Memahami struktur dan kaidah teks cerita pendek

128 Orang-orang Larenjang Damhuri Muhammad Dari pagi ke pagi, mulut-mulut itu, satu demi satu, bagai beralih-rupa menjadi toa. Bila toa di surau mengumandangkan azan, maka toa-toa segala rupa yang terpancang seperti antena itu begitu kemaruk memancar-luaskan gunjing, asung, dan pitanah, bahkan sekali-dua melepas umpat dan makian. Gema suara mereka bagai gendang irama gambus di musim helat, begitu semarak, begitu menyentak. Ah, betapa lekas, betapa gegas, gunjing itu tersiar, bahkan jauh sebelum pantang dan larang kami langgar. Toa-toa itu bagai beranak-pinak, sambung-menyambung, balik- bertimbal, berteriak di pangkal kuping kami. Perihal beban berat yang bakal ditimpakan di pundak kami, tentang utang yang selekasnya mesti kami lunasi. Diselang-selingi pula dengan peringatan yang kadang terdengar serupa ancaman: ”siapa melompat siapa jatuh.” Sekali lagi, jauh sebelum pantang dan larang yang disebut-sebut itu kami terabasi. Seolah-olah kami telah lengah menimbang dan menakar, bahwa bila ”hidung dicucuk, tentulah mata bakal berair.” Toa yang terus menyala itu telah menjadi sebab paling absah menghilangnya yang terhormat pengulu kami, Bendara Gemuk. Sudah empat petang tak tampak batang hidungnya di lepau kopi, tidak pula di surau. Di usia kepala tujuh, Gemuk tentu tiada bakal pergi jauh. Sesungguhnya ia tidak pergi, hanya saja tidak pulang, dari ladang gambirnya, di rimba Cempuya. Mengingat, kerabat dekat kami, Julfahri, bersikeras hendak mempersunting Nurhusni, yang tidak lain adalah juga sanak famili kami. Dua sejoli yang sedang mabuk kepayang itu berasal dari rumpun yang sama: Larenjang. ”Kawin sesuku,” demikian leluhur kami menukilkan sebutan bagi pantang dan larang itu. Bila dilanggar, suku kami akan terbuang. Julfahri dan Nurhusni wajib kami hapus dari ranji silsilah dan hak waris. Keduanya diharamkan menginjakkan kaki di tanah Larenjang. Mereka harus angkat kaki dan tidak akan pernah ada tempat berpulang. Sementara itu, dalam beberapa musim, akibat menerabas pantangan, orang-orang Larenjang, tanpa kecuali, akan dikucilkan dari pergaulan antarsuku. Bagi kami, tidak akan berlaku lagi, duduk sama- rendah, apalagi tegak sama-tinggi. Pucuk pimpinan yang membawahi semua wilayah persukuan akan menetapkan denda, dan hukuman yang mesti kami jalani. Pendeknya, sebagaimana Julfahri dan Nurhusni, kami pun bakal merantau, meski bermukim di kampung sendiri. Maka, bagi Bendara Gemuk, daripada hidup berkalang malu, tentulah lebih baik mati berkalang tanah. Ia bertahan di rimba Cempuya, menggelepak di dangau lapuk dengan bekal seadanya. Meski lengang dan hawa dingin menusuk-nusuk tulang tuanya, tetap saja terasa lebih baik ketimbang terus-menerus mendengar desas-desus yang tak kunjung reda. 129 ”Kenapa awak mesti menghamba pada aturan usang itu?” begitu Julfahri berkelit ketika Gemuk mendesaknya untuk membatalkan rencana itu. ”Mentang-mentang bersekolah tinggi, berani kau melanggar pantangan adat?” bentak Gemuk. ”Kami tidak punya hubungan tali-darah, jadi kami bisa menikah Kami siap dibuang dari Larenjang” ”Tapi, bagaimana dengan kami yang akan menanggung malu seumur- umur?” ”Bila tidak berbuat salah, kenapa harus malu?” ”Kau tidak takut akibat dari melanggar pantangan itu?” ”Awak hanya takut melanggar ajaran Tuhan” ”Jaga mulutmu, Julfahri. Bisa kualat kau nanti” 2 Kami tidak menutup mata, bahwa tiga dari lima pengulu di setiap suku di kampung ini lebih kerap beroleh celaan ketimbang menerima pujian. Alih-alih mencurahkan perhatian pada kemenakan, mereka lebih kerap menjadi benalu dalam suku. Betapa tidak? Tengoklah para pengulu itu, bagai berlomba-lomba mengeruk kekayaan suku, lalu hasilnya diboyong ke rumah anak-bini. Mentang-mentang berkuasa, tak segan- segan mereka menggadai- melego tanah suku, guna membangun rumah batu, untuk istri dan anak-anaknya, sementara banyak kemenakannya putus sekolah lantaran tidak ada biaya. Maka jangan heran, kalau ada pengulu yang sudah dibawa-lalu, tidak lagi diperlakukan sebagaimana pengulu. Sekali waktu, ada pengulu yang sampai babak belur setelah dihajar-digebuk oleh kemenakannya sendiri. Namun, yang terhormat Bendara Gemuk, selalu dapat kami kecualikan. Sejak dulu, belum sekali pun ia mengecewakan kami. Nyaris separuh umurnya telah habis oleh segala macam urusan kemenakan. Tak jarang ia mesti bersitegang urat leher dengan istrinya, lantaran perhatiannya lebih tercurah pada kemenakan dalam suku Larenjang. Perkara seremeh apa pun yang menimpa kami, Gemuk selalu menjadi orang yang pertama kali turun-tangan menyelesaikannya. Bahkan bila terjadi kegentingan, ia tidak gamang ”pasang-badan” demi membela kami, para kemenakannya. Suatu hari, ketika judi sabung merajalela di kampung ini, kami tertangkap tangan dan beberapa hari harus meringkuk di sel kantor polisi. Bendara Gemuk kasak-kusuk, berupaya mencarikan jalan, agar secepatnya kami terbebas dari kurungan. Begitu pun ketika kerabat kami