Rendahnya kualitas kopi Lampung Barat Panjangnya rantai tataniaga antara petani kopi

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMD sebagai penjabaran dari Visi, Misi Kepala Daerah yang penyusunannya mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. RPJMD diperlukan sebagai penjabaran sasaran-sasaran pokok pembangunan yang harus dicapai, arah kebijakan, program-program pembangunan dan kegiatan pokok pembangunan. Sejalan dengan hal di atas, maka Kabupaten Lampung Barat sebagai daerah otonom, telah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMD. Dokumen RPJMD Kabupaten Lampung Barat, RPJMD disusun berdasarkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan amanat Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJM Nasional Tahun 2005- 2009. Dengan adanya keterkaitan dengan perencanaan yang lebih tinggi, akan mempermudah pengembangan pembiayaan bersama dengan pemerintah provinsi dan pusat untuk program-program yang akan dilakukan. RPJMD ini memuat arah kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilaksanakan di Kabupaten Lampung Barat, dimana program-program yang diusulkan diharapkan dapat dibiayai oleh APBD dan sumber – sumber dana yang lain dapat diperoleh misalnya dari APBN dan atau sektor swasta. RPJMD Kabupaten Lampung Barat 2007-2012 merupakan pedoman, landasan, dan refrensi didalam mengembangkan potensi unggulan daerah. Dengan demikian, komoditas kopi sebagai potensi unggulan daerah pada sub sektor perkebunan saat ini, sudah merupakan suatu keharusan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat untu menetapkan kebijakan tentang pengembangan komoditas kopi. Melalui kebijakan tersebut dihapkan mampu meningkatkan perekonomian petani kopi serta berpengaruh juga dengan perekonomian masyarakat pada sektor-sektor lain yang ada di Kabupaten Lampung Barat.

7.1.1.2 Kelemahan

Beberapa faktor yang menjadi kelemahan dalam pengembangan komodiyas kopi di Kabupaten Lampung Barat antara lain :

1. Rendahnya kualitas kopi Lampung Barat

Rendahnya kualitas kopi di Kabupaten Lampung Barat selama ini disebabkan karena tata cara petani dari mulai panen, penjemuran sampai menjadi kopi biji asalan masih bersifat tradisional atau belum memenuhi standar kualitas ekspor sebab kualitas kopi Lampung Barat sebagian besar masih berada pada grade VI dan non grade pada tingkat pemasaran, sehingga menyebabkan harga produk kopi biji asalan yang diterima oleh petani rendah.

2. Panjangnya rantai tataniaga antara petani kopi

Rantai tataniaga pada petani kopi di Kabupaten Lampung Barat sangat panjang prosesnya untuk sampai ke pihak eksportir. Dalam menjual kopi biji petani tidak berhubungan langsung dengan eksportir melainkan harus melalui pedagang perantara yaitu : a Pedagang perantara kecil yang secara langsung turun ke perkebunan kopi untuk membeli kopi dari petani b Pedagang perantara kecil yang membuka kios atau turun ke pasar-pasar kalangan tradisonal, dimana pedagang tersebut pindah setiap hari c Pedagang perantara besar, pedagang ini sudah memiliki fasilitas seperti gudang besar, alat angkut, tenaga kerja dll. Pedagang besar tersebut yang langsung menjual hasil kopi biji yang telah dikumpulkannya ke pihak eksportir. Rantai tataniaga seperti ini dipakai petani karena terdesak oleh kebutuhanbyang mendesak serta adanya tawaran harga yang lebih tinggi di tingkat pembeli. Alasan-alasan lain yang menyebabkan para petani lebih memilih hasil panennya dijual pada pihak pedagang perantara. Antara lain karena : para petani kopi akan lebih mudah mendapatkan uang tunai dari pedagang perantara dengan harga disesuiakan dengan kualitas kopi per kg, petani kopi juga biasanya sebelum musim panen kopi tiba telah meminjam sejumlah uang untuk kebutuhan yang mendesak. Selain itu, petani kopi dengan pedagang perantara memang sudah langganan sejak lama sehingga sulit bagi petani untuk memutuskan hubungan jual beli. Dengan demikian, bagi para petani peranan pedagang perantara sangatlah dibutuhkan kehadirannya. Karena dengan adanya pedagang perantara justru sangat membantu perekonomian mereka para petani kopi, terlebih mereka banyak bermukim di gubuk-gubuk perkebunan kopi yang jauh dari akses masyarakat perkotaan.

3. Teknik budidaya kopi masih bersifat tradisional