Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan zaman yang semakin pesat menuntut kualitas sumber daya manusia yang lebih baik pula. Terlebih lagi bangsa Indonesia tengah menghadapi masa Masyarakat Ekonomi Asean atau MEA. Hal tersebut menuntut seseorang untuk mengembangkan kemampuan dan potensi yang dimiliki, agar masyarakat mampu menghadapi tantangan MEA agar dapat bersaing dengan bangsa lain. Era MEA menuntut masyarakat memiliki karakter yang kuat dan mengembangkan potensi yang mereka miliki. Menurut Direktur Perundingan Perdagangan Jasa, Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional yang dilansir melalui m.liputan6.com, salah satu hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah pengembangan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan MEA. Pengembangan kurikulum tersebut dimaksudkan sebagai salah satu jalan meningkatkan kualitas SDM dari bidang pendidikan. Pendidikan merupakan instrumen utama dalam mengembangkan potensi dan karakter seseorang untuk menciptakan SDM yang berkualitas. Tanpa melalui pendidikan, seseorang tidak akan dapat menjadi manusia yang bermanfaat dan bermartabat, yakni menjadi sosok manusia yang utuh Rohman, 2013: 2. Undang- undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat 1 menegaskan bahwa: “Pendidikan merupakan sebuah usaha yang dilakukan dengan kesadaran dan terencana dalam proses belajar mengajar yang dilaksanakan sejak dini dengan tujuan supaya peserta didik mampu mengembangkan kemampuan yang dimiliki berupa ke 2 mampuan kognitif, kemampuan afektif, kemampuan psikomotorik, serta kemampuan sosial untuk menjalankan proses kehidupan bermasyarakat.” Pengertian tersebut menjelaskan bahwa pendidikan merupakan usaha yang dilandasi dengan kesadaran dari dalam diri peserta didik untuk mengembangkan potensi dalam dirinya yang meliputi kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik, serta kemampuan sosial. Pengertian tersebut juga menjelaskan bahwa pendidikan dimulai dari usia dini, yang artinya pendidikan dimulai sejak masih kanak-kanak seta dilaksanakan secara berjenjang. Rohman 2013: 223-224 menyebutkan bahwa jenjang pendidikan di Indonesia terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar merupakan jenis jenjang pendidikan formal yang mendasari jenjang pendidikan berikutnya. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 17 ayat 1 dan 2 bahwa pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar SD atau bentuk lain yang sederajat, dan madrasah ibtidaiyah MI dan sekolah menengah pertama SMP dan madrasah tsanawiyah MTs atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan di sekolah dasar merupakan jenjang pendidikan dengan masa studi paling lama, yakni 6 tahun. siswa sekolah dasar memiliki rentangan usia antara 7-11 tahun. Menurut Piaget Sumantri, 2015: 166, anak usia 7-11 tahun berada pada tahapan berpikir operasional konkret, dimana anak-anak mulai mampu berpikir logis untuk menggantikan cara berpikir yang sebelumnya masih bersifat intuitif-primitif, namun membutuhkan contoh-contoh konkret. 3 Paulo Freire Rohman, 2013: 2 mengatakan, kegiatan pendidikan merupakan kegiatan memahami makna atas realitas yang dipelajari, yang menuntut sikap kritis dari para pelaku pendidikan yaitu pendidik dan peserta didik. Berdasarkan pernyataan tersebut, para pendidik dituntut untuk memunculkan sikap aktif, kreatif, dan kritis dari dalam diri peserta didik. Melalui sikap yang aktif, kreatif, dan mampu berpikir kritis akan menciptakan manusia yang cakap, baik cakap dalam berpikir maupun bertindak. Penumbuhan sikap tersebut dilakukan melalui kegiatan pendidikan, dimana terintegrasi dalam suatu mata pelajaran di sekolah. Salah satu mata pelajaran yang berperan menumbuhkan sikap aktif, kreatis, dan mampu berpikir kritis adalah mata pelajaran PKn. Pembelajaran PKn merupakan salah satu mata pelajaran yang memiliki peran penting dalam pendidikan. Mata pelajaran PKn bertujuan untuk meningkatkan sikap aktif, keratif dan kritis dalam diri siswa. Hal tersebut sesuai dengan tujuan mata pelajaran PKn Depdiknas, 2006: 271 bahwa salah satu tujuan mata pelajaran PKn agar siswa mampu berpikir kritis, rasional, dan kreatif serta berpartisipasi aktif dalam kegiatan bermasyarakat. Untuk mencapai hal tersebut, maka guru PKn khususnya di sekolah dasar diharapkan mampu mendesain kegiatan pembelajaran yang dapat memfasilitasi partisipasi siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Hal tersebut diharapkan agar tujuan mata pelajaran PKn dapat tercapai, serta siswa memiliki pengalaman belajarnya. Akan tetapi, realitanya PKn merupakan mata pelajaran yang bersifat menghafal. Pembelajaran PKn yang dilakukan di Indonesia belum menekankan 4 pada implementasi PKn terkait peran siswa sebagai warga. Forum Diskusi Perhimpunan Pelajar Indonesia PPI Belanda di Utrecht pada 6 Januari 2013 menyatakan bahwa pembelajaran PKn di SD di Indonesia selama ini hanya bersifat doktrinal dan menghafal, bukan menekankan pada implementasinya sebagai warga negara seperti penerapan good practice pendidikan yang diterapkan di negara Belanda. Pembelajaran yang bersifat teoritis kurang menekankan keaktifan siswa, sehingga pembelajaran berpusat pada guru. Kurangnya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran menyebabkan siswa kurang terdorong untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya. Hal tersebut bertentangan dengan tujuan mata pelajaran PKn dimana PKn bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, serta berpartisipasi aktif dalam kegiatan bermasyarakat, dalam hal ini kegiatan pembelajaran. Berdasarkan hasil observasi di kelas V SD Negeri 1 Sedayu Bantul selama PPL pada tanggal 15 Juli sampai 15 September 2016, peneliti melakukan analisis hasil pengamatan yang dilakukan menunjukkan beberapa permasalahan yang mengarah pada kurangnya critical thinking siswa pada mata pelajaran PKn. Pertama, ketika guru menanyakan tentang penjelasan materi yang telah dipelajari, siswa tidak mau bertanya. Padahal siswa belum memahami materi yang dijelaskan karena jawaban yang diberikan siswa masih belum benar. Kedua, siswa belum mampu untuk menganalisis sumber yang relevan dengan pembelajaran. Hal tersebut terlihat ketika siswa mengerjakan tugas dengan membuka buku, masih banyak jawaban yang belum benar. Selanjutnya, siswa belum mampu 5 menyimpulkan hasil pembelajaran secara mandiri, sehingga guru harus membantu siswa dalam merumuskan kesimpulan. Siswa juga belum mampu ketika guru meminta mengkaitkan hasil pembelajaran dengan realita di kehidupannya. Berdasarkan hasil ulangan akhir semester 1, rata-rata nilai PKn di rapor sudah di atas KKM yakni 78 dengan KKM 75. Rata-rata nilai PKn masih di bawah rata- rata nilai mata pelajaran lain seperti Bahasa Indonesia dengan rata-rata 81, IPS dengan rata-rata 82, IPA dengan rata-rata 80, tetapi sama dengan nilai rata-rata mata pelajaran Matematika yaitu 78. Akan tetapi, pada saat pembelajaran matematika siswa memiliki kemauan yang kuat untuk belajar, yang terlihat dari siswa yang memerhatikan penjelasan guru serta kemauan untuk mencatat dan mengerjakan tugas mereka secara mandiri. Berbeda dengan pembelajaran PKn dimana banyak siswa kurang antusisas mengikuti kegiatan pembelajaran. Hal tersebut disebabkan karena rendahnya critical thinking siswa pada mata pelajaran PKn, sehingga penerimaan konsep PKn belum mengena pada siswa. Selain permasalahan di atas, peneliti juga menemukan bahwa pembelajaran PKn masih bersifat monoton dengan menggunakan metode ceramah yang terlalu dominan. Pembelajaran belum menekankan pada keaktifan siswa sebagai subyek belajar. Kegiatan belajar didominasi dengan mengahafal materi. Dengan kata lain, siswa belum diajak untuk berpikir secara kritis dan mengembangkan daya pikir siswa. hal tersebut membuat siswa merasa bosan dengan pembelajaran PKn dan menganggap spembelajaran PKn adalah pembelajaran yang sulit. Beberapa siswa mengatakn bahwa PKn merupakan mata pelajaran yang sulit. Mereka harus 6 menghaflkan banyak materi dalam PKn. Oleh karena itu, siswa sering bosan bahkan mengantuk ketika pembelajaran PKn berlangsung. Hal tersebut membuat iswa lebih memilih sibuk mengobrol dengan temannya. Apabila hal tersebut berjalan terus menerus akan mengakibatkan daya pikir siswa menjadi rendah dan siswa kurang mnegembangkan critical thinking mereka. Hal tersebut bertentangan dengan pengertian critical thinking menurut Faiz 2012: 3 bahwa critical thinking adalah aktivitas mental yang dilakukan untuk mengevaluasi kebenaran sebuah pernyataan. Sesuai dengan hal tersebut, evaluasi mengarah pada pengambilan keputusan untuk menerima, menangkal, atau meragukan suatu pernyataan. Seseorang yang berpikir kritis akan berpikir sebelum bertindak. Critical thinking is reasonable and reflective thinking focused on deciding what to believe or do Ennis, 2011:1. Pengertian tersebut mengandung arti bahwa berpikir kritis adalah pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang fokus pada pengambilan keputusan tentang apa yang akan dilakukan atau diyakini. Keputusan masuk akal tentang sesuatu yang dilakukan atau diyakini menjauhkan seseorang dari keputusan yang keliru, tidak bermoral karena tergesa-gesa Hassoubah, 2008: 86. Artinya, dengan berpikir kritis seseorang akan lebih berhati-hati dalam pengambilan keputusan yang akan mereka ambil, yang selanjtnya akan mereka praktikkan. Dengan kata lain, seorang pemikir kritis akan mempertimbangkan matang-matang apa yang akan dilakukan. Berpikir kritis dapat dikembangkan melalui latihan dan pembiasaan. Selayaknya nilai moral yang harus dibiasakan sejak kecil, keterampilan berpikir 7 kritis juga dikembangkan sejak usia anak-anak, agar semakin bertambah usianya, semakin bertambah pula kemampuan berpikir kritisnya. Critical thinking siswa dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran yang diintegrasikan dalam semua mata pelajaran di SD. Paul Hassoubah, 2008: 84 mengungkapkan bahwa keadaan lingkungan dan prasangka dianggap sebagai suatu kebenaran apabila mengembangkan anak-anak untuk berpikir secara kritis terhadap materi pelajaran, penggunaan bahasa, dan informasi yang mereka terima. Critical thinking perlu dikembangkan dalam diri siswa terkait dengan penerimaan konsep pembelajaran yang mereka pelajari. Susanto 2013: 126 mengungkapkan bahwa berpikir kritis membuat siswa lebih mudah memahami konsep, peka akan masalah yang terjadi, sehingga dapat memahami dan menyelesaikan masalah serta mampu mengimplementasikan konsep dalam situasi yang berbeda. Dengan demikian, siswa tidak hanya hafal teori dalam materi PKn saja, tetapi mereka juga mampu mengimplementasikannya. Dalam upaya meningkatkan critical thinking di dunia pendidikan diperlukan proses pembelajaran yang memicu aktivitas siswa. Kegiatan pembelajaran yang aktif dapat ditentukan melalui model, metode, atau media yang digunakan. Peran guru di dalam kelas adalah sebagai fasilitator atas kegiatan yang dilakukan oleh siswa. Hal tersebut dilakukan agar kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa atau student centered. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan guru untuk meningkatkan critical thinking siswa khususnya dalam mata pelajaran PKn adalah model pembelajaran Problem Based Instruction PBI. 8 Model pembelajaran Problem Based Instruction PBI atau yang sering disebut dengan pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran dimana guru menyajikan masalah autentik dan bermakna bagi siswa sebagai awal dari kegiatan pembelajaran Trianto, 2007: 91. Problem Based Instruction PBI berorientasi pada pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah, sekaligus mengembangkan kemampuan peserta didik untuk aktif membangun pengetahuannya sendiri Fathurrohman, 2015: 113. Melalui model pembelajaran PBI ini, siswa akan mampu menganalisis masalah-masalah autentik yang ada disekitar mereka, menyelidiki, dan mencari solusi dari permasalahan tersebut. Penyelidikan masalah yang dilakukan siswa akan memunculkan kemampuan berpikir kritis siswa agar mereka tidak ragu-ragu dalam membuat keputusan dalam pemecahan masalah. Oleh karena itu, model PBI sangat tepat digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis dalam memecahkan suatu permasalahan. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Aquarista pada tahun 2011, dimana model pembelajaran Problem Based Instruction PBI mampu meningkatkan kemampuan hasil belajar dan aktivitas siswa pada mata Pelajaran PKn. Aktivitas dan hasil belajar PKn tentulah memerlukan kemampuan berpikir yang lebih kritis, agar kesimpulan yang dihasikan tidak keliru. Aktivitas dalam pembelajaran akan meningkatkan partisipasi siswa dalam mengemukakan pemikiran kritis mereka, sehingga mampu meningkatkan hasil belajarnya. Oleh karena itu, model PBI sangat tepat digunakan untuk meningkatkan critical thinking siswa. 9 Berdasarkan uraian di atas, peneliti bermaksud untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan peneliti. Penelitian yang dilakukan adalah jenis Penelitian Tindakan Kelas PTK dengan judul “Peningkatkan Critical Thinking Siswa Kelas V pada Mata Pelajaran PKn melalui Model Pembelajaran Problem Based Instruction PBI di SD Negeri 1 Sedayu Bantul Tahun Ajaran 20162017.”

B. Identifikasi Masalah