Strategi Konflik Kognitif dalam Pembelajaran Matematika
skema schemata. ”
27
Lebih lengkap lagi Jeane mendefinisikan bahwa “skema schemes merupakan kumpulan tindakan dan pikiran yang serupa,
yang digunakan secara berulang dalam rangka merespon lingkungan. ”
28
Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Pada
awalnya skema-skema tersebut bersifat motorik, namun seiring berlalunya waktu menjadi lebih bersifat mental, dan akhirnya abstrak. Skemata ini
dimodifikasi terus-menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya pengalaman, sehingga menjadi terintegrasi satu sama lain. Skemata
tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran anak
tersebut. Proses adaptasi dengan lingkungannya ini dilakukan dengan dua cara,
yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk.
Sedangkan akomodasi adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung. Hal ini terjadi
karena stimulus baru tidak dapat diasimilasi, kerena tidak ada skema yang sesuai yang telah dimilikinya. Pada proses akomodasi, skema yang ada
memodifikasi diri atau menciptakan skema baru sehingga sesuai dengan stimulus baru itu. Setelah itu asimilasi berlangsung kembali. Dengan
demikian proses asimilasi tidak menghasilkan perubahan skema, melainkan hanya menunjang pertumbuhan skemata secara kuantitas.
Sedangkan pada akomodasi menghasilkan perubahan skemata secara kualitas.
Misalnya, bagi seseorang yang sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses
pegintegrasian antara prinsip penjumlahan yang sudah ada di benak
27
Erman Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Bandung: JICA- Universitas Pedidikan Indonesia UPI, 2001, h. 38.
28
Jeane Ellis Ormrod, Buku Edisi Keenam Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Terj. dari Sixth Edition Educational Psychology Developing Learners oleh
Wahyu Indianti, Eva Septiana, dkk, Jakarta: Erlangga, 2008, Jilid 1, h. 41.
siswa dengan prinsip perkalian sebagai informasi baru inilah yang disebut proses asimilasi. Jika seseorang diberi sebuah soal perkalian,
maka situasi ini disebut akomodasi, yang dalam hal ini berarti pemakaian aplikasi prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru
dan spesifik.
29
Jika asimilasi dan akomodasi terjadi secara bebas tanpa konflik, maka dikatakan bahwa struktur kognitif berada dalam keadaan ekuilibrium
dengan lingkungannya. Namun sebaliknya, jika asimilasi dan akomodasi tidak terjadi secara bebas konflik maka dikatakan bahwa struktur kognitif
berada dalam keadaan disekuilibrium dengan lingkungannya atau ketidakseimbangan antara apa yang dipahami dengan apa yang ditemukan.
Keadaan disekuilibrium ini mungkin saja dialami oleh siswa karena situasi masalah yang sepenuhnya tidak dapat ditangani dengan skema
yang ada. Hal ini terjadi karena siswa kekurangan data sehingga informasi yang didapat tidak cocok dengan pengetahuan atau struktur kognitif
schemata yang dimiliki, sehingga informasi yang ada tidak dapat diasimilasi, akibatnya proses akomodasipun tidak terjadi terhadap
informasi tersebut.
30
Pada dasarnya siswa mencoba untuk mengurangi ketidakseimbangan dengan fokus pada stimulus yang menyebabkan disekuilibrium dan
kemudian mengembangkan skema baru atau menyesuaikan skema lama hingga
ekuilibrium pulih kembali. Proses pemulihan keseimbangan ini disebut ekuilibrasi. Menurut Piaget, pembelajaran
bergantung pada proses ekuilibrasi ini. Ketika ekuilibrium terganggu, anak-anak mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.
Pada akhirnya, secara kualitatif muncul cara baru untuk berpikir menyelesaikan masalah, dan anak-anak melangkah ke tahap
perkembangan baru.
31
29
Hamzah B. Uno, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006, h.10-11.
30
Dasa Ismaimuza, “Pembelajaran Matematika dengan Konflik Kognitif”, Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Pendidikan Matematika FKIP Universitas Tadulako
Palu, Palu, 2008, h. 164.
31
Robert E. Slavin, Buku Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik Terj. dari Educational Psycology: Theory and Practice oleh Marianto Samosir, Jakarta: Indeks, 2008, Ed. Ke-8, Jilid 1,
h. 44.
Jeane menyebutkan bahwa ekuilibrasi merupakan pergerakan dari ekuilibrium ke disekuilibrium dan kembali lagi ke ekuilibrium.
32
Hal ini menunjukkan bahwa sebuah konflik yang menyebabkan ketidaklancaran proses asimilasi dan akomodasi dapat memicu proses
ekuilibrasi. Proses ekuilibrasi akan mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan peningkatan pengetahuan siswa. Namun, konflik harus dapat
membuat siswa yang bersangkutan melakukan usaha untuk menjaga stabilitas mental dalam dirinya karena tanpa proses penyeimbangan ini,
perkembangan kognitif seseorang justru akan tersendat-sendat dan berjalan tak teratur.
Sejalan dengan Bono yang menyebutkan bahwa satu-satunya metode yang tersedia untuk mengubah atau mengganti gagasan adalah konflik
yang berlangsung dalam dua cara. Pada cara pertama terdapat konfrontasi langsung antara dua gagasan yang saling bertentangan,
dimana terdapat gagasan yang mendominasi. Gagasan yang mendominasi ini menekan gagasan lainnya, namun tidak mengubah
gagasan lainnya. Pada cara kedua terdapat konflik antara informasi baru dan gagasan lama. Akibat dari konflik ini gagasan lama
diperkirakan akan berubah. Inilah metode ilmu pengetahuan yang selalu berupaya membangkitkan informasi baru guna menggoyahkan
gagasan lama dan menghasilkan gagasan baru.
33
Sebagai contoh disekuilibrium, Abby, 4 tahun, diberikan sepuluh manik-manik kayu delapan berwarna cokelat dan dua berwarna putih,
dan ditanyakan kepadanya “Mana yang lebih banyak manik-manik cokelat atau manik-
manik kayu?” Abby menjawab bahwa terdapat lebih banyak manik-manik cokelat, dan ia tampaknya merasa senang
dengan jawaban tersebut. Abby berada dalam kondisi ekuilibrium. Tampaknya Abby memiliki kesulitan membayangkan manik-manik
cokelat sebagai anggota dari dua kategori cokelat dan kayu pada saat yang bersamaan, sehingga ia membandingkan manik-manik cokelat
dengan manik-manik yang tersisa yakni yang berwarna putih. Oleh karena itu, Abby diminta untuk menghitung manik-manik cokelat ia
menghitung delapan dan kemudian menghitung manik-manik kayu ia
menghitung sepuluh. Kemudian ditanyakan lagi pada Abby “Jadi, mana lebih banyak, manik-manik cokelat atau manik-
manik kayu?” Jika Abby mengenali inkonsistensi penalarannya
––delapan tidak
32
Jeane Ellis Ormrod, Buku Edisi Keenam Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Terj. dari Sixth Edition Educational Psychology Developing Learners oleh
Wahyu Indianti, Eva Septiana, dkk, Jakarta: Erlangga, 2008, Jilid 1, h. 41.
33
Edward de Bono, Buku Berpikir Lateral, Terj. dari Lateral Thinking oleh Sutoyo, tt.p.: Erlangga, 1991,Cet. 3, h. 9.
mungkin lebih
banyak dari
sepuluh ––ia akan mengalami
disekuilibrium. Pada titik ini ia mungkin mengorganisasikan ulang pemikirannya untuk mengakomodasi gagasan bahwa sejumlah manik-
manik berwarna cokelat sekaligus terbuat dari kayu, sehingga harus digolongkan sekaligus ke dalam kedua kategori tersebut.
34
Selanjutnya, Piaget percaya bahwa pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan sangat berperan penting agar terjadi perubahan perkembangan.
Interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya perdebatan dan diskusi membantu
untuk memperjelas
pemikiran dan
pada akhirnya
menjadikannya lebih logis. Dengan demikian, dunia ini berfungsi sebagai sarana untuk memajukan perkembangan kognisi siswa jika menghadapkan
mereka dengan pengalaman atau data yang tidak cocok dengan teori mereka sekarang.
Ada banyak
istilah yang
digunakan para
peneliti dalam
menggambarkan dan
menjelaskan konflik
kognitif, seperti
ketidakcocokan kognitif dissonance cognitive, kesenjangan kognitif gap
cognitive, konflik
konsep conceptual
cognitive, ketidaksesuaian discrepancy, disequilibrium, konflik internal
internal conflict.
35
Konflik kognitif telah sejak lama diteliti sebagai strategi dalam pembelajaran, awalnya dalam pembelajaran fisika dan saat ini telah
mengalami perkembangan sehingga strategi ini dapat juga digunakan dalam pembelajaran matematika diantaranya penelitian yang dilakukan
oleh Dasa Ismaimuza pada tahun 2008 mengenai pembelajaran matematika dengan konflik kognitif, Pada tahun 2009 Lucy Sayce
mengemukakan tahapan-tahapan pelaksanaan konflik kognitif dalam pembelajaran matematika dalam “The Route to Cognitive Conflict”, serta
Asdar pada tahun 2012 melakukan penelitian pengembangan desain pembelajaran berorientasi model konflik konseptual dalam pemecahan
masalah matematika MKKPM pada materi geometri. “The cognitive conflict strategy is based on the idea that by
introducing anomalous data or discrepant events into learning, learners
34
Jeane Ellis Ormrod, op. cit.., h. 42-43.
35
Dasa Ismaimuza, “Pembelajaran Matematika dengan Konflik Kognitif”, Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Pendidikan Matematika FKIP Universitas Tadulako
Palu, Palu, 2008, h. 158.
are caused to recognize that their existing understanding cannot explain the evidence presented
.”
36
kutipan tersebut menjelaskan bahwa strategi konflik kognitif adalah strategi yang berdasarkan ide dengan mengajukan
data yang menyimpang atau kejadian yang tidak sesuai ke dalam pembelajaran, sehingga siswa mengakui bahwa pemahamannya tidak
dapat menjelaskan fakta yang disajikan. Strategi ini berkembang berdasarkan pada asumsi yang menyebutkan
bahwa pengetahuan siswa sebelumnya mempengaruhi bagaimana cara mereka mempelajari pengetahuan yang baru dan membentuk gambaran ide
yang baru. Setelah siswa menyadari bahwa pemahaman awalnya tidak sejalan dengan pengetahuan barunya, disinilah peran guru untuk
memberikan scaffolding. Teman pun bisa menjadi scaffolding bagi siswa yang mengalami konflik kognitif tersebut. Selain melalui scaffolding,
konflik pada siswa juga dapat diselesaikan dengan membaca buku, melakukan observasieksperimen, diberikan kontradiksi, analogi, contoh-
contoh tandingan, atau berdiskusi. Guru memberikan siswa waktu untuk merubah ide nya.
Strategi konflik kognitif merupakan strategi alternatif dalam pembelajaran matematika yang sengaja menghadirkan konflik kognitif
data yang menyimpang atau situasi yang tidak sesuai sebagai upaya untuk membiasakan siswa dan memberi pengalaman bagaimana
menghadapi suatu situasi yang tidak dikehendaki, memberi tantangan dan kesempatan kepada siswa untuk memantapkan pengetahuan dan
keterampilan berpikir matematis yang dimilikinya, dalam hal ini berpikir kreatif matematis. Jika sudah mencapai proses equilibrium konflik
terselesaikan, perkembangan kognitif siswa akan berjalan dengan lancar. Artinya, informasi baru dapat disimpan dalam bentuk jaringan yang saling
berkaitan dengan informasi sebelumnya. Selanjutnya menurut Tulving, informasi baru yang cocok masuk ke dalam suatu skema yang telah
36
David Heywood dan Joan Parker, Contemporary Trends And Issues In Science Education The Pedagogy of Physical Science, London: Springer, t.t. p. 66.
dikembangkan dengan baik terserap jauh lebih cepat daripada informasi yang tidak cocok masuk kedalam suatu skema.
37
b. Tahapan Pembelajaran Matematika dengan Strategi Konflik Kognitif
Menurut Lee dan Kwon strategi konflik kognitif memiliki 3 langkah, yakni preliminary stage, conflict stage, and resolution stage.
38
Tahap-tahap pembelajaran pada penelitian ini didesain sebagaimana sintaks berikut ini:
1 Preliminary stage
Sebelum melaksanakan proses pembelajaran guru mengidentifikasi miskonsepsi yang umum terjadi pada siswa. Kemudian miskonsepsi ini
dihadirkan dalam bahan ajar pada proses pembelajaran. Pada tahap kegiatan inti dalam proses pembelajaran diawali dengan
prakonsepsi. Pada kegiatan prakonsepsi guru memfasilitasi siswa memperoleh pengetahuan awal. Kemudian, pengetahuan awal ini akan
dibawa kepada suatu pengalaman belajar atau informasi baru. 2
Conflict stage Konflik kognitif yang dihadirkan pada tahap ini berupa
miskonsepsi atau masalah non rutin yang mengkonflikkan prakonsepsi siswa dalam prakonsepsi. Pada tahap ini siswa memahami konflik
secara individual dan mendiskusikan hasil pemikiran melalui belajar kelompok
dengan tujuan
agar siswa
terlatih bekerjasama,
berkomunikasi, menumbuhkan rasa toleransi dalam perbedaan saling memberi ide dalam penyelesaian konflik, saling membantu dan berbagi
informasi. Setiap anggota kelompok menuangkan hasil pemikiran dalam LKS yang dirancang oleh guru. Kemudian siswa merencanakan
37
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP, Jakarta: Kencana, 2010,
h. 36.
38
Gyoungho Lee dan Kwon Jaesool,”What Do We Know About Students’ Cognitive Conflict In Science Classroom: A Theoretical Model of Cognitive Conflict Process
”, Prosiding Annual Meeting of the Association for the Education of Teachers in Science, Costa Mesa, CA, 18-21
Januari, 2001, h. 10.
strategi yang digunakan untuk menyelesaikan konflik beserta alternatif nya.
3 Resolution stage
Pada tahap ini guru mengorganisasikan siswa untuk belajar dan mengatasi konflik sesuai rencana pada tahap sebelumnya. Guru atau
siswa yang tidak mengalami konflik dapat memberikan batuan berupa pertanyaan-pertanyaan bertahap scaffolding, demonstrasi, analogi,
contoh-contoh tandingan counter example, atau eksperimen kepada siswa yang tidak dapat menyelesaikan konflik. Selama siswa
mengalami konflik, pada saat itu juga guru perlu mengamati perilaku yang ditampilkan siswa tersebut. Kemudian siswa mengecek kembali
resolusi konflik secara berkelompok. Setelah resolusi konflik diperoleh, guru memfasilitasi siswa untuk
mengembangkan dan
menyajikan hasil
pemecahan masalah
communication. Kriteria untuk memilih hasil diskusi kelompok yang dipresentasikan antara lain jawaban kelompok berbeda dengan
jawaban dari kelompok lain, ada ide penting dalam hasil diskusi kelompok yang perlu mendapat perhatian khusus. Dengan demikian
kelompok penyaji bisa lebih dari satu. Kelompok lainnya diberi kesempatan untuk menanggapi berupa kritikan disertai alasan-alasan,
masukan bandingan pemikiran, sesekali guru mengajukan pertanyaan yang dapat ditanggapi oleh semua kelompok.
Tahapan ini diakhiri dengan evaluasi dan refleksi. Guru memfasilitasi pembahasan hasil-hasil pemecahan masalah yang
dilakukan kelompok siswa. Memberikan stempel kreatif bagi siswa yang aktif dan memotivasi siswa yang belum aktif. Siswa
mengevaluasi pemecahan masalah tersebut dan memperkuat atau merekonstruksi pemahaman konsep yang telah dimilikinya.