Pengembangan Kapasitas dalam Penguatan Kelembagaan

pokok pendirian; c simpanan pokok pendirian untuk setiap anggota ditetapkan minimal Rp. 2000,- per anggota, dapat dibayar secara angsuran paling lama dua bulan sejak permohonan menjadi anggota; d simpanan pokok tidak boleh diambil pemiliknya selama yang bersangkutan menjadi anggota UED -SP ; e setiap peminjam pada UED-SP wajib menyetor simpanan wajib pinjam simwapin. Besarnya simwapin ditetapkan minimal 10 persen dari pokok pinjaman; f simwapin dapat diambil oleh anggota setelah pinjaman lunas. Pengelola UED-SP terdiri dari : Ketua, Kasir dan Tata Usaha yang diangkat dan diberhentikan berdasarkan musyawarah LMDBPD yang dinyatakan dengan Surat Keputusan Desa serta mempunyai masa kerja jabatan maksimal lima tahun dan setelah itu dapat dipilih kembali. Besarnya honorarium pengelola ditetapkan 2,5 persen dari jumlah pokok pinjaman yang diterima. Dalam anggaran dasar dijelaskan bahwa fungsi pengawasan terhadap pengelolaan UED-SP dilakukan oleh komisaris yang beranggotakan : Ketua LKMD, Kepala DesaLurah dan salah satu anggota yang ditunjuk untuk mewakili anggotanya. Sumber modal UED-SP diperoleh dari : 1 modal sendiri : simpanan pokok, simpanan wajib pinjam, modal cadangan, modal gabungan, hibah; 2 modal bantuan ; berasal dari pemerintah atau bantuan pihak luar yang tidak mengikat; 3 modal pinjaman dan lembaga perbankan atau lembaga-lembaga lain serta dari masyarakatanggota. Selanjutnya Sisa Hasil Usaha SHU UED-SP adalah pendapatan yang diperoleh dari hasil transaksi dikurangi dengan pengeluaran dan penyusutan barang-barang inventaris dalam satu tahun buku. Pembagian SHU ditetapkan berdasarkan anggran dasar yaitu : 25 persen untuk modal cadangan; 10 persen untuk anggota; 40 persen untuk honorarium pengelola; 10 persen untuk kontribusi pemerintahan desa; 10 persen untuk tenaga asistensi dan 5 persen untuk pendidikan pengelola UED-SP. Administrasi keuangan UED -SP menggunakan tahun buku dari 1 Januari sampai 31 Desember, dan UED-SP dapat saja dibubarkan jika terjadi kebangkrutan atau kerugian berdasarkan keinginan masyarakat melalui musyawarah BPD.

2.4. Pengembangan Kapasitas dalam Penguatan Kelembagaan

Kelembagaan sosial merupakan terjemahan langsung istilah social institution. Akan tetapi ada pula yang menggunakan istilah pranata sosial untuk istilah social institution tersebut, yang menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku masyarakat. Koentjaraningrat 1964 dalam Nasdian dan Utomo 2004 mengatakan pranata sosial sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas -aktivitas untuk memenuhi kompleks- kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Bertrand 1974 dalam Nasdian dan Utomo 2004 mendefinisikan kelembagaan sosial sebagai tata abstraksi yang lebih tinggi dari group, organisasi, dan sistem sosial lainnya. Menurut Syahyuti 2003, di dalam setiap kelembagaan terdapat dua bagian yang membangun kelembagaan tersebut. Kedua bagian tersebut adalah aspek-aspek kelembagaan dan aspek-aspek organisasi. Pembedaan dalam melihat kelembagaan melalui aspek kelembagaan dan aspek organisasi bertujuan agar dapat menganalisa kelembagaan tersebut secara mendalam. Aspek kelembagaan merupakan sisi dinamis yang lebih bersifat kultural dari suatu kelembagaan, sedangkan aspek keorganisasian merupakan sisi statisnya yang lebih bersifat struktural. Jika aspek kelembagaan fokus utama kajian adalah perilaku dengan inti kajiannya adalah nilai value, aturan rule, dan norma norm, maka fokus utama dari aspek keorganisasian adalah struktur dengan inti kajiannya pada peran roles Syahyuti 2003, mengidentifikasikan permasalahan dalam pengembangan kelembagaan, khususnya kelembagaan yang tergolong ke dalam kelembagaan yang sengaja diciptakan enacted institution sebagai berikut : 1. Kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal bukan vertikal. Kelembagaan tersekat-sekat atas komoditas tertentu tanpa ada struktur yang komprehensif yang dapat menyatukan mereka dengan pihak lain yang melakukan kegiatan berbeda secara vertikal. 2. Kelembagan dibentuk untuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan kontrol dari pelaksana program, bukan untuk peningkatan sosial capital masyarakat. 3. Struktur keorganisasian yang dibangun relatif seragam dan tidak memberikan ruang pada kenyataan pluralisme yang ada di masyarakat. 4. Pembinaan yang dijalankan cenderung individual. 5. Pengembangan kelembagaan selalu mengutamakan jalur struktural dan lemah dari pengembangan aspek kultural. 6. Introduksi kelembagaan lebih banyak melalui budaya materialistik. 7. Kelembagaan yang baru kadang merusak kelembagaan yang telah ad a. 8. Pengembangan kelembagaan lebih merupakan jargon politik dari pada kenyataan riil dilapangan. Menurut Eade 1997 dalam Nasdian dan Utomo 2004, pengembangan kapasitas kelembagaan terfokus pada lima isu pokok berikut : 1. Pengembangan kapasitas sering digunakan secara sederhana untuk menjadikan suatu lembaga lebih efektif mengimplementasikan proyek -proyek pembangunan. Kelembagaan dengan demikian merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu. 2. Pengembangan kapasitas dapat juga menunjuk pada upaya mendukung organisasi untuk menjadi katalis dialog politik dan atau memberikan kontribusi dalam mencari alternatif pembangunan. Pandangan ini menekankan peran mendemokratisasikan organisasi non pemerintah dan organisasi berbasiskan masyarakat dalam “masyarakat madani”. 3. Jika pengembangan kapasitas adalah suatu cara untuk mencapai tujuan, kemudian yang dimaksudkan oleh lembaga-lembaga yang ikut serta, maka fokus pengembangan adalah mengembangkan hubungan antara struktur, proses, dan kegiatan organisasi yang menerima dukungan dan kualitas serta jumlah output dari hasil kerjanya. 4. Jika pengembangan kapasitas adalah tujuan akhir itu sendiri, maka fokusnya adalah misi organisasi yang berimbang, dan pertautannya dengan lingkungan eksternalnya, strukturnya dan aktivitasnya. 5. Jika pengembangan kapasitas adalah suatu proses penyesuaian, maka fokusnya adalah membantu mitra kerja menjadi lebih mandiri dan aktor otonom dalam hubungan jangka panjang atau penyertaan donor dan agen -agen yang relevan lainnya. Keberhasilan suatu kelembagaan dipengaruhi oleh kuatnya kepemimpinan serta adanya manajemen yang baik dalam kelembagaan tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Israel 1992 bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan kekembagaan adalah: 1. Faktor-faktor eksogen: faktor yang mempengaruhi seluruh negara, wilayah atau sektor untuk periode tertentu, misalnya: banjir, kekeringan, peperangan, krisis ekonomi, perubahan-perubahan penting dalam kebijakan ekonomi. 2. Kepemimpinan individu-individu yang menonjol. 3. Manajemen yang baik mulai dari perencanaan, pengorganisasiaan, pelaksanaan serta pengawasan. 4. Komitmen. Pemberdayaan masyarakat selain meliputi penguatan individu anggota masyarakat sendiri, juga meliputi penguatan pranata. Pranata atau kelembagaan yang dimaksud baik berupa kelembagaan atau yang bersifat “badan” atau organisasi, maupun kelembagaan sosial. Kelembagaan sosial disini merupakan bentuk nyata dari pemanfaatan modal sosial serta kemandirian yang dimiliki masyarakat. Konsepsi modal sosial merupakan konsepsi yang luas, Puthnam 1993 dalam Tonny dan Utomo 2004 mendefinisikan modal sosial sebagai elemen - elemen dalam masyarakat yang digunakan untuk memudahkan tindak kolektif collective action. Elemen -elemen tersebut berupa kepercayaan trust, norma norm, dan jaringan network. Ini senada dengan yang diungkapkan oleh Fedderke dkk 1999 dalam Tonny dan Utomo 2004 bahwa “modal sosial” berarti ciri-c iri dari organisasi sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan sosial yang memfasiltasi koord inasi dan kerja sama untuk keuntungan bersama.

2.5. Kerangka Analisis