Situasi Politik Faktor Eksternal

kualitatif baru, salah satunya adalah menentang kekuasaan kolonial yang mengontrol Timor Timur. 50 Secara unik Gereja telah melibatkan dirinya dalam masyarakat Timor Loro Sa’e. Pe. Martinho G. da Silva Gusmao, mengatakan dalam “SEARA 50 TAHUN” 51 Bahwa Gereja dan Masyarakat Timor Loro Sa’e: Sebuah Realitas Paradoksal. Pertama: Pada tingkat populis wajah Gereja dapat dilukiskan dengan sebuah kepentingan yang sangat menduniawi. Masyarakat Timor Loro Sa’e melihat Gereja sebagai sebuah institusi yang dengan gagah berani membela kepentingan rakyat. Kedua: Pada tingkat politik masyarakat Timor Loro Sa’e memperlakukan Gereja sebagai sebuah kekuatan oposisi lokal dalam politik tandingan. Banyak tokoh politik yang berusaha memakai “wibawa” Gereja untuk mencari dukungan politis. Ketiga: secara teologis muncullah perbedaan tajam antara kekatolikan yang doktrinal doctrinal Catholicism dan kekatolikan yang popular popular catholicism. Gereja Katolik di Timor Leste pada situasi politik sangat berperan penting dan aktif melibatkan diri untuk memperjuangkan nasib kaum kecil, karena Gerejalah satu-satuya sebagai tempat perlindungan rakyat. Gereja ini sebenarnya sangat tersembunyi dan belum banyak direfleksikan. Gereja dan gejolak di arus bawah itu akan sangat menentukan peran dan penilaian orang atas sikap Gereja Katolik di Timor Loro Sa’e. Konflik yang terjadi sebenarnya ialah pergolakan di kalangan elit politik, pro dan kontra di satu sisi dan sisi lainnya ialah pengorbanan penderitaan di kalangan rakyat kecil. Di antara kedua konflik itulah Gereja harus menentukan sikap. Dan Gereja telah menyatakan diri dan membentuk aliansi dengan rakyat 50 . John G. Taylor “PERANG TERSEMBUNYI” Sejarah Timor Timur yang Dilupakan, Forum Solidaritas untuk Rakyat Timor-Timur. Jakarta. tahun 1998. hlm. 271- 275. 51 . SEARA Boletim Eclesiastico da Diacese de Dili Timor oriental 50 Tahun 1949- 1999 AA. No. Ex.1. +87.12.05. him. 43-48. kecil. Sikap Gereja sebagaimana dirumuskan oleh Uskup Belo ialah menjadi suara dari kaum yang tak bersuara” voice of voiceless people of East Timor. Gereja memainkan peran yang sangat besar. Kebutuhan terhadap pimpinan Gereja sering digambarkan sama kuatnya untuk menyatakannya tidak lebih besar dengan kepatuhan terhadap pimpinan adatsuku maupun terhadap birokrat pemerintah. 52 Pada September 1978, Dom Martinho da Costa Lopes, saat itu Administrador Apostolik Dili, juga berhasil mengirimkan pesannya ke dunia luar, terutama yang mengungkapkan bahwa sebab-sebab kelaparan itu terkait erat dengan upaya kejam Indonesia untuk mengendalikan dan memindahkan penduduk. Tetapi dimulai pada periode 1979-1980 laporan-laporan yang mengerikan sampai di dunia luar Gereja dan sumber-sumber lain tentang pembantaian-pembantaian terhadap para pendukung Fretilin di tempat-tempat seperti pelabuhan Dili, pantai Areia Branca, dan Quelicai. Yang palin terkenal adalah pembantaian penduduk sipil di desa Kraras dekat Viqueque pada bulan Agustus 1983. 53 Peranan Uskup Belo di masa perjuangan Timor Loro Sa’e, sangat berpengaruh baik dalam Gereja Katolik maupun politik. Jiwa kepemimpinan yang sangat menonjol di Gereja Katolik Timor. Rakyat sangat mempercayainya dan menggambarkan sebagai tokoh pejuang yang tanpa pamrih. Pada tahun 1990, satu tahun sesudah kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Dili, uskup Belo pergi ke Roma untuk kunjungan “ad limina”, suatu kunjungan ke Vatikan yang tiap lima tahun harus dilakukan oleh semua Uskup seluruh dunia. Ia pergi ke Vatikan, tetapi tidak diterima. Selama lebih dari dua minggu mereka membiarkan dia menunggu di kamar tunggu. Akhirnya ia dapat bertemu dengan Paus Yohanes Paus II sendiri, yang waktu itu 52 . Zacky Anwar Makarin, dkk “Hari-Hari Terakhir Timor-Timur Sebuah Kesaksian” PT. Enka Parahiyangan. Jakarta. tahun 2003. hlm. 94. 53 . Geoffrey C. Gunn “500 Tahun Timor Loro Sa’e” Sa’he Institute for Liberation SIL Farol, Dili Timor Leste. Tahun 2005. hlm. 446. tidak ada di Vatikan tetapi di suatu tempat lain di luar kota Roma. Kepada Paus Uskup Belo dapat menceritakan segala kejadian yang terjadi di Timor. 54

3.3. Kaum Awam dan Peranannya

Pengertian awam berarti biasa, bukan klerus atau biarawan. Awam berarti orang yang tidak termasuk golongan khusus atau istimewa. Konsili Suci beberapa kali berbicara mengenai awam tetapi tidak memberi pengertian yang pasti tentang awam. “Peranan Kaum Awam dalam hidup Gereja” Joao Manuel Belo, S.Ag Dosen IPI-Filial Sto. Tomas Aquinas, Dili. 55 Kaum awam juga mempunyai peranan penting dalam pelayanan baik dalam Gereja maupun diluar Gereja. Orang-orang awam, agar mampu hidup menurut ajaran kristiani dan mewartakannya sendiri dan, jika perlu, dapat membelanya, lagi pula agar dapat menjalankan peranannya dalam merasul, terikat kewajiban dan mempunyai hak untuk memperoleh pengetahuan tentang ajaran itu, yang disesuaikan dengan kemampuan serta kedudukan masing-masing. Kan. 229. Kitab Hukum Kanonik yang menjelaskan peranan kaum awam yang hidup menurut ajaran Kristiani dan mewartakannya.

4. Perkembangan Sistem Pendidikan Di Timor

Sekolah Liceu pertama di buka di Dili tahun 1952. Seminario menengah sebagai Liceu dibuka pada tahun 1954. Sekolah-sekolah Dasar sebagai persiapan untuk masuk ke Liceu dibuka oleh pemerintah sekitar tahun 1962 di Dili, Bobonaro, Baucau, dan pantai Makasar. Jumlah siswa yang terdaftar di Liceu pada tahun 1966-1967 itu 833. Apa yang diharapkan oleh para siswa di Liceu ialah supaya mereka nanti dapat meneruskan studi mereka di Lisboa. Tetapi hanya sedikit yang dapat mencapai hal itu. Apalagi lulusan di Universitas Lisboa itu tidak berarti bahwa mereka lalu dapat kembali ke Timor Loro Sa’e dan 54 . Albert Rutten, “Curso da Historia de Timor Leste” tanpa penerbit tahun 2006. hlm. 66. 55 . SEARA Boletim Eclesiastico da Diocese de Dili Timor oriental 50 Tahun 1949- 1999 AA. No. 759. Ex.1. +87.12.05. hlm. 54. bekerja disana. Yang dikirim ke Timor Loro Sa’e itu orang-orang dari Afrika dari Goa atau Macao. Lulusan dari Lisboa yang berasal dari Timor dikirim ke Angola atau Mozambique. 56 Usaha Gereja untuk memperkenalkan pendidikan di Timor Loro Sa’e itu lebih kuat daripada usaha pemerintah. Yang sebelum 1962, membuka sekolah di pegunungan di Timor Loro Sa’e itu hanya Gereja saja. Menjelang penyerangan Indonesia pada tahun 1975, Gereja sudah menjalankan 57 eskolah primaria tingkat sekolah dasar, dan satu eskola segundaria satu sekolah SMA dan ada dua seminario menengah yang tingkatannya sama dengan Liceu. Sebagian dari pemimpin-pemimpin pertama dari Partido Fretilin Partai Fretilin lulusan seminario di Dare, termasuk Presiden Fretilin yang pertama yang lulusan seminario tinggi di Macao. Bagaimanapun juga pada tahun 1974 masih ada 90 dari rakyat yang tidak mempunyai kebiasaan membaca-menulis. Dari jumlah orang muda yang umurnya sudah cukup untuk bersekolah itu pada tahun 1970-1971 hanya 28 yang jadi masuk sekolah. Tetapi tiga tahun kemudian jumlah itu sudah bertambah betul-betul menjadi 77 . Jadi dalam tahun ketujuh puluhan keinginan untuk berkembang itu menjadi kuat sekali.

4.1. Usaha Indonesia di Bidang Pendidikan

Proses serupa juga berlangsung dalam sistem pendidikan. Sampai kudeta pada 25 April 1974, kira-kira 93 persen orang Timor Loro Sa’e masih buta huruf. Dalam proses dekolonisasi, Fretilin telah berkomitmen untuk memberantas buta huruf. Termasuk dalam program ASDT dan Fretilin. Tetapi persiapan program baru dimulai sekitar pertengahan tahun 1974; bahan-bahan untuk membuat buku panduan belajar membaca dalam bahasa tetum dikumpulkan. Bahasa tetum adalah salah satu bahasa Timor yang paling dikenal, dan 56 . Albert Rutten, “Curso da Historia de Timor Leste” tanpa penerbit tahun 2006. hlm. 45-46.