pedesaan terutaman anak-anak, karena banyak anak yang masih terlantar tidak bersekolah dan kurang diperhatikan oleh ibu, berkeliaran diluar rumah sepanjang hari.
Banyak ibu-ibu yang menikah dengan umur yang sangat muda dan kebanyakan buta huruf, dan orangnya sederhana dan polos. Mempunyai banyak anak tetapi tidak tahu
cara mendidik dan merawat anak-anak. Kesehatan anak yang tidak terawat atau kurang perhatian, kurang gizi dan hanya makan sekali sehari. Orang sakit hanya tinggal pasrah
begitu saja.
108
Maka ISMAIK dengan tujuan mendirikan asrama di pedesaan yang terpencil ini untuk mendampingi dan mengarahkan anak-anak baik rohani maupun humanis. Pengetahuan
yang dikembangkan untuk mengembangkan pribadi anak-anak sebagai pengetahuan dasar. Pendampingan belajar, kerja, ketrampilan dan dengan berbagai variasi untuk mengali potensi
anak. Selain asrama, pendampingan iman umat dengan berbagai macam pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan situasi masyarakat yang dilayani.
6. Uma Bibi Diak Loes
Misi perutusan pertama ke Loes adalah kedua saudara ini, maun Carlos Mendonca dan maun Joaquim Soares. Perutusan pada tanggal 10 November 1998, ke paroki
Liquica, sub-distrito kecamatan Maubara di salah satu kapela Desa Vatu BoroLoes. Dengan luas wilayah paroki Liqueca 548.1 dan jumlah umat Katolik 40542, dengan
komunitas yang berkarya di wilayah Liqueca: PRR, Ordo Carmelita dan ISMAIK di Loes. Selama setahun tinggal diresidensi kapela Rai Meda Loes. Dengan tujuan hanya hadir
ditengah mereka sebagai garam dan terang. Keduanya hanya sendiri tinggal di residensia kapela Rai-Meda, dan hal pertama yang dilakukan kunjungan keluarga, berdaptasi dengan
lingkungan dan bahasa, karena bahasanya Tokodede sedangkan keduanya ini bahasanya
108
. Diambil dari tulisan Pendiri “Praktek Pelayanan Pastoral” tanpa penerbit tahun 1994. hlm. 8-9.
Mambae. Oleh sebab itu, keduanya harus berusaha untuk belajar bahasanya baru bisa berinteraksi dengan masyarakat.
Kerusuhan Timor dengan Indonesia pada tahun 1999, keduanya bersama umat di Loes ikut mengungsi ke Timor Barat, tepatnya tanggal 20 September 1999 sampai 20 Januari
2000, baru kembali lagi ke Timor Leste. Selama kurang lebih tujuh bulan keduanya tinggal di pusat Dare untuk memperdalam spiritualitas Institut. Pada tanggal 16 September 2000, baru
kembali lagi ke Loes untuk memulai lagi dengan misi yang ditinggalkan itu
109
. Di Liquica terkenal dengan Besi Merah Putih BMP, Besi Merah Putih ini tangan kanan para Militer
Indonesia, mereka ini sangatlah kejam. Salah satu insiden kekerasan yang paling awal dan paling mengejutkan di tahun 1999
adalah pembantaian terhadap sebanyak 60 orang pengungsi di Gereja Katolik di Kota Liquica pada tanggal 6 April. Serangan itu juga memberikan beberapa bukti terkuat
tentang hubungan erat antara milisi dan pihak berwenang militer dan sipil. Pembantaian di Gereja Liquica terjadi dengan latar belakang meningkatnya kekerasan
milisi di kabupaten ini.
110
Terjadi serangan itu puluhan rumah dibakar dan dihancurkan oleh milisi, inilah kekerasan yang dilakukan dan terjadi ketika Timor ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Pembakaran atau penghancuran gedung-gedung, kekerasan yang lain juga merambat kemana-mana. Dari situlah Institut ditantang dengan situasi aktual. Maka Institut Sekular
“Maun Alin Iha Kristu” mulai berggerak, untuk menolong dan mendampingi para pengungsi yang dari desa harus mengungsi ke kota Liquica, karena Gereja sudah ditinggalkan oleh
Pastor paroki, dan kongregasi-kongregasi yang berkarya di paroki Liquica. Melihat bahwa di Loes sangat membutuhkan mengembangkan pelayanan di
pedesaan Vatu BoroLoes. Maka tepat pada tanggal 16 September 2000, keduanya kembali
109
. Wawancara dengan Bruder Carlos Mendonca, tanggal 21 Desember 2011. di rumah Dare, Dili Timor Leste.
110
. Geoffrey Robinson “Timor-Timur, Kejahatan Terhadap umat manusia” Perkumpulan Hak dan ELSAM, Dili dan Jakarta, juli 2003. hlm. 183.
lagi untuk berkarya. Mulai lagi dari awal pastoral kunjungan ke rumah-rumah warga melihat bahwa sangat sulit berkomunikasi dengan mereka karena tidak tahu berbahasa tetun sebagai
yang digunakan dikalangan umum. Para orang tua dan anak-anak tidak tahu bahasa Tetun maka sulit sekali untuk berkomunikasi. Namun tetap mencoba dengan penerjema dari bahasa
ibu ke bahasa Tetun. Sangat memprihatinkan masa depan anak-anak di dunia pendidikan, bagaimana selanjutnya ketika melanjutkan ke tingkat SMP, SMA dan penguruan Tinggi.
Perlu diperhatikan mulai dari tingkat sekolah dasar, karena merekalah generasi penerus bangsa, dalam sharingnya maun Carlos. Meskipun sesulit apapun kita harus mencoba dan
memperjuangkan dulu, jangan menyerah dalam hal pendampingan anak-anak baik lewat asrama terbuka maupun dalam pembinaan yang diadakan setiap hari minggu. Gembala baik
harus tahu mengembalakan domba-dombanya agar tidak tersesat.
111
Maka mengingat bahwa anak-anak yang pada usia sekolah hanya menggunakan bahasa ibu dan mempersulitkan masa depan dan sulit untuk berkomunikasi dengan guru-guru.
Maka pada tanggal 19 Januari 2001, diputuskan bersama dalam komunitas untuk asrama terbuka. Dengan pendekatan pastoral sudah tahu bahwa perlu membutuhkan tempat untuk
mendidik anak-anak di usia pendidikan. Maka Pendiri mengutus seorang calon lagi yaitu Filomena, menjadi tiga orang di Loes untuk memulai asrama terbuka.
Tepat pada bulan Januari tahun 2001, diutus untuk mengadakan pertemuan dengan orang tua dan kerjasama dalam mendidik anak-anak. Asrama ini dibuka untuk semua
golongan, dengan program selama sebulan ada empat minggu, dan dibagi empat kelompok karena banyak jumlahnya. Satu kelompok terdiri dari tiga puluh lima orang murid dan kadang
lebih dari jumlah itu. Selama seminggu mereka tinggal di asrama dan dengan berbagai cara untuk mendidik mereka, pendalaman bidang rohani, tingkatkan waktu belajar, rekreasi, kerja
111
. Majalah Misi Rosario, edisi IV tahun I Oktober-Desember 2012. Gembala yang baik menyerahkan nyawa bagi Domba-dombanya, susteran PRR St. Fransiskus Asisi
Depok Jawa-Barat tahun. 2012. hlm. 3.