Bukti-Bukti Empiris Mengenai Manajemen Persediaan

diprediksi menyebabkan perusahaan dalam industri tanaman hias relatif sulit mengatur strategi terkait persediaan tanaman hias yang dijual.

2.2 Bukti-Bukti Empiris Mengenai Manajemen Persediaan

Manajemen persediaan pada umumnya dilakukan pada industri manufaktur. Trend permintaan relatif tidak mendominasi pada industri manufaktur. Hakim 2008, Kuraesin 2006, Kurniawan 2007, dan Halomoan 2008 menganalisis manajemen persediaan pada industri manufaktur. Mereka membandingkan biaya persediaan yang dilakukan oleh perusahaan atau biaya persediaan menurut metode perusahaan, dengan biaya persediaan menurut metode ideal. Hakim 2008 dan Kuraesin 2006 sama-sama menganalisis manajemen persediaan dengan menggunakan metode peramalan, dan metode EOQ di perusahaan yang berbeda,. Terdapat persamaan dan perbedaan model peramalan yang mereka gunakan. Hakim 2008 menggunakan metode peramalan dengan model Trend, model peramalan bergerak rata-rata sederhana simple moving average, model pemulusan eksponensial tunggal single exponential smoothing, model pemulusan eksponensial ganda Holt Holt Double Exponensial Smoothing, model dekomposisi dan ARIMA. Kuraesin 2006 menggunakan metode peramalan dengan menggunakan model Trend, simple moving average, single exponential smoothing dan Expcted Oppurtunity Loss. Kuraesin 2006 menemukan bahwa model pemulusan eksponensial tunggal merupakan model terbaik dalam metode peramalan permintaan yang diteliti, sedangkan model dekomposisi merupakan model terbaik dalam metode peramalan yang ditemukan oleh Hakim 2008. Model dekomposisi menjadi yang terbaik menurut Hakim 2008, karena data yang dimiliki oleh Hakim terdapat pengaruh musiman, kecenderungan, dan keteracakan, sedangkan model eksponensial merupakan model yang terbaik menurut Kuraesin 2006, karena data yang dimiliki oleh Kuraesin tidak menunjukkan kecenderungan atau trend dari waktu ke waktu dan dapat diasumsikan bahwa permintaan akan relatif stabil. Hakim 2008 menganalisis manajemen persediaan pasokan belimbing segar pada PT.Sewu Segar Nusantara SSN. Metode ideal yaitu metode peramalan yang dilakukan oleh Hakim 2008, bila dibandingkan dengan jumlah 9 pasokan yang diperoleh SSN metode perusahaan atau MP, menghasilkan adanya suatu selisih, dimana metode ideal menyarankan biaya persediaan yang lebih tinggi sebesar 40 persen daripada biaya persediaan metode perusahaan, sehingga menurut metode ideal, perusahaan perlu menambah pasokannya untuk memenuhi potensi permintaan konsumen, atau menghindari kehilangan penjualan stockout cost. Berbeda halnya dengan Hakim 2008 yang menemukan bahwa metode menyarankan jumlah yang lebih tinggi daripada metode perusahaan, Kuraesin 2006 menemukan sebaliknya pada persediaan kedelai pada CV. AS Jaya AJ. Biaya persediaan menurut metode ideal lebih rendah sebesar 39 persen daripada biaya persediaan menurut metode perusahaan. Dengan demikian bahwa terjadi penumpukan persediaan yang selama ini dilakukan AJ melalui metode perusahaan. Kurniawan 2008 dan Halomoan 2007 sama-sama menganalisis persediaan bahan baku dengan menggunakan metode MRP, teknik Lot for Lot LFL, dan EOQ di perusahaan yang berbeda. Perbedaan dalam alat analisis di antara keduanya adalah Kurniawan 2008 menggunakan pula POQ, sedangkan Halomoan 2007 menggunakan PPB. Kurniawan 2008 merekomendasikan kepada perusahaan dengan menggunakan MRP teknik POQ, sedangkan Halomoan 2007 menyimpulkan MRP dengan teknik LFL sebagai teknik yang dapat menghasilkan biaya persediaan terendah. Kelemahan MRP dengan teknik LFL yang dianalisis oleh Halomoan 2007 sulit untuk diterapkan oleh perusahaan karena jumlah permintaan yang berfluktuasi sementara waktu tunggu bahan baku adalah relatif lama, sehingga perusahaan tidak dapat memenuhi perubahan permintaan tersebut. Senada dengan Kuraesin 2006, Kurniawan 2008 dan Halomoan 2007 juga menemukan bahwa biaya persediaan menurut metode ideal lebih rendah daripada metode perusahaan. Kurniawan 2008 menemukan biaya persediaan menurut metode ideal lebih rendah sebesar 43 persen daripada biaya persediaan menurut metode perusahaan, sedangkan Halomoan 2008 menemukan biaya persediaan menurut ideal lebih rendah sebesar 60 persen daripada biaya persediaan menurut metode perusahaan. Senada dengan Kuraesin 2006, terjadi penumpukan persediaan juga pada perusahaan yang diteliti. 10 Namun, pada penelitian Halomoan 2008, bila metode ideal yang dijalankan, maka akan dihasilkan kerugian juga yaitu terjadi kehilangan penjualan atau stock out cost. Baik Kuraesin 2006, Halomoan 2007, Kurniawan 2008, dan Hakim 2008 sama-sama menemukan perbedaan biaya persediaan antara metode ideal dan metode perusahaan. Berdasarkan penelitian yang Kuraesin 2006, Halomoan 2007, Kurniawan 2008, dan Hakim 2008 lakukan terdapat dua tipe manajemen persediaan yang dilakukan oleh perusahaan. Hakim 2008 menemukan tipe manajemen yang pertama, yaitu dimana metode ideal menghasilkan biaya persediaan yang lebih tinggi sebesar 40 persen dibandingkan dengan biaya persediaan menurut metode perusahaan. Hal tersebut berarti bahwa perusahaan kehilangan penjualan. Tipe kedua adalah tipe yang ditemukan oleh Kuraesin 2006, Halomoan 2007, dan Kurniawan 2008, yaitu dimana metode ideal menghasilkan biaya persediaan lebih rendah sebesar 39-60 persen. Hal tersebut memiliki dua kemungkinan , yaitu bahwa perusahaan menumpuk persediaan menurut Kuraesin 2006, dan Kurniawan 2008, dan perusahaan kehilangan penjualan menurut Halomoan 2008. Range perbedaan antara metode ideal dan metode perusahaan yang ditemukan pada industri manufaktur sebesar 39-60 persen mengindikasikan kecenderungan bahwa dalam manajemen persediaan manufaktur pun relatif sulit dilakukan menurut metode ideal. 11 III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Manajemen Persediaan