Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
belakang keluarga, antara lain yatim-piatu, terlantar, pra-sejahtera, titipan, dan dari keluarga bermasalah.
Faktor lain yang kurang mendukung perkembangan kecerdasan emosi remaja secara optimal adalah kekerasan yang pernah dialami oleh remaja.
Kekerasan yang dialami oleh remaja berupa kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Pengalaman kekerasan tersebut dapat mengakibatkan timbulnya
traumatis dalam diri remaja. Pengalaman traumatis menyebabkan remaja tidak dapat mengenal dan mengendalikan emosi yang ada dalam dirinya. Hal ini
menyebabkan individu, terutama remaja akan cenderung menutup diri, mudah cemas, depresi, gelisah, dan yang paling berbahaya adalah sulit untuk
mempercayai orang-orang yang ada disekitarnya. Kenyataannya adalah masih ada beberapa remaja panti asuhan yang teridentifikasi menjadi korban
kekerasan. Kekerasan yang pernah terjadi, tanpa disadari memiliki dampak bagi perkembangan emosional remaja panti asuhan. Dampak ini semakin
terlihat pada saat remaja berada jauh dari orang-orang yang telah menyakiti atau melukai dirinya. Sebagian remaja panti asuhan akan memiliki
kecenderungan menutup diri terhadap lingkungan sekitar, bersikap dan berperilaku agresif terhadap temannya mudah tersinggung dan marah,
berbohong terhadap pamong panti, dan menentang aturan yang berlaku. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI bulan Januari-
Agustus 2012 mencatat terdapat 3.332 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Keluarga menjadi tempat terbanyak terjadinya kekerasan terhadap
anak, yakni sebanyak 496 kasus, disusul dengan kekerasan di bidang
pendidikan, yaitu mencapai 470 kasus, dan pada urutan ketiga kasus kekerasan terhadap anak di bidang agama, yakni 195 kasus. Bentuk kasus kekerasan
yang terjadi pada anak dalam keluarga, antara lain perebutan hak kuasa asuh pada keluarga yang sudah cerai, akses bertemu anak yang sulit, anak kabur
dari rumah, penelantaran anak, dan pengasuhan anak bermasalah. Fenomena ini kurang mendapat perhatian oleh masyarakat luas,
sehingga kekerasan yang dilakukan terhadap anak dan remaja dari tahun ke tahun semakin meningkat. Masyarakat kurang mengerti dan memahami
dampak yang akan terjadi apabila permasalahan ini terus menerus berlanjut, terutama pada aspek emosional. Sebagian besar masyarakat menganggap pola
asuh yang diberikan pada remaja sudah benar dan sesuai dengan kebutuhan, namun pola asuh yang mengandalkan pendisiplinan dengan kekerasan
membuat remaja menderita. Oleh sebab itu, mendampingi dan mencari solusi secara tepat sasaran merupakan salah satu jalan untuk menolong remaja yang
menjadi korban kekerasan. Hal tersebut sangat penting, karena remaja merupakan pribadi yang berharga, membutuhkan kasih sayang, pendidikan,
dan memberikan mereka harapan akan cita-cita. Berdasarkan fenomena di atas mengenai kekerasan yang cukup
mengkhawatirkan, maka diperlukan peran kolaborasi antara guru BK, pamong asrama dengan semua pihak dalam mendampingi remaja yang menjadi korban
kekerasan, khususnya mereka yang diasuh di panti asuhan. Pendampingan yang diberikan harus bersinergi antara guru BK dan panti asuhan, sehingga
dapat terwujud tujuan mulia, yaitu membantu memulihkan kondisi korban
kekerasan secara psikologis agar remaja mampu menerima dirinya, mau terbuka kepada diri sendiri dan orang lain, serta membantu para remaja
mengoptimalkan kecerdasan emosi yang ada dalam diri mereka. Seorang remaja yang cerdas secara emosi, mampu mengendalikan emosi secara tepat
dan mengerti betul apa yang sedang dirasakannya. Selain itu, melalui pendampingan yang tepat, diharapkan para remaja dapat melihat diri sendiri
seperti orang lain melihat dirinya serta mampu memahami orang lain yang ada di sekitanya.
Berdasarkan pada uraian di atas mengenai kecerdasan emosi dan kekerasan terhadap remaja, maka penulis tertarik untuk mengangkat penelitian
dengan judul “Tingkat Kecerdasan Emosi Remaja Panti Asuhan yang
Mengalami Kekerasan dan Tidak Mengalami Kekerasan serta Implikasinya terhadap Usulan Topik-topik Bimbingan Pribadi Sosial
”.