Dari Tabel 4 terlihat bahwa sebagian keluarga di Desa Koto Teluk masih bergerak sektor pertanian sebag ai mata pencaharian pokok. Persentase penduduk
Desa Koto Teluk yang berprofesi sebagai petani dan buruh tani adalah sebesar 50,59 persen. Hal ini tentulah bertolak belakang dengan luas lahan pertanian di
Desa Koto Teluk berupa sawah tadah hujan yang hanya seluas 24 ha. Kecilnya lahan pertanian yang ada menyebabkan terjadinya pola penghasilan ganda
terutama pada masyarakat yang berprofesi sebagai petani ataupun buruh tani. Pada saat tertentu para petani ataupun buruh tani juga berprofesi sebagai buruh
bangunan ataupun tukang ojek. Kondisi ini menyebabkan rendahnya pendapatan pada sebagian
masyarakat Desa Koto Teluk yang berpengaruh pula kepada tingkat kesejahteraan keluarga. Berdasarkan hasil pendataan BKKBN, penggolongan penduduk jika
didasarkan pada tingkat kesejahteraan keluarga dapat dillihat pada Tabel 5. Tabel 5. Penggolongan Keluarga di Desa Koto Teluk Berdasarkan Tingkat
Kesejahteraan Tahun 2005
No Kategori Keluarga
Jumlah Persentase
Keterangan
1 . Pra-Sejahtera
27 8,58
2 . Sejahtera I
43 13,65
3. Sejahtera II
149 47,30
4 . Sejahtera III
72 22,85
5 . Sejahtera III plus
24 7,62
Pengkategorian ber- dasarkan pendapatan,
kepemilikan, partisipasi, jaringan
dan pendidikan 315
100,00
Sumber: daftar isian data dasar profil Desa Koto Teluk tahun 2005.
Dari tabel 5 terlihat bahwa 8,58 persen keluarga yang ada di Desa Koto Teluk adalah keluarga miskin yang membutuhkan adanya bantuan untuk dapat
keluar dari belenggu kemiskinan. Pemberian akses ekonomi seperti kesempatan mendapatkan modal dapat membantu keluarga miskin dalam mengatasi
permasalahan ekonomi mereka.
4.4.2. Pengembangan Ekonomi Lokal
Konsep ekonomil lokal terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi fenomena ekonomi dan dimensi lokal. Fenomena ekonomi menunjuk pada gejala bagaimana
cara orang atau masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya terhadap jasa dan
barang langka. Cara yang dimaksud di sini berkait dengan semua aktivitas yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi jasa-jasa dan
barang-barang langka. Dimensi lokal menunjuk tidak hanya pada kesatuan wilayah geografis, namun juga kesatuan entitas basis sosia l untuk tindakan
kolektif. Di tingkat lokal tersebut terdapat tiga entitas basis sosial, yaitu: lokalitas, komunitas, dan kelompok. Dengan demikian konsep ekonomi lokal mencakup
seluruh aktivitas ekonomi yang berlangsung di masyarakat. Perkembangan ekonomi lokal tidak terlepas dari pengaruh eksternal yaitu
konteks geografis yang lebih besar seperti propinsi, nasional atau bahkan internasional. Serta pengaruh internal, yaitu dinamika ekonomi yang berlangsung
ditingkat komunitas, kelompok, maupun pelaku rumah tangga. Pembangunan ekonomi lokal menekankan pada pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber
daya alam secara optimal untuk mengembangkan ketenagakerjaan dan menciptakan kesejahteraaan masyarakat di suatu lokalitas tertentu.
Syaukat dan Sumarti 2004 menjelaskan bahwa, sumber-sumber daya saing ekonomi lokal antara lain : lahan, tenaga kerja, dan modal. Sumber-sumber
daya saing yang ada di Desa Koto Teluk adalah : 1. Sumber Daya Alam
Lahan merupakan sumber daya alam yang paling dapat dikontrol oleh komunit as. Seluruh produksi bisa terjadi dimana saja, tetapi membutuhkan
tetapi tetap membutuhkan lokasi khusus. Semenjak tanah kemudian menjadi suatu sumberdaya ekonomi yang penting, kontrol terhadap tanah dan lahan
menjadi sangatlah penting. Sumber daya alam yang dapat digunakan dalam pengembangan ekonomi lokal di Desa Koto Teluk adalah:
Pertama, sumber daya alam berupa sawah tadah hujan. Luas lahan sawah tadah hujan di Desa Koto Teluk adalah sebesar 24 hektar. Hal ini
tidaklah sebanding dengan jumlah penduduk yang bermata pencaharian petani. Sistem kepemilikan bersama atas lahan pertanian menyebabkan satu lahan
sawah tertentu digarap secara bergantian oleh beberapa keluarga yang memilikinya. Sistem pengairan yang belum optimal mengakibatkan sebagian
besar sawah yaitu sekitar delapan hektar hanya dapat sekali panen pada satu tahun. Ketergantungan yang besar pada curah hujan, mengakibatkan lahan
tersebut terbengkalai pada musim kemarau dan hanya dijadikan tempat para peternak mencari pakan ternak selain dilahan rawa.
Kedua, sumber daya alam berupa sungai. Di Desa Koto Teluk terdapat sebuah sungai yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat bagi kegiatan usaha
ekonomis produktif. Selama ini sungai Batang Merao dimanfaatkan untuk kepentingan mandi, cuci dan kakus MCK saja, akan tetapi sedikit demi
sedikit fungsi sungai sebagai tempat MCK sudah mulai berkurang. Disamping karena adanya kesadaran akan pentingnya kebersihan akan air yang
dikonsumsi, air yang ada di sungai Batang Meraopun sudah tidak layak digunakan untuk kep erluan MCK. Batang Merao airnya sudah tidak bersih
dan jernih lagi, karena banyaknya warga disepanjang sungai yang memanfaatkan sungai sebagai tempat pembuangan sampah. Sungai sekarang
lebih banyak dimanfaatkan untuk memandikan hewan ternak saja seperti kuda, kerbau, sapi dan itik. Sekitar tahun 2001, di Desa Koto Teluk pernah
dilaksanakan budidaya ikan dengan menggunakan sistem keramba. Akan tetapi usaha ini tidak terlalu membuahkan hasil yang optimal. Tercemarnya
sungai Batang Merao menyebabkan ikan yang dipelihara mati dan masyarakat mengalami gagal panen. Disamping itu, pengikisan yang terjadi di tebing-
tebing sungai mengakibatkan keramba-keramba milik masyarakat akan hanyut jika terjadi curah hujan yang cukup besar. Hambatan ini menyebabkan potensi
sumber daya alam berupa sungai belum dimanfaatkan bagi kegiatan usaha ekonomis produktif.
Ketiga, sumber daya alam berupa lahan rawa. Luas lahan rawa yang ada di Desa Koto Teluk berkisar empat hektar, yang terdapat diperbatasan
dengan desa Simpang Tiga. Keberadaan lahan rawa ini belum dimanfaatkan bagi pertanian sawah karena keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang
bagaimana bercocok tanam di lahan rawa. Sistem pertanian yang masih tradisional dalam mengolah lahan tidak cocok diterapkan pada lahan rawa ini.
Karena dari berbagai penuturan petani yang pernah mengolah lahan rawa ini, biaya yang dikeluarkan untuk mengolah lahan tidak sebanding dengan hasil
yang diperoleh. Kondisi ini mengakibatkan terlantarnya lahan rawa tersebut. Akan tetapi lahan rawa ini justru merupakan lahan bagi para peternak
khususnya sapi untuk memperoleh pakan tambahan bagi ternaknya. Sistem peternakan sapi yang tradisional dengan sistem gembala yang membutuhkan
lahan penggembalaan yang luas, menyebabkan peternakan sapi di Desa Koto Teluk mengalami kemacetan. Masyarakat belum terbiasa dengan sistem
penggemukan dimana sapi tidak lagi digembalakan, tetapi dikandangkan dengan memberikan pakan yang dapat memacu pertumbuhan sapi.
2. Sumber Daya Manusia Sumber daya saing ekonomi lokal yang kedua adalah tenaga kerja.
Tersedianya tenaga kerja yang terampil bukan hanya memiliki pendidikan yang baik, tetapi secara umum lebih intelektual dan membentuk suatu
sumberdaya bagi komunitas dalam pengembangan ekonomi lokal. Di Desa Koto Teluk, sebagian besar tenaga kerja masih bertumpu pada pekerjaan di
sektor pertanian, yang secara turun temurun telah menjadi mata pencaharian pokok masyarakat, walaupun sekarang pada umumnya mereka telah memiliki
pekerjaan sampingan pada sektor lainnya. Kualitas angkatan kerja jika dirinci menurut pendidikan yang
ditamatkan di Desa Koto Teluk masih tergolong rendah, jumlah angkatan tenaga kerja yang menamatkan Sekolah Dasar adalah sebesar 40,27 persen
atau sejumlah 323 orang, dan hanya 3,87 persen atau 31 orang saja yang berpendidikan sarjana.
Tabel 6. Kualitas Angkatan Kerja Jika Dirinci Menurut Pendidikan Yang Ditamatkan Di Desa Koto Teluk Tahun 2004
No Tingkat Pendidikan
Jumlah jiwa
Persentase
1. Tidak Tamat SD 13
1,63 2. Tamat SD
323 40,27
3. Tamat SLTP 198
24,69 4. Tamat SLTA
187 23,31
5. Akademi 50
6,23 6. Sarjana Strata 1
31 3,87
Jumlah 802
100,00
Sumber: daftar isian data dasar profil Desa Koto Teluk tahun 2005.
Krisis ekonomi juga mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran di Desa Koto Teluk, dari daftar data dasar isian profil Desa
Koto Teluk, dari 802 penduduk pada usia produktif, baru 376 jiwa yang telah memiliki pekerjaan. Ini berarti sebagian besar penduduk pada usia
kerja belum memiliki pekerjaan yaitu sebesar 426 jiwa atau 53,11 persen. Walaupun angka ini belum merupakan angka pasti besarnya pengangguran,
karena banyak diantara penduduk yang belum bekerja tersebut masih duduk dibangku pendidikan. Akan tetapi ini cukup untuk menggambarkan besarnya
potensi ketenagakerjaan bagi pengembangan ekonomi lokal yang ada. 3. Modal
Sumberdaya saing ekonomi lokal yang ketiga adalah modal. Pada umumnya tingkat pemilikan modal di desa rendah, karena banyaknya
masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Tabungan yang bisa dijadikan modal biasanya dilakukan dalam bentuk uang atau benda, seperti perhiasan,
padi dan sebagainya. Tabungan ini lebih ditujukan untuk antisipasi jika terjadi kegagalan panen atau persiapan pada masa paceklik. Dan hanya sedikit yang
digunakan untuk kegiatan pengembangan usaha ekonomis produktif. Belum berkembangnya ekonomi lokal di Desa Koto Teluk tidak
terlepas dari kecilnya modal yang ada pada anggota masyarakat. Selain karena kemiskinan yang dialami oleh masyarakat, juga disebabkan belum mampunya
lembaga-lembaga keuangan mikro yang ada untuk memenuhi kebutuhan akan bantuan modal usaha bagi masyarakat. Kelembagaan UED-SP dan Usaha
Peningkatan Pendapatan Keluarga UP2K belum mampu menyediakan modal yang cukup bagi pengembangan ekonomi lokal di Desa Koto Teluk.
Kelembagaan keuangan mikro yang ad a cenderung untuk memberikan bantuan modal kepada anggota masyarakat yang telah memiliki usaha terlebih
dahulu. Sedangkan anggota masyarakat yang belum mempunyai usaha yang tetap mengalami kesulitan untuk mendapatkan bantuan modal tersebut.
Padahal usaha yang akan dikembangkan mungkin memiliki prospek yang bagus bagi pengembangan ekonomi lokal.
Selain modal yang berasal dari lembaga keuangan mikro, masyarakat Desa Koto Teluk sebenarnya bisa memanfaatkan keberadaan lembaga
keuangan formal seperti bank dalam mendapatkan bantuan modal usaha. Akan tetapi karena banyaknya persyaratan yang diharuskan oleh bank serta
keharusan untuk menyediakan agunan, menyebabkan bantuan modal dari bank hanya dapat dinikmati oleh segelitir orang saja, dan pada umumnya adalah
orang yang secara ekonomi telah cukup mapan. Akses terhadap pelayanan finansial bersifat problematik bagi penduduk miskin, sebagian karena mereka
tidak tidak memiliki jaminan fisik untuk meminjam. Sebagian lagi karena lemahnya kemampuan untuk berhubungan dengan bank.
Sumber modal lainnya adalah money lender pelepas uang yang dapat memberikan bantuan modal akan tetapi dengan bunga yang tinggi. Walaupun
di Desa Koto Teluk para pelepas uang ini keberadaannya hampir tidak ada lagi, akan tetapi jika kebutuhan akan modal usaha tidak dapat dipenuhi oleh
kelembagaan keuangan mikro maupun formal, para pelepas uang ini dapat memanfaatkan keadaan tersebut untuk kembali mengambil bagian dalam
pengembangan ekonomi lokal. Hal ini diperkuat dengan kemampuan mereka dalam menciptakan pola hubungan antar manusia yang semakin bersifat
impersonal. Pengembangan ekonomi lokal juga tidak terlepas dari keberadaan pasar
yang merupakan tempat masuk dan keluarnya produk dari semua kegiatan usaha. Sistem tata niaga input dan output hasil pertanian dan non-pertanian di Desa Koto
Teluk sangat bergantung pada mekanisme pasar. Hasil-hasil pertanian berupa padi selain untuk kebutuhan sendiri, juga dijual langsung ke pasar tanpa melalui
fasilitas atau jalur pemasaran lain seperti koperasi. Hasil peternakan seperti telur, ayam ataupun sapi selain dipasarkan di warung-warung desa juga dipasarkan ke
pasar kecamatan dan pasar kabupaten. Pemenuhan keperluan kebutuhan hidup sehari-hari dapat diperoleh dari warung didesa untuk pembelian dalam kapasitas
yang kecil, sedangkan untuk pembelian dengan kuantitas lebih besar, masyarakat lebih cenderung untuk menggunakan pasar kabupaten untuk pemenuhan
kebutuhannya.
4.4.3. Potensi Pengembangan Ekonomi Lokal