Tingkat kecerdasan emosi remaja panti asuhan : studi deskriptif tingkat kecerdasan emosi pada remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya yang mengalami kekerasan dan tidak mengalami kekerasan serta implikasinya terhadap topik-topik bimbingan pribadi sosial

(1)

ABSTRAK

TINGKAT KECERDASAN EMOSI REMAJA PANTI ASUHAN (Studi Deskriptif Tingkat Kecerdasan Emosi

pada Remaja Panti Asuhan St.Yusup Sindanglaya yang Mengalami Kekerasan dan Tidak Mengalami Kekerasan serta Implikasinya Terhadap Usulan Topik-topik Bimbingan Pribadi Sosial)

Yosef Tri Nugroho Jaya Universitas Sanata Dharma

2015

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat kecerdasan emosi remaja Panti Asuhan St.

Yusup Sindanglaya. Masalah pertama yang diteliti adalah “Seberapa tinggi tingkat

kecerdasan emosi pada remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya?”. Masalah yang kedua adalah “Butir pengukuran kecerdasan emosi mana yang terindikasi rendah pada remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya yang implikatif diusulkan sebagai topik-topik bimbingan pribadi-sosial?”. Masalah yang ketiga adalah “Apakah ada perbedaan yang signifikan antara tingkat kecerdasan emosi pada remaja Panti Asuhan St. Yusup

Sindanglaya yang mengalami kekerasan dan remaja yang tidak mengalami kekerasan?”.

Jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survei. Subjek penelitian adalah remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya yang berjumlah 114 orang. Instrumen penelitian ini berupa kuesioner tingkat kecerdasan emosi yang terdiri dari 59 item pernyataan yang dikembangkan berdasarkan teknik penyusunan skala model Likert. Teknik analisis data dalam penelitian ini dengan membuat tabulasi skor total masing-masing item, menghitung skor total masing-masing-masing-masing responden, menghitung skor total masing-masing item, selanjutnya mengkategorisasikan tingkat kecerdasan emosi remaja berdasarkan distribusi normal. Kategori ini terdiri dari lima jenjang yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah.

Hasil penelitian yang diperoleh adalah (1) Tingkat kecerdasan emosi pada remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya yang termasuk dalam kategori sangat tinggi berjumlah 28 orang (24,6 %), yang termasuk dalam kategori tinggi berjumlah 63 orang (55,3 %), yang termasuk dalam kategori sedang berjumlah 23 orang (20,1 %), yang termasuk dalam kategori rendah dan sangat rendah berjumlah 0 orang (0%). (2) berdasarkan analisis terhadap butir-butir kecerdasan emosi, diperoleh 10 butir item yang pencapaian skornya masuk dalam kategori sedang yang digunakan sebagai dasar untuk merumuskan usulan topik-topik bimbingan pribadi-sosial yang implikatif untuk meningkatkan kecerdasan emosi remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya. (3) Terdapat perbedaan tingkat kecerdasan emosi pada remaja panti asuhan St. Yusup Sindanglaya yang mengalami kekerasan dan tidak mengalami kekerasan.


(2)

ABSTRACT

EMOTIONAL INTELLIGENCE LEVEL OF ORPHANAGE TEENAGER (A Descriptive Study of Emotional Intelligence Level of St. Yusup Sindanglaya Orphanage Teenager Who Got Violence and Non-Violence with

The Implications Towards The Advise of The Topics of Social Personal Counseling)

Yosef Tri Nugroho Jaya The University Of Sanata Dharma

2015

This research was quantitative descriptive research which has the aim to get illustration about Emotional Intelligence Level of St. Yusup Sindanglaya orphanage teenager. The first problem is “How high is the emotional intelligence level of St. Yusup Sindanglaya orphanage teenager?” The second problem is “Which emotional intelligence measurement items do indicate low for St. Yusup Sindanglaya orphanage teenager who is implicative to be suggested as social-personal counseling topics?” The third problem is “Are there significant difference between emotional intelligence levels of St. Yusup Sindanglaya orphanage teenager who got violence and non-violence?

This research was a descriptive research with survey method application. The subjects were teenagers of St. Yusup Sindanglaya orphanage. There were 114 persons. The research instrument was a questionnaire of emotional intelligence level which consisted of 59 statements items which were developed based on composing of Likert model scale. The data analysis technique in this research were making total score tabulation from each items, counting total score from each respondents, counting total score of each items, and categorizing the teenager emotional intelligence level based on normal distribution. This category was consisted of five grades those are very high, high, medium, low, and very low.

The result of the research which was obtained were (1) emotional intelligence level of St. Yusup Sindanglaya orphanage teenager which was categorized very high were 28 persons (24,6%), 63 persons (55,3%) were categorized high, 23 persons (20,1%) were categorized very low. (2) Based on the analysis of emotional intelligence items, there were 10 items which the score reached middle category and it is used as the basis to formulate the advice of the implicative topics of social-personal counseling to develop emotional intelligence of St. Yusup Sindanglaya orphanage teenager. (3) There were difference emotional intelligence level of St. Yusup Sindanglaya orphanage teenager who got violence and non-violence.


(3)

TINGKAT KECERDASAN EMOSI REMAJA PANTI ASUHAN (Studi Deskriptif Tingkat Kecerdasan Emosi

pada Remaja Panti Asuhan St.Yusup Sindanglaya yang Mengalami Kekerasan dan Tidak Mengalami Kekerasan serta Implikasinya Terhadap Usulan Topik-topik Bimbingan Pribadi Sosial)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh :

Yosef Tri Nugroho Jaya NIM: 101114045

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

i

TINGKAT KECERDASAN EMOSI REMAJA PANTI ASUHAN (Studi Deskriptif Tingkat Kecerdasan Emosi

pada Remaja Panti Asuhan St.Yusup Sindanglaya yang Mengalami Kekerasan dan Tidak Mengalami Kekerasan serta Implikasinya Terhadap Usulan Topik-topik Bimbingan Pribadi Sosial)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh :

Yosef Tri Nugroho Jaya NIM: 101114045

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(5)

SKRIPSI

TINGKAT KECERDASAN EMOSI REMAJA PANTI ASUHAN

(Studi Deskriptif Tingkat Kecerdasan Emosi pada Remaja Panti Asuhan St.Yusup Sindanglaya yang Mengalami Kekerasan dan Tidak Mengalami Kekerasan

serta Implikasinya Terhadap Usulan Topik-Topik Bimbingan Pribadi Sosial)

Oleh:Oleh: Yosef Tri Nugroho,

ZO?

\z

4045

Telah disetujui oleh

:\.-/

Pembimbing

Tanggal, 05 Januari 2015 Dr. Gendon Barus, M.Si.


(6)

SKRIPSI

TINGKAT KECERDASAN EMOSI REMAJA PAIITI ASUHAN

(Studi Deskriptif Tingkat Kecerdasan Emosi pada Remaja Panti Asuhan St.Yusup Sindanglaya yang Mengalami Kekerasan dan Tidak Mengalami Kekerasan

serta Implikasinya Terhadap Usulan Topik-Topik Bimbingan Pribadi Sosial)

Dipersiapkan dan ditulis oleh : Yosef Tri Nugroho Jaya

NIM:101114045

Telah dipertahankan di depan panitia penguji pada tanggal,12 Januari 2015

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Ketua Sekretaris Anggota

I

Anggota II Anggota III

Nama Lengkap Dr. Gendon Barus, M.Si. Juster Donal Sinaga, M.Pd. Dr. Gendon Barus, M.Si. Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si.

Yogyakarta, 12 J anuai 201 5

Fakulas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma


(7)

iv

PERSEMBAHAN

“Saya percaya bahwa ketika Tuhan menempatkan saya di awal perjalanan

ini, Dia juga yang akan menuntun saya sampai akhir. Dia tidak akan

membawa saya sejauh ini hanya untuk kegagalan”

Kupersembahan karya ini untuk: Orang tuaku, Yohanes Sularsono dan Lusia Isyanti Kakakku, FX. Aris Sasongko Putra dan Agustina Santi Yusnita Ernest, Jevan, dan Kiandra Prisca Anindya Dewi Program Studi Bimbingan dan Konseling


(8)

v MOTTO

“Keluarga adalah sekolah kita yang pertama untuk mempelajari Emosi”

Daniel Goleman

“Sesuatu yang belum dikerjakan seringkali tampak Mustahil, namun kita akan yakin apabila kita telah berhasil melakukannya dengan baik”

Evlyn U.

“Jangan tunda sampai besok, apa yang dapat engkau kerjakan hari ini”


(9)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 12 Januari 2015 Penulis


(10)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Yosef Tri Nugroho Jaya

Nomor Induk Mahasiswa : 101114045

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

TINGKAT KECERDASAN EMOSI REMAJA PANTI ASUHAN (Studi Deskriptif Tingkat Kecerdasan Emosi pada Remaja Panti Asuhan St.Yusup Sindanglaya yang Mengalami Kekerasan dan Tidak Mengalami Kekerasan serta Implikasinya Terhadap Usulan Topik-topik Bimbingan Pribadi Sosial) beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal, 12 Januari 2015

Yang menyatakan


(11)

viii ABSTRAK

TINGKAT KECERDASAN EMOSI REMAJA PANTI ASUHAN (Studi Deskriptif Tingkat Kecerdasan Emosi

pada Remaja Panti Asuhan St.Yusup Sindanglaya yang Mengalami Kekerasan dan Tidak Mengalami Kekerasan serta Implikasinya Terhadap Usulan Topik-topik Bimbingan Pribadi Sosial)

Yosef Tri Nugroho Jaya Universitas Sanata Dharma

2015

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat kecerdasan emosi remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya. Masalah pertama yang diteliti adalah “Seberapa tinggi tingkat kecerdasan emosi pada remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya?”. Masalah yang kedua adalah “Butir pengukuran kecerdasan emosi mana yang terindikasi rendah pada remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya yang implikatif diusulkan sebagai topik-topik bimbingan pribadi-sosial?”. Masalah yang ketiga adalah “Apakah ada perbedaan yang signifikan antara tingkat kecerdasan emosi pada remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya yang mengalami kekerasan dan remaja yang tidak mengalami kekerasan?”.

Jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survei. Subjek penelitian adalah remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya yang berjumlah 114 orang. Instrumen penelitian ini berupa kuesioner tingkat kecerdasan emosi yang terdiri dari 59 item pernyataan yang dikembangkan berdasarkan teknik penyusunan skala model Likert. Teknik analisis data dalam penelitian ini dengan membuat tabulasi skor total masing-masing item, menghitung skor total masing-masing-masing-masing responden, menghitung skor total masing-masing item, selanjutnya mengkategorisasikan tingkat kecerdasan emosi remaja berdasarkan distribusi normal. Kategori ini terdiri dari lima jenjang yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah.

Hasil penelitian yang diperoleh adalah (1) Tingkat kecerdasan emosi pada remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya yang termasuk dalam kategori sangat tinggi berjumlah 28 orang (24,6 %), yang termasuk dalam kategori tinggi berjumlah 63 orang (55,3 %), yang termasuk dalam kategori sedang berjumlah 23 orang (20,1 %), yang termasuk dalam kategori rendah dan sangat rendah berjumlah 0 orang (0%). (2) berdasarkan analisis terhadap butir-butir kecerdasan emosi, diperoleh 10 butir item yang pencapaian skornya masuk dalam kategori sedang yang digunakan sebagai dasar untuk merumuskan usulan topik-topik bimbingan pribadi-sosial yang implikatif untuk meningkatkan kecerdasan emosi remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya. (3) Terdapat perbedaan tingkat kecerdasan emosi pada remaja panti asuhan St. Yusup Sindanglaya yang mengalami kekerasan dan tidak mengalami kekerasan.


(12)

ix ABSTRACT

EMOTIONAL INTELLIGENCE LEVEL OF ORPHANAGE TEENAGER (A Descriptive Study of Emotional Intelligence Level of St. Yusup Sindanglaya Orphanage Teenager Who Got Violence and Non-Violence with

The Implications Towards The Advise of The Topics of Social Personal Counseling)

Yosef Tri Nugroho Jaya The University Of Sanata Dharma

2015

This research was quantitative descriptive research which has the aim to get illustration about Emotional Intelligence Level of St. Yusup Sindanglaya orphanage teenager. The first problem is “How high is the emotional intelligence level of St. Yusup Sindanglaya orphanage teenager?” The second problem is “Which emotional intelligence measurement items do indicate low for St. Yusup Sindanglaya orphanage teenager who is implicative to be suggested as social-personal counseling topics?” The third problem is “Are there significant difference between emotional intelligence levels of St. Yusup Sindanglaya orphanage teenager who got violence and non-violence?

This research was a descriptive research with survey method application. The subjects were teenagers of St. Yusup Sindanglaya orphanage. There were 114 persons. The research instrument was a questionnaire of emotional intelligence level which consisted of 59 statements items which were developed based on composing of Likert model scale. The data analysis technique in this research were making total score tabulation from each items, counting total score from each respondents, counting total score of each items, and categorizing the teenager emotional intelligence level based on normal distribution. This category was consisted of five grades those are very high, high, medium, low, and very low.

The result of the research which was obtained were (1) emotional intelligence level of St. Yusup Sindanglaya orphanage teenager which was categorized very high were 28 persons (24,6%), 63 persons (55,3%) were categorized high, 23 persons (20,1%) were categorized very low. (2) Based on the analysis of emotional intelligence items, there were 10 items which the score reached middle category and it is used as the basis to formulate the advice of the implicative topics of social-personal counseling to develop emotional intelligence of St. Yusup Sindanglaya orphanage teenager. (3) There were difference emotional intelligence level of St. Yusup Sindanglaya orphanage teenager who got violence and non-violence.


(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan Kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih-Nya yang melimpah. Karena berkat dan kasih itulah penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling memberi banyak manfaat, penulis mendapat pengalaman untuk mengaplikasikan teori-teori yang telah penulis dapat saat menjalani proses perkuliahan di Program Studi Bimbingan dan Konseling secara langsung.

Skripsi dengan judul “Tingkat Kecerdasan Emosi Remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya yang Mengalami Kekerasan dan Tidak Mengalami Kekerasan serta Implikasinya terhadap Usulan Topik-topik Bimbingan Pribadi Sosial” ini dapat penulis selesaikan bukan hanya karena kerja keras penulis sendiri, namun didukung oleh bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Gendon Barus, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan kemurahan hati dan kesabaran telah memberikan dukungan, motivasi, dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. 2. Pater Stanislaus Agus Suharyanto, OFM., selaku kepala Panti Asuhan St.

Yusup Sindanglaya yang telah menerima dan memberikan kesempatan untuk melaksanakan pengambilan data penelitian


(14)

xi

3. Ibu M.M. Dwi Supraptiningsih, OFS., selaku pamong panti yang dengan sabar meluangkan waktu dan mendampingi penulis dalam proses pengambilan data penelitian.

4. Seluruh siswa Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya atas partisipasinya dalam pengisian instrumen penelitian.

5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah mendampingi penulis selama masa perkuliahan dan membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan. 6. Bapak dan Ibu tercinta, Yohanes Sularsono dan Lusia Isyanti yang selalu

setia dengan cinta dan kasih sayang memberikan dukungan, perhatian, dan doa selama penulis berproses dalam menyusun skripsi.

7. Kakak penulis Mas Aris, Mas Win, Mbak Santi, dan Mbak Dian yang telah meluangkan waktu untuk berbagi pengalaman dan memberikan dukungan kepada penulis selama proses penyusunan, pelaksanaan penelitian, dan penyelesaian skripsi.

8. Prisca Anindya Dewi yang telah mendengarkan keluh kesah, memberikan dukungan, pendapat, doa, dan perhatian selama penulis menyususun skripsi.

9. Agus, Uut, Hendra, Anang, Sr. Maura, dan Sr. Krisna yang telah menjadi teman diskusi dan memberikan dukungan serta motivasi kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.


(15)

xii

10.Teman-teman program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, khususnya angkatan 2010 A atas masukan dan dukungannya kepada penulis selama proses menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan senang hati. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi pembaca atau pihak lain yang memiliki ketertarikan untuk mempelajari lebih dalam mengenai penelitian ini.

Yogyakarta, 12 Januari 2015 Penulis


(16)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

HALAMAN MOTTO... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vii

ABSTRAK... viii

ABSTRACT... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 6

E. Definisi Oprasional Variabel... 8

BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Kecerdasan Emosi... 10

1. Pengertian Emosi... 10

2. Pengertian Kecerdasan Emosi... 11

3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi... 11

4. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Kecerdasan Emosi... 14

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi 16 B. Hakikat Kekerasan... 19

1. Pengertian Kekerasan... 19

2. Bentuk Kekerasan... 19

3. Pengaruh Kekerasan Terhadap Kecerdasan Emosi... 23

C. Remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya... 25

1. Pengertian Remaja... 25

2. Ciri-ciri Masa Remaja... 26

3. Tugas Perkembangan Masa Remaja... 31

4. Kehidupan Remaja di Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya... 33


(17)

xiv

1. Pengertian Bimbingan... 35

2. Bimbingan Pribadi Sosial Remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya... 36

E. Hipotesis Penelitian... 37

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 38

B. Subjek Penelitian... 39

C. Instrumen Penelitian... 40

1. Kuesioner Tingkat Kecerdasan Emosi... 40

2. Format Pernyataan Skala... 40

D. Validitas dan Reliabilitas... 43

1. Validitas... 43

2. Reliabilitas... 46

E. Prosedur Penyusunan Instrumen Penelitian... 47

1. Tahap Persiapan... 47

2. Pengumpulan Data... 49

F. Teknik Analisis Data... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian... 55

1. Tingkat Kecerdasan Emosi Remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya... 55 2. Distribusi Skor Item Kecerdasan Emosi Remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya yang mengalami kekerasan dan tidak mengalami kekerasan... 57 3. Pengelompokan Remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya yang Mengalami Kekerasan dan Tidak Mengalami Kekerasan... 60

4. Uji Hipotesis Penelitian... 60

B. Pembahasan Hasil Penelitian... 62

C. Implikasi Hasil Penelitian: Usulan Topik-topik Bimbingan Pribadi Sosial... 72 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 75

B. Keterbatasan Penelitian... 76

C. Saran... 76


(18)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Subjek Penelitian... 39 Tabel 2 Norma skoring Inventori Kecerdasan Emosi... 41 Tabel 3 Kisi-kisi Kuesioner Kecerdasan Emosi pada Anak Panti

Asuhan... 42 Tabel 4 Item-item Valid dan Tidak Valid... 45 Tabel 5 Kriteria Guildford... 47 Tabel 6 Norma Kategorisasi Tingkat Kecerdasan Emosi Subjek dan

Item... 50 Tabel 7 Norma Kategorisasi Tingkat Kecerdasan Emosi Remaja Panti

Asuhan St. Yusup... 51 Tabel 8 Norma Kategorisasi Skor Item Kecerdasan Emosi Remaja

Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya yang Mengalami

Kekerasan dan Tidak Mengalami Kekerasan... 52 Tabel 9 Distribusi Tingkat Kecerdasan Emosi pada Remaja Panti

Asuhan St. Yusup Sindanglaya... 55 Tabel 10 Distribusi Skor Item Kecerdasan Emosi Remaja Panti Asuhan

St. Yusup Sindanglaya yang Mengalami Kekerasan dan Tidak

Mengalami Kekerasan... 57 Tabel 11 Item Kecerdasan Emosi Remaja Panti Asuhan yang

Mengalami Kekerasan dan Tidak Mengalami Kekerasan yang

pencapaiannya belum optimal... 59 Tabel 12 Kelompok Remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya yang

Mengalami Kekerasan dan Tidak Mengalami Kekerasan... 60 Tabel 13 Usulan Topik-topik Bimbingan Pribadi Sosial... 73


(19)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Diagram Kategorisasi Tingkat Kecerdasan Emosi... 56 Gambar 2 Diagram Kategorisasi Capaian Skor Item Kecerdasan Emosi

Remaja Panti Asuhan yang Mengalami Kekerasan dan Tidak Mengalami Kekerasan... 58


(20)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Tingkat Kecerdasan Emosi... 80

Lampiran 2 Tabulasi Data Penelitian... 86

Lampiran 3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas... 90

Lampiran 4 Hasil Uji T-Test... 96

Lampiran 5 Satuan Pelayanan Bimbingan (SPB)... 97


(21)

1 BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat uraian mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional variabel. A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju masa dewasa. Masa remaja juga disebut sebagai masa transisi. Pada masa transisi timbul berbagai gejolak dalam diri remaja, baik dari diri sendiri maupun dari luar yang mewarnai dinamika kehidupan remaja. Berbagai gejolak yang dialami dan tumbuh dalam diri remaja menyumbang terhadap gambaran diri remaja. Gambaran diri remaja antara lain ditentukan oleh tingkat kecerdasan emosi. Hal ini merupakan suatu tantangan bagi remaja masa kini untuk membangun dan meningkatkan kecerdasan emosi, guna membentuk gambaran pribadi yang baik, sehingga dapat mengaktualisasikan diri secara optimal.

Dunia remaja merupakan masa di mana individu berlomba untuk menemukan jati diri mereka. Jati diri merupakan satu hal yang muncul dalam perkembangan remaja yang penuh dengan tantangan, masalah, dan kebutuhan. Jati diri dapat berkembang secara baik apabila remaja memiliki kecerdasan emosi tinggi. Kecerdasan emosi merupakan aspek yang sangat dekat dengan kepribadian setiap individu terutama remaja. Individu yang telah mencapai kecerdasan emosi yang baik ditandai oleh adanya kecakapan pribadi dan kecakapan sosial.


(22)

Kecerdasan emosi membantu individu untuk mengenali perasaan yang tengah dirasakannya, bereaksi terhadap perasaan yang muncul dan mengendalikan perasaan tersebut. Kecerdasan emosi mampu memberikan manfaat emosional untuk meningkatkan kreatifitas dan aktivitas motorik individu dalam berelasi dengan lingkungan sekitarnya. Kecerdasan emosi turut membantu individu agar mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam dirinya secara kreatif.

Banyak remaja Indonesia yang belum mampu mengoptimalkan perkembangan kecerdasan emosi. Hal tersebut terjadi karena kurang adanya semangat dalam diri para remaja untuk berkembang. Kurangnya semangat dalam diri para remaja untuk berkembang secara optimal disebabkan karena para remaja belum mampu mengenal potensi yang mereka miliki. Namun, di sisi lain hal tersebut terjadi karena kurangnya dukungan dan dorongan dari lingkungan sekitar dalam memberikan kesempatan bagi remaja untuk berkembang secara optimal.

Salah satu potret pengalaman kehidupan remaja yang kurang mendapat dukungan dari lingkungan sekitar adalah remaja yang hidup jauh dari orang tua, bahkan tidak pernah mendapat sosok orang tua yang baik dan mampu menjadi panutan bagi pertumbuhan dan perkembangan remaja. Remaja yang tinggal di Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya dapat disebut sebagai salah satu contoh permasalahan ini. Panti Asuhan St.Yusup Sindanglaya mampu menampung sekitar 300 orang anak asuh, yang berasal dari berbagai latar


(23)

belakang keluarga, antara lain yatim-piatu, terlantar, pra-sejahtera, titipan, dan dari keluarga bermasalah.

Faktor lain yang kurang mendukung perkembangan kecerdasan emosi remaja secara optimal adalah kekerasan yang pernah dialami oleh remaja. Kekerasan yang dialami oleh remaja berupa kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Pengalaman kekerasan tersebut dapat mengakibatkan timbulnya traumatis dalam diri remaja. Pengalaman traumatis menyebabkan remaja tidak dapat mengenal dan mengendalikan emosi yang ada dalam dirinya. Hal ini menyebabkan individu, terutama remaja akan cenderung menutup diri, mudah cemas, depresi, gelisah, dan yang paling berbahaya adalah sulit untuk mempercayai orang-orang yang ada disekitarnya. Kenyataannya adalah masih ada beberapa remaja panti asuhan yang teridentifikasi menjadi korban kekerasan. Kekerasan yang pernah terjadi, tanpa disadari memiliki dampak bagi perkembangan emosional remaja panti asuhan. Dampak ini semakin terlihat pada saat remaja berada jauh dari orang-orang yang telah menyakiti atau melukai dirinya. Sebagian remaja panti asuhan akan memiliki kecenderungan menutup diri terhadap lingkungan sekitar, bersikap dan berperilaku agresif terhadap temannya (mudah tersinggung dan marah), berbohong terhadap pamong panti, dan menentang aturan yang berlaku.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bulan Januari-Agustus 2012 mencatat terdapat 3.332 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Keluarga menjadi tempat terbanyak terjadinya kekerasan terhadap anak, yakni sebanyak 496 kasus, disusul dengan kekerasan di bidang


(24)

pendidikan, yaitu mencapai 470 kasus, dan pada urutan ketiga kasus kekerasan terhadap anak di bidang agama, yakni 195 kasus. Bentuk kasus kekerasan yang terjadi pada anak dalam keluarga, antara lain perebutan hak kuasa asuh pada keluarga yang sudah cerai, akses bertemu anak yang sulit, anak kabur dari rumah, penelantaran anak, dan pengasuhan anak bermasalah.

Fenomena ini kurang mendapat perhatian oleh masyarakat luas, sehingga kekerasan yang dilakukan terhadap anak dan remaja dari tahun ke tahun semakin meningkat. Masyarakat kurang mengerti dan memahami dampak yang akan terjadi apabila permasalahan ini terus menerus berlanjut, terutama pada aspek emosional. Sebagian besar masyarakat menganggap pola asuh yang diberikan pada remaja sudah benar dan sesuai dengan kebutuhan, namun pola asuh yang mengandalkan pendisiplinan dengan kekerasan membuat remaja menderita. Oleh sebab itu, mendampingi dan mencari solusi secara tepat sasaran merupakan salah satu jalan untuk menolong remaja yang menjadi korban kekerasan. Hal tersebut sangat penting, karena remaja merupakan pribadi yang berharga, membutuhkan kasih sayang, pendidikan, dan memberikan mereka harapan akan cita-cita.

Berdasarkan fenomena di atas mengenai kekerasan yang cukup mengkhawatirkan, maka diperlukan peran kolaborasi antara guru BK, pamong asrama dengan semua pihak dalam mendampingi remaja yang menjadi korban kekerasan, khususnya mereka yang diasuh di panti asuhan. Pendampingan yang diberikan harus bersinergi antara guru BK dan panti asuhan, sehingga dapat terwujud tujuan mulia, yaitu membantu memulihkan kondisi korban


(25)

kekerasan secara psikologis agar remaja mampu menerima dirinya, mau terbuka kepada diri sendiri dan orang lain, serta membantu para remaja mengoptimalkan kecerdasan emosi yang ada dalam diri mereka. Seorang remaja yang cerdas secara emosi, mampu mengendalikan emosi secara tepat dan mengerti betul apa yang sedang dirasakannya. Selain itu, melalui pendampingan yang tepat, diharapkan para remaja dapat melihat diri sendiri seperti orang lain melihat dirinya serta mampu memahami orang lain yang ada di sekitanya.

Berdasarkan pada uraian di atas mengenai kecerdasan emosi dan kekerasan terhadap remaja, maka penulis tertarik untuk mengangkat penelitian dengan judul “Tingkat Kecerdasan Emosi Remaja Panti Asuhan yang Mengalami Kekerasan dan Tidak Mengalami Kekerasan serta Implikasinya terhadap Usulan Topik-topik Bimbingan Pribadi Sosial”.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan pokok dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Seberapa tinggi tingkat kecerdasan emosi pada remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya?

2. Butir pengukuran kecerdasan emosi mana yang terindikasi rendah pada remaja panti asuhan St. Yusup Sindanglaya yang implikatif diusulkan sebagai topik-topik bimbingan pribadi-sosial?


(26)

3. Apakah ada perbedaan yang signifikan tingkat kecerdasan emosi pada remaja Panti Asuhan St.Yusup Sindanglaya yang mengalami kekerasan dan remaja yang tidak mengalami kekerasan?

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan tingkat kecerdasan emosi pada remaja panti asuhan St.

Yusup Sindanglaya.

2. Mengidentifikasi butir item pada instrumen kecerdasan emosi remaja panti asuhan St. Yusup Sindanglaya yang terindikasi rendah dan merumuskan topik-topik program bimbingan pribadi-sosial yang dapat meningkatkan kecerdasan emosi.

3. Menganalisis ada tidaknya perbedaan kecerdasan emosi pada remaja di Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya yang mengalami kekerasan dan tidak mengalami kekerasan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat disumbangkan dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan informasi dan sumbangan bagi pengembangan pengetahuan dalam bidang bimbingan konseling, khususnya mengenai Kecerdasan Emosi (Emotional Intelegent) pada remaja yang mengalami kekerasan dan tidak mengalami kekerasan.


(27)

2. Manfaat praktis

a. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling

Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi guru bimbingan dan konseling dalam rangka pengembangan program BK pribadi-sosial khususnya dalam merancang topik-topik bimbingan kecerdasan emosi remaja.

b. Bagi Pendidik (Guru dan Orang Tua)

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dalam memahami kecerdasan emosi remaja khususnya remaja panti asuhan yang mengalami kekerasan dan tidak mengalami kekerasan, sehingga pendidik dapat ikut serta dalam membina dan meningkatkan kecerdasan emosi remaja.

c. Bagi Remaja Panti Asuhan

Remaja akan mendapatkan layanan bimbingan pribadi-sosial yang sesuai dengan tingkat kecerdasan emosi.

d. Bagi Peneliti

Penelitian ini memberikan kesempatan bagi peneliti untuk berlatih melaksanakan penelitian sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah dan belajar berpikir kritis dalam menjawab persoalan yang ada. Menjadi bekal bagi peneliti dalam memberikan pelayanan dan pendampingan kepada remaja mengenai tingkat kecerdasan emosi.


(28)

e. Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini dapat memberikan informasi tambahan bagi peneliti lain yang memiliki minat lebih jauh untuk mencermati kecerdasan emosi dari berbagai sudut pandang.

E. Definisi Operasional Variabel

Untuk menambah pemahaman mengenai beberapa terminologi dalam judul penelitian ini, peneliti menjelaskan beberapa istilah penting sebagai berikut:

1. Kecerdasan Emosi

Kecerdasan Emosi atau Emotional Quotation (EQ) meliputi kemampuan mengungkapkan perasaan, kesadaran serta pemahaman tentang emosi dan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikannya yang ditandai berbagai indikator sebagaimana dioperasionalkan dalam konstruk instrumen penelitian ini.

2. Kekerasan

Pengalaman terluka atau tersakiti karena sebagai korban dari perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang mengakibatkan kerugian atau mencideraifisik dan non fisik secara paksa dengan berbagai jenis tindakan yang melibatkan serangan fisik, verbal dan mental orang lain yang menimbulkan kenangan buruk atau menyakitkan yang membekas (sulit dilupakan), perasaan takut atau tak berdaya, terhina, dan direndahkan.


(29)

3. Remaja Panti Asuhan

Remaja panti asuhan adalah mereka yang berusia sekitar 13-16 tahun termasuk dalam masa remaja awal yang tinggal di panti asuhan dan duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama

4. Bimbingan Pribadi Sosial

Bimbingan Pribadi-Sosial merupakan salah satu upaya untuk membantu individu dalam memantapkan kepribadian dan mengembangkan kemampuan diri dalam menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan diri sendiri dan orang lain untuk menciptakan lingkungan yang kondusif.


(30)

10 BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini dipaparkan kajian konseptual mengenai hakikat kecerdasan emosi, hakikat kekerasan, remaja panti asuhan, bimbingan pribadi sosial, dan hipotesis penelitian.

A. Hakikat Kecerdasan Emosi 1. Pengertian Emosi

Emosi berasal dari bahasa latin yaitu “movere” yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambahkan awalan “e” untuk memberi arti “bergerak menjauh”. Kecenderungan untuk bertindak merupakan hal yang mutlak dalam emosi. Kamus psikologi mendefinisikan, emosi adalah suatu keadaan yang kompleks dari organisme, yang menyangkut perubahan jasmani yang luas sifatnya. Pengertian emosi menurut Oxford English Dictionary sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.

Goleman berpendapat bahwa (2007:411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap rangsangan atau stimulus, yang berasal dari dalam diri atau dari luar diri.


(31)

2. Pengertian Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi merupakan sebuah teori yang diajukan pada tahun 1990 oleh dua psikolog, Peter Salovey dan John Mayer untuk mengemukakan mengenai kualitas emosional individu. Salovey dan Mayer (Goleman, 1999:513) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan perasaan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan.

Menurut Goleman (1999) kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengatur kehidupan emosinya secara cerdas (to manage our emotional life with intelligent), menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the approprianteness of emotion and it’s expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial. Kecerdasan emosi dapat disimpulkan sebagai kemampuan mental yang membantu individu dalam menyadari dan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, dan mengenali emosi orang lain.

3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi

Menurut Salovey (Goleman, 2007:57-59), kecerdasan emosi terbagi menjadi lima wilayah utama, yaitu:

a. Mengenali Emosi Diri

Mengenali emosi diri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan pada saat perasaan itu terjadi. Individu dikatakan


(32)

berhasil mengenali emosinya, apabila individu tersebut memiliki kepekaan yang tinggi atas emosinya. Individu yang memiliki keyakinan lebih tentang perasaannya merupakan individu yang mampu mengontrol kehidupan emosionalnya. Menurut konsep Goleman individu yang memiliki kesadaran diri akan lebih peka dan cermat dalam menghadapi perasaannya dan menghadapi suasana hati orang lain. Seorang remaja yang memiliki kesadaran emosi akan terlihat dari kemampuannya dalam mengarahkan diri sendiri terkait dengan pengambilan keputusan.

b. Mengelola Emosi

Kemampuan individu untuk menguasai perasaannya sendiri agar perasaan itu dapat diungkapkan secara tepat dan selaras, sehingga dapat tercapai keseimbangan dalam diri. Individu yang mampu menghadapi badai emosional yang dibawa oleh diri sendiri, merupakan individu yang mampu bangkit dari keterpurukan. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan, menghibur diri sendiri, melepasakan kecemasan, kemurungan, dan ketersinggungan. Remaja yang mampu mengelola emosi, memiliki kemampuan dalam pengendalian diri. Remaja yang memiliki kemampuan dalam pengendalian diri akan memiliki sikap terbuka dan mampu menerima kritik dari orang lain terhadap dirinya.


(33)

c. Memotivasi Diri Sendiri

Kemampuan individu untuk mengendalikan diri dan menahan diri terhadap kepuasan. Individu yang mampu memotivasi dirinya akan memiliki keterampilan untuk produktif dan efektif dalam berbagai aktivitas yang mereka lakukan. Membangun emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting bagi individu untuk memberikan perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri. Remaja yang memiliki kecapakan ini, tidak mudah jatuh dalam suatu kegagalan dan tidak mudah puas terhadap sesuatu yang dikerjakannya, memiliki kemauan untuk terus berusaha memperbaiki diri.

d. Mengenali Emosi Orang Lain

Kemampuan untuk mengenali dan merasakan emosi orang lain disebut dengan empati. Empati merupakan kemampuan yang bergantung pada kesadaran diri emosional. Individu yang memiliki keterbukaan pada emosi sendiri, akan terampil dalam membaca perasaan orang lain. Individu yang tidak memiliki kesadaran terhadap emosi tidak akan mampu menghargai perasaan orang lain. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki oleh orang lain. Remaja yang memiliki kepekaan dan kepedulian serta memiliki kemampuan untuk membaca perasaan orang lain, akan mudah bergaul dengan orang lain.


(34)

e. Membina Hubungan

Membina hubungan merupakan keterampilan mengelola emosi dalam menjalin relasi dengan orang lain. Kemampuan individu dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan atau relasi dengan orang lain. Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 1999). Individu yang menguasai keterampilan ini, akan berhasil dalam berbagai macam bidang yang mengandalkan relasi yang baik dengan orang lain. Remaja yang ramah, baik hati, dan menghargai akan diterima dan disegani oleh orang lain.

4. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Kecerdasan Emosi

Menurut Goleman (1999) individu yang memiliki kecerdasan emosi adalah individu yang memiliki kecakapan pribadi dan kecakapan sosial.

a. Kecakapan pribadi adalah kecakapan yang menentukan bagaimana seseorang mengelola diri sendiri. Individu yang memiliki kecakapan pribadi menunjukkan tiga ciri penting, yaitu :

1) Kesadaran Diri

a) Kesadaran emosi, mengenali kesadaran diri sendiri dan efeknya.

b) Penilaian diri sendiri secara teliti, mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri.


(35)

c) Percaya diri, keyakinan tentang harga diri dan kemampuan diri sendiri.

2) Pengaturan Diri

a) Kendali diri, mengelola emosi-emosi dan desakan-desakan hati yang merusak.

b) Sifat dapat dipercaya, memelihara norma kejujuran dan integritas.

c) Kewaspadaan, bertanggung jawab atas kinerja pribadi. d) Adaptibilitas, keluwesan dalam menghadapi perubahan.

e) Inovasi, mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan informasi-informasi baru.

3) Motivasi

a) Dorongan prestasi, dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan.

b) Komitmen, menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau lingkungan.

c) Inisiatif, kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.

d) Optimisme, kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan.

b. Kecakapan sosial yaitu kecakapan yang menentukan bagaimana seseorang menangani suatu hubungan dengan orang lain. Terdapat dua ciri utama, yaitu :


(36)

1) Empati

a) Memahami orang lain, mengindra perasaan dan perspektif orang lain dan menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka.

b) Orientasi pelayanan, mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan

c) Mengembangkan orang lain, merasakan kebutuhan perkembangan orang lain, dan berusaha menumbuhkan kemampuan mereka.

d) Mengatasi keragaman, menumbuhkan peluang melalui pergaulan dengan bermacam-macam orang.

2) Kesadaran Sosial

a) Komunikasi, mengirimkan pesan yang jelas dan meyakinkan. b) Katalisator perubahan, memulai, dan mengelola perubahan. c) Manajemen konflik, negosiasi, dan pemecahan silang pendapat. 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal dipengaruhi oleh keadaan otak emosional individu. Amigdala merupakan salah satu struktur otak yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data ingatan emosional


(37)

seorang individu. Data yang diterima oleh individu melalui indra pengelihatan, indra penciuman, indra perasa, indra peraba, dan indra pendengaran kemudian masuk dan diolah oleh struktur otak yang berurusan dengan proses kegiatan rasional atau sering disebut dengan neocortex. Hal ini menyebabkan individu bereaksi secara emosional terlebih dahulu saat menghadapi suatu hal, sebelum disadari sepenuhnya oleh reaksi rasional.

Kecerdasan emosi yang tinggi akan membantu individu dalam menjaga keselarasan antara amigdala dan neocortex atau antara reaksi emosional dengan reaksi rasional. Hal ini membuat individu mampu menguasai diri, memahami emosi diri serta emosi orang lain, dan menyesuaikan diri dengan emosi orang lain atau lingkungannya (Goleman, 2007)

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu. Menurut Gottman dan DeClaire (2003), faktor eksternal yang mempengaruhi kecerdasan emosi individu adalah:

1) Keluarga

Keluarga merupakan pendidik pertama seorang individu dalam mempelajari berbagai hal, salah satunya yaitu emosi. Keluarga terutama orang tua merupakan model bagi perkembangan emosional remaja. Orang tua tidak hanya memberikan sikap hangat dan positif dalam mengajarkan kecerdasan emosi kepada individu


(38)

terutama remaja. Sikap tegas, bertanggung jawab, dan rasional perlu diberikan agar remaja memiliki batasan dalam mengekspresikan sikap dan perilaku mereka sehari-hari, mengingat bahwa beberapa orang tua tidak mampu mengatasi perasaan-perasaan negatif anak remaja mereka.

2) Lingkungan

Perkembangan emosi remaja dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu berkembang. Mangunhardjana (1986) mengemukakan bahwa lingkungan sosial mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan kepribadian individu. Lingkungan dimana remaja berada, seperti lingkungan sekolah, tempat bermain, dan masyarakat dapat mempengaruhi pencapaian kecerdasan emosi individu terutama remaja. Lingkungan yang harmonis akan mendukung remaja dalam mencapai perkembangan kecerdasan emosi secara optimal, namun lingkungan yang kurang mendukung atau lingkungan yang buruk akan membuat remaja mengalami ketakutan, kegelisahan, mudah cemas, bersikap apatis, dan reaktif, sehingga remaja sulit mencapai kecerdasan emosi secara optimal.


(39)

B. Hakikat Kekerasan 1. Pengertian Kekerasan

Kekerasan berasal dari bahasa latin violentus yang berasal dari kata vi atau vis berarti “kekuasaan atau berkuasa”, merupakan sebuah ekspresi yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang.

Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan yang mengakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan yang melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan adalah perilaku agresif baik secara fisik, verbal dan non verbal yang dapat menimbulkan kerugian bagi diri sendiri dan orang lain.

2. Bentuk Kekerasan

Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bentuk kekerasan sebagai berikut:

a. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik meliputi, kekerasan fisik berat dan kekerasan fisik ringan.


(40)

1) Kekerasan Fisik Berat

Berupa penganiayaan berat, seperti menendang, memukul, melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan, dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan: cidera berat, tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari, pingsan, luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati, kehilangan salah satu panca indera, mendapat cacat, menderita sakit lumpuh, terganggunya daya pikir, gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan, kematian korban.

2) Kekerasan Fisik Ringan

Berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan: cedera ringan, rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat.

b. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis meliputi, kekerasan psikis berat dan kekerasan psikis ringan.

1) Kekerasan Psikis Berat

Berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, penguntitan, kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis yang dapat


(41)

mengakibatkan penderitaan psikis berat, seperti gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual, yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun, gangguan stres pasca trauma, gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis), depresi berat atau destruksi diri, gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya.

2) Kekerasan Psikis Ringan

Berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, penguntitan, ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang dapat mengakibatkan penderitaan psikis ringan, seperti ketakutan dan perasaan terteror, rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual, gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis), fobia atau depresi temporer.


(42)

c. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual meliputi, kekerasan seksual berat dan kekerasan seksual ringan.

1) Kekerasan Seksual Berat

a) Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, ter-teror, terhina, dan merasa dikendalikan.

b) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.

c) Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan, dan atau menyakitkan.

d) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.

e) Terjadinya hubungan seksual di mana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi. f) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa

bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka, atau cedera. 2) Kekerasan Seksual Ringan

Berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak


(43)

dikehendaki korban yang bersifat melecehkan dan atau menghina korban.

d. Kekerasan Ekonomi

Kekerasan ekonomi meliputi, kekerasan ekonomi berat dan kekerasan ekonomi ringan.

1) Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa, memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran, melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya, mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.

2) Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

3. Dampak atau Pengaruh Kekerasan terhadap Kecerdasan Emosi Remaja

Kekerasan yang terjadi pada individu terutama remaja menimbulkan dampak yang nyata berupa cacat fisik dan psikologis. Dampak tersebut mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi remaja. Beberapa dampak kekerasan terhadap kecerdasan emosi remaja, sebagai berikut:


(44)

a. Dampak Kekerasan Fisik

Remaja yang mengalami kekerasan secara fisik akan memiliki kecenderungan untuk bersikap agresif terhadap orang lain. Kekerasan fisik yang berlangsung dan berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan trauma mendalam yang akan mengakibatkan remaja terhambat dalam mencapai kecerdasan emosi yang optimal. b. Dampak Kekerasan Psikologis

Kekerasan psikologis pada remaja berdampak pada gangguan afeksi, seperti depresi, mudah tersinggung, cepat marah, dan memiliki kecenderungan pasif. Pengendalian diri rendah, seperti mudah menunjukan amarah, membentak dan memiliki potensi menyerang secara fisik. Hambatan terhadap pemahaman kasih sayang dan kurang memperoleh penghargaan, memiliki kecenderungan untuk mengembangkan perilaku yang keliru atau perilaku maladaptif.

c. Dampak Kekerasan Seksual

Kehamilan, infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS, dan gangguan organ reproduksi. Hal ini menyebabkan individu terutama remaja menarik diri dari lingkungan sosial, mengalami depresi berat, perasaan takut dan malu serta mengalami penolakan dari orang terdekat dan masyarakat. Pengalaman ini menjadi potensi yang menyebabkan kecerdasan emosi remaja tidak berkembang dengan baik.


(45)

d. Dampak Penelantaran Remaja

Hurlock (1990) menyatakan bahwa pengaruh yang terlihat apabila individu terutama remaja mengalami penelantaran adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua. Hal ini menyebabkan individu yang tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua akan menimbulkan perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku ramah, dan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.

C. Remaja Panti Asuhan St. Yusuf Sindanglaya 1. Pengertian Remaja

Remaja berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti “tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1990:206). Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1990:206) remaja merupakan usia di mana individu berpadu dengan masyarakat dewasa, anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama.

Santrock (2007:20) mendefinisikan masa remaja (adolescence) sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional. Sedangkan menurut Papalia (2014:4) masa remaja adalah perkembangan transisi yang melibatkan perubahan fisik, kognitif, emosional dan sosial dengan beragam bentuk di latar belakang sosial,


(46)

budaya, dan ekonomi yang berbeda. Masa remaja dimulai dengan pubertas, yaitu proses yang mengarah pada kematangan seksual atau kemampuan berreproduksi (fertilisasi). Masa ini dimulai pada usia 11 tahun sampai usia 19 atau 20 tahun.

Masa remaja dibagi menjadi dua, yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir (Hurlock, 1990:206). Pada masa remaja awal (13 sampai 16 atau 17 tahun) individu masih menonjolkan karakteristik perkembangan masa kanak-kanak akhir, sedangkan pada masa remaja akhir (16 atau 17 tahun sampai 18 tahun) individu telah mencapai transisi perkembangan yang telah mendekati masa dewasa awal.

Berdasarkan uraian dari pengertian remaja, dapat disimpulkan bahwa masa remasa adalah masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa awal yang ditandai oleh berlangsungnya perubahan mencakup perubahan bilogis, kognitif, emosional, dan sosial yang dimulai pada usia 11 sampai awal usia 20 tahun.

2. Ciri-ciri Masa Remaja

Masa remaja merupakan masa perubahan yang cepat, baik secara fisik, sosial dan psikologis. Terdapat beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja, yaitu:

a. Masa remaja merupakan masa storm dan stress (masa badai dan tekanan). Masa yang ditandai dengan ketegangan emosi yang tinggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Masa ini merupakan masa dimana remaja mendapatkan banyak tuntutan dan tekanan,


(47)

misalnya orang dewasa mengharapkan remaja tidak bertingkah laku seperti kanak-kanak, lebih mandiri, dan bertanggung jawab.

b. Perubahan pada fisik secara cepat disertai dengan kematangan seksual. Perubahan yang terjadi secara cepat membuat remaja merasa tidak yakin akan kemampuan dirinya sendiri. Perubahan internal seperti sistem sirkulasi pencernaan dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat mempengaruhi konsep diri remaja.

c. Pada masa remaja, banyak hal menarik yang dibawa dari masa kanak-kanak mulai digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Ketertarikan ini dikarenakan adanya tanggung jawab yang mulai dipegang oleh remaja. Selain itu, perubahan terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Masa remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan sesama jenis.

d. Perubahan nilai, apa yang dianggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting pada masa remaja karena telah mendekati dewasa.

e. Remaja bersikap ambivalent dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Satu sisi remaja menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain remaja takut akan tanggung jawab, serta meragukan kemampuan untuk melaksanakan tanggung jawab.


(48)

Selain itu, masa remaja memiliki ciri tertentu yang membedakan dengan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Hurlock, 1990:207). Ciri-ciri tersebut adalah:

a. Masa remaja sebagai periode penting

Semua periode dalam rentang kehidupan individu sangatlah penting, namun memiliki kapasitas kepentingan yang berbeda satu dengan yang lainnya.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Periode dimana individu mengalami peralihan dari tahap perkembangan sebelumnya ke tahap perkembangan berikutnya. Periode peralihan tidak memutus atau berubah dari tahap perkembangan sebelumnya, artinya yang telah terjadi pada tahap perkembangan sebelumnya akan meninggalkan bekas pada tahap perkembangan saat ini dan pada tahap perkembangan yang akan datang.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan pada sikap dan perilaku selama masa remaja sama dengan tingkat perubahan fisik. Awal masa remaja, perubahan fisik tumbuh dan berkembang dengan pesat, maka perubahan sikap dan perilaku berlangsung dengan pesat. Terdapat lima perubahan yang bersifat universal. Pertama, meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi,. Kedua, perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh


(49)

kelompok sosial yang dituntut, menimbulkan masalah baru. Ketiga, remaja akan merasa dirinya ditimbuni masalah, sehingga remaja menyelesaikan sendiri menurut tingkat kepuasannya. Keempat, perubahan minat dan pola perilaku merubah aspek nilai-nilai remaja. Perubahan nilai yang pada masa kanak-kanak dianggap penting, setelah remaja dan hampir dewasa tidak dianggap penting. Kelima, sebagian remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Remaja memiliki keinginan untuk bebas, namun disisi lain takut untuk bertanggung jawab.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode dalam rentang kehidupan remaja memiliki tantangan atau masalah yang berbeda-beda. Masalah yang terjadi pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi oleh remaja laki-laki dan remaja perempuan. Kesulitan yang dihadapi oleh remaja terjadi karena sepanjang masa kanak-kanak, sebagian tantangan atau masalah diselesaikan oleh orang tua atau guru, sehingga kebanyakan remaja tidak memiliki pengalaman dalam mengatasi tantangan atau masalahnya sendiri. Remaja merasa dirinya mandiri, sehingga remaja mengatasi tantangan atau masalahnya sendiri, remaja menolak bantuan dari orang tua atau guru.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Masa remaja merupakan masa mencari gambaran diri bersama dengan kelompok. Remaja menggunakan simbol status dalam bentuk


(50)

gaya berpakaian, menggunakan aksesoris yang terlihat oleh orang lain, dan kendaraan yang digunakan merupakan cara untuk mengangkat diri sendiri sebagai individu. Hal ini bertujuan untuk menarik perhatian diri sediri dan mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Pandangan negatif orang dewasan mengenai remaja yang tidak memiliki tanggung jawab, memiliki kecenderungan untuk merusak, dan tidak mengikuti aturan masyarakat. Pandangan tersebut mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya dan lingkungan sosilanya. Hal ini akan mengakibatkan peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa menjadi sulit karena keyakinan bwaha orang dewasa memiliki pandangan yang buruk terhadap remaja. g. Masa remaja sebagai masa tidak realistik

Remaja memiliki cita-cita yang tinggi dan terkadang tidak realistis terhadap dirinya, teman-teman, dan keluarga menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri awal masa remaja.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

Remaja mulai memusatkan diri dengan perilaku yang menunjukan status sebagai orang dewasa. Perilaku yang ditunjukan seperti bersikap dan perperilaku, merokok, dan berpacaran. Remaja beranggapan bahwa perilaku yang ditunjukan memberikan citra dewasa yang mereka inginkan.


(51)

3. Tugas Perkembangan Masa Remaja

Kay (dalam Jahja, 2011:238) mengemukakan tugas perkembangan remaja sebagai berikut :

a. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.

b. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur yang mempunyai otoritas.

c. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok.

d. Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya.

e. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri.

f. Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atau dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup.

g. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kekanak-kanakan.

Penjelasan yang lebih terperinci, Hurlock (1990:209) mengemukakan bahwa tugas perkembangan remaja meliputi:

a. Remaja mampu menerima keadaan fisiknya dan mengenali dirinya secara utuh, mampu menerima kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya serta mampu menerima keberadaanya di lingkungan sekitar.


(52)

b. Mampu mencapai peran sosial sebagai laki-laki dan perempuan di lingkungan masyarakat. Hal ini berarti remaja perlu belajar agar mampu bertanggung jawab sesuai dengan peran seks sebagai laki-laki dan perempuan agar diakui oleh masyarakat.

c. Remaja mempelajari hubungan baru dengan lawan jenis, yang bertujuan untuk menjalin relasi yang baik, sehingga remaja mampu menjalin hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya, baik laki-laki maupun perempuan sesuai dengan perannya masing-masing. d. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa

lainnya. Remaja diharapkan mampu bersikap mandiri dan bertanggung jawab atas dirinya, tidak memiliki ketergantungan emosional kepada orang tua.

e. Mempersiapkan diri dalam bidang karier, artinya remaja belajar mengenal kemampuan diri dalam bidang karier sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Remaja yang mampu mempersiapkan diri dalam bidang karier akan memiliki kemandirian ekonomis.

f. Mengembangkan perilaku sosial yang bertanggung jawab, artinya remaja mampu membentuk nilai-nilai yang sesuai dengan nilai yang ada di masyarakat.

g. Mempersiapkan perkawinan dan hidup berkeluarga, artinya remaja belajar mempersiapkan tentang tugas dan tanggung jawab dalam kehidupan berkeluarga.


(53)

4. Kehidupan Remaja di Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya

Panti asuhan secara etimologi berasal dari dua kata, “panti” dan “asuhan”. Panti ialah suatu lembaga atau satuan kerja yang merupakan prasarana dan sarana dalam memberikan layanan sosial kepada individu. Asuhan ialah berbagai upaya yang diberikan kepada anak yang bersifat sementara sebagai pengganti orang tua atau keluarga, agar tumbuh dan berkembang dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.

Panti asuhan ialah lembaga kesejahteraan sosial yang memiliki tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar, serta melaksanakan penyantunan dan pengentasan anak terlantar melalui pelayanan pengganti atau pelayanan perwakilan anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat, dan memadai bagi perkembangan kepribadian anak asuh, sesuai dengan yang diharapkan sebagai generasi penerus cita-cita bangsa dan sebagai insan yang turut serta aktif dalam bidang pembangunan nasional (departemen Sosial RI, 1995).

Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya merupakan panti asuhan yang bernaung di bawah Yayasan OFM (Ordo Fratrum Minorum). Panti asuhan St. Yusup Sindanglaya memperoleh hak penguasaan atas tanah dari seorang pengusaha Belanda pada bulan Mei 1941 dan mendapat pengukuhan atas kepemilikan pada tanggal 25 Oktober 1949. Panti asuhan St. Yusup Sindanglaya mampu menampung 300 anak asuh yang terdiri


(54)

80% anak asuh murni yaitu anak yatim piatu, anak papa/terlantar, anak keluarga pra sejahtera dari daerah pedalaman Keuskupan Bogor dan 20 % anak titipan yang terdiri dari anak terlantar psikologis dan anak dari keluarga bermasalah/broken home yang biaya hidup dan pendidikannya ditanggung oleh orang tua atau wali.

Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya hadir sebagai lembaga sosial yang membantu individu untuk berkembang secara utuh. Pelayanan bantuan yang diberikan tidak jauh berbeda dengan pelayanan panti asuhan lain. Bantuan yang diberikan oleh panti asuhan St. Yusup Sindanglaya, seperti :

a. Peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran yang dilakukan melalui perlengkapan buku-buku perpustakaan sebagai sarana memperluas pengetahuan dan wawasan serta menyelenggarakan pendidikan formal. b. Pengasuhan yang melaksanakan fungsi keluarga dan masyarakat dalam

perkembangan dan kepribadian anak asuh.

c. Memberikan layanan pengembangan keterampilan dalam bidang pertanian, peternakan, dan tatabusana.

Panti asuhan St. Yusup Sindanglaya menjalankan tugas dan fungsinya melalui tenaga pengasuh. Tenaga pengasuh menjalankan tugas untuk mendampingi dan membimbing anak-anak asuh dalam proses perkembangan sebagai seorang individu yang berkembang utuh dan optimal.


(55)

D. Bimbingan Pribadi Sosial di Panti Asuhan 1. Pengertian Bimbingan

Yusuf dan Nurihsan (2010) mengemukakan bahwa bimbingan merupakan terjemahan dari kata guidance berasal dari kata guide yang berarti mengarahkan, memandu, mengelola dan menyetir. Moegiadi (dalam Winkel dan Hastuti, 2007:29) menjelaskan bahwa bimbingan dapat berarti suatu usaha untuk melengkapi individu dengan pengetahuan, pengalaman dan informasi tentang dirinya sendiri. Suatu cara pemberian pertolongan atau bantuan kepada individu untuk memahami dan mempergunakan secara efisien dan efektif segala kesempatan yang dimiliki untuk perkembangan pribadinya. Suatu jenis pelayanan kepada individu, agar dapat menentukan pilihan, menetapkan tujuan dengan tepat dan menyusun rencana yang realistis, sehingga dapat menyesuaikan diri di lingkungan di mana individu hidup. Suatu peroses pemberian bantuan atau pertolongan kepada individu dalam memahami diri sendiri; menghubungkan pemahaman tentang dirinya dengan lingkungan; memilih, menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep diri dan tuntutan dari lingkungan.

Rochman Natawidjaja (dalam Winkel dan Hastuti, 2007:29) mengungkapkan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, agar individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga individu mampu mengarahkan


(56)

diri dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan keluarga dan masyarakat.

2. Bimbingan Pribadi Sosial Remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya

Bimbingan pribadi-sosial adalah bimbingan dalam menghadapi keadaan diri sendiri dan mengatasi berbagai konflik dalam diri sendiri serta bimbingan dalam membina hubungan kemanusiaan dengan sesama di berbagai pergaulan sosial (Winkel dan Hastuti, 2007:118). Yusuf dan Nurihsan (2010:11) mendefinisikan bimbingan pribadi-sosial sebagai bimbingan untuk membantu para individu dalam memecahkan masalah pribadi dan masalah sosial.

Bimbingan pribadi sosial bagi remaja panti asuhan St. Yusup Sindanglaya dilaksanakan untuk mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan emosi remaja panti. Pengembangan dan peningkatan dilakukan oleh seorang profesional dalam bidang bimbingan diharapkan mampu membantu remaja dalam memahami dirinya, sehingga sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak sesuai dengan tuntutan masyarakat. Bimbingan yang terpusat pada pelayanan bimbingan pribadi sosial, diharapkan dapat meningkatkan kecerdasan emosi remaja panti asuhan.

Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya telah melaksanakan pendampingan kepada anak asuh. Pendampingan yang dilaksanakan mencakup pendampingan belajar, pendampingan rohani, pendampingan dalam bidang pertanian, dan pendampingan dalam bidang kesenian.


(57)

Pendampingan yang telah dilaksanakan oleh Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya dapat di kolaborasikan dengan program-program bimbingan pribadi sosial melalui topik-topik bimbingan yang sesuai dengan kehidupan remaja di panti asuhan.

E. Hipotesis Penelitian

Melihat fenomena mengenai Kecerdasan emosi remaja Panti Asuhan St. Yusup Sindanglaya yang mengalami kekerasan dan tidak mengalami kekerasan, maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Ha : Ada perbedaan rata-rata kecerdasan emosi remaja panti asuhan St. Yusup Sindanglaya yang mengalami kekerasan dan tidak mengalami kekerasan.

2. Ho : Tidak ada perbedaan rata-rata kecerdasan emosi remaja panti asuhan St. Yusup Sindanglaya yang mengalami kekerasan dan tidak


(58)

38 BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini memuat beberapa hal yang berkaitan dengan metodologi penelitian antara lain, jenis penelitian, subjek penelitian, instrumen penelitian, validitas dan reliabilitas, prosedur penyusunan alat, dan teknik analisis data.

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, dan kejadian yang terjadi pada saat sekarang (Sugiyono, 2010). Arikunto (2002:234) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilaksanakan. Dalam penelitian deskriptif, peneliti berusaha untuk mendeskripsikan keadaan yang menjadi pusat perhatian peneliti tanpa memberikan atau mengubah perilaku terhadap keadaan tersebut.

Penelitian deskriptif digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang. Penelitian deskriptif menempuh langkah-langkah pengumpulan data, klasifikasi dan analisis atau pengolahan data, membuat kesimpulan dan laporan, dengan tujuan utama untuk membuat penggambaran tentang sesuatu keadaan secara objektif. Peneliti menggunakan pendekatan deskriptif karena penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran mengenai tingkat kecerdasan emosi remaja panti asuhan yang mengalami kekerasan dan tidak mengalami kekerasan.


(59)

B. Subjek Penelitian

Penelitian ini mengambil semua anggota populasi menjadi subjek penelitian. Populasi penelitian ini adalah siswa Panti Asuhan Santo Yusuf Sindanglaya. Peneliti memilih Panti Asuhan St. Yusuf Sindanglaya sebagai subjek penelitian karena belum pernah dijadikan sebagai subjek penelitian terkait dengan tingkat kecerdasan emosi. Hasil penelitian, kiranya dapat menjadi acuan atau masukan bagi para pamong panti dan siswa panti untuk memahami pentingnya kecerdasan emosi di masa kini. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan menjadi usulan program yang berimplikasi pada program pengembangan kecerdasan emosi siswa di lingkungan Asrama/ Panti Asuhan. Alasan lain peneliti memilih siswa Panti Asuhan St. Yusuf Sindanglaya yaitu karena siswa di panti aushan ini sedang menjalani proses kehidupan di lingkungan, bersama dengan orang lain yang memiliki latar belakang budaya berbeda, komunikasi, dan relasi. Di samping itu, sebagain dari remaja yang diasuh panti asuhan ini memiliki latar belakang pengalaman sebagai korban kekerasan yang dalam penelitian ini menjadi variabel penelitan.

Tabel 1 Subjek Penelitian

Panti Jumlah

Putera 68


(60)

C. Instrumen Penelitian

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kuesioner Kecerdasan Emosi Remaja. Kuesioner ini disusun oleh peneliti yang mengacu pada prinsip skala Likert. Menurut Sugiyono (2011:134), skala Likert adalah tipe skala yang mengacu pada sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang mengenai fenomena sosial.

1. Kuesioner Kecerdasan Emosi

Kuesioner ini memuat pernyataan-pernyataan yang mengungkapkan kecerdasan emosi. Kuesioner ini bersifat tertutup, artinya alternatif jawaban sudah disediakan sehingga siswa tinggal memilih alternatif jawaban yang sesuai (Arikunto, 2002). Kuesioner yang disusun oleh peneliti memuat aspek-aspek kecerdasan emosi menurut Golleman (2002) yaitu: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, dan mengenali emosi orang lain. Indikator dan item yang terkandung dalam aspek-aspek tersebut disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan siswa panti asuhan Santo Yusuf Sindanglaya.

2. Format Pernyataan Skala

Format pengukuran dalam penelitian ini menggunakan skala Likert dalam bentuk angket. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi sekelompok orang tentang fenomena sosial. Pada skala Likert variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel, kemudian indikator variabel tersebut dijadikan sebagai dasar untuk menyusun item-item instrumen yang berupa pernyataan atau pertanyaan


(61)

(Sugiyono, 2011). Pernyataan-pernyataan dalam skala memuat item-item pernyataan yang bersifat positif (favorable) dan yang bersifat negatif (unfavorable).

Skala penelitian ini menyediakan 4 alternatif responsi berjenjang, yaitu Selalu (SLL), Sering (SRG), Jarang (JRG) dan Tidak Pernah (TP). Gradasi responsi dibuat empat opsi dengan maksud untuk menghilangkan kelemahan yang ada dalam skala lima tingkat, yaitu opsi yang bersifat netral. Penghapusan opsi netral diharapkan dapat menekan kecenderungan responden untuk memilih central tendency effect, terutama bagi responden yang ragu-ragu atas kecenderungan jawabannya (Azwar, 2011).

Pernyataan-pernyataan yang digunakan pada kuesioner adalah pernyataan yang diharapkan dapat mengungkapkan perubahan-perubahan positif yang berkaitan dengan kecerdasan emosi siswa . Aspek kuesioner yang dibuat oleh peneliti didasarkan pada aspek kecerdasan emosi yang bersumber pada konsep Goleman (1999).

Tabel 2

Norma Skoring Inventori Kecerdasan Emosi

Opsi Gradasi Favorable Unfavorable

Selalu 4 1

Sering 3 2

Jarang 2 3


(62)

Oprasional pada variabel penelitian ini dipaparkan lebih jelas dalam konstruk instrumen sebagai berikut :

Tabel 3

Kisi-kisi Kuesioner Kecerdasan Emosi pada Remaja Panti Asuhan

No Aspek Indikaor Item

Favorable Unfavorable

1.

Mengenali Emosi Diri : waktu perasaan itu terjadi

a. Memiliki

kesadaran emosi

1, 3, 5, 7 2, 4, 6, 8, 10 b. Mampu menilai

diri (kekuatan dan kelemahan)

9, 11, 13, 15

12, 14

c. Memiliki kepercayan diri

16, 18, 20 17, 19

2. Mengelola Emosi

a. Mampu

mengendalikan emosi

21, 23, 25, 26

22, 24

b. Dapat dipercaya 28, 30, 31 27,29

3. Memotivasi diri sendiri

a. Memiliki dorongan untuk berprestasi

33, 35 32, 34, 36

b. Memiliki komitmen

37, 39, 41 38, 40 c. Memiliki

inisiatif

43, 45, 46 42, 44 d. Memiliki

pandangan positif

48, 50 47, 49

4.

Mengenali Emosi Orang Lain

a. Mampu bergaul dengan orang lain

51, 53, 55, 57

52, 54, 56

b. Peka terhadap perasaan orang lain

58, 60, 62 59, 61, 63

5. Membina Hubungan

a. Mampu bekerja sama

64, 65, 67 66, 68

b. Mampu

berkomunikasi

69, 71 70, 72


(63)

D. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas

Validitas adalah ketepatan dan kecermatan instrument dalam menjalankan fungsi ukurnya (Azwar, 2012:10). Suatu alat ukur atau instrumen pengukuran dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut dapat menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud pengukuran. Validitas alat ukur menunjuk pada sejauhmana skala itu mampu mengungkap dengan akurat dan teliti data mengenai atribut yang dirancang untuk mengukur.

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan validitas yang tidak dapat dinyatakan dalam bentuk angka, namun pengesahannya perlu melalui tahap pengujian terhadap isi alat ukur dengan kesepakatan penilaian dari ahli yang memiliki kompetensi di bidangnya atau sering disebut expert judgement (Azwar, 2012). Instrumen pada penelitian ini dikonstruksi berdasarkan aspek-aspek yang akan diukur, setelah itu dikonsultasikan pada ahli dalam hal ini dosen pembimbing. Hasil konsultasi dan telaah terhadap instrumen yang dilakukan oleh ahli dilengkapi dengan pengujian reliabilitas empirik dengan menggunakan bantuan program komputer Statistical Product and Service Solution (SPSS) untuk pemeriksaan nilai validitas. Teknik uji validitas ditempuh melalui pendekatan analisis korelasi Product-Moment Pearson, yaitu dengan mengkorelasikan skor-skor item terhadap skor total


(64)

aspek. Rumus untuk koefisien korelasi Product-Moment Pearson, sebagai berikut :

∑ ∑ ∑

√ ∑ ∑ ∑ ∑ Keterangan :

= Korelasi skor-skor butir kuesioner dengan total aspek

N = Jumlah Responden x = Skor butir kuesioner

y = Skor total aspek kuesioner yang memuat X xy = hasil perkalian antara skor X dan skor Y

Menggunakan nilai probabilitas (probability values) pada program SPSS maka penentuan keterpenuhan indeks konsistensi internal ditetapkan berdasarkan nilai probabilitas, yaitu nilai probabilitas < 0,05 dianggap memenuhi dan apabila nilai probabilitas > 0,05 item tersebut tidak memenuhi konsistensi internal, maka di drop atau dihilangkan.


(1)

N 57

70

Pearson Correlation .458**

VALID Sig. (2-tailed) .000

N 57

71

Pearson Correlation .344**

VALID Sig. (2-tailed) .009

N 57

72

Pearson Correlation .560**

VALID Sig. (2-tailed) .000

N 57

Output Uji Reliabilitas

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 57 100.0 Excludeda 0 .0 Total 57 100.0 a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items .887 72


(2)

Output SPSS T-Test

Group Statistics

Kekerasan N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean Kecerdasan Emosi Remaja

Panti

Tidak Mengalami

Kekerasan 41 185.93 16.677 2.604 Mengalami Kekerasan 73 176.71 18.611 2.178

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper Kecerdasan

Emosi Remaja Panti

Equal variances

assumed .293 .589 2.631 112 .010 9.215 3.502 2.276 16.153 Equal variances


(3)

Lampiran 5

SATUAN PELAYANAN BIMBINGAN

Tema/Konsep/PB : Creative Thinking

Waktu : 1x Pertemuan (45 menit)

1. Tujuan Pembimbingan : Siswa mampu berpikir kreatif dalam kehidupannya sehari-hari 2. Tujuan Pembimbingan Khusus :

Siswa mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari bersama dengan orang tua, teman, dan masyarakat.

3. Materi : Creative Thinking 4. Kegiatan Belajar Mengajar (Rencana Pembimbingan

a. Pendekatan : Keterampilan proses

b. Metode : Permainan, diskusi, dan refleksi 5. Alat/Sumber Pembimbingan

a. Alat : Alat tulis, laptop, kertas lipat, dan spidol

b. Sumber : Mangunhardjana. 1986. Membangun Kreatifitas. Yogyakarta: Kanisius

6. Prosedur dan Penilaian a. Prosedur

Sesi Kegiatan Durasi

Waktu Guru Pembimbing Siswa

1. Pengantar, penjelasan tentang tujuan kegiatan

Berperan aktif, mendengarkan

5’

2. Permainan:

Pembimbing membagikan kertas lipat pada setiap peserta. Kertas lipat yang


(4)

sudah dibagikan kemudian dijadikan sebuah lingkaran yang tidak boleh terputus. 3. Memberikan penjelasan

mengenai berpikir kreatif

Berperan aktif 15’

4. Memberikan kesempatan bagi siswa untuk bertanya dan sharing mengenai dinamika

Tanya jawab dan sharing

10’

5. Kesimpulan dan penguatan 5’

Total 45’

b. Penilaian

No Penilaian 1. Proses

Apakah siswa aktif dan antusias dalam mengikuti bimbingan klasikal dengan topik Creative Thinking? 2. Hasil:

Siswa dapat menemukan ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif dan mampu mendefinisikan berpikir kreatif

7. Keterangan : - 8. Catatan : -

Yogyakarta, 08 Januari 2014 Pembimbing


(5)

Hand Out

Berpikir Kreatif

Berpikir kreatif merupakan kegiatan mental yang digunakan seseorang untuk membangun ide atau gagasan yang baru. Berpikir kreatif merupakan cara berpikir seseorang untuk mencoba menemukan cara/metode yang paling baik, tepat dan cepat dalam suatu hal. Berpikir kreatif merupakan metode untuk memecahkan masalah secara efektif dan efisien.

Setiap orang diharapkan memiliki daya kreatifitas yang tinggi agar mampu memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang memiliki daya kreatifitas tersebut, diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang muncul dan mampu mengatisipasinya.

Orang yang memiliki pola berpikir kreatif, selalu mencoba hal-hal yang baru meskipun banyak orang berpendapat bahwa hal itu tidak mungkin dan tidak akan membuahkan hasil. Berpikir kreatif dan kritis dituntut untuk berkreasi dan memiliki daya imajinasi yang tinggi.

Dalam kehidupan sehari-hari sering kali kita dihadapkan dengan masalah yang harus kita hadapi. Bila kita mampu untuk berpikir kreatif, kita akan mampu untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kita akan lebih banyak mengunakan ketekunan dan daya cipta yang tinggi untuk memecahkan masalah, sehingga

sesuatu yang kelihatannya “tidak mungkin”, masih dapat dikerjakan. Orang yang kreatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Adanya kelancaran, kesigapan, dan kemampuan menghasilkan banyak gagasan.

2. Memiliki fleksibilitas, yaitu kemampuan untuk menggunakan berbagai pendekatan dalam mengatasi masalah.

3. Adanya keaslian, yaitu kemampuan menghasilkan gagasan yang baru dan asli.


(6)

蘭 H a ︲

:0681Pem幽 l剛lir2014

:明i CObaAat Pendttantth Pendttan

Kepda

Yth. Pimpinan Panii Asuhan Sanb yusrt' Sindrqlaya

Cipanm

Denganfnrmat,

Dengan ini kami memffinkan ijin @im*asihva kami,

Nama

No Mahasiswa

Prqram Studi Jurusan Fakultas

Perguruan Tinggi

JudulSkripsi

Unluk melaksanakan penelitian dalam rangka persiapan penyusunan skripsinya, dengan ketentuan bahwa waktu penelitian disesuaikan dengan waktu yang diberikan oleh pihak'panti.

-YosefTri Nugroho J 101114045

Bimbingan dan Konseling ‖mu Pendidikan

Keguttan dan‖ mu pendidikan

Univesitas Sanata DhaFna Yogyakarta

: STUDI DESKRIPTIF TINGKAT KECERDASAN EMOSI REMAJA PANTI

ASUHAN YANG MENGALAMI KEKERASAN DAN TIDAK MENCALAMi KEKERASAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TOPIK‐ TOPIK

BIMBINGAN PRIBADi SOSIAL

Alas perhatian dan ijin yang diberikan, kamiucapkan terima kasih.

Tembusan:

1.

Dekan FKtp

2.

MahasisilaYbs

3.

Arctp


Dokumen yang terkait

Penerimaan Diri pada Individu yang Mengalami Kekerasan Emosi

0 48 150

PERBEDAAN TINGKAT ASERTIVITAS DAN TIPE KEPRIBADIAN PADA REMAJA YANG MENGALAMI DAN TIDAK MENGALAMI KEKERASAN DALAM PACARAN

1 7 19

DINAMIKA EMOSI PADA REMAJA YANG MENGALAMI Dinamika Emosi Pada Remaja Yang Mengalami Premenstrual Syndrome (PMS).

0 0 14

Tingkat kecerdasan emosi mahasiswa angkatan 2015 program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan implikasinya terhadap usulan topik-topik kegiatan pengembangan diri.

0 0 92

Tingkat kemampuan penerimaan diri remaja : studi deskriptif pada remaja kelas VIII di SMP Karitas Ngaglik tahun ajaran 2016/2017 dan implikasinya terhadap usulan topik-topik bimbingan pribadi-sosial.

0 1 130

Studi deskriptif kemampuan mengelola emosi remaja putra Panti Asuhan Sancta Maria Boro dan implikasinya terhadap usulan program bimbingan pribadi – sosial.

0 0 123

Tingkat kekerasan emosi yang dialami remaja putri oleh remaja putra dalam berpacaran.

0 1 72

MENINGKATKAN KECERDASAN EMOSI MELALUI BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN METODE ROLE PLAYING PADA REMAJA DI PANTI ASUHAN NURUL HAQ.

0 1 152

Deskripsi tingkat kemampuan penyesuaian sosial remaja terhadap kelompok sebaya Panti Asuhan Wira Karya Tama Purworejo tahun 2007/2008 dan implikasinya terhadap usulan topik-topik bimbingan pribadi sosial - USD Repository

0 0 113

Tingkat kecerdasan emosional remaja panti asuhan : studi deskriptif tingkat kecerdasan emosional pada reemaja Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen dan implikasinya terhadap usulan topi-topik bimbingan pribadi sosial - USD Repository

0 1 94