hanya menghitung nilai dari tiga jenis ekosistem yang dominan, yakni terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun sea grass. Untuk menghitung nilai
total ekosistem tersebut luasan dari masing-masing ekosistem tersebut dicari terlebih dahulu kemudian nilainya dihitung dengan menggunakan nilai basis dari
Cesar, et al 2003 dan Hansen et al 2003. Tabel 5.13. berikut ini menyajikan hasil perhitungan nilai ekosistem tersebut.
Tabel 5.13. Nilai Ekonomi Ekosistim di Selat Lembeh
Ekosistim Luasan
ha Nilaiha
US Nilai Total
US Capitalized
Pada 8 Terumbu
Karang
a
90 17 777.7
1 600 000 20 000 000
Mangrove
b
8.9 828
7 369.2 92 115
Padang Lamun
b
90 349
31 410 392 625
Total
1 638 779.2 20 484 740
Catatan: a dihitung dengan basis angka dasar dari Cesar et al 2003 b dihitung dengan basis angka dasar dari Hansen et al 2003
Dari Tabel 5.13 diatas dapat diketahui bahwa nilai keberadaan ekosistem di Selat Lembeh adalah sekitar US 1.6 juta yang setara dengan Rp. 15 milyar kurs
9500,-. Artinya bahwa terlepas apakah dikonsumsi atau tidak keberadaan ekosistem tersebut memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi yang di dalamnya
mengandung nilai-nilai lain seperti keanekaragamam hayati, fungsi ekologis, fungsi estetika dan sebagainya. Nilai ekonomi ini juga dapat diartikan bahwa jika
ketiga ekosistem itu hilang atau rusak, maka akan diderita kerugian yang setara dengan Rp. 15 milyar per tahun.
5.7.3. Nilai Ekonomi Total Selat Lembeh
Dengan mengetahui kedua nilai ekstraktif dan non-ekstraktif dari kegiatan ekonomi di Selat Lembeh, maka nilai ekonomi total Selat Lembeh bisa dihitung
dengan menjumlahkan kedua nilai ekonomi tersebut. Untuk menghitung nilai ekonomi ekstraktif, maka hasil perhitungan nilai
ekonomi per vessel per tahun yang telah dihitung sebelumnya kemudian diaggregatkan dengan data fishing vessel yang ada di Selat Lembeh. Hasil
penelitian di lapang diperoleh data tahun 2004 terdapat kurang lebih 250 fishing vessel Pukat Cincin, Sero, Bubu beroperasi di Selat Lembeh Tabel 4.7. Jumlah
ini sedikit berfluktuasi dari tahun-tahun sebelumnya namun tidak terlalu signifikan. Dengan menggunakan informasi tersebut maka nilai ekonomi total
Selat Lembeh dapat dilihat pada Tabel 5.14. berikut ini.
Tabel 5.14. Nilai Ekonomi Total Selat Lembeh Rp juta
Indikator Aggregat
NPV
Ekstraktif: 15
25 50
Total Revenue 36.31
453.83 41.75
45.38 54.46
Net Revenue 134.22
1677.70 154.35
167.77 201.32
Value Added 30.10
376.31 34.62
37.63 45.16
Boat Income 28.12
351.48 32.34
35.15 42.18
Non-Ekstraktif: Wisata
415.20 5190.00
477.48 519.00
622.80 Ekosistim
15000.00 187500.00
17250.00 18750.00
22500.00 Nilai Total
15643.95 195549.32
17990.54 19554.93
23465.92
Skenario KKL
Keterangan: Nilai Agregat dihitung dari rata-rata per vessel Tabel 5.6. dikalikan dengan jumlah vessel 250
Dari Tabel 5.14 terlihat bahwa nilai present value dari kegiatan ekstraktif dan non-ekstraktif yang ada di Selat Lembeh adalah sekitar Rp 195 milyar dalam
kurun waktu jangka panjang . Nilai ekonomi merupakan nilai ekonomi lestari sustainable yang dapat dihasilkan jika Selat Lembeh dikelola dalam kondisi
berkelanjutan. Nilai ini sekaligus juga menunjukkan opportunity cost atau biaya korbanan yang harus ditanggung jika Selat Lembeh mengalami kerugian
ekosistem. Jika kemudian Selat Lembeh dilindungi sebagai kawasan konservasi maka nilai ekonomi total tersebut akan meningkat dalam jangka panjang sebesar
15 hingga 50 dari kondisi baseline atau antara Rp 17.9 milyar sampai Rp 23 milyar. Perlu pula dicatat bahwa oleh karena nilai ekonomi pengelolaan dari
kawasan konservasi tidak dihitung pada tahap pertama ini, mengakibatkan nilai ekonomi total di atas mungkin saja sedikit ”under estimate” dari the true value
yang mungkin dihasilkan dari Selat Lembeh. Sebagai perbandingan di atas adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh
Cesar 1996 di Ambon Selatan dan Ambon Barat Maluku, yang menyatakan bahwa di beberapa daerah yang memiliki potensi wisata sangat sulit untuk
memperkirakan manfaat bersih net benefit dari sektor pariwisata. Beberapa data di kumpulkan dari losmen homestay; tempat tidur dan sarapan. Suatu
desadusun memiliki tiga losmen di daerah sekitar satu kilometer dari pantai.
Harga tiap kamar sebesar Rp. 20 000hari dengan tingkat hunian sekitar 25 2 rooms setiap losmen. Sebesar 30 wisatawan berkaitan dengan wisata terumbu
karang. Dari contoh tersebut, bahwa pendapatan kotor dari pariwisata skala kecil per kilometer luasan persisir yang dimanfaatkan adalah sebesar US 550 tahun.
Dengan menggunakan profit margin sebesar 60 tampak bahwa diperoleh nilai pendapatan langsung bersih untuk berbagai penginapan yang ada sebesar US
330tahun atau NPV 25 tahun, discount rate 10 diperoleh nilai US 3000km luasan pesisir. Dengan nilai multiplier 2 maka dapat mengimplikasikan total NPV
sebesar US 6000 per km pesisir. Hal lain yang juga perlu disampaikan adalah bahwa nilai-nilai ekonomi non-
ekstraktif yang umumnya digunakan dalam menghitung valuasi ekonomi seperti nilai pilihan option value dan nilai pewarisan bequest value serta nilai
keberadaan existence value tidak menjadi fokus utama penelitian ini. Hal ini selain masih banyaknya kontroversi seputar perhitungan nilai ekonomi tersebut,
nilai ini juga sangat bersifat intangible sehingga terkadang sulit untuk dipahami oleh para pengambil kebijakan serta stake holder yang terlibat dalam pengelolaan
Selat Lembeh, seperti nelayan kebanyakan. Ketiga nilai non-ekstraktif tersebut di atas sedikit banyak masih menjadi wacana akademis dengan sedikit aplikasinya di
tingkat mikro dan operasional. Hal ini dibenarkan pula oleh Sainchirco et al 2002 yang menyatakan bahwa meski bisa saja KKL menyediakan ancillary
benefits manfaat tambahan seperti perlindungan terumbu karang yang menyimpan karbon, serta manfaat lainnya, mengkuantifikasikan manfaat tersebut
masih sulit diterapkan kecuali ditunjang dengan data yang lengkap dan riset yang mutakhir.
Dengan kata lain meski perhitungan nilai ekonomi total ini belum mencakup perhitungan nilai-nilai ekonomi yang intangible tadi, namun hasil perhitungan
yang disajikan di atas dapat memberikan gambaran mengenai nilai ekonomi Selat Lembeh dan nilai ekonomi yang diharapkan terwujud expected benefits jika
kawasan tersebut dijadikan kawasan konservasi laut. Di sisi lain, penentu kebijakan dan stake holder yang terlibat juga dapat mempertimbangkan untung
ruginya pengelolaan Selat Lembeh di masa mendatang. Karena sebagai aset publik, maka penetapan kawasan konservasi juga memerlukan partisipasi publik
yang kemudian akan lebih mudah jika pertimbangan manfaat dan biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan aset publik tersebut juga disampaikan kepada
publik.
6 IMPLIKASI KEBIJAKAN MODEL KO-DI TERHADAP KONSERVASIWISATA – PERIKANAN
6.1 Potensi dan Manfaat Ekonomi Sumberdaya Pesisir Selat Lembeh
Dengan diketahuinya nilai ekonomi kawasan pesisir Selat Lembeh dari bab sebelumnya, maka potensi dan manfaat Selat Lembeh dapat dikelola berdasarkan
data yang telah dianalisa tersebut. Nilai ekonomi tersebut juga akan menjadi informasi yang penting bagi pemerintah kota Bitung dalam membuat suatu
keputusan dalam rangka perlindungan dan pemanfaatan kawasan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Sebagaimana diketahui bahwa sumberdaya kelautan yang dimiliki oleh Sulawesi Utara khususnya Kota Bitung sangat beragam baik jenis dan potensinya.
Daerah ini, dengan pelabuhan alamnya, melayani segala kebutuhan masyarakat mulai dari minyak sampai bahan makanan ke pulau-pulau kecil di sebelah utara
daratan Sulawesi Utara, dengan memanfaatkan Selat Lembeh sebagai tempat pelabuhan utamanya.
Perairan selat Lembeh sangat potensial dalam pengembangan berbagai bidang kegiatan seperti perikanan, pariwisata dan konservasi, industri skala kecil
menengah maupun skala besar yang ditunjang oleh adanya pelabuhan Samudera. Potensi sumberdaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sumberdaya yang
dapat diperbarui seperti sumberdaya perikanan dan berbagai jenis jasa lingkungan pesisir dan kelautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan yaitu
pariwisata bahari. Keduanya memiliki potensi dan peluang untuk dikembangkan di masa mendatang dan diharapkan dapat meningkatkan kontribusinya dalam
pembangunan nasional. Sekarang ini pun, selat Lembeh telah menjadi sangat populer di dunia
karena mengandung keanekaragaman biota yang tinggi dan telah menjadi perhatian besar bagi para petualang bawah air, fotografer maupun ilmuan. Di
samping itu, ajakan untuk melestarikan daerah ini telah berkembang di berbagai negara.
Dengan adanya berbagai kegiatan yang berlangsung di Selat Lembeh terutama untuk kepentingan perekonomian kota Bitung khususnya, dan Provinsi
Sulawesi Utara umumnya maka jika perairan ini tidak dikelola secara terpadu dan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek perlindungannya maka dapat
menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan di masa yang akan datang. Apabila ditinjau dari kondisi oseanografi, Selat Lembeh yang terletak antara
Kota Bitung dan Pulau Lembeh, mempunyai kondisi yang berbeda dengan pantai Timur Pulau Lembeh atau bagian-bagian lainnya dari semenanjung Sulawesi
Utara. Seperti diketahui bahwa Selat Lembeh secara umum lebih terlindung. Selat yang tidak terlalu lebar atau hanya memiliki lebar lebih kurang 2 km ini
mengalami pergantian massa air yang cukup lancar selama proses pasang surut. Dengan kondisi seperti demikian maka akan sangat membantu membersihkan
pencemaran di Selat Lembeh. Selain itu apabila dilihat dari kondisi biologis, selat ini memiliki ekosistem sebagaimana ekosistem yang dimiliki oleh wilayah pesisir
lainnya di daerah tropis yang dibangun oleh komponen-komponen seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun, payau, pasir dan batuan. Komponen
pelagis yang sangat dipengaruhi oleh Laut Sulawesi dan Laut Maluku atau pada umunya Laut Pasifik juga dimiliki oleh Selat Lembeh. Secara keseluruhan,
wilayah ini memiliki multi fungsi seperti penyediaan sumberdaya alam yang beraneka ragam tersebut dapat menjadi potensi yang bermanfaat bagi perikanan
tangkap dan budidaya perairan, penyediaan jasa-jasa pendukung kehidupan termasuk kenyamanan.
Dengan latar belakang seperti diuraikan di atas, maka pengelolaan di kawasan pesisir Selat Lembeh juga harus memperhatikan dinamika karakteristik
oseanografi, kondisi bio fisik daratan dan pesisir Kota Bitung dengan aktifitas sosial-ekonominya.
Pemanfaatan yang tidak baik terhadap salah satu komponen penyusun ekosistem pesisir tersebut dapat mengancam komponen lainnya. Oleh karena itu upaya
pengelolaan kawasan ini perlu adanya keterpaduan antara pengelolaan pesisir, laut dan daratan. Pengelolaan perlu dilakukan bersama-sama semua pihak terkait
antara pemerintah dan masyarakat. Sebenarnya, pengelolaan pesisir di kawasan pesisir Selat Lembeh
merupakan upaya implementasi dari kesepakatan Indonesia pada waktu penandatangan Konferensi Rio pada tahun 1992. Sejak saat itu pemerintah
Indonesia telah bekerjasama dengan pihak USAID untuk menerapkan kesepakatan tersebut. Sudah hampir sepuluh tahun terakhir telah dilakukan upaya-upaya
pengelolaan bersama masyarakat dan pendampingan masyarakat dengan pembuatan Daerah Perlindungan Laut atau DPL. Dengan memperhatikan kondisi
ruang pemanfaatan Selat Lembeh, maka strategi pengelolaan yang telah dilakukan oleh pemerintah setempat adalah pada kawasan pemanfaatan saat ini yaitu pada
kawasan budidaya maupun di dalam kawasan alami yang belum diperuntukan untuk pengembangan. Pengelolaan Pesisir Terpadu tersebut membutuhkan
adanya kawasan konservasi untuk melindungi keanekaragaman hayati yang ada di Selat Lembeh.
Pemerintah Kota Bitung merencanakan pengelolaan kawasan pesisir Selat Lembeh dibagi atas 3 tiga kawasan utama pengelolaan, yaitu :
1. Kawasan Budidaya, saat ini merupakan kawasan yang sedang berkembang dengan pengawasan oleh instansi sektoral pemerintah dimana antara lain
untuk kepentingan transportasi, komunikasi, industri, pemukiman penduduk, fasilitas umum masyarakat, pembuangan, pengelolaan limbah
dan sebagainya. Contoh dalam kawasan ini adalah kawasan ke pelabuhan Bitung, kawasan tradisional untuk penangkapan ikan dan kawasan wisata
pesisir Selat lembeh 2. Kawasan Lindung, seperti kawasan Cagar Alam Tengkoko dan kawasan
yang mempunyai potensi untuk Konservasi Laut di Selat Lembeh dan sekitarnya.
3. Kawasan Alami, merupakan kawasan untuk menopang kawasan-kawasan Budidaya dan Lindung termasuk KKL yang masih belum dimanfaatkan
untuk kepentingan pengembangan sosial dan ekonomi atau yang masih bersifat alami yang sebagian dari kawasan tersebut nantinya dapat
dijadikan sebagai kawasan cadangan yang dapat di manfaatkan, sebagai kawasan budidaya, maupun kawasan konservasi.
Selain itu, pengendalian dengan berbasis KKL ini dapat memberikan nilai tambah karena bukan saja manfaat ekonomi yang dapat diperoleh, namun juga manfaat
ekologi yang dalam jangka panjang akan pula memberikan tambahan manfaat
ekonomi bagi Selat Lembeh itu sendiri. Selain itu sebagai instrumen pengendalian, KKL dapat mencegah terjadinya over eksploitasi terhadap sumber
daya perikanan, sehingga dalam jangka panjang dampak overfishing dapat diminimalkan. Jika overfishing bisa dikurangi, bukan saja kesejahteraan nelayan
dapat ditingkatkan dengan meningkatnya return per vessel, namun lebih penting lagi adalah menurunnya biaya pengelolaan management cost karena kawasan
konservasi selain dapat menjadi sumber ekonomi, juga bisa bersifat self financing sehingga beban pemerintah daerah dalam hal biaya pengelolaan dapat dikurangi.
6.2 Implikasi bagi pengembangan wilayah