akan menggerakkan seseorang sehingga terlibat secara emosional tanpa meninggalkan unsur rasio dan nilai hidup.
4 Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional adalah gabungan kemampuan emosional dan sosial. Seseorang yang mempunyai kecerdasan
emosional akan mampu menghadapi masalah yang terjadi dalam kehidupan karena biasanya orang yang mempunyai kecerdasan
emosional mempunyai kesadaran akan emosinya, mampu menumbuhkan motivasi pada dirinya karena tergerak malakukan
aktifitas dengan baik dan ingin mencapai tujuan yang diinginkannya, serta mengungkapkan perasaan dengan baik dan kontrol dirinya sangat
kuat.
f. Menilai Kemajuan Pendidikan Budi Pekerti
Zubaedi 2005:31 berpendapat visi utama pendidikan budi pekerti adalah untuk melakukan transfer dan transmisi sistem nilai yang
memungkinkan peserta didik mengalami perubahan sikap, sifat, dan perilaku secara lebih positif. Tentunya, ada ukuran minimal untuk menilai
seorang peserta didik telah mengalami perkembangan kualitas karakter dan moral. Seorang anak dinilai telah punya karakter jika ia mampu
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku
sehari-hari. Jika ia berperilaku jujur dan suka menolong, ia dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Sebaliknya jika ia berperilaku tidak
jujur, kejam, atau rakus, ia dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek.
Terminologi karakter disini berkaitan erat dengan kepribadian seseorang. Seseorang disebut orang yang berkarakter jika tingkah lakunya
sesuai dengan kaidah moral. Lebih penting lagi, tindakan mengamalkan nilai-nilai kebaikan didasari kesadaran menghargai pentingnya nilai
karakter, bukan didasari oleh ketakutan berbuat salah atau motivasi ekstrinsik jangka pendek lainnya. Oleh karena itu, ruang lingkup
pendidikan budi pekerti diarahkan untuk membentuk totalitas kepribadian dimulai dari mengetahui kebajikan knowing the good merasakan feeling
the good, mencintai loving the good, menginginkan desiring the good, hingga akhirnya mengerjakan acting the good kebajikan.
Berpijak pada prinsip di atas, seorang anak dianggap telah mengalami perkembangan moralitas positif jika ia telah memiliki
kesadaran moral sehingga dapat menilai dan membedakan hal-hal yang baik dan buruk. Anak yang bermoral dengan sendirinya akan tampak
dalam penilaian dan penalaran moralnya serta pada perilakunya yang baik, benar dan sesuai dnegan etika.
B. Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang relevan yaitu penelitian dari Musyarofah dalam tesisnya pada Program Studi Pendidikan IPS, Program Pasca Sarjana, UNY,
2006, yang berjudul “Penanaman Nilai Moral pada Anak Usia Dini di Taman Penitipan Anak TPA Birruna, Kanoman, Sleman”. Hasil penelitian ini
mengungkapkan pendekatan guru dan kepala sekolah dalam penanaman nilai moral pada anak usia dini dilakukan secara terus-menerus dan berulang-ulang
dalam serangkaian kegiatan harian Birruna dalam perawatan, pengasuhan dan pendidikan. Penanaman nilai moral pada anak dengan menggunakan dua
pendekatan yaitu pendekatan kharismatik, melalui kharisma seorang pendidik Guru KepSek nilai moral ditanamkan. Kedua, pendekatan action tindakan
yaitu penanaman nilai moral dengan jalan melibatkan anak dalam tindakan nyatapartisipasi dalam kegiatan di sekolah. Penanaman nilai moral dilakukan
dengan metode keteladanan, pembiasaan, cerita, nasehat dan role playing. Integrasi nilai moral dilakukan dengan kegiatan pendidikan berbasis alam dan
materi pembelajaran klasikal. Penelitian Abdul Rahman dalam skripsinya pada Program Studi
Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul ”Peranan Tempat Penitipan Anak TPA dalam
Membantu Mengembangkan Aspek Kecerdasan Anak Balita Studi pada TPA Dharma Yoga Santi, Universitas Negeri Yogyakarta mengungkapkan peran TPA
dalam bentuk kegiatan yang diberikan dalam rangka membantu mengembangkan
aspek kecerdasan anak meliputi: a kegiatan bermain di ruang bermain, yang terdiri dari kegiatan bermain puzzle susun, bermain balok-balok kayu, bermain
alat-alat masak; bkegiatan belajar dalam ruang belajar meliputi: pengenalan pengetahuan diri dan lingkungan, mengenal bermacam-macam binatang,
tumbuhan dan buah-buahan, mengenal hubungan sebab akibat, mengenal warna, bentuk dan ukuran, mengenal konsep waktu, mengenal hitungan sederhana, dan
merasakan suatu makanan. Peran pengasuh dalam proses pembelajaran kegiatan bermain di ruang
bermain pengasuh memberikan keleluasaan kepada anak untuk bermain sesuai minatnya, memantau serta mendamaikan bila terjadi pertengkaran atau berebut
alat bermain, sedangkan kegiatan belajar di ruang belajar pengasuh mengenalkan beberapa pengetahuan kepada anak kemudian anak diberikan kesempatan
memberikan tanggapan, berpikir menghubungkan konsep satu dengan lainnya, serta mengingat kembali beberapa pengetahuan dengan cara pengasuh bertanya
pengetahuan yang disampaikan. Hambatan yang dialami pengasuh dalam proses pembelajaran meliputi pengasuh sering mengalami kesulitan mengembangkan
materi kegiatan belajar karena pengasuh sering menghadapi anak yang bertengkar, berebut alat bermain, saling mengganggu, serta belum dapat
difungsikannya alat permainan edukatif APE secara maksimal karena terbatasnya jumlah pengasuh, sehingga sering mengerjakan pekerjaan ganda.
Penelitian Nuri Handayani dalam skripsinya pada Program Studi Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri