PENGARUH INTERAKSI TEMAN SEBAYA DAN PENALARAN MORAL TERHADAP KONTROL DIRI PADA SISWA KELAS XI SMKN 1 KASIHAN BANTUL TAHUN AJARAN 2014/2015.

(1)

PENGARUH INTERAKSI TEMAN SEBAYA DAN PENALARAN MORAL TERHADAP KONTROL DIRI PADA SISWA KELAS XI SMKN 1

KASIHAN BANTUL TAHUN AJARAN 2014/2015

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Nandar Pamungkas Sari NIM 11104241076

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

i

PENGARUH INTERAKSI TEMAN SEBAYA DAN PENALARAN MORAL TERHADAP KONTROL DIRI PADA SISWA KELAS XI SMKN 1

KASIHAN BANTUL TAHUN AJARAN 2014/2015

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Nandar Pamungkas Sari NIM 11104241076

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(3)

(4)

(5)

(6)

v MOTTO

Biarkanlah Orang Lain Berkata Apa Tentang Saya, Karena Setelah Sedikit Waktu Berlalu, Mereka Bukan Siapa-Siapa.

(Penulis)

Sebaik-Baik Manusia Adalah Orang Yang Paling Bermanfaat Bagi Manusia. (HR. Thabrani dan Daruquthni)

Sesungguhnya Allah Tidak Akan Mengubah Nasib Suatu Kaum Kecuali Kaum Itu Sendiri Yang Mengubah Apa-apa Yang Ada Pada Diri Mereka.


(7)

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini penulis persembahkan kepada :

• Ibuku tercinta

• Ibuku tersayang

• Ibuku terkasih

• Kedua orangtuaku yang selalu memberikan segalanya yang terbaik bagiku dalam keadaan apapun

• Almamaterku, Universitas Negeri Yogyakarta


(8)

vii

PENGARUH INTERAKSI TEMAN SEBAYA DAN PENALARAN MORAL TERHADAP KONTROL DIRI PADA SISWA KELAS XI SMKN 1

KASIHAN BANTUL TAHUN AJARAN 2014/2015

Oleh

Nandar Pamungkas Sari NIM. 11104241076

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) pengaruh interaksi teman sebaya dan penalaran moral terhadap kontrol diri siswa, (2) pengaruh interaksi teman sebaya terhadap kontrol diri siswa, (3) pengaruh penalaran moral terhadap kontrol diri siswa kelas XI di SMKN 1 Kasihan Bantul Tahun Ajaran 2014/2015.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis regresi. Penelitian dilakukan di SMKN 1 Kasihan Bantul pada bulan Desember 2015. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMKN 1 Kasihan Bantul Tahun Ajaran 2014/2015. Sampel diambil menggunakan teknik Quote Random Sampling dengan jumlah 3 kelas. Alat pengumpul data berupa skala interaksi teman sebaya, skala penalaran moral, dan skala kontrol diri. Uji validitas dan reliabilitas instrumen dihitung dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach. Analisis data menggunakan teknik regresi berganda pada uji hipotesis pertama, dan regresi sederhana pada uji hipotesis kedua dan ketiga dengan nilai signifikansi 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) terdapat pengaruh positif dan signifikan interaksi teman sebaya dan penalaran moral terhadap kontrol diri pada siswa dengan sumbangan efektif sebesar 45,71%, (2) terdapat pengaruh positif dan signifikan interaksi teman sebaya terhadap kontrol diri siswa dengan sumbangan efektif sebesar 18,16%, dan (3) terdapat pengaruh penalaran moral terhadap kontrol diri pada siswa dengan sumbangan efektif sebesar 27,71%. Kesimpulan penelitian ini adalah interaksi teman sebaya dan penalaran moral, baik secara bersama-sama ataupun masing-masing dapat memprediksi kontrol diri pada siswa kelas XI SMKN 1 Kasihan Bantul Tahun Ajaran 2014/2015.


(9)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, inayah, dan rizki-Nya, sehingga Tugas Akhir Skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar. Tugas Akhir Skripsi ini berjudul “Pengaruh Interaksi Teman Sebaya dan Penalaran Moral Terhadap Kontrol Diri Pada Siswa Kelas XI SMKN 1 Kasihan Bantul Tahun Ajaran 2014/2015”.

Tugas Akhir Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menjalani dan menyelesaikan studi.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan fasilitas akademik sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi. 3. Bapak Sugihartono, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah berkenan

meluangkan waktu, membimbing, memberikan ilmu, dan mengarahkan, serta memberi masukan kepada penulis selama penyusunan Tugas Akhir Skripsi.

4. Seluruh dosen jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP UNY atas ilmu yang bermanfaat selama penulis menjalani masa studi.

5. Kepala sekolah SMKN 1 Kasihan dan Ibu Purwanti, S.Pd. atas bantuan dan kerjasama sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dengan lancar.

6. Ibuku tercinta, Ibu Walgirah yang tanpa lelah memberikan doa dan selalu berusaha membantu baik secara moril maupun materi. Semoga Allah SWT senantiasa memberi kesehatan, memberi perlindungan, dan memberi kebahagiaan dunia akhirat. Amiin.

7. Kedua orangtuaku, yang selalu mendukung agar terus maju dan berkembang. Semoga Allah SWT membalas kasih sayang mereka.


(10)

ix

8. Saudari-saudariku tersayang yang selalu memberikan nasihat dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan lancar. 9. Sahabat-sahabatku tersayang yang tidak dapat penulis sebutkan

satu-persatu. Terimakasih, karena sepanjang pertambahan usiaku, kalian adalah pemberian Tuhan paling indah yang pernah ku terima.

10.Seluruh teman-teman khususnya BK B 2011 yang telah memberikan banyak kenangan, keceriaan, dan kebahagiaan sepanjang penulis menjalankan studi.

11.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis dalam penyelesaian Tugas Akhir Skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa Tugas Akhir Skripsi ini masih memiliki kekurangan. Oleh sebab itu, penulis dengan senang hati dan terbuka menerima komentar, kritik, dan saran yang membangun. Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat. Amiin.

Yogyakarta, 18 Januari 2016

Penulis,


(11)

x DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Batasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 8

G. Definisi Operasional ... 9

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Tentang Interaksi Teman Sebaya ... 11

1. Interaksi Teman Sebaya ... 11

a.Pengertian Interaksi Sosial ... 11


(12)

xi

c.Pengertian Interaksi Teman Sebaya ... 15

2. Aspek-aspek Interaksi Teman Sebaya ... 17

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Teman Sebaya ... 20

4. Cara Mengukur Interaksi Teman Sebaya ... 22

B. Kajian Tentang Penalaran Moral ... 23

1. Pengertian Penalaran Moral ... 23

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penalaran Moral... 26

3. Tahapan Perkembangan Moral ... 30

4. Cara Mengukur Penalaran Moral ... 35

C. Kajian Tentang Kontrol Diri ... 36

1. Pengertian Kontrol Diri ... 36

2. Aspek-aspek Kontrol Diri ... 39

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri ... 43

4. Fungsi Kontrol Diri ... 46

5. Cara Mengukur Kontrol Diri ... 47

D. Kajian Tentang Remaja Sebagai Siswa SMK ... 48

1. Pengertian Remaja ... 48

2. Pembagian Masa Remaja ... 50

3. Tugas Perkembangan Remaja ... 52

E. Penelitian Terdahulu ... 54

F. Pengaruh Interaksi Teman Sebaya dan Penalaran Moral Terhadap Kontrol Diri Pada Remaja ... 56

G. Paradigma Penelitian ... 60

H. Hipotesis Penelitian ... 61

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 63

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 63

C. Subjek Penelitian ... 63

1. Populasi ... 63


(13)

xii

D. Variabel Penelitian ... 66

E. Metode Pengumpulan Data ... 66

F. Instrumen Penelitian ... 67

1. Skala Interaksi Teman Sebaya ... 68

2. Skala Penalaran Moral ... 73

3. Skala Kontrol Diri ... 77

G. Uji Coba Instrumen ... 81

1. Uji Validitas ... 81

2. Uji Reliabilitas ... 85

H. Teknik Analisis Data ... 87

1. Uji Prasyarat Analisis ... 87

a. Uji Normalitas ... 87

b. Uji Linearitas ... 88

c. Uji Multikolinearitas ... 88

2. Uji Hipotesis ... 88

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran umum SMKN 1 Kasihan ... 90

B. Deskripsi Data Hasil Penelititan ... 91

1. Deskripsi Data Interaksi Teman Sebaya ... 92

2. Deskripsi Data Penalaran Moral ... 95

3. Deskripsi Data Kontrol Diri ... 97

C. Pengujian Hipotesis ... 100

1. Uji Prasyarat Analisis ... 100

a. Uji Normalitas ... 100

b. Uji Linearitas ... 103

c. Uji Multikolinearitas ... 104

2. Uji Hipotesis ... 105

a. Hasil Uji Hipotesis Mayor ... 106

b. Hasil Uji Hipotesis Minor 1 ... 108


(14)

xiii

3. Sumbangan Efektif dan Relatif ... 111

D. Pembahasan ... 112

E. Keterbatasan Penelitian ... 122

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 124

B. Saran ... 125

DAFTAR PUSTAKA ... 128


(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1. Populasi Penelitian ... 64

Tabel 2. Skor Alternatif Jawaban Skala ... 67

Tabel 3. Kisi-kisi Instrumen Interaksi Teman Sebaya ... 72

Tabel 4. Kisi-kisi Instrumen Penalaran Moral ... 76

Tabel 5. Kisi-kisi Instrumen Kontrol Diri ... 80

Tabel 6. Rentang Skor Validitas Masing-masing Instrumen ... 83

Tabel 7. Instrumen Interaksi Teman Sebaya Setelah Uji Coba ... 84

Tabel 8. Instrumen Penalaran Moral Setelah Uji Coba. ... 85

Tabel 9. Instrumen Kontrol Diri Setelah Uji Coba ... 85

Tabel 10. Inteprestasi Koefisien Korelasi ... 86

Tabel 11. Reliabilitas Instrumen ... 87

Tabel 12. Deskripsi Data Interaksi Teman Sebaya ... 93

Tabel 13. Batas Interval Kategorisasi Interaksi Teman Sebaya... 93

Tabel 14. Distribusi Frekuensi Interaksi Teman Sebaya ... 94

Tabel 15. Deskripsi Data Penalaran Moral ... 95

Tabel 16. Batas Interval Kategorisasi Penalaran Moral ... 96

Tabel 17. Distribusi Frekuensi Penalaran Moral ... 96

Tabel 18. Deskripsi Data Kontrol Diri ... 98

Tabel 19. Batas Interval Kategorisasi Kontrol Diri ... 98

Tabel 20. Distribusi Frekuensi Kontrol Diri ... 99

Tabel 21. Hasil Uji Normalitas ... 101

Tabel 22. Hasil Uji Linearitas ... 104

Tabel 23. Hasil Uji Multikolinearitas ... 105

Tabel 24. Hasil Uji Hipotesis Mayor ... 107

Tabel 25. Hasil Uji Hipotesis Minor 1 ... 108

Tabel 26. Hasil Uji Hipotesis Minor 2 ... 110


(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 1. Paradigma Penelitian ... 61

Gambar 2. Distribusi Frekuensi Interaksi Teman Sebaya... 95

Gambar 3. Distribusi Frekuensi Penalaran Moral ... 97

Gambar 4. Distribusi Frekuensi Kontrol Diri ... 100

Gambar 5. Grafik P-P Plot Normalitas ... 102


(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1. Lembar Uji Expert Judgement ... 132

Lampiran 2. Instrumen Penelitian Sebelum Uji Coba ... 152

Lampiran 3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Interaksi Teman Sebaya ... 158

Lampiran 4. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Penalaran Moral... 159

Lampiran 5. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kontrol Diri ... 160

Lampiran 6. Instrumen Penelitian Setelah Uji Coba... 161

Lampiran 7. Distribusi Skor Data Penelitian ... 166

Lampiran 8. Data Kategorisasi... 178

Lampiran 8. Rumus Penghitungan Kategori ... 180

Lampiran 9. Penghitungan Kelas Interval ... 182

Lampiran 9. Hasil Uji Kategorisasi... 183

Lampiran 10. Hasil Uji Deskriptif ... 184

Lampiran 11. Hasil Uji Normalitas ... 185

Lampiran 12. Hasil Uji Linearitas ... 186

Lampiran 13. Hasil Uji Multikolinearitas ... 187

Lampiran 14. Hasil Uji Hipotesis ... 188

Lampiran 15. Surat Permohonan Ijin Penelitian ... 189


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa

dewasa dan merupakan salah satu tahap perkembangan dalam rentang kehidupan

manusia. Zakiah Daradjat (1982: 28) menyebut remaja sebagai tingkatan umur

dimana individu tidak lagi anak-anak, tetapi belum dapat dipandang sebagai orang

dewasa. Dapat dikatakan bahwa masa remaja merupakan jembatan antara masa

anak-anak dan masa dewasa. Perubahan banyak terjadi pada individu yang

memasuki masa remaja. Perubahan tersebut meliputi semua aspek perkembangan

seperti perubahan fisik, perubahan emosi, perubahan sosial, moral, dan juga

kepribadian.

Monks, dkk (2002: 262) menjelaskan bahwa masa remaja secara global

berlangsung antara usia 12 hingga 21 tahun. Masa remaja ini juga seringkali

disebut dengan masa badai dan topan dikarenakan kedudukan remaja yang berada

pada masa transisi dari anak-anak menuju dewasa membuat remaja mengalami

perubahan struktur sosial. Hal tersebut seringkali menjadikan remaja rawan

mengalami krisis identitas. Mereka merasa kebingungan mengenai status sosial

yang diberikan kepadanya. Para remaja bertanya-tanya mengenai siapa dirinya

dan apa peranannya dalam masyarakat.

Ditinjau dari tingkat pendidikan, seorang remaja yang berusia antara 14

hingga 18 tahun umumnya telah berada pada jenjang sekolah menengah atas


(19)

2

waktu remaja setiap harinya dihabiskan di lingkungan sekolah. Sekolah sebagai

lembaga pendidikan sendiri memiliki tujuan salah satunya adalah menghasilkan

output pendidikan berupa siswa yang memiliki kualitas baik di bidang akademik maupun non akademik. Harapan dari pihak sekolah dan juga orangtua dari proses

pendidikan tersebut yaitu agar siswa dapat mencapai kematangan dalam berbagai

aspek perkembangan sesuai dengan tugas perkembangannya.

Sementara melihat fenomena yang ada saat ini, seringkali orangtua dan

sekolah dihadapkan pada berbagai masalah yang terjadi pada remaja sebagai

siswa. Seperti kasus tawuran yang belum lama ini terjadi di Sleman, Yogyakarta.

Polres Sleman mengamankan 2 pihak pelajar setelah terlibat aksi tawuran di

kawasan Karanggayam, Sumberejo. Akibat dari tawuran tersebut salah satu siswa

pingsan karena terkena lemparan benda keras (jogja.tribunnews.com). Masalah

siswa yang masuk dalam kategori kekerasan kini juga tidak hanya terjadi pada

siswa putra, bahkan juga melibatkan siswi. Beberapa waktu yang lalu terjadi

tindak kekerasan yang terjadi di kalangan siswi sekolah menengah atas

dikarenakan masalah tato “Hello Kitty”. Korban disekap dan disiksa oleh sedikitnya 9 (sembilan) orang dimana 6 (enam) diantaranya adalah pelajar lain

(rri.co.id).

Kasus-kasus di atas merupakan contoh dari rendahnya kontrol diri pada

remaja. Kontrol diri dijelaskan oleh Berk (Singgih D. Gunarsa, 2006: 251) sebagai

kemampuan individu untuk menahan keinginan dan dorongan sesaat yang

bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Kontrol


(20)

3

tingkah laku, dan juga mengambil keputusan. Kekurangmampuan remaja dalam

mengolah stimulus atau informasi dari lingkungan sekitar seringkali menyebabkan

remaja cenderung mengambil keputusan secara cepat tanpa mempertimbangkan

dampak dari tindakan yang diambil. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika

remaja lebih sering melakukan perilaku-perilaku yang oleh orang dewasa disebut

dengan perilaku maladaptif.

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan peneliti bertempat di

SMKN 1 Kasihan Bantul, peneliti menjumpai adanya siswa yang berbicara

dengan guru menggunakan bahasa jawa “ngoko” yang dianggap kurang pantas

digunakan kepada orang yang lebih tua. Peneliti juga sering melihat beberapa

siswa yang mengikuti pelajaran hanya menggunakan kaos dengan alasan gerah

setelah pelajaran praktik. Masalah bolos sekolah dan kedisiplinan siswa dalam

jam masuk kelas juga masih sering terjadi. Sementara setelah melakukan

wawancara dengan guru BK di sekolah tersebut, peneliti mendapat keterangan

bahwa beberapa hari sebelum melakukan observasi, ada siswa kelas XI yang

kedapatan membawa minuman keras di lingkungan sekolah. Alhasil siswa

tersebut terjaring razia polisi dan mendapatkan pembinaan. Masalah-masalah

yang terjadi pada beberapa siswa di SMKN 1 Kasihan ini juga merupakan bentuk

dari kontrol diri yang kurang baik akibat dari siswa yang kurang mampu dalam

menghadapi stimulus yang diterimanya dengan baik yang dalam hal ini bisa

berupa peraturan sekolah.

Selain itu juga didapat keterangan bahwa masalah kesulitan siswa dalam


(21)

4

dijelaskan oleh Bimo Walgito (2011: 74) sebagai hubungan antar individu dalam

suatu kelompok dalam lingkungan masyarakat dimana anggota-anggotanya

berada pada usia yang relatif sama. Berbeda dengan sekolah menengah atas atau

sekolah menengah kejuruan yang lain, SMKN 1 Kasihan merupakan sekolah

kejuruan dimana di dalamnya terdapat kompetensi keahlian seperti menari, teater,

dan karawitan. Kompetensi keahlian tersebut membutuhkan ketrampilan

berinteraksi yang baik karena dalam setiap praktiknya selalu berkelompok. Siswa

harus memiliki kemampuan berinteraksi dengan orang lain agar dapat

bekerjasama dengan baik.

Guru BK di sekolah tersebut juga memberikan keterangan bahwa siswa

yang melakukan penyimpangan biasanya adalah siswa yang dihindari oleh

teman-temannya. Sementara kebanyakan siswa yang memiliki penyesuaian diri yang

baik terhadap lingkungannya lebih dapat diterima oleh teman-temannya dan

seringkali terhindar dari penyimpangan. Hal tersebut sesuai dengan keterangan

yang didapatkan peneliti ketika mewawancarai beberapa siswa di sekolah

tersebut. Beberapa siswa tersebut menyatakan bahwa mereka kurang menyukai

siswa yang tidak dapat bekerjasama dengan baik ketika dalam satu kelompok.

Para siswa ini juga menyatakan bahwa ketika berada dalam satu kelompok

praktikum, mereka akan berusaha menjalankan tanggung jawab sebagai anggota

kelompok dengan baik sehingga tujuan kelompok dapat tercapai dengan baik.

Wawancara yang dilakukan peneliti dengan siswa juga menyangkut

pemahaman mereka mengenai peraturan-peraturan sekolah. Beberapa siswa dapat


(22)

5

belajar di sekolah. Siswa-siswa ini juga memahami bahwa melanggar peraturan

sekolah hanya akan mendatangkan kerugian bagi diri mereka sendiri dan tidak ada

manfaatnya, sehingga mereka berusaha untuk mentaati peraturan tersebut. Dari

keterangan tersebut peneliti menyimpulkan bahwa siswa-siswa tersebut telah

memiliki penalaran moral yang cukup baik. Sarwono (Solvia Karina Tarigan dan

Ade Rahmawati Siregar, 2013: 80) menjelaskan bahwa penalaran moral berkaitan

dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada

keputusan bahwa suatu hal dapat dianggap baik atau buruk. Berdasarkan

pengertian tersebut dapat diketahui bahwa pemahaman siswa mengenai

peraturan-peraturan sekolah tersebut juga merupakan bagian dari penalaran moral.

Selain itu juga ada beberapa siswa yang diwawancarai memberikan

keterangan yang kurang lebih menganggap bahwa peraturan sekolah dibuat hanya

untuk formalitas saja. Ada juga siswa yang menganggap peraturan sekolah yang

ada hanya membatasi mereka untuk bebas berekspresi. Mereka menganggap

peraturan sekolah kurang penting untuk dilaksanakan dan yang terpenting adalah

prestasi siswa. Berdasarkan keterangan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa

masih ada siswa yang memiliki penalaran moral yang kurang baik. Hal tersebut

ditunjukkan dengan adanya siswa yang memakai seragam sekolah tidak sesuai

aturan dan bahkan menggambari seragam sekolah mereka dengan gambar-gambar

animasi.

Masalah-masalah tersebut apabila tidak ditangani dan tidak mendapatkan

perhatian khusus dari berbagai pihak, tentu saja akan mengganggu proses


(23)

6

interaksi remaja dengan teman sebayanya yang kurang baik dan menimbulkan

penolakan dapat berakibat kurang baik pada psikis remaja. Penjelasan tersebut

didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Hightower (Santrock, 2003: 220)

yang menjelaskan bahwa hubungan dengan teman sebaya yang harmonis pada

masa remaja berhubungan dengan kesehatan mental yang positif pada usia

pertengahan.

Hasil penelitian yang dilakukan Santi Praptiani (2013) yang mengaitkan

variabel kontrol diri dan agresivitas menyimpulkan bahwa kontrol diri merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas seseorang. Sementara itu ada

dugaan bahwa faktor sosial dan ekonomi merupakan faktor yang dapat

mempengaruhi kontrol diri seseorang. Berdasarkan hal tersebut dan juga melihat

masalah-masalah yang terjadi, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai pengaruh interaksi dengan teman sebaya dan penalaran moral terhadap

kontrol diri pada siswa yang memasuki usia remaja. Perbedaan penelitian ini

dengan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan yaitu penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui pengaruh antara variabel interaksi teman sebaya dan variabel

penalaran moral terhadap variabel kontrol diri. Sejauh pengetahuan peneliti,

belum ada penelitian yang dilakukan yang terkait dengan ketiga variabel tersebut.

Oleh karena itu, peneliti akan mengambil judul “Pengaruh Interaksi Teman

Sebaya dan Penalaran Moral Terhadap Kontrol Diri pada Siswa kelas XI di

SMKN 1 Kasihan” dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh tersebut.


(24)

7 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas identifikasi masalah yang

ada antara lain:

1. Adanya siswa kelas XI di SMKN 1 Kasihan yang kurang mampu

melakukan kontrol diri dengan baik sehingga melakukan penyimpangan

atau pelanggaran tata tertib.

2. Kontrol diri yang kurang baik pada beberapa siswa kelas XI di SMKN 1

Kasihan menyebabkan siswa mengambil keputusan dengan cepat tanpa

memikirkan dampak yang ditimbulkan.

3. Adanya siswa kelas XI di SMKN 1 Kasihan yang seringkali masih

kesulitan dalam berinteraksi sehingga kurang dapat menyesuaikan diri

dengan kelompok pertemanan.

4. Adanya siswa kelas XI di SMKN 1 Kasihan yang masih kesulitan

memahami peraturan sekolah sehingga melanggar peraturan atau tata

tertib.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan juga dikarenakan keterbatasan

waktu, dana, tenaga, dan teori serta agar penelitian yang dilakukan tidak meluas

maka perlu adanya pembatasan masalah. Peneliti dalam penelitian ini membatasi

masalah pada pengaruh interaksi sosial teman sebaya dan penalaran moral

terhadap kontrol diri pada siswa kelas XI di SMKN 1 Kasihan, Bantul Tahun


(25)

8 D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka

perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh interaksi sosial teman sebaya dan penalaran moral

terhadap kontrol diri pada siswa kelas XI SMKN 1 Kasihan?

2. Bagaimana pengaruh interaksi sosial teman sebaya terhadap kontrol diri

pada siswa kelas XI SMKN 1 Kasihan?

3. Bagaimana pengaruh penalaran moral terhadap kontrol diri pada siswa

kelas XI SMKN 1 Kasihan?

E. Tujuan Penelitian

Hasil dari penelitian ini nantinya akan menjawab rumusan masalah yang

disebutkan di atas. Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka

tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh interaksi sosial teman sebaya dan penalaran moral

terhadap kontrol diri pada siswa kelas XI SMKN 1 Kasihan.

2. Mengetahui pengaruh interaksi sosial teman terhadap kontrol diri pada

siswa kelas XI SMK N 1 Kasihan.

3. Mengetahui pengaruh penalaran moral terhadap kontrol diri pada siswa

kelas XI SMK N 1 Kasihan.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Ditinjau dari sisi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan


(26)

9

dalam bidang ilmu Bimbingan dan Konseling yang mengkaji tentang

pengaruh interaksi sosial teman sebaya dan kontrol diri terhadap penalaran

moral pada remaja sebagai siswa.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pihak sekolah khususnya guru BK.

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat membantu guru BK

dalam upaya peningkatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di

sekolah sehingga bisa menjadi lebih baik lagi.

b. Bagi pihak orangtua.

Diharapkan dengan penelitian ini dapat menambah wawasan serta

pengetahuan orangtua dalam usaha peningkatan perhatian dan

pengawasan terhadap anak, mengingat anak-anak yang memasuki usia

remaja lebih banyak menghabiskan waktu di luar lingkungan keluarga.

c. Bagi siswa yang memasuki usia remaja.

Bagi siswa diharapkan setelah membaca penelitian ini dapat

menjadikan tulisan ini sebagai pembelajaran dan pengetahuan

khususnya ketika bersikap dan bertingkahlaku di lingkungan sekolah.

G. Definisi Operasional

1. Interaksi Teman Sebaya

Interaksi teman sebaya adalah hubungan yang dinamis antara satu

orang dengan orang lain yang kurang lebih sama secara usia maupun

kematangan psikologis dimana di dalamnya terjadi hubungan timbal balik


(27)

10

2. Penalaran Moral

Penalaran moral dimaknakan sebagai pemahaman seseorang mengenai

jawaban mengapa suatu hal dapat dianggap benar atau salah, baik atau

buruk, aturan yang harus dipatuhi dan lain sebagainya, dan berperan

sebagai kendali atas tingkah laku agar sesuai dengan norma masyarakat.

3. Kontrol Diri

Kontrol diri adalah kemampuan individu dalam menyusun,

membimbing, mengarahkan perilakunya, dan mengendalikan dirinya

untuk menahan keinginan yang bertentangan dengan norma sosial.

Individu yang memiliki kontrol diri dapat mematuhi peraturan dan

bekerjasama dengan orang lain serta berperilaku sesuai dengan norma


(28)

11 BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Tentang Interaksi Teman Sebaya

Dalam kajian tentang interaksi teman sebaya ini akan dibahas mengenai

pengertian interaksi teman sebaya, aspek-aspek interaksi sosial teman sebaya,

faktor yang mempengaruhi interaksi teman sebaya, dan cara mengukur interaksi

teman sebaya.

1. Interaksi Teman Sebaya

Masa remaja merupakan salah satu tahap dalam perkembangan

kehidupan manusia dimana Havighurts (Syamsu Yusuf, 2011: 74)

menjelaskan bahwa seseorang yang berada dalam tahap ini memiliki tugas

perkembangan salah satunya adalah mencapai kematangan dalam

hubungan sosial yang lebih matang dengan teman sebaya. Hubungan

remaja dengan teman sebaya ini memiliki fungsi untuk saling berbagi

informasi mengenai dunia di luar lingkungan keluarga. Dapatlah dipahami

bahwa remaja memerlukan interaksi dengan teman sebaya untuk mencapai

pola hubungan sosial yang lebih matang.

a. Pengertian Interaksi Sosial

Interaksi sosial dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut

sebagai hubungan sosial yang dinamis antara orang perseorangan dan

orang perseorangan, antara perseorangan dan kelompok, serta antara

kelompok dan kelompok yang di dalamnya menggunakan bahasa.


(29)

12

terjadi perubahan-perubahan diantara orang-orang yang terlibat di

dalamnya. Terdapat unsur bahasa dalam suatu interaksi yang

digunakan untuk berkomunikasi oleh orang-orang tersebut.

Bimo Walgito (2003: 65) menjelaskan interaksi sebagai hubungan

antara satu orang dengan orang lain dimana satu orang dapat

mempengaruhi orang lain atau sebaliknya. Interaksi dapat terjadi

antara satu orang dengan orang lain, satu orang dengan kelompok, atau

bahkan satu kelompok dengan kelompok lain yang mana dalam

interaksi tersebut terdapat hubungan timbal balik. Pengertian yang

kurang lebih sama juga disampaikan oleh Mohammad Ali dan

Mohammad Asrori (2010: 87) yang menyatakan bahwa interaksi sosial

merupakan hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, dan

masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran

secara aktif. Hubungan timbal balik berarti seseorang tidak hanya

menerima suatu interaksi dari orang lain tetapi juga memberikan

interaksi kepada orang lain. Oleh karena itu, dalam suatu interaksi

orang-orang yang terlibat memiliki peranan yang sama. Unsur-unsur

interaksi sosial menurut pengertian ini adalah adanya hubungan timbal

balik dan peran aktif dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.

H. Bonner (Slamet Santosa, 2004: 11) memberikan rumusan

tentang interaksi sosial yang disebutnya sebagai hubungan antara dua

orang atau lebih dimana perilaku satu orang dapat memberikan


(30)

13

Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam suatu interaksi, orang-orang

yang terlibat di dalamnya memiliki kesempatan yang sama untuk

memberikan pengaruh terhadap orang lain. Senada dengan rumusan

tersebut, Thibaut dan Kelley (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori,

2010: 87) mendefinisikan interaksi sosial sebagai peristiwa saling

mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir

bersama, menciptakan suatu hasil satu sama lain, atau berkomunikasi

satu sama lain. Pengertian interaksi sosial dari kedua ahli ini memiliki

kesamaan unsur yaitu bahwa dalam suatu interaksi terjadi proses saling

mempengaruhi antar orang-orang yang terlibat.

Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah disampaikan oleh

beberapa ahli di atas mengenai pengertian interaksi sosial, maka dapat

disimpulkan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan yang dinamis

antara satu orang dengan orang lain, satu orang dengan kelompok, atau

satu kelompok dengan kelompok lain menggunakan komunikasi

berupa simbol bahasa baik verbal maupun non-verbal didalamnya dan terjadi hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi.

b. Pengertian Teman Sebaya

Santrock (2003: 291) menjelaskan bahwa teman sebaya adalah

individu-individu yang berada dalam tingkatan usia yang sama dan

tingkat kedewasaan yang sama serta memainkan peran penting dalam

perkembangan remaja. Bersama dengan teman sebayanya inilah


(31)

14

dilakukannya apakah lebih baik, sama baiknya, atau bahkan lebih

buruk daripada yang dilakukan remaja lain. Teman sebaya

memberikan lingkungan bagi remaja untuk belajar mengenai hal-hal

yang tidak dapat remaja pelajari di lingkungan keluarga.

Lebih lanjut, Horrock dan Benimoff (Hurlock, 1996: 214)

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kelompok teman sebaya

adalah dunia nyata bagi individu dimana ia dapat menguji diri sendiri

dan orang lain yang sejajar dan seusia dengan dirinya serta dapat

merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya. Disinilah remaja

melakukan sosialisasi dalam situasi dimana nilai-nilai yang berlaku

bukanlah nilai-nilai dan sanksi-sanksi yang ditetapkan oleh orang

dewasa yang biasanya dihindari oleh remaja. Berdasarkan pengertian

ini diketahui bahwa konsep diri remaja juga dipengaruhi oleh

lingkungan teman sebaya. Penghindaran remaja pada otoritas orang

dewasa membuat dirinya bersama dengan teman sebaya membentuk

suatu kelompok dimana di dalamnya terdapat aturan tersendiri.

Sementara itu Slamet Santosa (2004: 79) memberikan gagasan

tentang teman sebaya yaitu kelompok usia sebaya yang

anggota-anggotanya memiliki kemampuan komunikasi serta interaksi yang baik

serta hal yang dialami oleh anggota kelompok tersebut adalah

hal-hal yang menyenangkan saja. Kesamaan tingkat usia tersebut

cenderung menimbulkan kesamaan minat anggota kelompok yang


(32)

15

dianggap menyenangkan. Senada dengan pendapat tersebut Umar

Tirtarahardja dan La Sulo (1995: 186) menyampaikan bahwa yang

dimaksud dengan teman sebaya atau kelompok teman sebaya adalah

suatu kelompok yang terdiri dari individu-individu yang bersamaan

usianya, seperti kelompok bermain pada masa kanak-kanak, kelompok

dengan anggota yang berjenis kelamin sama, atau bahkan kelompok

anak dengan perilaku menyimpang. Ciri umum yang dimaksud dengan

teman sebaya adalah kesamaan usia.

Berdasarkan uraian-uraian mengenai pengertian teman sebaya di

atas, dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan teman

sebaya adalah individu-individu yang berada pada tingkatan yang

kurang lebih sama baik secara usia maupun psikologis dimana

individu-individu tersebut memiliki kemampuan untuk berinteraksi

serta berkomunikasi. Teman sebaya memberikan kesempatan untuk

menguji dan menilai diri individu mengenai apakah yang ia lakukan

lebih baik, sama baiknya, atau bahkan lebih buruk. Banyak hal yang

dilakukan oleh kelompok teman sebaya adalah hal-hal yang bersifat

menyenangkan.

c. Pengertian Interaksi Teman Sebaya

Interaksi teman sebaya dijelaskan oleh Bimo Walgito (2011: 74)

sebagai hubungan antar individu dalam suatu kelompok dalam

lingkungan masyarakat dimana anggota-anggotanya berada pada usia


(33)

16

keterikatan antar individu-individu yang terlibat. Persamaan tingkat

usia pada anggota-anggota kelompok sebaya tersebut menyebabkan

remaja merasa berada pada posisi yang sama, sehingga remaja berpikir

bahwa teman-teman sebayanya tersebut lebih dapat memahami dirinya

dibandingkan orang lain. Interaksi yang terjadi juga menjadi lebih

intens ketika memasuki usia remaja karena sebagian besar waktu

remaja dihabiskan bersama dengan teman sebaya. Interaksi dalam

kelompok sebaya tersebut menimbulkan ikatan yang kuat antar

anggota di dalamnya.

Iis Lusiana (2014: 85) menjelaskan bahwa interaksi sosial yang

terjadi pada remaja antara lain interaksi dengan teman sebaya, interaksi

dengan lingkungan keluarga, dan interaksi dengan orang tua. Interaksi

remaja dengan teman sebaya merupakan keingingan untuk diterima

dalam kelompok teman sebaya sehingga remaja harus bisa

menyesuaikan diri dengan kelompok teman sebaya. Penerimaan oleh

teman sebaya berkaitan dengan kebahagiaan dimana hal tersebut

merupakan kebutuhan batin seorang remaja. Penilaian positif dan

pengakuan akan keberadaan remaja oleh teman sebaya tersebut

menyebabkan remaja melakukan penyesuaian diri demi kelancaran

proses penyatuan dirinya dengan aktivitas kelompok teman sebaya.

Interaksi teman sebaya dijelaskan oleh Monks, dkk (2002: 187)

sebagai permulaan hubungan persahabatan dan hubungan dengan


(34)

17

memiliki sifat-sifat antara lain saling pengertian, saling membantu,

saling percaya, serta saling menghargai dan menerima. Beberapa dari

teman sebaya akan menjadi sahabat dimana hubungan tersebut dapat

terjalin lebih lama serta memiliki ikatan emosional yang lebih kuat.

Keterikatan tersebut terjadi dikarenakan unsur-unsur interaksi teman

sebaya yang ada dalam pengertian ini yaitu kerjasama. Bersama

dengan teman sebaya, remaja belajar hidup bersama dengan orang lain

di luar anggota keluarga.

Berdasarkan pengertian interaksi sosial dan pengertian teman

sebaya yang telah dijelaskan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

yang dimaksud dengan interaksi teman sebaya adalah hubungan yang

dinamis antara satu orang dengan orang lain yang kurang lebih sama

secara usia maupun kematangan psikologis dimana di dalamnya terjadi

hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Interaksi teman

sebaya yang terjadi akan membentuk kelompok pertemanan dengan

sifat saling membantu, saling pengertian, saling percaya, dan saling

menghargai serta menerima.

2. Aspek-aspek Interaksi Teman Sebaya

Aspek-aspek yang muncul ketika remaja berinteraksi dengan teman

sebaya disampaikan oleh Mildred B. Parten (Save Dagun, 2002: 86) yaitu :

a. Jumlah waktu remaja berada di luar rumah, remaja mempunyai

kesempatan lebih banyak untuk berbicara dengan bahasa dan dengan


(35)

18

b. Keterlibatan remaja bermain dengan temannya, remaja menganggap

bahwa teman sebaya lebih dapat memahami keinginannya dan belajar

mengambil keputusan sendiri.

c. Kecenderungan remaja bermain sendiri, remaja yang suka bermain

sendiri biasanya introvert atau bila menghadapi suatu tekanan hanya

berperan sebagai penonton.

d. Kecenderungan remaja bermain peran, remaja berusaha menyesuaikan

diri dengan keadaan dimana remaja aktif bermain dengan teman

sebaya. Perkembangan sosial yang meningkat pada remaja tampak

terlihat dalam keinginannya untuk mendapatkan berbagai stimulan

luar.

e. Bermain asosiatif, remaja lebih suka bermain dengan teman sebayanya

dan melepaskan diri dari lingkungan orangtua untuk menemukan jati

dirinya.

f. Sikap kerjasama, pada kelompok teman sebaya untuk pertama kalinya

remaja menerapkan prinsip hidup bersama, sehingga terbentuk

norma-norma, nilai-nilai, dan simbol-simbol tersendiri.

Aspek-aspek tersebut menunjukkan keterlibatan remaja dalam

aktivitas-aktivitas dalam kelompok teman sebaya. Seringkali remaja

berpikiran bahwa teman sebaya lebih dapat memahami dirinya

dibandingkan orangtua mereka. Teman sebaya merupakan lingkungan

pertama dimana remaja belajar untuk hidup bersama dengan orang lain di


(36)

19

remaja dihabiskan bersama dengan teman sebayanya. Dari aspek-aspek

tersebut terdapat satu aspek yang kurang relevan yaitu kecenderungan

remaja untuk bermain sendiri.

Sedangkan aspek-aspek interaksi teman sebaya yang disampaikan

Hartup (Save Dagun, 2002: 55) sebagai berikut :

a. Perasaan ketergantungan pada teman sebayanya lebih besar daripada terhadap orang dewasa.

b. Perasaan simpati dan perasaan cinta semakin bertambah.

c. Ia ingin mempengaruhi yang lain, ingin menjadi pemimpin atas temannya.

d. Perasaan kompetisi bertambah. e. Suka bertengkar.

f. Aktivitas bernada agresif semakin bertambah.

Aspek-aspek interaksi teman sebaya yang disampaikan oleh Hartup di

atas menunjukkan bahwa pada saat berinteraksi dengan teman sebaya,

seseorang akan cenderung memiliki keinginan untuk berkompetisi.

Hampir sama dengan salah satu aspek yang disampaikan oleh Parten,

dalam aspek-aspek ini juga terdapat unsur dimana seseorang memiliki

kecenderungan bergantung pada teman sebaya daripada orangtua.

Berdasarkan aspek-aspek yang telah disampaikan di atas, maka

dapatlah disimpulkan bahwa aspek-aspek dalam interaksi sosial remaja

dengan teman sebaya adalah jumlah waktu remaja berada di luar rumah,

keterlibatan remaja bermain dengan teman sebayanya, kecenderungan

untuk bermain peran, bermain asosiatif, sikap kerjasama. Sementara itu

aspek-aspek yang bersifat negatif seperti kecenderungan remaja bermain

sendiri dihilangkan karena dianggap kurang relevan dengan aspek-aspek


(37)

20

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Teman Sebaya

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi interaksi teman sebaya

disampaikan oleh Bonner (W.A. Gerungan, 2004: 62) yaitu antara lain :

a. Faktor imitasi, merupakan peniruan terhadap perilaku orang lain dan

kemudian melakukan tingkah laku yang sama dengan perilaku

tersebut. Peranan imitasi dalam interaksi sosial biasanya terjadi pada

masa awal perkembangan anak.

b. Faktor sugesti, dapat dimaknakan sebagai proses dimana seseorang

menerima suatu cara pandang atau pedoman-pedoman tingkah laku

baik dari diri sendiri maupun dari orang lain dan berpengaruh secara

psikis bagi orang tersebut.

c. Faktor identifikasi, merupakan kecenderungan seseorang untuk

menjadi identik dengan orang lain. Interaksi yang terbentuk dari proses

identifikasi bersifat lebih mendalam dibandingkan dengan hubungan

yang berlangsung dari proses sugesti maupun imitasi.

d. Faktor simpati, dapat dimaknakan sebagai ketertarikan perasaan

seseorang terhadap orang lain. Ketertarikan yang timbul bukan karena

faktor tertentu tetapi karena keseluruhan cara bertingkah laku orang

tersebut.

Faktor-faktor tersebut erat kaitannya dengan perkembangan afektif dan

kognitif seseorang. Seperti misalnya faktor sugesti dan simpati dimana

seseorang belajar untuk menerima pandangan orang lain dan memiliki


(38)

pengalaman-21

pengalaman hubungan sosial serta perkembangan afektif dan kognitif

orang itu sendiri yang menjadi faktor yang dapat mempengaruhi interaksi

sosialnya.

Sementara itu Monks, dkk (2004: 276) menjelaskan bahwa ada

beberapa faktor yang cenderung mempengaruhi interaksi teman sebaya

pada remaja yaitu :

a. Umur, konformitas semakin besar dengan bertambahnya usia, terutama terjadi pada usia 15 tahun atau belasan tahun.

b. Keadaan sekeliling, kepekaan pengaruh dari teman sebaya lebih besar dari pada perempuan.

c. Kepribadian ekstrovet, anak-anak yang tergolong ekstrovet lebih cenderung mempunyai konformitas dari pada anak introvet.

d. Jenis kelamin, kecenderungan laki-laki untuk berinteraksi dengan teman lebih besar dari pada anak perempuan.

e. Besarnya kelompok, pengaruh kelompok menjadi semakin besar bila besarnya kelompok bertambah.

f. Keinginan untuk mempunyai status, adanya suatu dorongan untuk memiliki status, kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya interaksi diantara sebayanya. Individu akan menemukan kekuatan dalam mempertahankan dirinya di dalam perebutan tempat dari dunia orang dewasa.

g. Interaksi orang tua, suasana rumah yang tidak menyenangkan dan adanya tekanan dari orang tua menjadi dorongan individu dalam berinteraksi dengan teman sebayanya.

h. Pendidikan, pendidikan yang tinggi adalah salah satu faktor dalam interaksi teman sebaya karena orang yang berpendidikan tinggi mempunyai wawasan dan pengetahuan luas yang akan mendukung dalam pergaulannya.

Faktor-faktor yang disebutkan Monks, dkk ini tidak hanya berasal dari

lingkungan sosial remaja tetapi juga kepribadian remaja itu sendiri. Selain

itu hubungan keluarga yang kurang harmonis juga dapat mempengaruhi

interaksi remaja dengan teman sebaya. Monks, dkk juga menjadikan faktor

pendidikan sebagai hal yang disorot dalam perkembangan interaksi


(39)

22

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada berbagai faktor

yang mempengaruhi interaksi teman sebaya yaitu antara lain faktor

imitasi, sugesti, identifikasi, dan faktor simpati. Selain itu interaksi teman

sebaya juga dapat dipengaruhi oleh faktor umur, keadaan sekeliling,

kepribaian ekstrovert, jenis kelamin, besarnya kelompok, keinginan untuk

memiliki status, interaksi orangtua, dan juga pendidikan.

4. Cara Mengukur Interaksi Teman Sebaya

Cara pengukuran interaksi remaja dengan teman sebaya menggunakan

skala interaksi teman sebaya. Penggunaan skala ini bertujuan untuk

mengungkap interaksi teman sebaya pada remaja (siswa) dengan

mengukur perilaku-perilaku yang dikategorikan sebagai bagian dari

interaksi teman sebaya. Penelitian ini menggunakan aspek-aspek yang

disampaikan oleh Mildred B. Parten (Save Dagun, 2002: 86) mengenai

interaksi teman sebaya, antara lain:

a. Jumlah waktu remaja di luar rumah

b. Keterlibatan remaja bermain dengan teman sebaya

c. Kecenderungan remaja bermain sendiri

d. Kecenderungan remaja bermain peran

e. Kecenderungan remaja bermain asosiatif

f. Sikap kerjasama

Terdapat satu aspek yang dianggap kurang relevan dengan aspek yang

lain yaitu kecenderungan remaja untuk bermain sendiri. Sehingga dalam


(40)

23

tersebut dibuat menjadi angket dengan menjabarkan aspek-aspek tersebut

dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang digunakan untuk mengukur

interaksi remaja dengan teman sebaya.

B. Kajian Tentang Penalaran Moral

Kajian mengenai penalaran moral ini akan membahas mengenai

pengertian penalaran moral, faktor-faktor yang mempengaruhi penalaran moral,

tahapan perkembangan moral, dan cara mengukur penalaran moral.

1. Pengertian Penalaran Moral

Istilah moral berasal dari bahasa latin yaitu “mos” atau “moris” yang

berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan, nilai-nilai, serta tatacara

kehidupan (Syamsu Yusuf, 2010: 132). Sementara pengertian moral dalam

kamus besar Bahasa Indonesia adalah ajaran tentang baik buruk, perbuatan

dan kelakuan akhlak, kewajiban dan sebagainya. Chaplin (2006: 309)

menjelaskan bahwa moral menyinggung akhlak, moril, dan tingkah laku

yang sesuai dengan norma sosial, mengenai baik dan buruk suatu

perbuatan, dan menyinggung hukum atau adat kebiasaan yang mengatur

tingkah laku. Penjelasan mengenai moral dari ketiga sumber tersebut

menegaskan bahwa moral erat kaitannya dengan adat istiadat dalam

kehidupan bermasyarakat. Ajaran mengenai baik atau buruk suatu hal

dapat terjadi dikarenakan adanya adat istiadat tersebut. Moral dalam

pengertian ini memiliki unsur antara lain norma sosial, akhlak, dan adat


(41)

24

Wahab dan Solehuddin (Rita Eka Izzaty, dkk, 2008: 143) menjelaskan

bahwa moral mengacu pada baik buruk dan benar salah yang berlaku

dalam masyarakat luas. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah dipahami

bahwa moral sendiri merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat.

Suatu lingkungan masyarakat memiliki nilai dan aturan yang dijunjung di

dalamnya, sehingga untuk dapat hidup berdampingan seseorang harus

mengikuti dan mematuhi peraturan yang ada. Sejalan dengan hal tersebut

Rita Eka Izzaty, dkk (2008: 143) dalam bukunya menyimpulkan bahwa

moral adalah ajaran tentang baik buruk, benar salah, akhlak, aturan yang

harus dipatuhi dan sebagainya. Moral dimaknakan sebagai kendali atau

kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai kehidupan

seperti norma dalam masyarakat dan prinsip-prinsip yang menjadi

pegangan hidup seseorang. Moral juga merupakan salah satu bagian

penting yang berhubungan dengan perkembangan sosial dalam membuat

penilaian ataupun keputusan dalam berperilaku. Penjelasan ini kurang

lebih sama dengan penjelasan-penjelasan sebelumnya yang menitik

beratkan moral sebagai ajaran mengenai baik atau buruk serta

aturan-aturan yang harus dipatuhi. Penjelasan ini juga menambahkan bahwa

moral memiliki peran dalam kontrol diri dimana aturan atau norma sosial

membuat seseorang berusaha mematuhi aturan tersebut agar perilakunya

tidak menyimpang dari norma sosial yang berlaku.

Lawrence Kohlberg (Desmita, 2010: 206) menjelaskan bahwa moral


(42)

25

moral (moral reasoning) dan dimaknakan sebagai keleluasaan wawasan mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban. Sejalan

dengan pengertian tersebut, Setiono (Desmita, 2010: 206) menyebut

moralitas pada hakikatnya adalah penyelesaian konflik antara diri dan diri

orang lain, antara hak dan kewajiban. Moral berkaitan dengan bagaimana

seseorang menjalin hubungan dengan orang lain, dimana dalam menjalin

hubungan tersebut seseorang perlu untuk memahami prinsip-prinsip moral

demi tercapainya hubungan yang baik dengan orang lain. Unsur-unsur

moral yang terdapat dalam pengertian ini antara lain relasi atau hubungan

sosial, hak, serta kewajiban.

Sementara itu Sarwono (Solvia Karina Tarigan dan Ade Rahmawati

Siregar, 2013: 80) menjelaskan bahwa penalaran moral berkaitan dengan

jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada

keputusan bahwa suatu hal dapat dianggap baik atau buruk. Pengertian

dari Sarwono ini memiliki makna yang lebih dalam dibanding

pengertian-pengertian yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada pengertian-pengertian sebelumnya

moral dikatakan sebagai ajaran mengenai baik atau buruk suatu hal.

Sementara pada pengertian ini moral atau penalaran moral dimaknakan

sebagai alasan-alasan mengapa suatu hal dapat dikataan baik atau buruk.

Berdasarkan penjelasan dari beberapa ahli mengenai penalaran moral

di atas, dapat disimpulkan bahwa moral merupakan bagian dari penalaran

dan kemudian disebut dengan penalaran moral serta dimaknakan sebagai


(43)

26

benar atau salah, baik atau buruk, aturan yang harus dipatuhi dan lain

sebagainya, dan berperan sebagai kendali atas tingkah laku agar sesuai

dengan norma masyarakat.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penalaran moral

Proses individu dalam perkembangan penalaran moral sangat

dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya terutama orangtua. Berikut ini

beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan kaitannya dengan

perkembangan moral anak menurut Syamsu Yusuf (2011: 133) :

a. Konsisten dalam mendidik anak

Orangtua baik ayah dan ibu memiliki peran yang penting dalam

menerapkan suatu aturan dalam lingkungan keluarga. Orangtua harus

memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau

memperbolehkan suatu tingkah laku tertentu kepada anak secara

konsisten.

b. Sikap orangtua dalam keluarga

Melalui proses peniruan (imitasi) yang dilakukan anak terhadap

sikap orangtua baik ayah maupun ibu, secara tidak langsung dapat

mempengaruhi proses perkembangan moral anak tersebut. Orangtua

yang menerapkan gaya pengasuhan otoriter dapat menyebabkan

timbulnya sikap disiplin yang hanya bersifat semu pada anak.

Sementara sikap orangtua yang acuh tak acuh atau tidak peduli

terhadap anak dapat menyebabkan anak mengembangkan sikap kurang


(44)

27

Orangtua yang memberikan kasih sayang, perhatian, menerapkan sikap

keterbukaan, serta konsisten dapat memberikan dampak yang positif

terhadap perkembangan moral anak.

c. Penghayatan dan pengalaman agama yang dianut

Orangtua dalam lingkungan keluarga seringkali dijadikan anak

sebagai panutan (teladan) tidak hanya dalam bersikap tetapi juga

menjadi panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang

menciptakan iklim religius di lingkungan keluarga dengan

mengajarkan anak tentang nilai-nilai agama akan membuat anak

mengalami perkembangan moral yang baik.

d. Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma

Agar anak tidak melakukan kebohongan dan memiliki sikap jujur

dalam dirinya, maka orangtua harus menjauhkan diri mereka sendiri

dari perilaku yang tidak jujur. Akan percuma jika orangtua

mengajarkan kepada anak agar berperilaku jujur dan tidak berbohong,

berbicara dengan kata-kata yang sopan, bertanggung jawab, dan taat

beragama, tetapi orangtua sendiri menunjukkan perilaku yang

sebaliknya. Hal ini akan menyebabkan konflik dalam diri anak. Anak

akan menjadikan ketidak konsistenan orangtua tersebut sebagai alasan

untuk tidak melakukan apa yang diinginkan dan diajarkan oleh

orangtua, dan bahkan mungkin anak akan meniru perilaku orangtuanya


(45)

28

Faktor-faktor yang diuraikan oleh Syamsu Yusuf ini menekankan pada

peran orangtua dalam perkembangan moral anak. Bagaimana sikap

orangtua dalam mendidik anak, dan situasi lingkungan keluarga yang

dapat mempengaruhi perkembangan moral anak.

Sementara itu Kohlberg (1995: 143-159) menjelaskan bahwa terdapat

beberapa faktor umum yang menjadi faktor pemberi kontribusi dalam

perkembangan moral seseorang yaitu :

a. Kesempatan mengambil peran

Perkembangan penalaran moral individu akan meningkat apabila

terlibat dalam situasi yang memungkinkan dirinya dapat mengambil

perspektif sosial misalnya dalam keadaan dimana individu tersebut

sulit untuk menerima ide, perasaan, opini, keinginan, kebutuhan, hak,

kewajiban, nilai, dan standar orang lain.

b. Situasi Moral

Setiap lingkungan sosial memiliki karakteristik seperti hak dan

kewajiban fundamental yang terdistribusikan serta melibatkan

keputusan. Keputusan dalam suatu lingkungan sosial diambil sesuai

dengan aturan, tradisi, hokum, atau figure otoritas (tahap 1 dalam

perkembangan moral). Sementara itu dalam lingkungan sosial yang

lain keputusan bisa jadi didasarkan pada pertimbangan sesuai sistem

yang tersedia (tahap 4 atau lebih tinggi dalam perkembangan moral).


(46)

29

norma moral itu yang menjadi pendorong bagi berkembangnya

penalaran moral individu.

c. Konflik moral kognitif

Beberapa individu bertentangan dengan orang lain yang

mempunyai tingkat penalaran moral yang lebih tinggi ataupun yang

lebih rendah. Hal tersebut dapat memicu perkembangan penalaran

moral individu. Misalnya saja seorang remaja yang mengalami

pertentangan dengan orang lain yang memiliki tingkat penalaran lebih

tinggi akan menunjukkan perkembangan penalaran moral yang lebih

tinggi daripada remaja yang mengalami pertentangan dengan orang

yang memiliki kesamaan tingkat penalaran moral dengan dirinya. Oleh

karena itu dapatlah dipahami bahwa konflik moral kognitif merupakan

pertentangan penalaran moral individu terhadap penalaran moral orang

lain.

Kohlberg (Santrock, 2003: 443) juga setuju dengan pendapat Piaget

dimana dirinya percaya bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya

dianggap sebagai bagian penting dari stimulus sosial yang dapat

menantang individu untuk mengubah orientasi moralnya.

Penjelasan mengenai faktor yang mempengaruhi perkembangan moral

seseorang yang disampaikan oleh Kohlberg ini tidak berfokus pada peran

orangtua. Moral berkembang melalui proses-proses sosial seperti

pengalaman berinteraksi dengan orang lain, dan pengalaman-pengalaman


(47)

30

tertentu. Peran teman sebaya juga dianggap memiliki kontribusi dalam

perkembangan moral seseorang.

Berdasarkan uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa faktor

yang mempegaruhi perkembangan moral individu adalah peranan dan

pengasuhan orangtua terhadap anak, kesempatan pengambilan peran oleh

individu, situasi moral itu sendiri, konflik moral kognitif individu dengan

orang lain, dan juga interaksi individu dengan teman sebayanya.

3. Tahapan perkembangan penalaran moral

Perkembangan penalaran moral yang disampaikan Piaget (Rita Eka

Izzati, dkk, 2008: 144) didasarkan pada perkembangan kognitif. Kemudian

Piaget membagi penalaran moral ke dalam beberapa tingkatan dan menitik

beratkan pada pengertian dan pemahaman individu sesuai dengan

perkembangan kognitifnya.

a. Penalaran moral heteronom.

Penalaran moral heteronom terjadi pada usia 2 sampai 7 tahun.

Individu memandang tingkah laku baik buruk atau benar salah bukan

dari niatnya tetapi lebih kepada akibatnya. Perbuatan yang berakibat

buruk dianggap salah meskipun niat dari perbuatan tersebut baik.

Individu berpikir bahwa peraturan berasal dari orang yang lebih tua

dan bersifat mutlak. Pada tahap ini anak bertingkah laku baik untuk


(48)

31

b. Penalaran moral otonom.

Terjadi pada individu yang berusia 10 tahun keatas. Umumnya

individu pada tahap ini telah mengetahui bahwa moral ditentukan

berdasarkan kesepakatan bersama. Individu mematuhi peraturan yang

ada sebagai hasil kesepakatan bersama dan dilakukan dengan penuh

kesadaran. Mereka paham bahwa peraturan dapat diubah berdasarkan

kepentingan dan kesepakatan. Berbeda dengan individu yang berada

pada tahap penalaran moral heteronom, pada tahap ini individu sadar

bahwa benar atau salah suatu perbuatan didasarkan pada niatnya bukan

pada akibatnya.

c. Penalaran moral transisi.

Periode ini terjadi pada usia 7 sampai 10 tahun dimana pada tahap

ini penalaran moral individu masih berubah-ubah. Pandangan individu

mengenai peratura dan perbuatan terkadang masih seperti individu

pada tahap penalaran moral heteronom, dan kadang-kadang sudah

seperti individu padatahap penalaran moral otonom.

Perkembangan moral yang disampaikan Piaget di atas pada dasarnya

hanya terjadi dalam 2 (dua) tingkatan yaitu penalaran moral heteronom

dan penalaran moral otonom. Sementara penalaran moral transisi bukan

sebagai suatu tingkatan penalaran moral tersendiri tetapi hanya sebagai

proses peralihan dari kedua tingkatan penalaran moral yang terjadi.

Sementara itu Kohlberg (1995: 231) menjelaskan mengenai


(49)

32

terjadi sesuai dengan perkembangan usia individu. Perkembangan tersebut

meliputi penalaran prakonvensional, konvensional, dan post-konvensional.

Tiga tingkat tersebut kemudian dibagi menjadi 2 tahap dalam setiap

tingkatannya, yaitu:

a. Penalaran Prakonvensional.

Penalaran prakonvensional (preconventional reasoning)

merupakan tingkatan terendah dalam teori perkembangan moral yang

disampaikan oleh Kohlberg. Pada tingkatan ini individu tidak

menunjukkan adanya internalisasi nilai-nilai moral dan penalaran

dikendalikan oleh hadiah atau reward dan hukuman eksternal. Tahap 1) orientasi hukuman dan kepatuhan.

Merupakan tahap pertama dalam teori perkembangan moral

Kohlberg. Pada tahap ini pemikiran moral didasarkan pada hukuman.

Sebagai contoh, anak-anak dan remaja mematuhi orang dewasa karena

orang dewasa menyuruh mereka untuk patuh.

Tahap 2) individualisme dan tujuan.

Tahap kedua dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap

ini pemikiran moral didasarkan pada hadiah atau reward dan minat pribadi. Sebagai contoh, anak-anak dan remaja bersikap patuh bila

mereka mau mematuhinya dan jika apa yang harus mereka patuhi

menguntungkan mereka. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan


(50)

33

b. Penalaran Konvensional.

Penalaran konvensional adalah tingkatan kedua atau menengah,

dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini

internalisasi sifatnya menengah. Individu mematuhi beberapa standar

tertentu (internal), tetapi standar tersebut merupakan standar orang lain

(eksternal), misalnya orangtua atau hukum yang berlaku di

masyarakat.

Tahap 3) norma interpersonal.

Tahap ketiga dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap

ini individu menganggap rasa percaya, rasa sayang, dan kesetiaan

terhadap orang lain sebagai dasar untuk melakukan penilaian moral.

Anak-anak dan remaja pada tahap ini seringkali mengambil standar

moral orang tua mereka, hal ini dilakukan karena mereka ingin

orangtua mereka menganggap mereka sebagai anak yang baik.

Tahap 4) moralitas sistem sosial.

Tahap keempat dari teori perkembangan Kohlberg. Pada tahap ini

penilaian moral didasarkan pada pemahaman terhadap aturan, hukum,

keadilan, dan tugas sosial. Sebagai contoh, remaja dapat mengatakan

bahwa supaya suatu komunitas dapat bekerja secara efektif, maka

komunitas tersebut perlu dilindungi oleh hukum yang ditaati oleh


(51)

34

c. Penalaran Postkonvensional.

Penalaran postkonvensional adalah tingkatan tertinggi dalam teori

perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini moralitas

diinternalisasi sepenuhnya dan tidak lagi didasarkan pada standar

orang lain. Individu mengetahui adanya pilihan moral yang lain

sebagai alternatif, memperhatikan pilihan-pilihan tersebut, dan

kemudian memutuskan sesuai dengan kode moral pribadinya.

Tahap 5) hak komunitas vs hak individu.

Tahap kelima dari teori perkembangan Kohlberg. Pada tahap ini,

seorang memiliki pemahaman bahwa nilai dan hukuman adalah relatif

dan standar yang dimiliki satu orang akan berbeda dengan orang lain.

Ia menyadari bahwa hukum memang penting bagi suatu masyaarakat,

namun hukum sendiri dapat diubah. Ia percaya bahwa beberapa nilai,

seperti kebebasan lebih penting dari hukuman.

Tahap 6) prinsip etis universal.

Tahap keenam dan tertinggi dari teori perkembangan moral

Kohlberg. Pada tahap ini seseorang sudah membentuk standar moral

yang didasarkan pada hak manusia secara universal. Ketika

dihadapkan pada suatu konflik antara hukum dan kata hati, ia akan

mengikuti kata hatinya, walaupun keputusannya ini dapat

memunculkan resiko pada dirinya.

Tingkatan penalaran moral dari Kohlberg ini memiliki batasan yang


(52)

35

dalam setiap tingkatan tersebut terdapat tahap-tahap penalaran moral.

Setiap tahapan moral menunjukkan ciri-ciri tertentu, sehingga perilaku

atau tindakan yang diambil oleh seseorang dapat mencerminkan tingkatan

penalaran moralnya.

Berdasarkan teori mengenai perkembangan moral yang disampaikan

oleh kedua ahli di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa perkembangan

moral terjadi secara berurutan sesuai dengan usia. Dimulai dari penalaran

moral heteronom menurut Piaget dan penalaran moral prakonvensional

menurut Kohlberg, lalu bertransisi menjadi penalaran moral yang lebih

matang yaitu moral otonom menurut teori Piaget atau yang menurut

Kohlberg disebut dengan penalaran moral konvensional, lalu berkembang

menjadi lebih matang pada penalaran post-konvensional. Penelitian ini

mengacu pada teori Kohlberg, sehingga pengukuran penalaran moral

subjek penelitian didasarkan pada tingkatan moral menurut Kohlberg yaitu

prakonvensional, konvensional, dan postkonvensional.

4. Cara Mengukur Penalaran Moral

Peneliti menggunakan skala penalaran moral untuk mengukur tingkat

penalaran moral pada siswa. Skala ini memiliki 4 (empat) alternatif

jawaban. Penggunaan skala ini bertujuan untuk mengungkap tingkat

penalaran moral pada siswa dengan mengukur

pertimbangan-pertimbangan siswa ketika melakukan suatu hal. Skala penalaran moral

dalam penelitian ini mengacu pada tahapan perkembangan moral yang


(53)

36

a. Prakonvensional

b. Konvensional

c. Postkonvensional

Tahapan dalam perkembangan moral tersebut kemudian dianalisis dan

diuraikan ke dalam indikator dan deskriptor. Kemudian dari deskriptor

tersebut dikembangkan menjadi alat ukur dengan cara menjabarkan

deskriptor ke dalam butir-butir aitem pernyataan.

C. Kajian Mengenai Kontrol Diri

Kajian tentang kontrol diri ini akan membahas mengenai pengertian

kontrol diri, aspek-aspek kontrol diri, faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol

diri, fungsi kontrol diri, dan cara mengukur kontrol diri.

1. Pengertian Kontrol Diri

Tangney, dkk (2004: 275) memberikan penjelasan mengenai kontrol

diri sebagai berikut :

Selfcontrol is the ability to override or change one’s inner

responses, as well as to interrupt undesired behavioral tendencies and refrain from acting on them.

Kontrol diri merupakan kemampuan seseorang untuk

mengesampingkan atau mengubah respons dari dalam diri, kecenderungan

untuk menghindari perilaku yang mengganggu, dan menahan diri dari

tindakan yang tidak diinginkan. Perilaku mengganggu dapat dimakanakan

sebagai tindakan yang dapat memberikan dampak kurang baik bagi dirinya


(54)

37

beberapa unsur kontrol diri diantaranya mengubah respon, menghindari

perilaku, dan menahan diri dari perilaku-perilaku menyimpang.

M. Nur Ghufron & Rini Risnawita S. (2014: 21) menjelaskan bahwa

kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk menyusun,

membimbing, mengatur, dan mengarahkan perilaku yang dapat membawa

ke arah konsekuensi yang positif, serta dapat dikembangkan dan

digunakan seseorang dalam proses kehidupan. Kontrol diri dalam

pengertian ini dapat dimaknakan sebagai aktivitas yang berkaitan dengan

pengaturan diri untuk terhindar dari hal-hal yang dapat merugikan dirinya.

Kontrol diri bukan merupakan suatu kemampuan khusus karena kontrol

diri dapat dikembangkan melalui proses belajar atau

pengalaman-pengalaman hidup.

Gilliom et al. (Singgih D. Gunarsa, 2006: 251) mendefinisikan kontrol

diri sebagai kemampuan individu untuk mengendalikan tingkah laku,

bekerja sama dengan orang lain, mematuhi peraturan, dan kemampuan

untuk mengungkapkan pemikirannya kepada orang lain. Bagaimana

seseorang melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu dengan

orang lain, mereka juga perlu melakukan kontrol diri. Sehingga kontrol

diri dalam pengertian ini juga diperlukan ketika berinteraksi dengan orang

lain.

Selanjutnya Singgih D. Gunarsa (2006: 252) sendiri dalam bukunya

menjelaskan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan individu dalam


(55)

38

dengan norma sosial serta dapat diidentikkan sebagai kemampuan individu

untuk berperilaku sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Pada dasarnya

manusia merupakan makhluk sosial dimana untuk dapat hidup

berdampingan mereka perlu untuk mengatur perilakunya sedemikian rupa

agar tidak menyimpang dari norma sosial.

Sementara itu Calhoun dan Acocella (M. Nur Ghufron dan Rini

Risnawita S., 2014: 22) memberikan gagasannya tentang kontrol diri

sebagai suatu kemampuan untuk mengatur proses-proses fisik, psikologis,

dan perilaku individu, atau dapat dikatakan sebagai serangkaian proses

pembentukan diri. Pemenuhan kebutuhan fisik seperti makan dan minum

juga memerlukan kontrol diri, sehingga seseorang dapat memenuhi

kebutuhan tersebut dengan seimbang. Seseorang juga perlu untuk

mengendalikan emosi agar tidak mudah terjerumus pada perilaku-perilaku

yang dapat merugikan dirinya sendiri.

Kontrol diri dalam penelitian yang dilakukan oleh Santi Praptiani

(2013: 4) adalah kemampuan remaja untuk berperilaku yang tidak

impulsif, dapat memikirkan resiko dari perilakunya, berusaha mencari

informasi sebelum mengambil keputusan, tidak mengandalkan kekuatan

fisik dalam menyelesaiakan masalah, dan tidak bersikap egois atau mudah

marah. Kontrol diri dimaknakan sebagai proses remaja dalam mengolah

informasi-informasi dan memikirkan terlebih dahulu suatu tindakan atau

keputusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sebelum


(56)

39

dimana melalui kontrol diri, remaja dapat mengatur emosi sehingga tidak

mudah marah.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang

dimaksud dengan kontrol diri adalah kemampuan individu dalam

menyusun, membimbing, mengarahkan perilakunya, dan mengendalikan

dirinya untuk menahan keinginan yang bertentangan dengan norma sosial.

Individu yang memiliki kontrol diri dapat mematuhi peraturan dan

bekerjasama dengan orang lain serta berperilaku sesuai dengan norma

sosial.

2. Aspek-aspek Kontrol Diri

Aspek-aspek kontrol diri yang disampaikan oleh Tangney, dkk (2004:

283) adalah :

a. Disiplin diri

Disiplin diri dapat dimaknakan sebagai kemampuan individu

dalam melakukan disiplin diri. Ketrampilan disiplin diri yang dimiliki

individu dapat membantu dirinya dari berbagai hal yang dapat

mengganggu konsentrasinya.

b. Kehati-hatian

Merupakan ketrampilan individu dalam mempertimbangkan dan

memikirkan berbagai aktivitas atau tindakan tertentu dengan hati-hati

dan tidak tergesa-gesa. Individu yang memiliki ketrampilan ini

cenderungakan lebih tenang dalam mengambil keputusan atau


(57)

40

c. Kebiasaan baik

Aspek ini dapat dimaknakan sebagai kemampuan individu dalam

mengatur pola perilaku menjadi kebiasaan yang baik. Individu dengan

kemampuan ini cenderung akan menolak sesuatu yang dapat

menimbulkan dampak buruk bagi dirinya meski hal tersebut

menyenangkan. Kebiasaan baik ini akan membuat individu tersebut

mengutamakan hal-ha yang dapat memberikan dampak positif bagi

dirinya meski dampak yang dihasilkan tidak dirasakan secara

langsung.

d. Etika kerja

Etika kerja berkaitan dengan penilaian individu terhadap

kemampuan mengatur dirinya sendiri dalam layanan etika kerja.

Individu dengan etika kerja yang baik mampu menyelesaikan

pekerjaanya dengan baik tanpa dipengaruhi hal-hal di luar tugasnya

meski hal tersebut bersifat menyenangkan. Oleh karena itu individu

yang memiliki etika kerja tinggi memiliki perhatian yang tinggi pada

pekerjaan yang sedang dilakukannya.

e. Reliabilitas

Aspek ini terkait dengan penilaian individu terhadap kemampuan

dirinya dalam pelaksanaan rancangan jangka panjang untuk target

tertentu. Individu yang memiliki reliabilitas tinggi secara konsisten

akan mengatur perilakunya untuk mencapai tujuan dala setiap


(58)

41

Unsur-unsur pokok dalam aspek-aspek kontrol diri di atas antara lain

disiplin diri, kehati-hatian, kebiasaan baik, etika kerja, dan reliabilitas.

Aspek-aspek tersebut berkaitan dengan bagaimana seseorang mengatur

dirinya dalam berbagai aktivitas. Seseorang yang memiliki kontrol diri

yang baik akan dapat menjalani aktivitas-aktivitas tersebut dengan baik.

Sementara itu pandangan Averill (M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita

S., 2014: 29) mengenai aspek-aspek dalam kontrol diri yang ia sebut

dengan kontrol personal antara lain yaitu kontrol perilaku, kontrol

kognitif, dan kontrol pengambilan keputusan.

a. Kontrol perilaku

Kontrol perilaku merupakan kesiapan atau tersedianya respons

yang digunakan untuk mengambil tindakan secara konkret guna

mengurangi dampak dari situasi yang tidak menyenangkan berupa

tekanan-tekanan dalam diri. Kontrol perilaku ini dibagi menjadi dua

komponen yaitu kemampuan mengatur pelaksanaan dan kemampuan

memodifikasi stimulus.

1) Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan ketrampilan

seseorang dalam menentukan siapa yang mengendalikan situasi

atau keadaan. Apakah yang mengendalikan situasi tersebut dirinya

sendiri dengan menggunakan kemampuannya, atau menggunakan

sumber-sumber dari luar diri apabila individu tersebut tidak

mampu untuk mengendalikan situasi yang ada. Individu yang


(59)

42

dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu

individu tersebut akan menggunakan sumber eksternal.

2) Sementara kemampuan memodifikasi stimulus merupakan

ketrampilan untuk memahami bagaimana stimulus tersebut

dihadapi. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menghadapi

stimulus tersebut adalah mencegah atau menjauhi stimulus,

menempatkan tenggang waktu diantara stimulus tersebut,

menghentikan stimulus, dan membatasi intensitas stimulus

tersebut.

b. Kontrol kognitif

Kontrol kognitif adalah ketrampilan individu dalam memproses

informasi-informasi yang tidak diinginkan. Hal ini dilakukan untuk

mengurangi tekanan-tekanan dengan cara memodifikasi informasi

tersebut menggunakan proses dan strategi yang telah dipikirkan oleh

individu tersebut. Kontrol kognitif ini terbagi menjadi 2 (dua) bagian

yaitu memperoleh informasi dan melakukan penilaian.

1) Individu dapat memperoleh informasi dari

pengalaman-pengalaman hidup yang ia alami. Informasi yang diperoleh

individu tersebut dapat digunakan untuk memahami berbagai

keadaan atau situasi. Informasi yang dimiliki oleh individu ini

dijadikan dasar untuk melakukan pertimbangan dalam


(60)

43

2) Sementara melakukan penilaian berarti individu berusaha

mengidentifikasi suatu keadaan atau situasi dengan memperhatikan

sisi positif secara subjektif.

c. Kontrol pengambilan keputusan

Kontrol pengambilan keputusan merupakan kemampuan individu

untuk menentukan hasil atau keputusan untuk bertindak berdasarkan

pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol pengambilan

keputusan pada individu akan berfungsi dalam menentukan pilihan

dalam berbagai kemungkinan tindakan yang akan diambil.

Aspek-aspek yang disampaikan Averill ini terbagi menjadi 3 (tiga)

komponen yaitu bagaimana seseorang dapat mengontrol perilaku,

mengontrol kognitif, serta bagaimana seseorang mengambil keputusan.

Dijelaskan bahwa kontrol diri dalam aspek-aspek ini berasal dari 2

(dua) sumber yaitu sumber internal dan sumber eksternal. Seseorang

yang memiliki kontrol diri akan memikirkan dengan berbagai

pertimbangan sebelum dirinya mengambil suatu keputusan.

Penelitian ini mengacu pada aspek-aspek yang disampaikan oleh

Averill yaitu kontrol perilaku, kontrol kognitif, dan kontrol

pengambilan keputusan.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kontrol Diri

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kontrol diri seseorang. M.

Nur Ghufron dan Rini Risnawita S. (2014: 32) menyebutkan bahwa


(61)

44

a. Faktor internal yang menjadi faktor berpengaruh dalam perkembangan

kontrol diri adalah faktor usia. Sama seperti perkembangan moral,

kontrol diri berkembang seiring dengan pertambahan usia dimana

semakin bertambah usia seseorang, kemampuan kontrol dirinya juga

semakin baik.

b. Faktor eksternal diantaranya adalah lingkungan keluarga dimana

lingkungan keluarga terutama orangtua menentukan bagaimana

kemampuan mengontrol diri seseorang. Orangtua dengan gaya

pengasuhan yang demokratis serta menerapkan sikap disiplin dalam

lingkungan keluarga cenderung akan membuat remaja semakin

memiliki kemampuan kontrol diri yang baik.

Bertambahnya usia serta melalui pengalaman-pengalaman hidup

membuat kontrol diri seseorang juga semakin berkembang menjadi lebih

baik. Selain itu faktor hubungan anak dengan orangtua juga dapat menjadi

penentu perkembangan kontrol diri pada anak tersebut. Orangtua yang

memiliki kontrol diri yang baik akan membuat anak-anak mereka juga

memiliki kontrol diri yang baik dikarenakan pada dasarnya seorang anak

akan belajar sesuatu dari orangtua mereka melalui proses imitasi.

Sementara itu faktor internal yang mempengaruhi kontrol diri juga

disampaikan oleh William Stern (Iga Serpianing Aroma dan Dewi Retno

Suminar, 2012: 4) yaitu faktor gen dimana ia menyatakan bahwa sejak

individu lahir, mereka telah memiliki sifat baik dan buruk dalam diri. Gen


(62)

45

bisa mati jika tidak mendapatkan stimulus dari lingkungan. Sementara itu

Chapple menyatakan bahwa kontrol diri dipengaruhi oleh beberapa faktor

yang berasal dari luar (eksternal). Faktor-faktor eksternal tersebut antara

lain faktor lingkungan seperti lingkungan keluarga, teman sebaya, dan

lingkungan tempat tinggal individu tersebut. Pendapat dari kedua ahli

tersebut menunjukkan bahwa faktor internal seperti gen dan faktor

lingkungan sama pentingnya dalam pembentukan kontrol diri pada

individu.

Gen dianggap sebagai faktor penentu kemampuan kontrol diri pada

seseorang dimana apabila gen tersebut diberi stimulan positif maka akan

berkembang kontrol diri yang baik. Selain itu faktor sosial seperti

kelompok teman sebaya juga memberikan kontribusi dalam perkembangan

kontrol diri seseorang.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kontrol diri pada

individu dipengaruhi oleh faktor internal seperti usia dan gen. Sementara

dari faktor eksternal, kontrol diri dipengaruhi lingkungan sekitar seperti

keluarga, guru, teman sebaya, dan lingkungan dimana individu tersebut

tinggal. Salah satu faktor yang cukup kuat berpengaruh dalam

pembentukan kontrol diri terutama pada individu yang memasuki masa

remaja adalah faktor lingkungan teman sebaya. Pada masa remaja

sebagian besar waktu individu lebih banyak dihabiskan bersama dengan


(63)

46

pengaruh yang diberikan oleh teman sebaya lebih besar dibandingkan

faktor eksternal lainnya.

4. Fungsi Kontrol Diri

Messina & Messina (Singgih D. Gunarsa, 2006: 255) berpendapat

bahwa fungsi dari kontrol diri adalah sebagai berikut:

a. Membatasi perhatian individu kepada orang lain.

Kontrol diri pada remaja akan membatasi perhatiannya terhadap

orang lain mengenai kebutuhan, kepentingan, atau juga keinginan

orang lain di lingkungannya. Perhatian remaja yang dilakukan secara

berlebihan atas kebutuhan, kepentingan, atau keinginan orang lain

tersebut cenderung akan membuat remaja kurang fokus terhadap

kebutuhannya sendiri, sehingga kebutuhan pribadinya dapat terabaikan

bahkan terlupakan.

b. Membatasi keinginan individu untuk mengendalikan orang lain di

lingkungannya.

Individu akan membatasi keinginan dirinya atas keinginan orang

lain dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berada

dalam ruang aspirasinya masing-masing. Individu yang memiliki

kontrol diri tidak lagi memikirkan dirinya sendiri tetapi sudah

memiliki kesadaran untuk menempatkan dirinya sebagai orang lain


(64)

47

c. Membatasi individu untuk bertingkah laku negatif.

Kontrol diri pada remaja berfungsi untuk menghindarkan individu

pada tingkah laku negatif. Tingkah laku negatif yang tidak sesuai

dengan norma sosial akan mengakibatkan penolakan sosial. Tingkah

laku negatif misalnya saja ketergantungan pada penggunaan

obat-obatan terlarang, minum-minuman beralkohol, dan merokok.

d. Membantu individu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara

seimbang.

Individu yang memiliki kontrol diri yang baik akan berusaha

memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut dalam takaran yang sesuai

dengan kebutuhan hidup yang ingin dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan

hidup secara seimbang tersebut misalnya tidak memakan makanan

secara berlebihan atau melakukan kegiatan berbelanja secara

berlebihan yang melampaui batas kemampuan keuangan.

Berdasarkan fungsi kontrol diri yang telah diuraikan di atas dapatlah

disimpulkan bahwa fungsi kontrol diri antara lain membatasi perhatian

individu terhadap orang lain, membatasi keinginan individu untuk

mengendalikan orang lain, membatasi individu untuk bertingkah laku

negatif, dan membantu individu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara

seimbang.

5. Cara Mengukur Kontrol Diri

Peneliti menggunakan skala kontrol diri untuk mengukur tingkat


(1)

187

LAMPIRAN 15. HASIL UJI MULTIKOLINEARITAS

HASIL UJI MULTIKOLINIERITAS

Regression

V ariables Entered/Remove db

Penalaran_moral, Interaksi_

sosial_teman_sebayaa . Enter

Model 1

Variables Entered

Variables

Removed Method

All requested variables entered. a.

Dependent Variable: Kontrol_diri b.

Model Summ ary

,676a ,457 ,441 2,46259

Model 1

R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Predictors: (Constant), Penalaran_moral, Interaksi_ sosial_teman_sebaya

a.

ANOV Ab

336,971 2 168,485 27,783 ,000a

400,247 66 6,064

737,217 68 Regression Residual Total Model 1 Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Constant), Penalaran_moral, Interaksi_sosial_teman_sebaya a.

Dependent Variable: Kontrol_diri b.

Coefficie ntsa

11,314 4,216 2,684 ,009

,191 ,068 ,315 2,786 ,007 ,644 1,552

,286 ,074 ,439 3,889 ,000 ,644 1,552

(Constant) Interaksi_sosial_ teman_sebaya Penalaran_moral Model 1

B Std. Error

Unstandardized Coefficients

Beta Standardized

Coefficients

t Sig. Tolerance VIF

Collinearity Statistics

Dependent Variable: Kontrol_diri a.


(2)

188

LAMPIRAN 16. HASIL UJI REGRESI

HASIL UJI REGRESI

Regression

V ariables Entered/Rem ovedb

Penalaran_moral, Interaksi_

sosial_teman_sebayaa . Enter

Model 1

Variables Entered

Variables

Removed Method

All requested variables entered. a.

Dependent Variable: Kontrol_diri b.

Model Summ ary

,676a ,457 ,441 2,46259

Model 1

R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Predictors: (Constant), Penalaran_moral, Interaksi_ sosial_teman_sebaya

a.

ANOV Ab

336,971 2 168,485 27,783 ,000a

400,247 66 6,064

737,217 68 Regression Residual Total Model 1 Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Constant), Penalaran_moral, Interaksi_sosial_teman_sebaya a.

Dependent Variable: Kontrol_diri b.

Coefficie ntsa

11,314 4,216 2,684 ,009

,191 ,068 ,315 2,786 ,007

,286 ,074 ,439 3,889 ,000

(Constant) Interaksi_sosial_ teman_sebaya Penalaran_moral Model 1

B Std. Error Unstandardized Coefficients Beta Standardized Coefficients t Sig.

Dependent Variable: Kontrol_diri a.


(3)

189


(4)

(5)

(6)

192


Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25