Pemanfaatan ruang dan Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang

9 Penggunaan lahan land use dan penutup lahan land cover merupakan dua istilah yang sering diberi pengertian sama, padahal keduanya mempunyai pengertian berbeda. Menurut Lillesand dan Kiefer 1987 penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia pada obyek tersebut, dapat berupa konstruksi vegetasi maupun buatan. Pemanfaatan ruang pada dasarnya merupakan realisasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW yang telah disusun. Namun demikian, kompleksitas permasalahan dalam proses perkembangan wilayah dapat mengakibatkan terjadinya pemanfaatan ruang yang menyimpang dari RTRW. Konsistensi dalam pemanfaatan ruang terlihat dari kesesuaian antara aktifitas penggunaan ruang dengan RTRW. Analisis dinamika pemanfaatan ruang di kawasan pesisir terhadap RTRW bertujuan untuk mengetahui apakah perubahan pemanfaatan ruang yang sudah terjadi sesuai dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasarpedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang. Meyer dan Turner 1994 menyebutkan bahwa perubahan penggunaan lahan land usechange meliputi pergeseran penggunaan lahan menuju penggunaan lahan yang berbeda conversion atau intensifikasi pada penggunaan yang telah ada modification. Menurut Rustiadi et al. 2009 proses alih fungsi lahan dapat dipandang merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: 1 pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita; dan 2 adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam ke aktivitas sektor sektor sekunder industri manufaktur dan jasa. Menurut Dardak 2006 upaya menciptakan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dirasakan masih menghadapi tantangan yang berat. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya permasalahan yang mencerminkan bahwa kualitas ruang kehidupan kita masih jauh dari cita-cita tersebut. Permasalahan tersebut antara lain adalah semakin meningkatnya frekuensi dan cakupan bencana, lingkungan perumahan kumuh dan kemacetan lalu lintas terutama di kawasan perkotaan besar dan metropolitan, semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup di kawasan perkotaan akibat penurunan luas ruang terbuka hijau, pencemaran lingkungan, dan sebagainya. Meningkatnya kebutuhan akan lahan akibat bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan terjadinya tumpang tindih kepentingan terhadap sebidang lahan. Hal ini jika dibiarkan dapat mengarah pada pola sebaran kegiatan yang secara ekonomi paling menguntungkan, namun belum tentu menguntungkan atau bahkan merugikan dari segi lingkungan Wiradisastra 1989. Penggunaan lahan secara umum dipengaruhi oleh dua faktor utama :1 alami dan 2 manusia. Faktor alami meliputi iklim, topografi, tanah dan bencana alam, sedangkan faktor manusia merupakan aktifitas manusia pada sebidang lahan. Faktor manusia lebih dominan berpengaruh dibandingkan dengan faktor alam karena sebagian besar perubahan penggunaan lahan disebabkan oleh aktifitas 10 manusia dalam memenuhi kebutuhannya dari sebidang lahan tertentu Vink 1965, dalam Sudadi et al. 1991. Menurut Meyer dan Turner 1994 faktor manusia dapat dibagi menjadi manusia yang melakukan aktifitas pada lahannya dan pemerintah yang menyusun tata ruang atau arahan rencana penggunaan lahan suatu wilayah. Faktor lain yang menjadi penentu konversi lahan adalah nilai lahan yang diukur dalam produktifitas lahan dan jarak yang mencerminkan lokasi suatu lahan dan aksesibilitas. Di Indonesia, salah satu masalah pokok dalam usaha penataan penggunaan lahan dan lingkungan hidup antara lain adalah adanya kontradiksi antara kebutuhan yang menjadi pemakai yang lebih luas di satu pihak dan batasan- batasan yang berat demi lingkungan hidup Sandy 1980, dalam Sitorus 2004 Permasalahan penyimpangan dalam penggunaan lahan, juga terjadi dalam pengembangan wilayah pesisir, oleh karena potensi ekonomi yang dimiliki, pengembangan wilayah pada kawasan pesisir mengalami peningkatan dan cenderung tidak terkontrol dengan baik. Terciptanya ruang-ruang terbangun dengan berbagai aktivitasnya yang tidak memperhatikan estetika lingkungan memberikan dampak negatif bagi ekosistem pantai, salah satu contohnya adalah pantai tersebut terancam mengalami pencemaran oleh limbah yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas tersebut.

2.2 Kawasan Pesisir

Sebelum mengulas lebih jauh mengenai permasalahan-permasalahan yang terjadi pada kawasan pesisir mungkin ada baiknya, terlebih dahulu kita memahami tentang penjelasan umum mengenai kawasan pesisir yang meliputi definisi dan karakteristik wilayah merupakan hal yang sangat penting, hal ini bertujuan agar pemahaman mengenai wilayah pesisir dapat dimengerti dan merupakan awal pemahaman dari studi ini. Pengertian tentang pesisir sampai saat ini masih menjadi suatu pembicaraan, terutama penjelasan tentang ruang lingkup wilayah pesisir yangsecara batasan wilayah masih belum jelas. Berikut ini adalah definisi dari beberapa sumber mengenai wilayah pesisir. Menurut Kay dan Alder 1999 “ The band of dry land adjancent ocean space water and submerged land in wich terrestrial processes and land uses directly affect oceanic processes and uses, and vice versa ”. Diartikan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah yang merupakan tanda atau batasan wilayah daratan dan wilayah perairan yang mana proses kegiatan atau aktivitas bumi dan penggunaan lahan masih mempengaruhi proses dan fungsi kelautan. Pengertian wilayah pesisir menurut kesepakatan terakhir internasional adalah merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua continental shelf Dahuri et al. 2001. Menurut Suprihayono 2007 wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. 11

2.3 Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir merupakan kawasan yang paling padat dihuni oleh manusia serta tempat berlangsung berbagai macam kegiatan pembangunan. Konsentrasi kehidupan manusia dan berbagai kegiatan pembangunan di wilayah tersebut disebabkan oleh tiga alasan ekonomi yang kuat, yaitu bahwa wilayah pesisir merupakan kawasan yang paling produktif di bumi, wilayah pesisir menyediakan kemudahan bagi berbagai kegiatan, dan wilayah pesisir memiliki pesona yang menarik bagi obyek pariwisata. Hal-hal tersebut menyebabkan kawasan pesisir di dunia termasuk Indonesia mengalami tekanan ekologis yang parah dan kompleks sehingga menjadi rusak. Di Indonesia kerusakan wilayah ini terutama disebabkan oleh pola pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa ada perhatian yang memadai terhadap karakteristik, fungsi dan dinamika ekosistem. Padahal wilayah pesisir dan lautan beserta segenap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terkandung di dalamnya diharapkan akan menjadi tumpuan pembangunan nasional. Oleh karena itu diperlukan perbaikan yang mendasar di dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan sumberdaya alam pesisir. Pola pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi perlu diganti dengan pembangunan berkelanjutan. Pendekatan dan praktek pengelolaan pembangunan wilayah pesisir yang selama ini dilaksanakan secarasektoral dan terpilah-pilah, perlu diperbaiki melalui pendekatan pengelolaan secara terpadu. Dahuri 1998, IOC 1999, UNEP 2002a. Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana Rencana Tata Ruang PropinsiKota dan Kabupaten akan menjadi pedoman untuk perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang guna mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan pembangunan di daratan, wilayah pesisir dan lautan. Esensi tata ruang menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah rencana tata ruang, pedoman pemanfaatan ruang, dan cara pengendalian pemanfaatan ruang pasal 32,33, dan 34 UU Nomor 262007. Perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan perumusan penggunaan ruang secara optimal dengan orientasi produksi dan konservasi bagi kelestarian lingkungan.Perencanaan tata ruang wilayah mengarahkan dan mengatur alokasi pemanfaatan ruang, mengatur alokasi kegiatan, keterkaitan antar fungsi serta indikasi program dan kegiatan pembangunan. Perumusan kebijakan tersebut didalam pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan wilayah pesisir adalah perlunya perencanaan tata ruang berdasarkan fungsi utama kawasan yang meliputi: 1 Kawasan non budidaya kawasan lindungkonservasi, misalnya: suaka alam, konservasi hutan mangrove, taman nasional, taman wisata alam dan kawasan budidaya, misalnya: kawasan industry, kawasan permukiman, kawasan pertanian dan 2 Kawasan budidaya perikanan. Ciri-ciri Wilayah Pesisir meliputi antara lain: 1. Wilayah yang sangat dinamis dengan perubahan-perubahan biologis, kimiawi dan geologis yang sangat cepat Tulungen et al. 2001, 2. Tempat dimana terdapat ekosistem yang produktif dan beragam dan merupakan tempat bertelur, tempat asuhan dan berlindung berbagai jenis spesies organisme perairan Tulungen et al. 2001, 3. Ekosistemnya yang terdiri dari terumbu karang, hutan bakau, pantai dan pasir, muara sungai, lamun dan sebagainya yang merupakan pelindung alam yang penting dari erosi, banjir dan badai serta dapat berperan dalam mengurangi