Ekosistem Terumbu Karang Potensi Sumberdaya Alam Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

2 Salinitas air tanah Salinitas air tanah adalah faktor penting yang memacu pertumbuhan, tinggi, daya tahan, dan zonasi mangrove. Salinitas air tanah diatur oleh beberap faktor, yaitu : genangan air pasang, tipe tanah dan topografi, kedalaman tanah yang kedap air, jumlah dan curah hujan musiman, masukan air tawar dan sungai, masukan ion garam dari daerah yang berbatasan, dan evaporasi. Mangrove biasanya ada dan tumbuh di estuary yang mempunyai kisaran salinitas air tanah antara 10-30 ppt. Kawaroe et al. 2001 menyatakan dampak yang diakibatkan oleh pemanfaatan ekosistem mangrove yang tidak terkendali adalah kerusakan ekosistem mangrove karena terputusnya mata rantai kehidupan antara ekosistem mangrove dengan ekosistem lain maupun di dalam ekosistem itu sendiri. Keadaan ini secara jelas akan mengurangi fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang kehidupan biota air yang memanfaatkan keberadaan hutan mangrove tersebut sebagai tempat pembiakan dan pembesaran spawning graound dan nursery ground serta tempat mencari makan feeding ground. Menurut Bengen 2002 menyatakan bahwa identifikasi yang dapat dilakukan pada mangrove yaitu: a. Tingkat semai, adalah permudaan dari mulai kecambah hingga tinggi 1,5 meter. b. Tingkat pancang, adalah permudaan dengan tinggi 1,5 m dan diameter 10 cm. c. Tingkat pohon, adalah tumbuhan berkayu berdiameter batang ≥ 10 cm.

2.1.2. Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang adalah ekosistem perairan laut dangkal di kawasan tropis dan sub-tropis, yang komunitasnya didominasi oleh biota laut penghasil kapur, yaitu polip karang dan alga berkapur calcareous algae. Polip karang dan alga zooxanthellae, hidup bersimbiosis secara mutualistis. Polip karang yang merupakan hewan renik, memiliki tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dan bahan makanan berupa plankton. Oleh alga yang hidup di dalam polip karang, bahan makanan tersebut kemudian dikonversi menjadi enargi melalui proses fotosintesa dengan memanfaatkan radiasi matahari yang mencapai dasar laut. Karang yang merupakan endapan masif kristal kalsium karbonat CaCO 3 , adalah akumulasi kalsium karbonat yang disekresikan oleh polip karang secara terus- menerus dalam jangka waktu yang lama. Simbiosis mutualistis antara polip karang dengan alga tersebut merupakan mesin kehidupan pembentuk terumbu karang. Nybakken 1982 dalam Situmorang 2004 bahwa keberadaan alga zooxanthellae yang bersimbiosis dengan polip karang menentukan laju proses pembentukan kapur kalsifikasi. Terumbu karang terdiri dari dua jenis yaitu karang batu dan karang bercabang. Kecepatan tumbuh kedua jenis karang tersebut berbeda dimana laju pertumbuhan karang bercabang lebih besar dari pada karang batu. Laju pertumbuhan kareang bercabang bisa mencapai 10 cm pertahun, sedangkan karang batu massive laju pertumbuhannya hanya antara 0.3 cm sampai 2 cm pertahun Barnes 1993. Ekosistem terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor, yaitu Nybakken 1992 : 1 Suhu, karang dapat tumbuh secara optimal pada perairan yang mempunyai suhu tahunan 23-25 o C. 2 Cahaya, terumbu karang harus mendapatkan cukup cahaya intensitasnya lebih rendah 15-20 dari intensitas cahaya di permukaan agar zooxanthellae yang bersimbiosis dengan karang dapat berfotosintesis. 3 Salinitas, karang hermatipik dapat tumbuh pada kisaran salinitas lautan normal, yaitu 32-35‰. Jika aliran air tawar dari sungai terlalu besar, maka tidak dapat ditemukan terumbu. 4 Sedimentasi, karang tidak mampu bertahan dalam lingkungan yang mempunyai tingkat pengendapan yang berat, karena endapan dapat menutupi hewan karang tersebut, menyumbat struktur pemberian makanannya, dan mengurangi intensitas cahaya yang dibutuhkan organisme zooxanthellae untuk berfotosintesis. Secara ekologis, terumbu karang mempunyai berbagai fungsi. Terumbu karang telah lama dikenal sebagai daerah dengan produktivitas tinggi, walaupun secara umum perairan bahari di daerah tropis miskin nutrient, namun produktivitas pada terumbu karang sangat tinggi Nybakken 1992. Tingginya produktivitas primer pada terumbu karang dapat disebabkan oleh banyaknya jaringan tumbuhan yang mempunyai kemampuan fotosintesis tinggi di terumbu karang dan kemampuan untuk menahan nutrient-nutrien dalam sistemnya Nybakken 1992. Bentuk terumbu karang yang rumit dan berliku-liku sering dimanfaatkan biota laut sebagai tempat yang aman untuk memijah spawning ground dan meletakkan telurnya. Setelah telur-telur tersebut menetas, biota laut yang masih berbentuk juvenile itu menghabiskan sebagian masa berkembangnya di daerah terumbu. Jadi terumbu karang juga berfungsi sebagai daerah asuhan nursery ground Bangen 2001. Fungsi lain terumbu karang terkait dengan bahan pembentuknya. Karena terumbu terbentuk dari endapan kalsium karbonat yang masif dan letaknya yang mengelilingi pantai terutama terumbu karang tepi dan penghalang, maka ekosistem ini juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari gelombang penyebab abrasi Bengen 2001. Sebagai daerah yang kaya terumbu karang tak lepas dari kegiatan pemanfaatan yang dilakukan manusia untuk menunjang perekonomiannya. Terumbu karang adalah rumah bagi berbagai biota laut yang dimanfaatkan manusia untuk konsumsi, seperti ikan karang, moluska, dan krustasea. Hampir 13 spesies ikan laut dunia berada di ekosistem terumbu karang Moberg dan Folke 1999 dan 10 ikan yang dikonsumsi manusia berasal dari terumbu karang Moberg dan Folke 1999. Selain itu, di beberapa daerah masih di temukan pengambilan terumbu untuk konstruksi bangunan dan pembuatan kapur. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa substansi-substansi yang ditemukan di terumbu karang dapat digunakan sebagai bahan baku farmasi Bengen 2001. Secara tidak langsung, terumbu karang memberikan manfaat ekonomi. Ekosistem terumbu karang kini telah dijadikan objek wisata bahari yang menguntungkan. Jadi, masyarakat di sekitar wilayah terumbu karang juga mendapat manfaat terumbu karang sebagai objek wisata. Ancaman terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang bersumber dari dua hal yakni faktor alami dan faktor manusia. Faktor alam, antara lain kenaikan suhu air laut yang melebihi normal seperti yang terjadi akibat munculnya fenomena El Nino pada tahun 1982-1983, yang menyebabkan naiknya suhu rata-rata air laut di Indonesia, diperkirakan merupakan penyebab timbulnya coral bleaching yang menyebabkan matinya karang batu di laut Jawa. Selain itu, ledakan populasi pemangsa karang, seperti Bulu Seribu Acanthaster planci di berbagai tempat di Indonesia juga merupakan faktor lain penyebab kerusakan terumbu karang di Indonesia, seperti yang terjadi di Kepulauan Seribu DeVantier et al. 1998 dalam Situmorang 2004. Sedangkan faktor-faktor manusia berupa kegiatan yang mengancam kelestarian fungsi dan manfaat terumbu karang antara lain pembangunan kawasan pesisir, misalnya pengurukan untuk penyediaan lahan bagi industri, perumahan, rekreasi dan lapangan udara, ataupun pengurukan untuk memperdalam alur pelayaran bagi pelabuhan atau marina. Kegiatan tersebut memberi dampak yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan karang, karena menimbulkan kekeruhan air dan mengubah pola arus. Sedimen yang tersuspensi dalam air di kawasan terumbu karang dapat menghentikan pertumbuhan polip, yang sekaligus menghentikan pertumbuhan terumbu. Kegiatan penambangan karang batu untuk kebutuhan pembuatan kapur dan bahan pembangunan jalan dan rumah, secara tidak langsung merusak terumbu karang dan di pihak lain dapat menyebabkan erosi dan berpindahnya pasir ke lokasi lain akibat perubahan pola sirkulasi dan arus. Sementara itu, kegiatan penangkapan ikan dan biota karang secara berlebihan dapat menimbulkan kerusakan pada karang itu sendiri. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan potassium, merusak ekosistem terumbu karang dalam skala luas, karena menghancurkan terumbu dan membunuh terumbu serta berbagai jenis ikan yang berasosiasi. Kondisi terumbu karang kepulauan Seribu telah banyak diteliti oleh berbagai lembaga penelitian seperti P3O LIPI, IPB, UNESCO, LAPI-ITB, Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, dan lain-lain. Secara umum kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu dikategorikan dalam kondisi buruk hingga sedang LAPI-ITB 2001. Presentase tutupan karang hidup hanya berkisar antara 0-24,9 dan 25- 49,9. Kerusakan terumbu karang sebagian diakibatkan oleh penambangan karangan batu untuk bahan bangunan serta penangkapan ikan dengan menggunakan peledak dan bahan kimia LAPI-ITB 2001.

2.1.3. Ekosistem Lamun