STRES DAN STRATEGI COPING LANSIA PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DI KECAMATANPOLANHARJO KABUPATEN KLATEN.
i
STRES DAN STRATEGI COPING LANSIA PADA MASA PENSIUN YANG BERSTATUS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DI KECAMATAN
POLANHARJO KABUPATEN KLATEN
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Diyah Kurniasih NIM 07104244050
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
(2)
(3)
(4)
(5)
MOTTO
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
(Terjemah dari QS. Al-Insyirah : 5-6)
Kalau usaha kita gagal lalu kita tetap berusaha, tidak berarti kegagalan di sini artinya nol tanpa balasan tetapi biasanya kegagalan itulah yang menjadi alasan Tuhan untuk mendatangkan
balasan lain yang baik atau yang lebih baik (petuah bijak). (AN. Ubaedy, 2009: 52)
(6)
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada:
1. Ibu, ibu, ibu,bapak dan adikku terimakasih atas do’a, kasih sayang dan dukungan yang diberikan selama ini.
2. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta.
3. Fakultas Ilmu pendidikan, khususnya Bimbingan dan Konseling. Agama, Nusa dan Bangsa.
(7)
vii
STRES DAN STRATEGI COPING LANSIA PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DI KECAMATANPOLANHARJO
KABUPATEN KLATEN
Oleh Diyah Kurniasih
07104244050
ABSTRAK
Penelitian ini bertujua untuk mengidentifikasi: a) tingkat stres lansia pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten, b) sumber stress lansia pensiunan pegaawai negeri sipil (PNS) di Kecamaatan Polanharjo Kabupaten Klaten, c) strategi coping lansia pensiunan pegaawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.
Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan pendekatan kuantitatif. Teknik pengambilan sampling dalam penelitian ini adalah menggunakan simple random sampling yamg ditentukan dengan menggunakan Nomogram Harry King, dengan kepercayaan 95% dan tingkat kesalahan 5%, maka diketahui sampel dalam penelitian ini sebanyak 243 orangdari 700 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah skala dan tes kepribadian, sedangkan teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis data statistik kuantitatif deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 4 orang tidak mengalami stres. Stres lansia pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo mayoritas berada pada kategori sedang yaitu sebanyak 180 orang (75,31,0%). Stres pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo yang bersumber pada diri-sendiri sebanyak 61 orang (25,10%). Stres pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo yang bersumber pada keluarga sebanyak 102 orang (41,98%). Stres pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo yang bersumber pada masyakarat/lingkungan sebanyak 54 orang (22,22%). Stres pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo yang bersumber pada diri sendiri dan masyakarat/lingkungan sebanyak 9 orang (3,70%). Stres pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo yang bersumber pada keluarga dan masyakarat/lingkungan sebanyak 10 orang (4,12%). Stres pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo yang bersumber pada diri sendiri, keluarga dan masyakarat/lingkungan sebanyak 3 orang (1,23%). Kecenderungan strategi coping pada pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo paling dominan berorientasi pada tugas sebesar 50,20%, sedangkan sisanya berorientasi pada ego sebesar49,8% .
(8)
viii
KATA PENGANTAR
Allhamdulillahirabbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta memberikan
kemudahan atas segala hal, sehingga skripsi yang berjudul “Stres Dan Strategi
Koping Lansia Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Di Kecamatan Polanharjo
Kabupaten Klaten” telah dapat penulis selesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini tidak
terlepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung, baik dukungan moril maupun materiil. Untuk itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNY yang telah memberikan izin dan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
2. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan
izin dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Suwarjo, M.Si. dan Ibu Kartika Nur Fathiyah, M.Si. Dosen
Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan serta motivasi sejak
awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah
memberikan wawasan, ilmu dan pengalamannya.
5. Orang tuaku tercinta Bapak Sugiarto & Ibu Yusuf Sri Suprihatini terima kasih
(9)
ix
Terima kasih untuk adikku Hafizan Kurniawan yang telah memberikan
semangat.
6. Bapak Agus Salim kepala Camat Polanharjo yang telah memberikan izin
untuk melakukan penelitian di Kecamatan Polanharjo .
7. Teman-teman yang selalu ada selama ini dari semester awal sampai akhir
Nope,Vina, Rian, Wahyu, Widi, Mia,Agis, Edys terima kasih telah membantu
dalam penyelesaian skripsi dan selalu disamping saya memberikan semangat.
8. Teman-teman mahasiswa BK angkatan 2007 kelas NR/B, yang telah
memberikan motivasi dan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu baik secara langsung
maupun tidak langsung ikut memberikan bantuan tenaga dan pikiran sehingga
terselesainya skripsi ini.
Terima kasih atas bantuan yang diberikan semoga amal dan kebaikan yang
telah diberikan menjadi amal baik dan imbalan pahala dari Allah SWT, Semoga
skripsi ini dapat berguna bagi peneliti selanjutnya dan menjadi inspirasi bagi
pembaca. Amin.
Yogyakarta, Januari 2012 Penyusun
Diyah Kurniasih NIM 07104244050
(10)
x
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL ……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN ……….. ii
HALAMAN PERNYATAAN ………... iii
HALAMAN PENGESAHAN ………... iv
MOTTO ……….. v
PERSEMBAHAN ……….. vi
ABSTRAK ……….. vii
KATA PENGANTAR ………... viii
DAFTAR ISI ……….. x
DAFTAR TABEL ……….. xii
DAFTAR GAMBAR ………... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……….. xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...………...……..…... 1
B. Identifikasi Masalah ...………..…………... 9
C. Batasan Masalah ...………...……….. 9
D. Rumusan Masalah .……..………..………... 9
E. Tujuan Penelitian…..………..………... 10
F. Manfaat Penelitian………...……… 10
G. Batasan Istilah ……….. 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Stres ………...….……… 12
1. Pengertian Stres ……….………..……… 12
2. Sumber Stres ………...……….... 12
3. Faktor Yang Mempengaruhi Stres …………...………... 16
4. Tanda dan Gejala Stres ………... 17
5. Tingkatan Stres ………..……….. 19
B. Coping ………...………...……… 21
1. Pengertian Coping …..………...………….……... 21
2. Sumber Coping ……….. …………...……….. 22
3. Strategi Coping ………….………...……… 23
4. Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping ……….……… 26
C. Lanjut Usia ………….………... 28
1. Pengertian Lansia ...……… 28
2. Klasifikasi Lansia ...……… 29
(11)
xi
4. Perubahan pada Lansia ……… ………….……….. 35
5. Tugas Perkembangan Lansia …….. ………... 38
D. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) ………...……….. 40
1. Pengertian Pensiun PNS…. …..………... 40
2. Batas Pensiun PNS .. ………... 40
3. Fase Penyesuaian Diri pada Saat Pensiun ………... 42
4. Dampak Pensiun ……….. ……...…….…………... 44
E. Kerangka Berpikir ………….. …………..………... 46
F. Pertanyaan Penelitian ………….………... 49
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ……….……..….. 50
B. Variabel Penelitian …… ………..……… 50
C. Tempat dan Waktu Penelitian …….………..……... 51
D. Teknik Pengambilan sampel ……… 51
E. Metode Pengumpulan Data………... 52
1. Teknik Pengumpulan Data ……….. 52
2.Instrumen Penelitian ………... 54
F. Pengujian Instrumen ……….. ………... 58
1.Uji Validitas ………. ………... 58
2.Uji Reliabelitas ………... 59
G. Teknik Analisi Data ………... 60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian …... ……… 64 1. Gambar Umum Lokasi Penelitian ………...……….. 64
2. Karakteristik Pensiunan PNS Di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten ……… 64 3. Deskripsi Big Five Personality Pensiunan PNS Di Kecamatan Polanharjo….………….………... 69 4.Deskripsi Stres Pensiuan PNS Di Kecamatan Polanharjo ………... 70
a.Tingkat Stres Pensiuan PNS Di Kecamatan Polanharjo ……….. 70
b.Sumber Stres Pensiuan PNS Di Kecamatan Polanharjo ……….. 73
5.Strategi Coping Pensiuan PNS Di Kecamatan Polanharjo ……….. 77
B. Pembahasan ………... 80
1. Stres Lansia Pensiunan PNS Di Kecamatan Polanharjo …………. 80
2. Strategi Coping Pensiunan PNS Di Kecamatan Polanharjo ……… 84
C. Keterbatasan Penelitian ……… 86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……. ………... 87
A. Kesimpulan ……… ………… 87
B. Saran ……… ………. 88
DAFTAR PUSTAKA ………..………... 90
(12)
xii
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1. Kelompok Penduduk Lansia di Kecamatan Polanharjo …… 7
Tabel 2. Kisi-kisi Skala Stres dan Sumber Stres ………... 55
Tabel 3. Kisi-kisi Skala Strategi Coping ……....……… 56
Tabel 4. Kisi-kisi Tes The Big Five Personality ……… 57
Tabel 5. Tingkat Keterandalan Instrument Penelitian ……….. 60
Tabel 6. Karakteristik Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo Berdasarkan Umur ………. 65
Tabel 7. Karakteristik Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo Berdasarkan Golongan ……….... 65
Tabel 8. Karakteristik Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……… 66
Tabel 9. Karakteristik Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo Berdasarkan Status Perkawinan ……… 67
Tabel 10. Karakteristik Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo Berdasarkan Pensiunan ……… 67
Tabel 11. Karakteristik Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo Berdasarkan Gaji ……… 68
Tabel 12. Karakteristik Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……… 69
Tabel 13. Distribusi Kecenderungan big five personality ……….. 70
Tabel 14. Distribusi Frekuensi Data Stres ……… 71
Tabel 15. Distribusi Data Kecenderungan Stres ………. 72
Tabel 16. Sumber Stres Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo … 74 Tabel 17. Stres Bersumber pada Diri-Sendiri Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo ……… 74
Tabel 18. Stres Bersumber pada Keluarga Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo ……… 75
Tabel 9. Stres Bersumber pada Masyarakat/ Lingkungan Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo ………... 75
Tabel 20. Stres Bersumber pada Diri-Sendiri dan Masyarakat/Lingkungan Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo ………... 76
Tabel 21. Stres Bersumber pada Keluarga dan Masyarakat/Lingkungan Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo ………... 76
Tabel 22. Stres Bersumber pada Diri-Sendiri, Keluarga dan Masyarakat/Lingkungan Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo ………... 77
Tabel 23. Distribusi Frekuensi Data Strategi coping ……… 78
(13)
xiii
DAFTAR GAMBAR
hal
Gambar 1. Skema Kerangka Pikir Penelitian ……….. 48
Gambar 2. Diagram Distribusi Frekuensi Variabel Stres ……… 71
Gambar 3. Diagram Pie Data Kecenderungan Stres ……… 73
Gambar 4. Diagram Distribusi Frekuensi Data Strategi Coping ……. 78 Gambar 5. Diagram Pie Data Kecenderungan Strategi Coping ….… 79
(14)
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Permohonan Menjadi Responden ………. 92
Lampiran 2. Kuesioner Stres dan Strategi Coping Lansia …………. 93
Lampiran 3. Kepribadian Lansia (Big Five Personality) ………. 95
Lampiran 4. Skala Stres ………... 97
Lampiran 5. Skala Strategi Coping ……...……….. 98
Lampiran 6. Hasil uji coba instrumen ……….. 99
Lampiran 7. Data Karakteristik Responden ………... 103
Lampiran 8. Hasil SPSS karakteristik responden ……… 113
Lampiran 9. Rumus Kategorisasi Big Five Personality …….…….. 116
Lampiran 10. Data Big Five Personality …. ……….…… 124
Lampiran 11. Hasil kategori Big Five Personality ………... 127
Lampiran 12. Hasil SPSS Big Five Personality ……….... 131
Lampiran 13. Hasil Uji Deskriptif …...…………..……… 132
Lampiran 14. Perhitungan Kelas Interval Lampiran 15. 1. Stres Pensiunan PNS ………... 133
Lampiran 16. 2. Strategi Coping Pensiunan PNS ……….. 134
Lampiran 17. Rumus Kategorisasi Stres ……….. ………. 135
Lampiran 18. Data Stres…...……….. 137
Lampiran 19. Hasil Kategori Stres ……… 142
Lampiran 20. Data Sumber Stres ………... 147
Lampiran 21. Hasil SPSS Stres dan Sumber Stres ……… 154
Lampiran 22. Hasi Kategorisasi Stres ……… 156
Lampiran 23. Hasil SPSS Strategi Coping 166 Lampiran 24. Surat Ijin Penelitian Fakultas Ilmu Pendidikan ………... 167
Lampiran 25. Surat Ijin Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ……….. 168 Lampiran 26. Surat Ijin Pemerintah Kabupaten Klaten ………. 170 Lampiran 27. Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian Di Kecamatan
Polanharjo ……… 171
(15)
1
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Lanjut usia (lansia) merupakan suatu proses alami yang tidak dapat
dihindarkan bagi setiap orang. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang
membatasi lanjut usia sebagai penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Hal itu
tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998
tentang kesejahteraan lanjut usia pada pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa
batasan lanjut usia adalah penduduk laki-laki dan wanita yang berusia 60 tahun ke
atas (Sri Iswanti Mahmudi, 2000: 47).
Menurut Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) proporsi lanjut usia di
Indonesia mencapai 6,9% atau sekitar 11,5 juta jiwa dari total populasi.
Selanjutnya, pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lanjut usia di Indonesia akan
meningkat tiga kali lipat yaitu 30,1 juta jiwa dari total populasi yang mencapai
kurang lebih 262 juta jiwa (Astuti Yuni Nursasi dan Poppy Fitriyani, 2002: 60).
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa setiap tahun penduduk di
Indonesia yang memasuki masa lansia semakin banyak.
Saat memasuki masa lansia biasanya seseorang mengalami penurunan
kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain.
Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Sri Iswanti Mahmudi ( 2000: 53)
bahwa pada masa lansia akan mengalami kemunduran-kemunduran (perubahan),
baik emosi, kognitif, sosial, spiritual, ekonomi dan fisik. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa perubahan emosi pada lansia seperti perasaan rendah diri dan penyesuaian
(16)
2
terjadi walaupun tidak selalu sama pada semua orang seperti mudah lupa. Dengan
semakin bertambahnya usia menyebabkan lansia semakin berkurang aktivitas
sosialnya, selain itu semakin berkurangnya penghasilan. Selanjutnya perubahan
fisik pada lansia meliputi perubahan pada kerangka tulang dan berkurangnya
sensitivitas semua organ pengindraan.
Dengan berubahnya berbagai aspek pada lansia mempengaruhi pandangan
masyarakat terhadap lansia. Selama ini ada masyarakat yang berpandangan
negatif tentang masa lansia. mereka berpandangan bahwa semua orang tua akan
menjadi pikun, keberadaan lansia menjadi beban dalam keluarga, lemah
kemampuan fisiknya dan lansia merupakan sosok manusia yang tidak produktif
(dalam Sri Iswanti Mahmudi, 2000: 49). Padahal sebetulnya bila dibina dan
diwadahi merupakan kelompok yang produktif. Namun kebijakan dari berbagai
instansi mengharuskan seseorang yang memasuki lansia untuk berhenti bekerja
yang dikenal dengan istilah pensiun. Pensiun adalah suatu keadaan seseorang
sudah tidak bekerja lagi karena masa tugasnya sudah selesai (Departemen
Pendidikan Nasional, 2002: 71). Dengan kata lain, masa pensiun dapat
mempengaruhi aktivitas seseorang dari situasi kerja ke situasi di luar pekerjaan.
Masa pensiun ini dapat menimbulkan masalah bagi individu jika tidak siap
menghadapinya. Sebagaimana diungkapkan oleh Nurgroho Abikusno (2006: 104)
bahwa dalam perjalanan karir seseorang, masa pensiun tidak jarang berakibat
buruk bukan hanya kepada orang bersangkutan, tetapi dapat juga berdampak
terhadap keseimbangan keluarga dan masyarakat sekitarnya. Hal ini dikarenakan
pada masa pensiun, akan memutuskan seseorang dari aktivitas rutin yang telah
(17)
3
sudah terbina dengan rekan kerja serta yang paling vital adalah menghilangkan
identitias seseorang yang sudah melekat begitu lama (Dwi Agustianto, 2011: 2).
Miftah Thoha (2010: 93) juga mengemukakan bahwa banyak pegawai pensiunan
(PNS) yang sesungguhnya merasa masih mampu bekerja, tetapi harus pensiun
karena peraturan menetapkan demikian. Tidak heran masa pensiun ini
menimbulkan masalah psikologis baru bagi individu yang menjalaninya, karena
banyak dari mereka yang tidak siap menghadapi masa pensiun.
Masa pensiun sering kali dianggap sebagai kenyataan yang tidak
menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba sebagian orang sudah merasa
stres karena tidak tahu kehidupan macam apa yang dihadapi. Sebagaimana yang
yang diungkapkan oleh Patmonowedo (dalam Lisda Asmida, 2011: 4) bahwa
salah satu gangguan emosional yang dialami lansia akibat tidak dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan yang dialami yaitu stres. Menurut Sunaryo
(dalam Dwi Agustianto, 2011: 12) stres adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang
menimbulkan tekanan, perubahan, dan ketegangan emosi. Sementara menurut
Santdock (2003: 36) stres adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian
yang memicu stres (stressor) yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa stres dapat
bersumber dari diri sendiri, keluarga, masyarakat dan lingkungan.
Stres pada lansia yang memasuki masa pensiun dapat menimbulkan
dampak negatif seperti mudah marah, sensitif, sulit tidur dan tekanan darah naik.
Oleh karena itu, untuk menangani gangguan emosional tersebut dibutuhkan
mekanisme pertahanan diri yang sering disebut dengan istilah coping. Menurut
(18)
4
stres. Pendapat tersebut juga tidak berbeda jauh dengan pendapat Dwi Agustianto
(2011: 7) bahwa coping adalah mekanisme untuk mengatasi perubahan yang
dihadapi atau beban yang diterima. Apabila mekanisme coping ini berhasil,
seseorang akan dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban tersebut.
Menurut Stuart dan Laraia (dalam Dwi Agustianto, 2011: 9) ada dua jenis
strategi coping dalam aspek psikososial yaitu reaksi yang berorientasi pada ego
(ego oriented) dan reaksi yang berorientasi pada tugas (task oriented). Ego oriented meliputi: a) denial (menyangkal), b) projeksi (melemparkan kekurangan diri sendiri pada orang lain), c) regresi (menghindarkan stres terhadap karakteristik perilaku), d) displacement (mengalihkan emosi pada orang atau benda), e) mencari dukungan sosial, f) reframing (mengkaji ulang kejadian stres agar lebih dapat menangani dan menerimanya), g) mencari dukungan spiritual, h)
menggerakkan keluarga untuk dapat menerima bantuan. Sementara task oriented
meliputi: a) perilaku agresif, b) perilaku menarik diri, c) perilaku kompromi.
Folkman dan Lazarrus (dalam Astuti Yuni Nursasi dan Poppy Fitriyani,
2002: 60) juga mengidentifikasi ada dua jenis strategi coping yang digunakan
yaitu: coping yang berorientasi pada upaya-upaya penyelesaian masalah (tugas)
dan coping yang berorientasi pada aspek emosional. Reaksi yang berorientasi
pada tugas dimana lansia mencoba menghadapi kenyataan tuntutan stres dengan
menilai secara objektif ditujukan untuk mengatasi masalah, memulihkan konflik
dan memenuhi kebutuhan, sedangkan reaksi yang berorientasi pada ego sering
kali digunakan untuk melindungi diri sendiri. Hal ini berarti dengan penggunaan
coping yang tepat, maka akan membantu lansia dalam mengatasi stres pada masa
(19)
5
Pada penelitian terdahulu Dwi Agustianto (2011: 1) melihat “Hubungan
Stres dengan Coping Lansia pada Masa Pensiun Di RW 11 Komplek Mabad
Rempoa Ciputat Timur Tangerang Selatan”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara stres dengan coping lansia pada masa
pensiun. Selain itu penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara karakteristik responden dengan coping lansia pada masa
pensiun yaitu umur dan lamanya pensiun.
Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan oleh Erwinsyah Putra Surbakti
(2008: 1) tentang “Stres dan Coping Lansia pada Masa Pensiun Di Kelurahan
Pardomuan Kecamatan Siantar Timur Kota Pematangsiantar” menunjukkan
bahwa lansia tidak mengalami stres yang bersumber dari diri sendiri, keluarga,
masyarakat lingkungan. Untuk coping yang digunakan lansia saat menghadapi
pensiun yang berorientasi pada ego yaitu dengan menghilangkan kejenuhan pada
masa pensiun dengan mencari kegiatan sesuai hobinya (61,5%). Keseluruhan
respoden jika mempunyai masalah akan berdoa pada Tuhan dan tidak
menyalahkan keluarga apabila terjadi masalah (100%). Kemudian yang
berorientasi pada tugas yaitu apabila menghadapi masalah responden akan
mengalihkannya dengan merokok (58,9%). Jika responden berselisih paham
dengan orang lain maka akan mengalah atau pergi meninggalkannya (94,8%). Jika
responden marah maka tidak akan berteriak-teriak serta menghancurkan
barang-barang sekitarnya (97,4%). Sementara responden akan menyendiri jika
menghadapi masalah banyak (87,1%).
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu seperti dipaparkan di
(20)
6
sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Dwi Agustianto (2011:55) menggunakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini hanya berfokus pada pensiunan yang berstatus PNS, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Erwinsyah Putra Surbakti (2008:3) pensiunan yang berstatus PNS maupun pegawai swasta (non PNS). Dan dalam penelitian peneliti mengungkap sumber stress lansia sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Erwinsyah Putra Surbakti tidak mengungkap sumber-sumber stres. Peneliti memilih berfokus pada pensiunan PNS dikarenakan beberapa hal yaitu: batas usia pensiun PNS pada umur 56 tahun, sedangkan batas usia pensiun pegawai swasta tergantung peraturan perusahaan. Hal ini membuat pegawai swasta lebih bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi masa pensiun. Selanjutnya potret pegawai swasta memiliki etos kerja dan profesionalitas di atas PNS, sehingga pensiun pegawai swasta lebih bisa menyesuaikan diri dalam menghadapi masa pensiun dengan bekerja atau berbisnis. Sementara pensiunan PNS lebih mengandalkan uang pensiun bulanan, sehingga kurang memiliki keinginan untuk mencari penghasilan tambahan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hal tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh (Akhyar Effendi dkk, 2011: 36) bahwa:
“Salah satu potret PNS di Indonesia dewasa ini sering berkisar pada rendahnya profesionalisme serta budaya kerja dan ethos kerja. Hal ini mengakibatkan seorang PNS tidak pernah tercambuk untuk menunaikan kewajibannya secara profesional. Berbeda dengan karyawan swasta, yang harus diakui memiliki etos kerja dan profesionalitas di atas PNS. Faktornya adalah sistem kerja yang memang memacu mereka untuk menunjukkan kinerja optimal. Mereka berada dalam lingkungan kerja dengan intensitas persaingan yang ketat, sehingga lebih siap dalam menghadapi masa pensiun. Dengan bekal yang ada, mereka dapat mencari penghasilan di masa pensiun seperti bekerja dengan pihak lain atau berbisnis”.
(21)
7
Demikian pula dengan pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo. Bapak
Agus Salim selaku kepala Camat Polanharjo pada wawancara pada tanggal 8
Maret 2012 mengungkapkan bahwa “setahu saya rata-rata PNS disini jarang yang
bekerja lagi mbak, apalagi berbisnis. Kebanyakan sih menikmati masa tua di
rumah dan kegiatan-kegiatan sosial atau masjid, kalaupun berbisnis bisa dihitung
pakai jari mbak, paling juga buka warung kecil-kecilan untuk mengisi waktu
luang saja”. Berdasarkan pendapat tersebut, hal ini berarti pensiunan PNS di
Kecamatan Polanharjo sebagian hanya mengandalkan uang pensiunan bulanan.
Mengenai kelompok penduduk lanjut usia di Kecamatan Polanharjo Kabupaten
Klaten adalah sebagai beriku :
Tabel 1. Kelompok Penduduk Lansia Di Kecamatan Polanharjo
No Kelompok Umur
Lansia
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki Perempuan
1 60-64 985 1.151 2.136
2 65 + 2.263 2.671 4.934
Total 3.248 3.822 7.070
(Sumber: Data BPS Klaten, 2011)
Tabel 1 menunjukkan bahwa kelompok penduduk lansia di Kecamatan Polanharjo
sebanyak 7.070 jiwa yang terdiri dari 3.248 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan
3.822 jiwa berjenis kelamin perempuan. Hal ini berarti jumlah kelompok
penduduk lansia di Kecamatan Polanharjo cukup signifikan.
Selanjutnya berdasarkan studi pendahuluan, diketahui penduduk lansia
pensiunan PNS yang ada di Kecamatan Polanharjo kabupaten Klaten sebanyak
700 orang yang berasal dari PNS, baik yang berasal dari umum, guru, dokter dan
lain sebagainya. Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo yang mengambil uang
(22)
8
Republik Indonesia). Kegiatannya meliputi arisan dan baksos, kemudian untuk
perkumpulannya dilaksanakan setiap tanggal 4.
Selain itu peneliti melakukan wawancara terhadap 4 orang pensiunan PNS
pada tanggal 6 Maret 2012 di Kecamatan Polanharjo kabupaten Klaten yang
terdiri dari pensiunan guru, dosen dan pegawai negeri sipil dari dinas PU.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut ternyata 3 orang diantaranya mengaku
belum menerima keadaan pensiun karena merasa kehilangan peran dan identitas
yang dimiliki semasa pra pensiun. Dari 3 orang tersebut ada juga yang
mengatakan tidak memiliki pekerjaan lain setelah pensiun padahal masih
memiliki tanggungan anak yang masih sekolah atau kuliah sehingga muncul
perasaan tidak berguna lagi bagi keluarga bahkan sering mengalami stres.
Sementara 1 orang dari 4 orang yang diwawancara mengaku sudah menerima
bahwa dirinya sudah pensiun karena anak-anaknya sudah menikah sehingga sudah
tidak memiliki tanggungan lagi. Selain itu sudah memiliki kegiatan lain seperti
bertani dan bercocok tanam di sawah, sehingga dapat mengisi waktu luangnya.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa masa pensiun adalah situasi yang
menjadi stressor bagi lansia dan seringkali dianggap hal yang tidak
menyenangkan. Apabila stressor tersebut tidak dapat teratasi, maka lansia akan
mengalami hal yang lebih buruk seperti depresi.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih
lanjut mengenai “Stres dan Strategi Coping Lansia Pensiunan Pegawai Negeri
(23)
9
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka dapat didentifikasikan
masalah sebagai berikut:
1. Sebagian masyarakat berpandangan negatif tentang masa lansia karena lansia
dianggap manusia yang tidak produktif.
2. Masa pensiun ini dapat menimbulkan masalah bagi individu jika tidak siap
menghadapinya.
3. Pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo sebagian hanya mengandalkan uang
pensiunan bulanan, padahal masih memiliki tanggungan keluarga.
4. Sebagian lansia pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo merasa stres saat
memasuki masa pensiun.
C.Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
dikemukakan di atas, maka penelitian ini dibatasi pada stres dan strategi coping
pensiunan PNS di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.
D.Rumusan Masalah
Dari batasan yang ada dapat diambil rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana tingkat stres lansia pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) di
Kecamatan Polangarjo Kabupaten Klaten ?
2. Bagaimana stres lansia pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan
(24)
10
3. Bagaimanakah strategi coping yang digunakan lansia pensiunan pegawai
negeri sipil (PNS) di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten?
E.Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui tingkat stres lansia pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) di
Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.
2. Untuk mengetahui sumber stres lansia pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) di
Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.
3. Untuk mengetahui strategi coping yang digunakan lansia pensiunan pegawai
negeri sipil (PNS) di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian dapat memberi sumbangan ilmu pengetahuan khususnya
pada ruang lingkup psikologi pendidikan dan bimbingan tentang kesehatan
mental berkaitan dengan stres dan coping lansia pensiunan pegawai negeri
sipil (PNS).
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dan bahan
pertimbangan pada penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi lansia
Diharapkan lansia dapat menghadapi masa pensiunnya dengan nyaman
(25)
11
Hal ini dikarenakan kondisi stres yang tidak tertangani dengan baik dapat
memicu berbagai penyakit pada lansia seperti tekanan darah tinggi, asma,
pusing/sakit kepala, insomnia, depresi bahkan bunuh diri.
b. Bagi peneliti, sebagai pengalaman lapangan dalam menerapkan ilmu
Bimbingan dan Konseling.
G.Batasan Istilah
1. Stres adalah reaksi lansia terhadap keadaan atau kejadian yang menimbulkan
tekanan, perubahaan dan ketegangan emosi sebagai bentuk respon terhadap diri
sendiri, keluarga, dan masyarakat di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.
2. Strategi coping adalah mekanisme yang dilakukan lansia di Kecamatan
Polanharjo Kabupaten Klaten untuk mengatasi perubahan atau beban dan
tekanan yang dialami, baik yang berorientasi pada upaya-upaya penyelesaian
masalah (tugas) maupun yang berorientasi pada aspek emosional (ego ).
3. Lansia adalah kelompok penduduk laki-laki dan perempuan yang berusia di
atas 60 tahun di Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.
4. Pensiunan PNS adalah suatu keadaan/kondisi dimana individu telah berhenti
bekerja di suatu instansi pemerintah karena mencapai batas usia pensiun dan
(26)
12
BAB II KAJIAN TEORI
A.Stres
1. Pengertian Stres
Menurut Sunaryo (dalam Dwi Agustianto, 2011: 12) stres adalah reaksi
tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan, dan ketegangan
emosi. Sementara menurut Dadang Hawari (2001: 25) stres adalah reaksi atau
respons tubuh terhadap stressor psikososial (tekanan mental atau beban
kehidupan). Selanjutnya Sandrock (2003: 39) mendefinisikan stres adalah
respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor)
yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk
menanganinya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stres
adalah reaksi individu terhadap keadaan atau kejadian yang menimbulkan
tekanan, perubahaan dan ketegangan emosi.
2. Sumber Stres
Sumber stres dapat berubah-ubah, sejalan dengan perkembangan manusia
tetapi kondisi stres juga dapat terjadi di setiap saat sepanjang kehidupan.
Menurut Bart Smet (dalam Yeniar Indriana,dkk, 2010: 89) sumber-sumber
stres adalah sebagai berikut:
a. Dari dalam diri
Stres juga akan muncul pada seseorang melalui penilaian dari kekuatan
motivasional bila seseorang mengalami konflik. Konflik merupakan
(27)
13 b. Di dalam keluarga
Stres dapat bersumber dari interaksi di antara para anggota keluarga. Ada
beberapa stresor dalam keluarga yaitu perselisihan dalam masalah
keuangan, perasaan saling acuh tak acuh, perbedaan yang tajam dalam
menentukan tujuan, kebisingan karena suara radio, televisi atau tape yang
dinyalakan dengan suara keras sekali, keluarga yang tinggal di lingkungan
yang terlalu sesak dan kehadiran adik baru. Stresor lain dalam keluarga
adalah kehilangan anak yang disayangi akibat bencana alam, kesakitan
atau kecelakaan, kematian suami atau istri.
c. Di dalam komunitas/lingkungan
Interaksi subjek di luar lingkungan keluarga melengkapi sumber-sumber
stres, misalnya pengalaman stres anak di sekolah. Sedangkan beberapa
pengalaman stres orang tua bersumber dari lingkungan kerjanya. Faktor
lingkungan yang lain adalah lingkungan fisik seperti kebisingan dan suhu.
Selanjutnya menurut Siswanto (2007: 51) stressor (sesuatu yang
menyebabkan stres) dapat berasal dari berbagai hal yaitu:
a. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik bisa menjadi sumber stressor, seperti suhu yang
terlalu panas atau dingin, perubahan cuaca, cahaya yang terlalu terang/gelap,
suara yang terlalu bising dan polusi yang merupakan sumber-sumber
potensial yang biasa menjadi stressor. Kepadatan juga bisa mengakibatkan
stres. Penduduk yang tinggal dikampung-kampung yang kumuh yang
(28)
14
cenderung lebih mudah meledak dibandingkan dengan penduduk yang
tinggal diarea yang kurang padat.
b. Kelompok
Stressor yang lain berasal dari kelompok seperti: berhubungan dengan
teman, hubungan dengan atasan dan hubungan dengan bawahan.
c. Keorganisasian
Stresor yang bersumber dari keorganisasian seperti kebijakan yang
diambil perusahaan, struktur organisasi yang tidak sesuai dan partisipasi
anggota yang rendah.
d. Individu Sendiri
Konflik yang berhubungan dengan peran dan tuntutan tanggung jawab
yang dirasakan berat bisa membuat seseorang menjadi tegang. Stressor yang
sama bisa berakibat berbeda pada individu yang berbeda karena adanya
perbedaan tanggapan antar individu (individual differences) yang meliputi tingkat usia, jenis kelamin, pendidikan, kesehatan fisik, kepribadian, harga
diri dan lain-lain.
1) Tingkat Usia
Usia berhubungan dengan toleransi seseorang terhadap stres dan jenis stresor yang paling mengganggu. Usia dewasa biasanya lebih mampu mengontrol sres dibanding dengan usia anak-anak dan usia lanjut. Dengan kata lain, orang dewasa biasanya mempunyai toleransi terhadap stressor yang lebih baik.
2) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan juga mempengaruhi seseorang mudah terkena stres atau tidak. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, toleransi dan pengontrolan terhadap stresor biasanya lebih baik.
3) Tingkat Kesehatan
Tingkat kesehatan orang juga mempengaruhi mudah tidaknnya terkena stres. Orang yang sakit lebih mudah menderita akibat stres dibanding orang yang sehat.
(29)
15 4) Faktor Kepribadian
Faktor kepribadian mempengaruhi mudah tidaknya seseorang terkena stres. Orang tipe A cenderung akan lebih mudah terkena penyakit jantung dari pada berkepribadian tipe B. Harga diri yang rendah juga cenderung membuat efek stres lebih tinggi dibanding orang yang mempunyai harga diri yang tinggi.
Kemudian menurut Hidayat (2004: 45) sumber stres terdiri dari tiga aspek
yaitu sebagai berikut:
a. Diri Sendiri
Sumber stres dari dalam diri sendiri umumnya konflik yang terjadi antara
keinginan dan kenyataan yang berbeda, dalam hal ini adalah berbagai
masalah yang tidak sesuai dengan dirinya dan tidak mampu di atasi, maka
akan dapat menimbulkan stres.
b. Keluarga
Stres bersumber dari masalah keluarga ditandai dengan adanya perselisihan
antara keluarga, masalah keuangan serta adanya tujuan yang berbeda di
antara keluarga.
c. Masyarakat dan Lingkungan
Sumber stres ini dapat terjadi di masyarakat dan lingkungan seperti
lingkungan pekerjaan, kurangnya hubungan interpersonal serta kurang
adanya pengakuan di masyarakat, sehingga tidak berkembang.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa sumber stres dapat berubah-ubah,
sejalan dengan perkembangan manusia tetapi kondisi stres juga dapat terjadi di
setiap saat sepanjang kehidupan. Sumber stres pada dasarnya berasal dari diri
(30)
16
3. Faktor Yang Mempengaruhi Stres
Suliswati (2005: 56) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi stres
yaitu pengaruh genetik, pengalaman masa lalu dan kondisi saat ini. Pengaruh
genetik merupakan keadaan kehidupan seseorang yang diperoleh dari
keturunan, seperti riwaya kondisi psikologis, fisik keluarga dan temperamen.
Pengalaman masa lalu adalah kejadian-kejadian yang menghasilkan suatu pola
pembelajaran yang dapat mempengaruhi respon penyesuaian individu,
termasuk pengalaman sebelumnya terhadap tekanan stres tersebut atau tekanan
lainnya. Selanjutnya untuk kondisi saat ini meliputi faktor kerentanan yang
mempengaruhi kesiapan fisik, psikologis dan sumber-sumber sosial individu
untuk menghadapi tuntutan penyesuain diri.
Selanjutnya menurut Stuart dan Laraia (dalam Dwi Agustianto, 2011: 14)
faktor yang mempengaruhi stres yaitu faktor biologi, psikologis dan
sosiokultural. untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
a. Faktor biologi, misalnya latar belakang genetik yang merupakan keadaan
kehidupan yang diperoleh dari keturunan, hal ini berarti apabila ada salah
satu anggota keluarga yang mengalami kondisi stres maka ada kemungkinan
keturunannya juga mengalami stres.
b. Faktor psikologis, misalnya: kepribadian, seseorang yang memiliki
kepribadian yang labil maka akan cenderung mudah stres.
c. Faktor sosiokultural, meliputi: usia, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan,
pekerjan, posisi sosial, latar belakang budaya, pendidikan agama dan
kepercayaan, afiliasi politik, pengalaman sosialisasi dan tingkat integrasi
(31)
17
Pendapat tersebut juga senada dengan yang dikemukakan oleh Yeniar
Indriana , dkk 2010: 90) bahwa faktor yang mempengaruhi stres meliputi 3 hal
yaitu biologis, psikologis, dan sosial. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
a. Faktor biologis
Misalnya kekurangan makan dapat menimbulkan stres karena makan merupakan kebutuhan pokok manusia, biasanya orang yang kelaparan menjadi lebih sensitif dan mudah stres.
b. Faktor psikologis
Misalnyakehilangan sesuatu yang berharga seperti kehilangan anak, suami/istri atau orang tua dapat menimbulkan stres.
c. Faktor sosial
Misalnya perubahan tempat tinggal atau tempat kerja, jika seseorang tidak dapat beradaptasi dengan baik, maka dapat menimbulkan stres.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
faktor yang mempengaruhi stres meliputi: a) faktor biologis, b) faktor
psikologis, c) faktor sosial.
4. Tanda dan Gejala Stres
Menurut Cox (dalam Siswanto, 2007: 56) tanda dan gejala stres terbagi
dalam lima kategori sebagai berikut:
a. Gejala subjektif (dirasakan secara pribadi) meliputi: kegelisahan, agresi, kelesuan, kebosanan, depresi, kelelahan, kekecewaaan, kehilangan kesabaran, harga diri rendah, perasaan terpencil.
b. Gejala perilaku (yang mudah dilihat karena berbentuk perilaku-perilaku tertentu), meliputi mudah terkena kecelakaan, penyalahgunaan obat, peledakan emosi, berperilaku implisif, tertawa gelisah.
c. Gejala kognitif (yang mempengaruhi proses berpikir, meliputi tidak mampu mengambil keputusan yang sehat, kurang dapat berkonsentrasi, tidak mampu memusatkan perhatian dalam jangka waktu yang lama, sangat peka terhadap kecaman dan mengalami rintangan mental.
(32)
18
d. Gejala fisiologis ( yang berhubungan dengan fungsi atau kerja alat-alat tubuh), yaitu tingkat gula darah meningkat, denyut jantung/tekanan darah naik, mulut menjadi kering, berkeringat, pupil mata membesar, sebentar-sebentar panas dan dingin.
e. Gejala keorganisasian (tampak dalam tempat kerja), meliputi absen, produktifitas rendah, mengsingkan diri dari teman sekerja, ketidak puasan kerja, menurunnya keterikatan dan loyalitas terhadap organisasi.
Braham (dalam Handoyo Seger 2001: 68) membedakan gejala stres atas
gejala fisik, emosional, intelektual dan gejala interpersonal. Gejala fisik
ditandai dengan adanya sulit tidur atau tidur tidak teratur, sakit kepala, sulit
buang air besar, adanya gangguan pencemaan, radang usus, kulit gatal-gatal,
punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang, keringat
berlebihan, selera makan berubah, tekanan darah tinggi atau serangan jantung,
dan kehilangan energi. Sementara gejala stres yang bersifat emosional ditandai
dengan marah-marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif, gelisah dan
cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis dan depresi,
gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah bermusuhan serta mudah
menyerang, dan kelesuan mental. Gejala stres yang bersifat intelektual
umumnya ditandai dengan mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun,
sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan dan pikiran hanya
dipenuhi satu pikiran saja. Sedangkan tanda stres yang bersifat interpersonal
adalah acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan pada orang lain
menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang mencari kesalahan
orang lain atau menyerang dengan kata-kata, menutup diri secara berlebihan,
(33)
19
Tanda dan gejala stres menurut Stuart dan Laraia (dalam Dwi Agustianto,
2011: 14) diantaranya sebagai berikut:
a. Gejala Perilaku, seperti mondar-mandir, gelisah, mengigit kuku, mengerak-gerakkan anggota badan atau jari-jari, perubahan pola makan, merokok, minum minuman keras, menangis, berteriak, mengumpat, bahkan melempar barang atau memukul.
b. Gelaja mental, seperti berkurangnya konsentrasi dan daya ingat, ragu-ragu, bingung, pikiran penuh atau kosong, kehilangan rasa humor. c. Gejala emosi, seperti cemas (pada berbagai situasi), depresi, putus asa,
mudah marah, ketakutan, frustasi, tiba-tiba menangis, fobia, rendah diri, merasa tak berdaya, menarik diri dari pergaulan dan menghindari kegiatan yang sebelumnya disenangi.
d. Gelaja fisik, seperti merasa lelah, insomnia, nyeri kepala, otot kaku dan tegang, gemetar, wajah terasa panas, berkeringat dan sebagainya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tanda dan gejala stres
meliputi gejala fisik, mental (kognitif), emosi (subjektif), perilaku dan
keorganisasian.
5. Tingkatan Stres
Tingkatan stres sebagaimana yang dikemukakan oleh Potter (dalam Dwi
Agustianto, 2011: 15) terbagi menjadi tiga yaitu:
a. Stres ringan, seperti terlalu banyak tidur, kemacetan lalu lintas, situasi ini
biasanya berlangsung berapa menit atau jam dan belum berpengaruh
kepada fisik dan mental hanya saja mulai sedikit tegang dan was-was.
b. Stres sedang, apabila berlangsung lebih lama seperti mulai kesulitasn tidur,
sering menyendiri dan tegang.
c. Stres berat, apabila situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu
sampai beberapa tahun. pada keadaan stres ini individu mulai ada gangguan
fisik dan mental.
Menurut Sundeen (dalam Erwinsyah Putra Surbakti, 2008: 12)
(34)
20 a. Stres ringan
Pada tingkat stres ini sering terjadi pada kehidupan sehari-hari dan kondisi
ini dapat membantu individu menjadi waspada dan bagaimana mencegah
berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
b. Stres sedang
Pada stres tingkat ini individu lebih memfokuskan hal penting saat ini dan
mengesampingkan yang lain sehingga mempersempit lahan persepsinya.
c. Stres berat
Pada tingkat ini lahan persepsi individu sangat menurun dan cenderung
memusatkan perhatian pada hal-hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk
mengurangi stres. Individu tersebut mencoba memusatkan perhatian pada
lahan lain dan memerlukan banyak pengarahan.
Tingkat stres menurut Stuart Laraia (dalam Dwi Agustianto,2011:19)
ada tiga macam tingkatan stres yaitu :
a. Stres ringan berhubungan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari dapat
memotivasi individu untuk belajar dan mampu menyelesaikan masalah
secara efektif.
b. Stres sedang memungkinkan individu untuk berfokus pada hal-hal yang
penting.
c. Stres tinggi individu cenderung pada suatu objek yang dapat mengurangi
(35)
21
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkatan stres terbagi menjadi
tiga yaitu stres ringan, stres sedang dan stres berat.
B.Coping
1. Pengertian Coping
Coping berasal dari kata coping yang bermakna harafiah
pengatasan/penanggulangan (to cope with berarti mengatasi atau menanggulangi). Coping itu sendiri dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh
individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan atau luka
atau kehilangan atau ancaman. Dengan kata lain coping adalah bagaimana
reaksi orang ketika mengalami tekanan/stres (Siswanto, 2007: 60).
Menurut Mu’tadin (2002: 41) coping adalah suatu tindakan merubah
kognitif secara konstan dan merupakan usaha tingkah laku untuk mengatasi
tuntutan internal atau eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber
daya yang dimiliki individu. Sementara Dwi Agustianto (2011: 7)
mengemukakan bahwa coping adalah mekanisme untuk mengatasi perubahan
yang dihadapi atau beban yang diterima. Apabila mekanisme coping ini
berhasil, seseorang akan dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban
tersebut.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
coping adalah mekanisme yang dilakukan individu untuk mengatasi perubahan
(36)
22
2. Sumber Coping
Menurut Stuart dan Laraia (dalam Dwi Agustianto, 2011: 9) sumber
coping sangat banyak, meliputi:
a. Aset ekonomi, artinya semakin rendah aset ekonomi yang dimiliki
seseorang, maka semakin tinggi tingkat stres yang dialami seseorang.
b. Kemampuan dan ketrampilan, artinya seseorang yang tidak memiliki
kemampuan dan ketrampilan yang memadai lebih cenderung mudah stres
karena merasa tidak mampu melakukan pekerjaan.
c. Teknik defensif (teknik pertahanan), artinya seseorang yang memiliki teknik
defensif cenderung lebih bisa menghadapi masalah dengan baik, sehingga
tidak mudah stres.
d. Dukungan sosial, artinya jika seseorang menghadapi masalah yang berat
kemudian mendapatkan dukungan sosial seperti keluarga, kerabat atau
teman cenderung mampu menghadapi stres dengan lebih baik.
e. Kesehatan, artinya dalam menghadapi permasalahan dibutuhkan kesehatan
yang baik.
f. Dukungan spritual, artinya seseorang yang mendekatkan diri dengan
Tuhan, cenderung lebih tenang dalam menghadapi masalah, sehingga dapat
menekan rasa stres.
g. Keyakinan positif, artinya seseorang yang memiliki keyakinan yang positif
cenderung dapat berpikir lebih jernih, sehingga tidak mudah stres.
h. Kemampuan pemecahan masalah, artinya seseorang yang memiliki
(37)
23
i. Motivasi, artinya seseorang yang memiliki motivasi yang tinggi cenderung
memiliki keinginan untuk menyelesaikan permasalahan sehingga dapat
menekan stres.
Selanjutnya Hidayat (2004: 48) mengemukakan bahwa individu dapat
mengatasi stres dengan menggerakkan sumber coping di lingkungan yaitu: aset
ekonomi, kemampuan dan ketrampilan individu, teknik-teknik pertahanan,
dukungan sosial dan dorongan motivasi. Pendapat tersebut juga tidak berbeda
dengan pendapat Rasmun (2001: 38) yang mengidentifikasikan lima sumber
coping yang dapat membantu individu beradaptasi dengan stressor yaitu, ekonomi, keterampilan dan kemampuan, tehnik pertahanan, dukungan sosial
dan motivasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sumber
coping adalah aset ekonomi, kemampuan dan ketrampilan individu,
teknik-teknik pertahanan, dukungan sosial, dukungan spritual, kesehatan dan
dorongan motivasi.
3. Strategi Coping
Folkman dan Lazarrus (dalam Astuti Yuni Nursasi dan Poppy Fitriyani,
2002: 60) mengidentifikasi ada dua jenis strategi coping yang digunakan yaitu:
coping yang berorientasi pada upaya-upaya penyelesaian masalah (tugas) dan
coping yang berorientasi pada aspek emosional. Reaksi yang berorientasi pada
tugas dilakukan subjek untuk menghadapi kenyataan tuntutan stres dengan
(38)
24
konflik dan memenuhi kebutuhan, sedangkan reaksi yang berorientasi pada ego
sering kali digunakan untuk melindungi diri sendiri.
Selanjutnya menurut Stuart dan Laraia (dalam Dwi Agustianto, 2011: 9)
ada dua jenis strategi coping dalam aspek psikososial yaitu reaksi yang
berorientasi pada ego (ego oriented) dan reaksi yang berorientasi pada tugas (task oriented). Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
a. Reaksi yang berorientasi pada ego (ego oriented), hal ini mencakup:
1) Denial (menyangkal), menghindari realitas ketidaksetujuan dengan mengabaikan atau menolak untuk mengenalinya. Contohnya lansia yang
merasa tidak pantas untuk pensiun.
2) Projeksi, mekanisme perilaku dengan menempatkan sifat-sifat batin sendiri pada objek di luar diri atau melemparkan kekurangan diri sendiri
para orang lain. Contohnya ketika menghadapi masalah cenderung
menyalahkan keluarga atau orang lain.
3) Regresi, menghindarkan stres terhadap karakteristik perilaku dari tahap perkembangan yang lebih awal. Contohnya mengisi waktu luang dengan
kegiatan yang sesuai dengan hobi.
4) Displacement, mengalihkan emosi yang seharusnya diarahkan pada orang atau benda tertentu ke benda atau orang yang netral atau tidak
membahayakan. Contohnya berteriak-teriak atau menghancurkan barang
yang ada disekitarnya tanpa melukai orang lain.
5) Mencari dukungan sosial. Contohnya keluarga mencari dukungan atau
(39)
25
6) Reframing, mengkaji ulang kejadian stres agar lebih dapat menanganinya dan menerimanya. Contohnya intropeksi diri atau meminta nasehat.
7) Mencari dukungan spiritual, mencari dan berusaha secara spritual.
Contohnya berdoa, menemui pemuka agama atau aktif pada pertemuan
ibadah.
8) Menggerakkan keluarga untuk dapat menerima bantuan. Contohnya
keluarga berusaha mencari seumber-sumber komunitas dan menerima
bantuan orang lain seperti meminta bantuan tetangga atau saudara untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
b. Reaksi yang berorientasi pada tugas (task oriented)
1) Perilaku agresif, dimana reaksi yang ditampilkan oleh individu dalam
menghadapi masalah dapat konstruktif atau destruktif. Tindakan
konstruktif yaitu tindakan yang dilakukan secara terus terang tentang
ketidaksukaan terhadap perlakuan yang tidak menyenangkan baginya,
contohnya marah secara lansung atau berdebat.Sementara tindakan
destruktif yaitu individu melakukan tindakan penyerangan terhadap
stressor dapat juga merugikan dirinya sendiri, orang lain atau
lingkungannya, contohnya menghadapi masalah dengan merokok atau
mabuk.
2) Perilaku menarik diri, dimana reaksi yang ditampilkan dapat berupa
reaksi fisik maupun psikologis. Reaksi fisik yaitu individu pergi atau
menghindari stressor, contohnya ketika berselisih paham dengan orang
(40)
26
Sedangkan reaksi psikologis contohnya perilaku apatis, isolasi diri, tidak
berminat, sering disertai rasa takut dan berlebihan.
3) Perilaku kompromi, yaitu cara yang konstruktif yang digunakan oleh
individu dimana menyelesaikan masalahnya individu tersebut melakukan
pendekatan negosiasi atau bermusyawarah. Contohnya bermusyawarah
saat menghadapi permasalahan dengan orang lain.
Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Kozier (2004: 62) bahwa
strategi coping dibedakan menjadi dua tipe menurut yaitu:
a. Strategi coping berfokus pada masalah (problem focused coping), meliputi usaha untuk memperbaiki suatu situasi dengan membuat perubahan atau
mengambil beberapa tindakan dan usaha segera untuk mengatasi ancaman
pada dirinya. Misalnya negosiasi, konfrontasi dan meminta nasehat.
b. Strategi coping berfokus pada emosi (emotional focused coping), meliputi usaha-usaha dan gagasan yang mengurangi distres emosional. Mekanisme
koping berfokus pada emosi tidak memperbaiki situasi tetapi seseorang
sering merasa lebih baik.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa strategi
coping terbagi menjadi dua yaitu berorientasi pada aspek emosional (ego) dan
berorientasi pada upaya-upaya penyelesaian masalah (tugas).
4. Faktor Yang Mempengaruhi Strategi Coping
Menurut Stuart dan Laraia (dalam Dwi agustianto, 2011: 11) bahwa
faktor yang mempengaruhi strategi coping yaitu sebagai berikut:
(41)
27
Saat lansia memasuki masa pensiun, maka akan berdampak pada
berkurangnya penghasilan, hal ini dapat menimbulkan stres sehingga aset
materi dapat meningkatkan strategi coping dalam menghadapi stres tersebut
karena dengan aset materi, seseorang dapat memenuhi kebutuhan dengan
lebih baik.
b. Kesehatan fisik, merupakan hal yang penting karena selama dalam usaha
mengatasi stres individu dituntut untuk dapat mengerahkan tenaga yang
cukup besar.
c. Ketrampilan sosial, meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan
bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang
berlaku di masyarakat mendukung strategi coping dalam menghadapi stres.
d. Keyakinan atau pandangan positif, keyakinan menjadi sumber daya
psikologis yang sangat penting seperti keyakinan akan nasib yang
mengarahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan yang akan
menurunkan kemampuan strategi coping.
e. Ketrampilan memecahkan masalah, meliputi kemampuan untuk mencari
informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan
untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan
alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai dan pada
akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang
tepat. Dengan ketrampilan memecahkan masalah ini, maka stres dapat
teratasi dengan baik.
f. Dukungan sosial, meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan
(42)
28
keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
Dengan dukungan sosial ini dapat mengurangi stres pada lansia.
Mu’tadin (2002: 43) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi
strategi coping meliputi kesehatan fisik/energi, ketrampilan memecahkan
masalah, ketrampilan sosial, dukungan sosial dan materi. Pendapat tersebut
sesuai dengan pendapat Rasmun (2001: 45) yang mengemukakan bahwa faktor
yang mempengaruhi strategi coping meliputi: ekonomi, keterampilan dan
kemampuan, dukungan sosial dan motivasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi
strategi coping meliputi: a) kesehatan fisik/energi, b) ketrampilan memecahkan
masalah, c) ketrampilan sosial, d) dukungan sosial, e) materi, f) keyakinan atau
pandangan positif.
C.Lanjut Usia (Lansia) 1. Pengertian Lansia
Masa lanjut usia sering juga disebut masa dewasa akhir atau masa tua
atau masa kematangan akhir. Penuaan adalah normal dengan perubahan fisik
dan tingkah laku yang diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat
mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Hal ini
merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multidimensional yang dapat
diobservasi di dalam satu sel dan berkembang sampai keseluruhan sistem
(Mickey, 2006: 68).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang
(43)
29
usia adalah penduduk laki-laki dan wanita yang berusia 60 tahun ke atas (Sri
Iswanti Mahmudi, 2000: 47). Dengan demikian lansia adalah kelompok
penduduk laki-laki dan perempuan yang berusia di atas 60 tahun.
2. Klasifikasi Lansia
Menurut Departemen Kesehatan (dalam Maryam, 2008: 6) klasifikasi
lansia meliputi:
a. Pralansia (prasenilis), yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun. b. Lansia, yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia resiko tinggi, yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
d. Lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa.
e. Lansia tidak potensial, yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Sementara menurut WHO klasifikasi lansia menjadi 4 yaitu sebagai
berikut:
a. Usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok 45-59 tahun. b. Usia lanjut (elderly age) yaitu kelompok usia 60-74 tahun. c. Usia lanjut usia (old) yaitu kelompok usia 75-90 tahun.
d. Usia sangat tua (very old) yaitu kelompok usia di atas 90 tahun.
Selanjutnya menurut Azis (dalam Erwinsyah Putra Surbakti, 2008: 26)
lansia dibagi menjadi tiga kelompok yakni kelompok lansia dini (55-64
tahun) yang merupakan kelompok baru memasuki lansia, kelompok lansia
(65 tahun ke atas) dan kelompok lansia resiko tinggi (lansia yang berusia
lebih dari 70 tahun).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lansia
(44)
30
3. Tipe Lansia
Menurut Nugroho (2000: 108) tipe lansia bergantung pada karakter,
pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental sosial dan sosial
ekonominya, tipe tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tipe arif bijaksana, yaitu kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan
diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah,
rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi
panutan.
b. Tipe mandiri, yaitu menggantikan kegiatan yang hilang dengan yang baru,
selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman.
c. Tipe tidak puas, yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan,
sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani,
pengkriti dan banyak menuntut.
d. Tipe pasrah, yaitu menerima dan menunggu nasib, mengikuti agama dan
melakukan pekerjaan apa saja.
e. Tipe bingung, yaitu kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri,
minder, menyesal, pasif dan acuh tak acuh.
Kemudian Humam Syaharuddin (2012: 15) mengemukakan bahwa tipe
kepribadian lansia sebagai berikut:
a. Kepribadian Integrated
Tipe ini memiliki kehidupan batin yang kaya, kemampuan kognitif yang
baik, dan keadaan ego yang kompeten, flexsibel, matang dan terbuka
(45)
31
hidup yang tinggi. Kepribadian integrated ini digolongkan menjadi 3 berdasarkan pada tingkat aktifitasnya, yakni :
1) Pola Reorganizer ( Tipe A) yaitulansia integrated yg memiliki aktifitas tinggi, sering disebut optimum agers. Bila lansia terputus dengan aktifitas lama, maka lansia akan mencari aktifitas baru yang menyebabkan lansia
merasa lebih bermakna misalnya dalam aktifitas sosial.
2) Pola Focused (Tipe B)yaitu lansia integrated yang memiliki kepuasan hidup tinggi, tetapi beberapa peran saja, misalnya sebagai orang tua,
sebagainenek/kakek, berkebun, memelihara ayam, dll.
3) Pola Disangaged (tipe C) yaitu lansia integrated yang memiliki kepuasan hidup tinggi, namun aktifitas rendah. Lansia dengan suka rela
melepaskan diri dari tanggung jawabnya. Lansia tetap merupakan
golongan yang luas perhatiannya, terbuka menerima pendapat baru,
namun mereka memilih sikap hidup santai dalam menjalani usia lanjut.
b. Kepribadian Armored atau Defended.
Tipe ini dengan ambisi tinggi, motif berprestasi tinggi, masih menginginkan
prestasi dan kedudukan dalam masyarakat, namun tidak diimbangi dengan
kemampuan yang memadai, sehingga penuh defens terhadap kecemasan dan penuh kontrol terhadap kehidupan emosionalnya. Kepribadian Armored
dibedakan menjadi 2 tipe, yakni :
1) Pola Holding On (Tipe D),tipe ini merupakan ancaman, dan lansia ingin mempertahankan sampai detik terakhir kehidupan mereka. Lansia
seringkali berhasil dalam usaha mempertahankan ini, sehingga
(46)
32
atau sedang. Lansia berkeyakinan bahwa tetap beraktifitas adalah cara
untuk melawan proses menjadi tua.
2) Pola Constricted (Tipe E), lansia ini sangat sibuk mempertahankan diri terhadap ketuaan dengan cara menghemat energi dan sangat membatasi
hubungan sosial melalui penarikan diri dari keterlibatan dalam dunia
sosial. Tipe ini memiliki aktivitas rendah dengan kepuasan sedang.
Dengan demikian, kepribadian armored atau defended termasuk termasuk dalam strategi koping yang berorientasi pada tugas (masalah).
c. Kepribadian Pasive-Dependent. Kepribadian ini dibedakan menjadi
1) Pola Succorance-Seeking (Tipe F), tipe ini memiliki kebutuhan ketergantungan yang tinggi (High Dependensy Needs) dan mengalihkan tanggung jawab pada orang lain. Tipe ini memiliki aktifitas sedang dan
kepuasan hidup sedang. Tipe ini ada dalam keadaan senang selama lansia
dapat menggantungkan diri pada orang lain.
2) Pola Apathetic (Tipe G), tipe ini dicirikan dengan sikap pasif, aktifitas rendah dan kepuasan hidup rendah pula yang sering disebut dengan
lansia Rocking Chair. Tipe ini mempunyai sikap pasif dan apatis, misalnyadalam sebuah wawancara seorang laki-laki menyuruh istrinya
untuk menjawab semua pertanyaan yg ditujukan padanya.
d. Kepribadian Unintegrated.
Lansia unintegrated mempunyai banyak kemunduran bahkan kerusakan pada fungsi psikisnya, kontrol emosi lemah dan banyak kemunduran dalam
(47)
33
Selanjutnya Boedhi dan Darmojo (2009: 7) ada 5 tipe lansia yaitu
sebagai berikut:
a. Tipe konstruktif
Tipe ini mempunyai integritas baik, dapat menikmati hidupnya, mempunyai
toleransi tinggi, humoristik, fleksibel (luwes) dan tahu diri. Biasanya
sifat-sifat ini dibawanya sejak muda. Tipe ini dapat menerima fakta-fakta proses
menua, mengalami masa pensiun dengan tenang juga dalam menghadapi
masa akhir.
b. Tipe ketergantungan (dependent)
Tipe lansia ini masih dapat diterima di tengah masyarakat, tetapi selalu
pasif, tak berambisi, masih tahu diri, tidak mempunyai inisiatif dan
bertindak tidak praktis. Biasanya tipe lansia seperti ini dikuasai istrinya.
Tipe ini senang mengalami pensiun, bahkan biasanya banyak makan dan
minum, tidak suka bekerja dan senang untuk berlibur.
c. Tipe defensif
Tipe ini dahulu biasanya mempunyai pekerjaan/jabatan tapi tak stabil, tidak
tetap, bersifat selalu menolak bantuan, seringkali emosinya tak dapat
dikontrol, memegang teguh pada kebiasaannya.
d. Tipe bermusuhan (hostility)
Tipe ini menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalannya, selalu
mengeluh, bersifat agresif, curiga. Biasanya pekerjaan waktu dulunya tidak
stabil. Menjadi tua dianggapnya tidak ada hal-hal yang baik, takut mati, iri
hati pada orang yang muda, senang mengadu untung pada
(48)
34
e. Tipe membenci/menyalahkan diri sendiri (selfhaters)
Tipe ini bersifat kritis terhadap diri sendiri dan menyalahkan diri sendiri, tak
mempunyai ambisi, mengalami penurunan kondisi sosio-ekonomi. Biasanya
mempunyai perkawinan yang tak bahagia, mempunyai sedikit “hobi”,
merasa menjadi korban dari keadaan, namun tipe ini menerima fakta pada
proses menua, tidak iri hati pada yang berusia muda, merasa sudah cukup
mempunyai apa yang ada. Tipe ini menganggap kematian sebagai suatu
kejadian yang membebaskannya dari penderitaan.
Menurut John, Costa dan Mc Crae (dalam Hasma Nurhayati, 2010: 33)
untuk mengidentifikasi kepribadian individu dapat dilakukan dengan
menggunakan tes big five personality. Ada 5 tipe kepribadian menurut dalam
big five personality, yaitu:
1) Extroversion, yaitu orang dengan tipe cenderung semangat, antusias, dominan, ramah, dan komunikatif. Orang sebaliknya akan cenderung pemalu, tidak percaya diri, dan pendiam.
2) Agreeableness, yaitu orang dengan tipe cenderung ramah, kooperatif, mudah percaya dan hangat. Orang sebaliknya akan cenderung dingin, konfrontatif, dan kejam.
3) Conscientiousness, yaitu orang dengan tipe cenderung berhati-hati, dapat diandalkan, teratur, dan bertanggung jawab. Orang sebaliknya akan cenderung ceroboh, berantakan, dan tidak dapat diandalkan.
4) Neuroticism, yaitu orang dengan tipe cenderung gugup, sensitif, tegang, dan mudah cemas. Orang sebaliknya akan cenderung tenang dan santai. 5) Openness, yaitu orang dengan tipe cenderung terlihat imajinatif,
menyenangkan, kreatif, dan artistik. Orang sebaliknya akan cenderung dangkal, membosankan, dan sederhana.
Berdasarkan beberapa pendapatdi atas, tipe lansia terdiri dari berbagai
(49)
35
4. Perubahan Pada Lansia
Menurut Sri Iswanti Mahmudi (2000: 54) perubahan-perubahan yang
terjadi pada lansia adalah sebagai berikut:
a. Kondisi fisik
Perubahan fisik ini terdiri dari perubahan anatomik yang menyebabkan
kemunduran fisiologik (fungsi) alat yang bersangkutan, meliputi:
1) Perubahan pada kerangka tubuh, sehingga tulang menjadi keras dan mudah patah.
2) Sistem syaraf pusat berkurang yang mengakibatkan menurunnya kecepatan belajar dan menginggat, sehingga lanjut usia mudah lupa. 3) Organ-organ bagian dalam seperti jantung, hati, ginjal, paru-paru,
limpa akan berkurang fungsinya.
4) Kulit akan kehilangan elastisitasnya, sehingga menjadi kering dan keriput, menyebabkan lanjut usia tidak tahan panas dan dingin.
5) Penurunan alat-alat indra, karena semua organ penginderaan akan kehilangan sensitivitas dan efisiensinya.
b. Kondisi Kognitif
Penurunan intelegensi pada lanjut usia tetap terjadi walaupun tidak selalu
sama pada setiap orang. Penurunan intelegensi ini akan menyebabkan lanjut
usia mudah lupa terutama pada kejadian-kejadian yang baru, namun untuk
peristiwa-peristiwa masa lalu terutama yang berkesan akan tetap teringat.
c. Kondisi emosi
Secara umum terdapat hubungan antara penurunan kondisi dalam aspek
fisik, kognitif dan aspek lain pada aspek emosi, antara lain :
1) Depresi dan disorganisasi.
2) Perasaan rendah diri dan kecil hati.
(50)
36 d. Kondisi Minat
Pada lanjut usia minat lebih tertuju pada diri sendiri, sehingga lanjut usia
cenderung menjadi lebih egosentris, dan senang membesar-besarkan
penyakit yang dideritannya untuk menarik perhatian.
e. Kondisi sosial
Semakin bertambah usia menyebabkan lanjut usia semakin berkurang
aktifitas sosialnnya, hal ini lazim diistilahkan sebagai lepas dari kegiatan
kemasyarakatan atau social disagegement.
f. Kondisi ekonomi
Di lihat dari kemunduran fisik, lanjut usia sudah berkurang kemampuannya
untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang banyak melibatkan kekuatan
fisik. Seiring dengan datangnya masa tersebut, maka penghasilan juga akan
mengalami penurunan.
g. Kondisi keagamaan
Lanjut usia menaruh minat pada masalah kematian. Ketertarikan akan
agama pada lanjut usia sering dipusatkan pada masalah kematian pada usia
tersebut. Oleh karena itu, agar lanjut usia memiliki kesiapan untuk
menghadapi kematian, maka lanjut usia perlu diberi kesempatan
mempersiapakan diri untuk mencapai tujuan atau makna hidup.
Sementara Mubarak (2006: 15) mengemukakan bahwa
perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia meliputi:
a. Perubahan-perubahan fisik
Meliputi: sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem reproduksi, sistem
(51)
37 b. Perubahan-perubahan psikososial
Meliputi: pensiun, merasakan atau sadat akan kematian, ekonomi melemah
atau menurun akibat pemberhentian dari jabatan, meningkatnya biaya hidup,
bertambahnya biaya pengobatan.
c. Perubahan kondisi mental
Dari segi mental emosional sering muncul perasaan pesimis, timbulnya
perasaan tidak aman dan cemas, adanya kekacauan mental akut, merasa
terancam akan timbulnya suatu penyakit atau takut ditelantarkan karena
tidak berguna lagi.
d. Perubahan kognitif
Perubahan pada fungsi kognitif diantaranya adalah kemunduran terutama
pada tugas-tugas yang membutuhkan kecepatan dan tugas memerlukan
memori jangka pendek atau seketika (0-10 menit).
e. Perubahan spritual
Pada lansia agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam
kehidupannya.
Pendapat di atas tidak berbeda jauh dengan pendapat Syamsuddin (2008:
19) yang mengemukakan bahwa masa lansia sering dimaknai sebagai masa
kemunduran, terutama pada keberfungsian fungsi-fungsi fisik dan psikologis.
Penyebab fisik kemunduran ini merupakan suatu perubahan pada sel-sel tubuh
bukan karena penyakit khusus tetapi karena proses menua. Kemunduran dapat
juga mempunyai penyebab psikologis. Masalah-masalah lain seperti
kemunduran dari aspek sosial ekonomi. Secara ekonomi, lansia merupakan
(52)
38
bahkan bisa jadi nihil yang menyebabkan lansia menjadi tergantung atau
mengantungkan diri pada orang lain seperti anak atau keluarga yang lain.
Kemunduran dari segi sosial ditandai dengan kehilangan jabatan atau posisi
tertentu dalam sebuah organisasi atau masyarakat, yang telah menempatkan
dirinya sebagi individu dengan status terhormat, dihargai, memiliki pengaruh,
dan didengarkan pendapatnya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia meliputi: aspek kondisi fisik, kognitif,
emosi, minat, sosial, ekonomi dan keagamaan.
5. Tugas Perkembangan Lansia
Pada masa lanjut usia mempunyai tugas pengembangan yang harus di
lakukan oleh para lanjut usia. Menurut Melly (dalam Sri Iswanti Mahmudi,
2000: 69) tugas pengembangan tersebut sebagai berikut :
a. Menyesuaikan diri pada keadaan menurunnya kemampuan atau kekuatan
fisik dan kesehatan.
b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan.
c. Menyesuaikan diri dengan meninggalnya pasangan hidup.
d. Membangun hubungan aktif dengan salah satu kelompok sosial yang sesuai
dengan umurnya.
e. Berusaha menemukan dan memberikan bantuan sosial sebagai warga
negara.
f. Menyusun bentuk dan cara hidup yang disesuaikan dengan keadaan fisik
(53)
39
Selanjutnya Erickson (dalam Maryam, 2008: 14) menjelaskan tugas
perkembangan lansia adalah sebagai berikut:
a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun.
b. Mempersiapkan diri untuk pensiun.
c. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya.
d. Mempersiapkan kehidupan baru.
e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara
santai.
f. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan.
Kemudian Humam Syaharuddin (2012: 18) mengemukakan bahwa tugas
perkembangan lansia meliputi:
a. Ego Differentiation
Pada umumnya masa ini individu telah memasuki masa pensiun, maka tugas
yang penting pada masa ini adalah individu mampu membuat penilaian dan
mendefinisikan kembali harga dirinya dari sudut yang lebih luas daripada
hanya penilaian berdasarkan peran kerja.
b. Body Trancendence
Pada masa lansia, banyak sekali terjadi penurunan fisik sehingga rentan
terhadap penyakit, oleh karena itu lansia harus menemukan sistem nilai baru
dibalik penurunan fisik dengan meningkatkan hubungan sosial, misalnya
dengan keluarga.
c. Ego Trancendence
Suatu kenyataan krusial pada masa lansia adalah kematian yang segera
(54)
40
bersikap pasif, tetapi diharapkan tetap aktif melibatkan diri dalam hal-hal
yang bermanfaat bagi kehidupan setelah kematian, misal hidup dengan
bermurah hati, tidak mementingkan diri sendiri, tekun beribadah dan
beramal.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa
lansia mempunyai tugas pengembangan yang harus dilakukan agar dapat
melewati masa lansia dengan baik.
D.Pensiun Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Pengertian Pensiun PNS
Pensiun adalah suatu keadaan seseorang sudah tidak bekerja lagi karena
masa tugasnya sudah selesai (Departemen Pendidikan Nasional, 2002: 70).
Menurut Simamora (2004: 64) pensiun (retirement) adalah pemisahan diri oleh karyawan tua dari organisasi. Sementara Erwinsyah Putra Surbakti (2008: 37)
mengemukakan bahwa pensiun adalah suatu kondisi dimana individu tersebut
telah berhenti bekerja pada suatu pekerjaan yang biasa dilakukan. Kemudian
dalam Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 1979 tentang pemberhentian
PNS pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa pegawai negeri sipil yang telah mencapai
batas usia pensiun, diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pensiun PNS adalah suatu keadaan/kondisi dimana individu telah berhenti
bekerja karena mencapai batas usia pensiun dan masa tugasnya telah selesai.
2. Batas Pensiun PNS
Miftah Thoha (2010: 78) mengemukakan bahwa pada umumnya PNS
(55)
41
eselon II ke atas ada pengecualian, yaitu dapat diperpanjang 2 kali 2 tahun
apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam PP No. 32 Tahun 1979
. PP No. 13 Tahun 2002.
Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 1979 tentang pemberhentian PNS
pasal 3 ayat 2 menyebutkan bahwa batas usia pensiun adalah 56 tahun.
Kemudian pada pasal 4 dijelaskan lebih lanjut batas usia pensiun PNS dapat
diperpanjang dengan perincian sebagai berikut:
a. 65 tahun bagi PNS yang memangku jabatan:
1) Ahli Peneliti dan Peneliti yang ditugaskan secara penuh di bidang
penelitian;
2) Guru Besar, Lektor Kepala, Lektor yang ditugaskan secara penuh pada
perguruan tinggi;
3) Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden;
b. 60 tahun bagi PNSyang memangku jabatan :
1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah
Agung;
2) Jaksa Agung;
3) Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara;
4) Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
5) Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal, dan Kepala
Badan di Departemen;
6) Eselon I dalam jabatan strukturil yang tidak termasuk dalam angka 2, 3
dan 4.
(56)
42
8) Dokter yang ditugaskan secara penuh pada Lembaga Kedokteran Negeri
sesuai dengan profesinya;
9) Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Pengawas Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama;
10) Guru yang ditugaskan secara penuh pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;
11) Penilik Taman Kanak-kanak, Penilik Sekolah Dasar, dan Penilik
Pendidikan Agama;
12) Guru yang ditugaskan secara penuh pada Sekolah Dasar; 13. Jabatan lain
yang ditentukan oleh Presiden;
c. 58 tahun bagi PNS yang memangku jabatan :
1) Hakim pada Mahkamah Pelayaran;
2) Hakim pada Pengadilan Tinggi;
3) Hakim pada Pengadilan Negeri;
4) Hakim Agama pada Pengadilan Agama Tingkat Banding;
5) Hakim Agama pada Pengadilan Agama;
6) Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden
Berdasarkan uraian peraturan Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun
1979 tentang pemberhentian PNS dapat disimpulkan bahwa batas usia pensiun
adalah 56 tahun.
3. Fase Penyesuaian Diri Pada Saat Pensiun
Menurut Agustina (2008: 2) penyesuaian diri pada saat pensiun
merupakan saat yang sulit, dan terdapat tiga fase proses pensiun yaitu a)
(57)
43
end of retirement (fase pasca masa pensiun). Pendapat tersebut juga sama dengan pendapat Rika Eliana (dalam Dwi Agustianto, 2011: 22) yang
mengemukakan bahwa terdapat tiga fase proses pensiun sebagai berikut:
a. Fase pra pensiun (pretirement phase)
Fase ini dibagi 2 bagian yaitu remote dan near. Pada remote phase
biasanya fase ini dimulai pada saat orang tersebut pertama kali mendapatkan
pekerjaan dan masa ini berakhir ketika orang tersebut mulai mendekati masa
pensiun, sedangkan near phase biasanya orang mulai sadar bahwa mereka akan segera memasuki masa pensiun dan hal ini membutuhkan penyesuaian
diri yang baik.
b. Fase Pensiun (Retirement phase)
Pada fase ini terbagi menjadi 4 yaitu honeymoon phase, disenchatment phase, reorientation phase, dan stability phase. Honeymoon (bulan madu) adalah perasaan gembira karena bebas dari pekerjaan dan rutinitas, biasanya
muai mencari kegiatan pengganti seperti mengembangkan hobi. Kegiatan
ini tergantung pada kesehatan, keuangan, gaya hidup dan situasi keluarga.
Orang yang selama masa kegiatan aktifnya bekerja dan gaya hidupnya tidak
bertumpu pada pekerjaan biasanya akan mampu menyesuaikan diri dan
mengembangkan kegiatan lain yang juga menyenangkan. Fase selanjutnya
disenchatment phase, pada fase ini pensiunan mulai merasa depresi, merasa kosong. Untuk beberapa orang pada fase in ada rasa kehilangan baik
kehilangan kekuasaan, martabat, status, penghasilan, teman kerja, aturan
tertentu. Selanjutnya setelah fase ini pensiunan akan memasuki
(1)
221
1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 11 0,69 0 0 1 1 1 31,0
0,84
Ego
222
1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 1 1 7 0,44 0 0 1 1 1 31,0
0,72
Tugas
223
1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 1 0 1 8 0,50 0 0 0 0 1 10,3
0,42
Tugas
224
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 6 0,38 0 0 0 0 1 10,3
0,35
Tugas
225
1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 1 1 1 1 0 1 9 0,56 0 0 0 0 1 10,3
0,45
Tugas
226
1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 9 0,56 0 0 0 0 1 10,3
0,45
Tugas
227
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 1 5 0,31 0 0 0 0 1 10,3
0,32
Tugas
228
1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 10 0,63 0 0 0 1 1 20,7
0,65
Tugas
229
1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 6 0,38 0 0 0 1 1 20,7
0,52
Tugas
230
1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 11 0,69 1 0 0 1 1 31,0
0,84
Ego
231
1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 5 0,31 0 0 1 0 0 10,3
0,32
Tugas
232
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 1 1 6 0,38 0 0 1 0 1 20,7
0,52
Tugas
233
1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 7 0,44 0 0 0 1 1 20,7
0,55
Tugas
234
1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 11 0,69 0 0 1 1 1 31,0
0,84
Ego
235
1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 7 0,44 0 1 0 0 1 20,7
0,55
Tugas
236
1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 12 0,75 0 0 1 1 1 31,0
0,88
Ego
237
1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 11 0,69 0 0 1 1 1 31,0
0,84
Ego
238
1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 11 0,69 1 0 1 1 1 41,3
1,01
Ego
239
1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 11 0,69 0 0 1 1 1 31,0
0,84
Ego
240
1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 8 0,50 0 1 1 1 1 41,3
0,92
Ego
241
1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 11 0,69 0 1 1 1 1 41,3
1,01
Ego
242
1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 10 0,63 0 0 0 1 1 20,7
0,65
Tugas
243
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 13 0,81 1 0 1 1 1 41,3
1,07
Ego
RATA-RATA KESELURUHAN
0,73
(2)
HASIL SPSS
KATEGORI STAREGI COPING
Frequency Table
Strategi_Koping
121 49,8 49,8 49,8
122 50,2 50,2 100,0
243 100,0 100,0
Orientasi Ego Orientasi Tugas Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
(3)
(4)
(5)
(6)