44
2.8. Studi Empiris Degradasi Taman Nasional dan Kawasan Lindung
Hasil penelitian Sernell 1996 menunjukkan bahwa perubahan tutupan hutan di kawasan lindung Serengeti Mara Ecosystem SME Tanzania terkait
dengan terbentuknya pemukiman permanen dan pertanian subsisten akibat tidak praktisnya pertanian mekanis skala besar. Areal SME ini selama 20 tahun terakhir
telah kehilangan 75 atau sekitar 30 ribu hewan liar, dan hal ini berkaitan dengan kehilangan areal penggembalaan musim basah, sedangkan di Loita Plains akibat
pembangunan pertanian hanya berpengaruh pada areal penggembalaan musim kering. Pada kawasan lindung Dzangha-Sangha Afrika Tengah masalah
konservasi yang dihadapi antara lain peningkatan populasi population increase, pertambangan berlian diamond mining, pembalakan kayu yang non-sustainable
unsustainable logging dan perburuan hewan liar poaching serta aktivitas pembiayan proyek yang tidak berkelanjutan unsustaniable financing of project
activities Sernell, 1996. Kerusakan taman nasional di Indonesia yang kaya akan berbagai plasma
nuftah spesifik diakibatkan oleh kurangnya koordinasi antara berbagai instansi atau lembaga terkait, penegakan hukum law enforcement yang lemah serta
rendahnya kesadaran masyarakat WFC ,1997. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 memperparah keberadaan Taman Nasional dan kawasan hutan lindung
lainnya berupa timbulnya konflik pemanfaatan hutan antara masyarakat dan pengelola Taman Nasional. Beberapa contoh konflik yang terjadi pada tahun 1998
berdasarkan Newman et al. 1999 dalam FWIGWF 2001 seperti pada Taman
45
Nasional Lore Lidu di Sulawesi Tengah dan Taman Nasional Kutai di Kalimantan Timur dimana penduduk lokal telah mengambil alih ribuan hektar untuk menanam
tanaman keras dan menebang kayu, pembalakan illegal yang terorganisir di Taman Nasional Gunung Leuser Aceh dan Taman Nasional Tanjung Puting
Kalimantan Tengah dan pada berbagai kawasan lain. Hampir separuh taman nasional yang terdapat di tanah air saat ini
kondisinya mengalami kerusakan antara lain akibat kegiatan perambahan hutan, penggalian tambang C, dan pertambangan emas rakyat dan bahkan dua taman
nasional di Kalimantan yakni Taman Nasional Kutai dan Tanjung Puting mengalami kerusakan parah Sunaryo, 2003 dalam EIA, 2000. Hasil identifikasi
ICDP 2002 kerusakan Taman Nasional Kerinci Seblat antara lain disebabkan oleh pembukaan hutan dan perambahan, penebangan hutan secara ilegal,
pengumpulan hasil hutan, dan perkebunan, pembangunan jalan, keterbatasan sumberdaya untuk pengelolaan dan ketidakjelasan tapal batas dan pertambangan
serta rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat. Pembukaan pertambangan emas merupakan ancaman terbesar terhadap Taman Nasional Meru Betiri yang
merupakan kawasan konservasi yang memiliki fungsi besar dalam menyumbang aset ekologi guna keseimbangan paru-paru dunia FWIGFW, 2001. Suatu
eksplorasi dan eksploitasi suatu pertambangan khususnya tambang emas, tidak hanya sekedar dilihat dari segi ekonomi, akan tetapi harus dilihat secara global
multi diplisiner science baik dari manfaat jangka pendek maupun panjang.
46
Menurut ICDP 2002, lebih dari 80 penduduk yang tinggal di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS merupakan petani tradisional terutama
yang mengusahakan lahan tanaman tua seperti kopi, kulit manis, kelapa sawit, cengkeh dan karet. Aktifitas pertanian ini menjadi faktor penyebab utama
terjadinya konversi kawasan hutan dalam TNKS menjadi kawasan non-hutan. Perubahan tutupan hutan yang berlangsung terus menerus merupakan akibat
adanya aktifitas seperti perambahan liar, pertambangan rakyat, dan “land clearing”. Data Balai TNKS menunjukkan selama kurun waktu 1994 – 2002 luas
tutupan hutan dalam TNKS berkurang dari 1.27 juta Ha menjadi 1.25 juta Ha atau mengalami degradasi seluas 26.043 ribu Ha 2.04. Tata batas taman nasional
yang tidak jelas, dan adanya aktivitas berbagai perambahan baik yang dilakukan masyarakat maupun pemegang HPH, serta proses land-clearing yang dilakukan
melalui pembakaran hutan juga menjadi faktor pendorong terjadinya degradasi hutan ICDP, 2002. Harga input yang tinggi dan daya beli masyarakat yang
menurun mendorong terjadinya pembakaran hutan sebagai alternatif pembukaan lahan yang lebih murah. Hal ini tidak hanya dilakukan masyarakat tetapi juga oleh
perusahaan perkebunan dan adanya sanksi yang tidak jelas menyebabkan proses ini tetap berlangsung sampai sekarang.
Pada tahun 2001 Menteri Kehutanan meminta kepada Menteri Pertambangan dan Energi agar dilakukan pembatalan terhadap kontrak ataupun
ijin yang telah dikeluarkan atas 24 perusahaan pertambangan yang arealnya tumpang tindih dengan areal TNKS seperti CV. Mineral Perd, PT Newcrest, PT
Newmont dan PT. Sariagrindo Andalas. Perusahaan yang disebut terakhir
47
merupakan perusahaan pertambangan yang berlokasi di Kabupaten Pesisir Selatan Propinsi Sumatera Barat dan pada kenyataannya mempunyai tumpang tindih
dengan TNKS seluas 137 Ha ICDP, 2002. Selanjutnya tahun 2002 Menteri Kehutanan juga meminta kepada Gubernur Sumbar dan Jambi untuk
menghentikan sementara aktivitas penebangan berjarak 3 km dari batas kawasan TNKS pada 4 areal hutan konsesi HPH, yaitu PT. Duta Maju Timber, PT.
Serestra II, PT. Nusalease Timber dan PT. Rimba Karya Indah.
III. KERANGKA PEMIKIRAN