Karakteristik Habitat Udang Putih

Hasil analisis juga menggambarkan bahwa Stasiun 1, 2, 3, pada lokasi penelitian telah mengalami degradasi yang lebih tinggi dibanding stasiun 4, 5, dan 6 yang ditunjukkan dengan rendahnya kerapatan mangrove pada ketiga stasiun tersebut, sehingga perlu dilakukan upaya rehabilitasi hutan mangrove sebagai salah satu habitat udang putih berupa penanaman mangrove pada keempat stasiun tersebut.

4.4 Karakteristik Habitat Udang Putih

Karakteristik habitat udang putih berdasarkan variasi parameter biofisik kimia lingkungan pada tiap stasiun, juga dianalisa dengan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada analisis komponen utama principal component analysis , PCA. Parameter fisik kimia lingkungan yang terdiri atas suhu air, kecerahan air, kecepatan arus, kedalaman perairan, oksigen terlarut, salinitas air, salinitas substrat, pH air, NO 3 , PO 4 , dan fraksi substrat ditempatkan sebagai variabel statistik aktif; stasiun penelitian sebagai individu statistik; parameter biologi yang terdiri atas kerapatan mangrove, produksi serasah, laju dekomposisi serasah, kelimpahan plankton, dan kelimpahan makrozoobentos ditempatkan sebagai variabel statistik tambahan additional variable. Hasil analisis komponen utama terhadap parameter biofisik kimia lingkungan pada matriks korelasi menunjukkan informasi penting yang menggambarkan korelasi antar parameter terpusat pada dua sumbu utama F1 dan F2. Kualitas informasi yang disajikan oleh kedua sumbu masing-masing sebesar 76,27 dan 17,62 Gambar 20, sehingga ragam karakteristik habitat udang putih menurut stasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik kimia lingkungan dapat dijelaskan melalui dua sumbu utama sebesar 93,89 dari ragam total. Diagram lingkaran korelasi parameter biofisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan 2 Gambar 19, menunjukkan parameter suhu air, pH air, kecerahan, salinitas air, salinitas substrat, pasir, dan kedalaman mempunyai kontribusi yang besar dalam pembentukan sumbu 1 F1 positif, sedangkan NO 3 , PO 4 , substrat lumpur, liat, kecepatan arus, dan oksigen terlarut mempunyai kontribusi yang besar dalam pembentukan sumbu 1 F1 negatif. Parameter kerapatan mangrove, produksi serasah, laju dekomposisi serasah, kelimpahan plankton, dan kelimpahan makrozoobentos mempunyai kontribusi yang besar dalam pembentukan sumbu 2 F2 positif. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa variabel suhu air berkorelasi positif dengan pH air, kecerahan, salinitas air, salinitas substrat, serasah, pasir, dan kedalaman, tetapi berkorelasi negatif dengan kecepatan arus, oksigen terlarut, NO 3 , PO 4 , substrat liat, dan lumpur. Variabel kerapatan mangrove berkorelasi positif dengan produksi serasah, dekomposisi serasah, kelimpahan plankton dan makrozoobentos. Gambar 19 Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan sumbu 2. Mangrove Mgrv, kecerahan Kcr, salinitas air Sal A, salinitas substrat Sal S, kedalaman Ked, oksigen terlarut DO, nitrat NO 3 fosfat PO 4 , kecepatan arus Kec A, makrozoobentos Bts, plankton Plnkton, dekomposisi serasah Dek srsh, produksi serasah Prod srsh. Diagram sebaran stasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan 2 Gambar 20 membentuk 3 kelompok individu stasiun, yang masing-masing memiliki karakteristik biofisik kimia berbeda. Kelompok individu I pertama yang terdiri atas Stasiun 1, 2, dan 3 dicirikan oleh kandungan oksigen terlarut, NO 3 , PO 4 , kecepatan arus, substrat lumpur, dan liat tinggi. Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme perairan. Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek Sh Kcr Kec A Ked DO S A S S pH NO 3 PO 4 Mgrv Prod srsh Dek srsh Plkton Bts Psr Liat Lpr -1 -0.75 -0.5 -0.25 0.25 0.5 0.75 1 -1 -0.75 -0.5 -0.25 0.25 0.5 0.75 1 F 2 17 ,62 F1 76,27 Variables axes F1 and F2: 93,89 langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan termasuk udang putih. Boyd 1995 menyatakan kandungan oksigen terlarut yang terlalu tinggi dalam perairan dapat mempercepat reaksi kimia bahan-bahan bersifat toksik yang dapat membahayakan kehidupan udang putih. Gambar 20 Diagram representasi sebaran stasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan 2. Kelompok individu II kedua yang terdiri atas Stasiun 4 dan 5 dicirikan oleh kerapatan mangrove, produksi serasah, dekomposisi serasah, kelimpahan plankton, dan makrozoobentos yang tinggi. Tingginya produksi serasah pada stasiun 4 dan 5 selain disebabkan oleh tingginya kerapatan mangrove juga kondisi salinitasnya yang relatif tinggi sehingga tumbuhan mangrove akan selalu menggugurkan daunnya yang tua dan membentuk daun baru sebagai proses adaptasi terhadap kondisi salinitas yang tinggi. Kusmana et al. 2005 menyatakan tumbuhan mangrove akan selalu menggugurkan daunnya dan memproduksi daun baru sebagai adaptasi dari salinitas yang tinggi akibat fluktuasi pasang surut air laut. Pada kedua stasiun ini juga dijumpai kelimpahan plankton dan makrozoobentos yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan tingginya laju dekomposisi serasah pada stasiun ini. Serasah yang terdekomposisi akan menghasilkan detritus yang selanjutnya dimanfaatkan oleh fitoplankton dalam St1 St2 St3 St4 St5 St6 Sh Kcr Kec A Ked DO S A S S pH NO3 PO 4 Mgrv Prod srsh Dek srsh Plkton Bts Psr Liat Lpr -15 -10 -5 5 10 15 -15 -10 -5 5 10 15 20 25 F2 17,62 F1 76,27 Biplot axes F1 and F2: 93,89 melakukan fotositesis fiksasi karbon. Fitoplankton akan dimanfaatkan oleh zooplankton sebagai konsumen primer, yang selanjutnya dimanfaatkan makrozoobentos sebagai sumber pakan alami. Kelompok individu III ketiga terdiri atas Stasiun 6 dicirikan oleh kecerahan air, suhu air, kedalaman air, salinitas air, salinitas substrat, pH, dan substrat pasir yang tinggi. Hasil analisis juga menggambarkan bahwa Stasiun 1, 2, 3, pada lokasi penelitian telah mengalami degradasi yang lebih tinggi dibanding stasiun 4, 5, dan 6 yang ditunjukkan dengan rendahnya kerapatan mangrove pada ketiga stasiun tersebut Lampiran 1. 4.5 Kelimpahan Udang Putih 4.5.1 Kelimpahan Individu