bersikukuh. Di rinya berkata, “tidak mengizinkan kritik destruktif terhadap
kepemimpinan saya.
13
Selama pemberlakuan Undang-Undang Darurat tersebut, koran- koran dilarang terbit dengan aneka alasan „politis‟, misalnya dinilai
mendukung aspirasi daerah ketimbang pemerintah pusat atau dipandang menghina presiden, politisi senior dan tokoh militer. Hal ini terjadi pada
Masyumi dan PSI yang mendapatkan tekanan keras oleh pemerintah. Abadi
akhirnya terpaksa tutup di penghujung tahun 1960. Awal tahun 1961 giliran Pedoman yang kena pasung. Sebaliknya, sirkulasi Harian
Rakyat meningkat secara pasti hingga mencapai angka 70.000 pada tahun 1964. Tahun 1965, Harian rakyat sempat mencatatkan angka 85.000
eksemplar sebelum akhirnya dilarang terbit bersama dengn penerbitan- penerbitan „kiri‟ lainnya pasca kup militer 1 Oktober pada tahun tersebut.
14
4. Masa Orde Baru
Pers pada periode awal Orde Baru, 1966-1975 dapat digambarkan secara kuantitatif dari hasil penelitian Judith B. Agassi 1969. Pada tahun
1966 terdapat 132 harian di Indonesia dengan total tiras 2 juta eksemplar dan mingguan sebanyak 114 buah dengan total tiras 1.540.200 eksemplar.
Angka ini menunjukkan kualitas pers mengalami kenaikan dibanding dengan Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965 terdapat 11 harian dengan
13
David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, h. 27.
14
David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, h. 27-28.
total tiras 1.432.850 eksemplar dan mingguan 84 buah dengan total tiras 1.153.800 eksemplar.
15
Tahun 1965 adalah kala terburuk di sepanjang sejarah pers sepanjang Indonesia merdeka. Pada bulan Februari dan Maret tahun itu, 29
koran dilarang terbit karena mendukung kubu anti Komunis yang ironisnya bernama Badan Pendukung Soekarno BPS. sementara itu 46
dari 163 surat kabar ditutup tanpa alasan jelas dalam serangan balasan pasca kekacauan politik tanggal 1 Oktober 1965. Penutupan itu dilakukan
lantaran karena sederetan surat kabar tersebut diduga terkait atau jadi simpatisan Partai Komunis Indonesia PKI dan onderbouw-nya. Ratusan
staf redaksi ditahan. Para pendukung „kiri‟ ditendang dari Persatuan Wartawan Indonesia PWI dan kantor berita Antara. Setelah peristiwa 1
Oktober 1965, Antara limbung berat, kantor berita ini ditempatkan di bawah komando daerah militer. Tiga puluh persen staf redaksinya masuk
penjara. Sederetan peristiwa penangkapan dan pembunuhan sejumlah jurnalis baik yang komunis sejati maupun sekedar simpatisan, menjadi
kepingan-kepingan rangkaian teka-teki seputar pembantaian massal yang terjadi di berbagai wilayh pedesaan pada tahun 1965-1966. Sampai
puluhan tahun kemudian, pembantaian massal ini tetap menghantui pers Indonesia.
16
15
Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia Yogyakarta: Lkis, 1995, h.45.
16
David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, h. 33-34.
Media massa, termasuk pers khususnya media elektronik, jadi alat penting dalam memelihara dan membantu legitimasi Orde Baru.
Pergantian politik dan kekuasaan usai peristiwa 1 Oktober 1965 kemudian diwarnai dengan keluarnya aneka landasan hukum, salah satunya Undang-
Undang Pers tahun 1966. Undang-undang yang secara singkat mengartikan bahwa rezim penguasa saat itu bisa mengeluarkan
pernyataan apapun yang pada intinya media bisa disetir oleh pemerintah.
17
Pemberontakan G30SPKI berakhir menyebabkan beberapa surat kabar yang berhaluan kiri dilarang, seperti Harian Rakjat, Warta Bhakti,
dan Soeloeh Indonesia. Bersamaan dengan itu, muncul pers dan surat
kabar mahasiswa sebagai media perjuangannya, seperti Harian KAMI dan Minggoean Mahasiswa Indonesia
di Bandung.
18
Gelombang bredel yang terjadi pada kurun waktu 1970-an menimbulkan permusuhan tersembunyi antara hubungan pemerintah
dengan pers. Situasi yang akhirnya membuahkan perpecahan pada tahun 1974 dan 1978 yang ditandai dengan pembredelan massal oleh pemerintah
terhadap media massa. Media yang mencoba mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, akan dilibas oleh rezim berkuasa yang otoriter pada
saat itu.
19
Perjalanan pers nasional kembali mengalami peristiwa kelabu, setelah terjadinta peristiwa 15 Januari 1974, yang dikenal dengan sebutan
17
David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, h. 34.
18
Mondry, Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik, h.32-33.
19
David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, h. 37.
Malapetaka Lima Belas Januari Malari. Beberapa surat kabar dilarang terbit, seperti Indonesia Raja, Pedoman, Abadi, KAMI, El-Bahar,
Mingguan Mahasiswa Indonesia , dan Mingguan Srikandi. Setelah
peristiwa itu, surat kabar yang berkembang justru surat kabar independen dan profesional. Terbukti setelah tahun 1970-an, tercatat 1.559 Surat Izin
Terbit SIT yang dikeluarkan pemerintah untuk persuratkabaran.
20
Seperti yang diketahui, pada saat itu para penerbitan surat kabar wajib memiliki
dua izin yang saling terkait. Dua izin tersebut adalah Surat Izin Terbit SIT dari Departemen Penerangan yang nyata-nyata sebuah lembaga sipil
dan yang kedua adalah surat Izin Cetak SIC dari lembaga keamanan militer KOPKAMTIB. Tanpa kedua izin tersebut, secara hukum sebuah
media tidak akan mungkin terbit. Apabila salah satunya atau kedua lembaga tersebut mencabut izinnya, secara otomatis media itu dibredel.
21
Pada bulan September 1982 intervensi pemerintah masuk lebih dalam lagi. Guna membedakan pers umum milik lembaga independen dan
pers khusus, seperti milik perguruan tinggi atau lembaga lain, pemerintah menetapkan surat kabar umum harus memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers SIUPP, sedangkan pers khusus tetap menggunakan SIT.
22
Tidak banyak yang berubah dari perubahan tersebut, karena pada intinya penerbitan pers harus tetap tunduk pada pemerintah. Perbedaanya
adalah peraturan kali ini menjangkau sampai ke perusahaan pers. Jadi,
20
Mondry, Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik, h.33.
21
David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, h. 35.
22
Mondry, Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik , h.33.
peraturan pemerintah berpatokan pada dunia usaha dan seluk-beluknya. Rumitnya perizinan sangat kakunya peraturan saat itu membuat perubahan
sekecil apapun dinilai sebagai sebuah pelanggaran teknis atas izin. Pemberedelan yang menimpa DeTIK dan Editor pada tahun 1994 silam
merupakan bukti nyata dari pelanggaran teknis. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa akar permasalahannya adalah karena kedua media
tersebut memuat berita yang mengkritik orang-orang dekat presiden.
23
Terlepas dari berbagai gelombang bredel, sejak tahun 1978 pasarlah yang menentukan hidup matinya sebuah media, bukan
pemerintah. Beberapa memang diberangus pemerintah namun berbagai sumber turunnya penerbitan adalah terkait masalah pengumpulan dana.
Alasan utamanya adalah sejak SIUPP tidak lagi bisa diperjualbelikan, ekspansi perusahaan pers dilakukan lewat kerjasama manajeman dan
penanaman modal gabungan dengan media-media lain yang tidak jelas masa depannya. Yang terjadi adalah sederetan surat kabar daerah tumbang
sementara koran-koran kecil dihisap masuk kedalam imperium pers metropolis. Imperium terkaya tersebut antara lain adalah Kompas, Suara
Pembaruan, Tempo dan Media Indonesia.
24
5. Pers saat ini