Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
lulusan seharusnya mencakup tiga aspek yakni aspek sikap afektif, pengetahuan kognitif, dan ketrampilan psikomotorik.
Kedua, kesenjangan pada aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme pelaksanaan Ujian Nasional, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan
3,01 pada tahun 20022003 menjadi 4,01 pada tahun 20032004 dan 4,25 pada tahun 20042005. Sedangkan untuk standar nilai kelulusan tahun pelajaran
20062007 adalah 4,25 dengan nilai rata-rata minimum 5,0 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan. Tututan nilai ini menimbulkan kecemasan psikologi bagi
siswa, guru, dan orang tua siswa. Ketiga, kesenjangan pada aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar
isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan
secara berencana dan berkala. Akan tetapi, Ujian Nasional hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan
secara sepihak oleh pemerintah. Dalam kaitannya dengan mutu pendidikan, Ujian Nasional hanya
melakukan evaluasi terhadap peserta didik. Padahal menurut pasal 57 UU Sisdiknas, mutu pendidikan seharusnya didasarkan pada evaluasi yang mencakup
peserta didik, lembaga, dan program pendidikan. Pelaksanaan Ujian Nasional juga dianggap telah merampas kewenangan
pendidik dan sekolah untuk melakukan evaluasi hasil belajar dan menentukan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kelulusan peserta didik. Menurut pasal 58 ayat 1 dan pasal 61 ayat 2 UU Sisdiknas, evaluasi hasil belajar dan penentuan kelulusan peserta didik dilakukan
oleh pendidik dan sekolah. Keempat, kesenjangan pada aspek ekonomi. Secara ekonomis,
penyelenggaraan Ujian Nasional telah memakan biaya yang relatif besar. Pada tahun 2004, dana yang dikeluarkan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara
APBN untuk penyelenggaraan Ujian Nasional mencapai kurang lebih 260 miliar, belum ditambah dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD
dan masyarakat. Pada tahun 2005, memang disebutkan pendanaan Ujian Nasional berasal dari pemerintah, akan tetapi tidak dijelaskan sumber pendanaan tersebut,
sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selama ini, sistem pengelolaan dana Ujian Nasional selalu tertutup dan tidak ada
pertanggungjawaban yang jelas. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan dana Ujian Nasional.
Sedangkan menurut Furqon http:www.pikiran-rakyat.com
, Ujian Nasional sangat penting peranannya sebagai pengendali mutu pendidikan secara
nasional dan pendorong peserta didik, pendidik, dan penyelenggara pendidikan untuk bekerja lebih keras guna meningkatkan mutu pendidikan. Disamping itu,
Furqon juga berpendapat bahwa UU No. 20 Tahun 2003 mengamanatkan perlunya evaluasi untuk mengendalikan mutu pendidikan secara nasional pasal
57 dan memantau tingkat ketercapaian standar nasional tentang kompetensi lulusan pasal 35. Selain itu, Furqon juga melihat pentingnya ukuran baku
nasional untuk membandingkan posisi antara sekolah, kabupaten, dan antar propinsi.
Kontroversi yang muncul seputar Ujian Nasional, menimbulkan keprihatinan di berbagai kalangan masyarakat khususnya kalangan pendidikan.
Ujian Nasional sebagai suatu bentuk evaluasi yang dikeluarkan pemerintah, justru menimbulkan beban psikologis bagi para siswa, guru, dan orang tua siswa. Beban
psikologis tersebut timbul terutama karena Ujian Nasional menetapkan standar nilai kelulusan yang dirasa sulit untuk dicapai.
Bagi siswa, kebijakan pemerintah yang akan terus menaikkan standar nilai kelulusan hingga mencapai 6,0 dirasa sangat berat. Hal tersebut terlihat dari
jumlah siswa yang tidak lulus dari tahun ke tahun semakin meningkat. Persepsi siswa terhadap Ujian Nasional memang berbeda-beda, akan tetapi predikat tidak
lulus sangat membebani siswa. Bagi guru, tuntutan standar nilai kelulusan yang terus meningkat juga
menimbulkan beban yang sangat mendalam. Sebagai guru, tentu menginginkan siswanya sukses dan berhasil dalam studi. Tetapi apa daya, ketika pemerintah
dengan lantang telah mengeluarkan standar nilai kelulusan yang wajib dipatuhi. Salah satu jalan yang dapat dilakukan guru hanyalah mempersiapkan siswanya
dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi, keterbatasan sarana dan prasarana penunjang kegiatan belajar di sekolah, terkadang menjadi hambatan yang cukup
berat untuk dapat melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang optimal. Bagi orang tua, tuntutan standar nilai kelulusan yang ditetapkan
pemerintah memunculkan keprihatinan yang mendalam. Sama halnya dengan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
guru, orang tua pastilah juga menginginkan anaknya sukses dalam studi. Ujian Nasional menjadi satu beban yang tidak ringan karena standar nilai kelulusan
yang ditetapkan pemerintah dirasa cukup sulit untuk dicapai. Tidak banyak yang dapat dilakukan orang tua untuk membantu anaknya agar lulus ujian. Akan tetapi,
kondisi ini menuntut orang tua untuk lebih memperhatikan anak-anaknya terutama dalam kegiatan belajar.
Persepsi siswa, guru, dan orang tua tehadap pelaksanaan Ujian Nasional dan keberhasilan siswa dalam menempuh Ujian Nasional juga sangat dipengaruhi
oleh kualitas sekolah. Sekolah yang memiliki kualitas baik tercermin dari banyaknya jumlah siswa dan guru yang berkualitas dan ketersediaan sarana
prasarana yang menunjang kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu, bagi sekolah yang berkualitas baik, Ujian Nasional bukan suatu masalah yang besar.
Sebaliknya bagi sekolah yang kurang berkualitas, Ujian Nasional dipandang sebagai suatu beban berat yang harus dipikul. Dalam penelitian ini, sekolah yang
berkualitas sangat baik dikategorikan dalam sekolah terakreditasi A, sekolah yang berkualitas baik dikategorikan dalam sekolah terakreditasi B, dan sekolah yang
kurang berkualitas
dikategorikan dalam
sekolah terakreditasi
C. Pengkategorisasian tersebut merupakan hasil penilaian Badan Akreditasi Sekolah,
berdasarkan Kepmendiknas No. 087U2002 tentang Akreditasi Sekolah. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti perbedaan
persepsi siswa, guru, dan orang tua terhadap pelaksanaan Ujian Nasional pada sekolah yang termasuk dalam kategori sekolah terakreditasi A, sekolah
terakreditasi B, dan sekolah terakreditasi C. Peneliti menduga bahwa perbedaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kategori sekolah yang menunjukkan kualitas sekolah, akan mempengaruhi persepsi siswa, guru, dan orang tua terhadap pelaksanaan Ujian Nasional. Oleh
karena itu, topik yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah ”Persepsi Siswa, Guru, dan Orang Tua terhadap Pelaksanaan Ujian Nasioanl”
.