Perkembangan, agama Hindu dan agama Buddha berpadu menjadi agama Siwa Buddha. Bahkan agama campuran ini masih diwarnai dengan
kepercayaan-kepercayaan asli Nusantara. Bukti pendukung tentang akulturasi agama ini dapat dilihat dari dimasukkannya dewa dewi asli Nusantara dalam
susunan para dewa Hindu, yaitu Sang Hyang Tunggal dan Sang Hyang Wenang, justru sebagai moyang para dewa. Beberapa upacara keagamaan
Hindu-Budha yang berkembang di Indonesia berbeda dengan ajaran Hindu- Buddha India. Akulturasi kebudayaan tersebut menghasilkan sinkretisme
antara kebudayaan agama Hindu-Budha dengan kebudayaan asli bangsa Indonesia.
2. Bidang Bahasa dan Aksara
Pengaruh budaya India khususnya bahasa dari India, terutama bahasa Sanskerta dan Pali. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa bahasa
Nusantara menjadi tersisih dan punah. Bahasa Jawa Kuno dan bahasa Melayu Kuno tetap dipakai, bahkan nantinya diperkaya dengan istilah-istilah dari
bahasa Sanskerta. Dalam bidang aksara, penduduk Nusantara mulai melek aksara dengan dikenalnya aksara Pallawa dan Nagari atau disebut juga
Siddham. Dalam perkembangannya, para empu Nusantara menciptakan
aksara baru yang disebut aksara Kawi ada juga yang menyebutnya aksara Jawa Kuno.
Pada masa kerajaan Hindu-Budha di Indonesia seni sastra sangat berkembang terutama pada zaman kejayaan kerajaan Kediri. Karya sastra itu antara lain:
a. Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa yang disusun pada masa pemerintahan Airlangga.
b. Bharatayudha, karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh disusun pada zaman kerajaan Kediri.
c. Gatotkacasraya, karya Mpu Panuluh disusunpada zaman kerajaan Kediri. d. Arjuna Wijaya dan Sutasoma, karya Mpu Tantular yang disusun pada
zaman kerajaan Majapahit. e. Negarakertagama, karya Mpu Prapanca disusun pada zaman kerajaan
Majapahit.
f. Wretta Sancaya dan Lubdhaka, karya Mpu Tanakung yang disusun pada zaman kerajaan Majapahit.
g. Krenayana, karya mpu Triguna h. Hariwangsa, karangan Mpu Panuluh
i. Sutasoma, karya Mpu Tantular j. Arjunawijaya, karya Mpu Tantular
k. Pararaton
3. Bidang Teknologi Bangunan
Sebelum masuknya pengaruh budaya India, masyarakat Nusantara membangun monumen punden berundak sebagai sarana untuk pemujaan
kepada roh nenek moyang. Pemujaan kepada dewa atau Bodisatwa di Nusantara digunakan teknologi pembuatan bangunan suci yang disebut candi,
petirtaan, dan stupa. Mula-mula bangunan candi sebagai tempat pemujaan kepada dewa dibangun sesuai dengan aturan dalam Kitab Silpasastra,
bangunan utama berada di tengah-tengah percandian. Tetapi ketika pemujaan kepada leluhur tampil kembali dalam kepercayaan, bentuk candi pun
menyesuaikan diri, kembali ke bangunan punden berundak, bangunan utama berada di bagian belakang dan bangunan candi terlihat bertingkat-tingkat. Hal
ini terlihat pada bangunan candi di Jawa Timur. Bangunan candi mengalami persesuaian dengan bangunan punden berundak.
Candi sebagai sebuah bangunan memiliki tiga bagian, yaitu kaki, tubuh, dan atap. Kaki candi denahnya bujur sangkar, dan biasanya agak tinggi serupa
batur, dan dapat dinaiki melalui tangga yang menuju terus ke dalam bilik candi. Tubuh candi terdiri atas sebuah bilik yang berisi arca perwujudannya.
Atap candi sendiri memiliki tiga tingkatan, ke atas semakin mengecil dan akhirnya diberi sebuah puncak semacam genta.
Ditilik dari sudut cara pengelompokannya, candi di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu jenis Jawa Tengah utara, jenis Jawa Tengah Selatan,
dan jenis Jawa Timur dengan termasuknya candi di Bali dan Sumatera Candi Muara Takus. Pembagian ini berdasarkan dengan keagamaan yaitu Hindu
terutama Siwa, Buddha, dan aliran Tantrayana baik bersifat siwa dan Buddha. Berikut ini candi-candi yang ditemukan di Indonesia.