masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya. Salah satu cara untuk menjaga kelestarian Lingkungan dan sumberdaya
pesisir dari aktivitas wisata bahari yang tidak berkelanjutan adalah dengan menghitung besarnya daya dukung lingkungan terhadap aktivitas wisata. World
Tourism Organization 1981 memberikan standar pembangunan resort-resort di tepi pantai sebagaimana pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1 Standar kebutuhan ruang fasilitas Pariwisata Pantai WTO,1981
1. Kapasitas pantai m
2
orang Jumlah orang optimum per setiap 20-50 m pantai
Kelas rendah 10 2,0-5,0 Kelas menengah 15 1,5-3,5
Kelas mewah 20 1,0-3,0 Kelas istimewa 30 0,7-1,5
2. Fasilitas pantai Fasilitas kebersihan yang setara
dengan 5 buah WC, 2 buah bak mandi, dan 4 pancuran air untuk
setiap 500 orang.
3. Kepadatan penginapan 60 - 100 tempat tidur ha.
4. Fasilitas
marina Ukuran
150 - 200 perahukapal wisata. Kapasitas pelabuhan
75 - 150 perahu ha. Lahan
100 perahuha, digunakan untuk parkir, penyimpanan, dan perbaikan.
2.8 Pendekatan Welfare Kesejahteraan