Nilai Nilai Pendidikan Novel Istana Emas Karya Maria A Sardjono Kajian Feminisme abstrak

(1)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN NOVEL

ISTANA EMAS

KARYA MARIA A. SARDJONO

(Kajian Feminisme)

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh Risdiyati S841108022

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2013


(2)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN NOVEL

ISTANA EMAS

KARYA MARIA A. SARDJONO

(Kajian Feminisme)

TESIS

Oleh Risdiyati S841108022

Komisi Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing

Pembimbing I Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. ---

NIP 195601211982032003

Pembimbing II Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum. --- NIP 197610132002121005

Telah dinyatakan memenuhi syarat pada tanggal ...2012

Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana UNS

Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP 196204071987031003


(3)

(4)

---PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis yang berjudul: NILAI-NILAI PENDIDIKAN NOVEL ISTANA EMAS

KARYA MARIA A. SARDJONO (Kajian Feminisme)

penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Permendiknas No 17, tahun 2010)

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi tesis pada jurnal atau forum ilmiah

lain harus seizin dan menyertakan tim pembimbing sebagai a uthor dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan tesis ini, maka Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia PPs UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia PPs-UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, Desember 2012 Mahasiswa,

Risdiyati S841108022


(5)

MOTTO

Segala perkara dapat

kutanggung dalam Dia

yang memberi kekuatan kepadaku

(FILIPI 4.13)

Kesabaran adalah

tumbuhan pahit, tetapi

mempunyai buah yang manis


(6)

PERSEMBAHAN

Tesis ini kupersembahkan kepada

:

1.

suami tercinta dan

anak-anakku tersayang

,

semoga

kalian

selalu

bangga

kepada ibu,

2.

kakak-kakaku terkasih

,

3.

teman-teman,


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan penulis terhadap novel Ista na Ema s karya Maria A. Sardjono dengan pendekatan feminisme.

Dalam penelitian hingga penyusunan laporan penelitian, penulis banyak mendapat masukan/saran. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada mereka semua yang memberi masukan tersebut. Penulis mendoakan semoga semua pihak yang telah membantu diberikan kesehatan oleh Tuhan YME. Secara khusus, pada kesempatan ini peneliti menyampaikan terima kasih kepada yang terhormati:

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.Pd., Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang telah memberikan ijin penulis untuk melaksanakan penelitian.

2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS., Direktur PPs UNS yang telah memberikan

ijin penyusunan tesis ini.

3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., Ketua Program Studi S-2 Pendidikan

Bahasa Indonesia.

4. Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd., Pembimbing I Tesis ini yang sudah memberi

pengarahan, bimbingan dan motivasi tiada henti dengan sangat sabar. Kesabaran itulah yang akhirnya meyakinkan penulis bahwa penulis mampu untuk menyelesaikan penelitian ini.


(8)

5. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum., pembimbing II yang selalu memberi motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

6. Secara pribadi, terima kasih, penghargaan dan penghormatan tiada henti

disampaikan kepada teman-teman kelas paralel S-2 PBI.

Akhirnya, penulis hanya dapat mendokan semua yang telah disebutkan di atas, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada semua pihak tersebut di atas, dan mudah-mudahan tesis ini bermanfaat bagi pembaca.

Surakarta, Desember 2012 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PENGESAHAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN PENGUJI TESIS ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori... ... 7

1. Hakikat Sastra ... 7

a. Pengertian Karya Sastra ... 7

b. Jenis-jenis Sastra ... 9

c. Pengertian Novel ... 12

d. Struktur Novel ... 15

2. Hakikat Feminisme... ... 26

a. Pengertian Feminisme ... 26


(10)

c. Kritik Sastra Feminisme ... 37

d. Pengertian Gender ... 42

3. Hakikat Nilai Pendidikan ... 47

a. Pengertian Nilai Pendidikan ... 47

b. Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra ... 47

c. Nilai Pendidikan dalam Novel ... 47

B. Penelitian yang Relevan ... 54

C. Kerangka Berpikir ... 57

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu penelitian ... 62

B. Bentuk dan Pendekatan Penelitian ... .63

C. Data dan Sumber ... 63

D. Teknik Pengumpulan Data ... 64

E. Validitas Data ... 64

F. Teknik Analisis Data ... 65

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 67

1. Eksistensi Perempuan dalam Novel Istana Emas... 67

a. Kebebasan Memilih bagi Perempuan dalam Novel ... 67

b. Perlawanan Perempuan dalam Novel Istana Emas ... 72

2. Pokok-pokok Pikiran feminisme dalam Novel Istana Enas ... 79

a. Kekerasan terhadap Perempuan dalam novel Istana Emas 79 b. Kemandirian Tokoh Perempuan dalan Novel Istana Emas 90 c. Tokoh Profeminisme dan Kontra Feminisme ... 96

3. Keadaan Sosial Masyarakat dalam Novel ... 103

4. Nilai-nilai Pendidikan... ... 117


(11)

d. Nilai Pendidikan Kebudayaan/Adat Istiadat ... 125

e. Nilai Pendidikan Budi Pekerti ... 127

f. Nilai Pendidikan Gender ... 129

B. Pembahsan Hasil Penelitian ... 131

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan ... 165

B. Implikasi ... 166

C. Saran ... 167

DAFTAR PUSTAKA ... 169


(12)

Risdiyati, S841108022 Nilai-nilai Pendidikan Novel Istana Emas

Karya Maria A. Sardjono (Kajian . TESIS. Pembimbing I: Prof.

Dr. Retno Winarni, M.Pd., II: Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) eksisitensi perempuan yang terdapat dalam novel Ista na Ema s karya Maria A. Sardjono, (2) pokok-pokok pikiran feminisme dalam novel Ista n Ema s karya Maria A. Sardjono, dan (3) nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Ista na Ema s karya Maria A. Sardjono.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata. Data penelitian ini adalah novel Ista na Ema s. Penelitian ini menggunakan pendekatan feminisme untuk mendeskripsikan eksistensi perempuan, pokok-pokok pikiran feminisme, Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah membaca novel dan analisis dokumen. Validasi data menggunakan trianggulasi data, dan teknik analisis data menggunakan model interaktif.

Hasil penelitian ini sebagai berikut: (1) eksistensi perempuan yang terdapat dalam Novel Ista na Ema s antara lain (a) kebebasan memilih bagi perempuan yang berupa kebebasan memilih pendidikan, memilih Pekerjaan, memilih Pasang hidup, dan menentukan nasibnya sendiri; (b) perlawanan perempuan baik tekanan yang berasal dari diri sendiri, teman, lingkungan dan suami yang diperlakukan tidak adil, (2) pokok-pokok pikiran feminisme sosialis dalam Novel Ista na Ema s meliputi: (a) kekerasan terhadap perempuan yang berupa kekerasan pesikis, kekerasan fisik, kekerasan seksual; (b) kemandirian tokoh perempuan; (c) tokoh profeminisme dan kontrafeminisme; (d) analisis feminisme dalam Novel Ista na Ema s, (3) nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam Novel Ista na Ema s antara lain: nilai pendidikan agama, nilai pendidikan moral, nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan budaya/adat, nilai budi pekerti, dan nilai pendidikan gender.


(13)

Risdiyati, S841108022 Education Value Preview Istana Emas A Novel

by Maria A. Sardjono (Feminism Approach) . THESIS. First Counselor: Prof.

Dr. Retno Winarni, M.Pd., Second Counselor: Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum. Indonesian Language Education Study Program of Postgraduate Program, Surakarta Sebelas Maret University.

ABSTRACT

This research aims to describle and explain: (1) women existence in Ista na Ema s, a novel by Maria A. Sardjono, (2) the main values of feminism in novel Ista na Ema s authored by Maria A. Sardjono, and (3) the education values in novel Ista na Ema s authored by Maria A. Sardjono.

This is a qualitative research. Qualitative research is a research procedure that results in description data in form of words. The data of this research is novel entitled Ista na Ema s. This research used feminism and literary sociology approach to know about the social life of the society reflected in Ista na Ema s a novel by Maria A. Sardjono. Technique to the collecting data which is used by reading novel and analyzing document. The validation data applies trianggulation data. The technique of analyzing data is used interactive analysis.

The result of the analysis are: (1) women existences in novel Ista na Ema s are women decision in finding the partner of life, choosing career, and choosing her destiny; and women struggle on fighting the gender discrimination, the main values of feminism, that are: (a) women abuse (physically abuse, sexually abuse, pysiologically abuse), (b) women independence, (c) the character of pro-feminism and contra-feminism, (d) the analysis of socialis feminism in novel; (4) the education values in novel Ista na Emas are the value of religion, morality, social, culture/norms, and value gender.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan pula ungkapan batin seseorang melalui bahasa dengan cara penggambaran. Penggambaran atau imaji ini dapat merupakan titian terhadap kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap kenyataan kehidupan, dapat pula imajinasi murni pengarang yang tidak berkaitan dengan kenyataan hidup (rekaan), atau dambaan intuisi pengarang, dan dapat pula sebagai campuran semuanya itu.

Pengarang atau sastrawan, dalam membuat karya satra dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa foktor tersebut diantaranya adalah pengalaman pengarang dan realitas yang ada di sekitar pengarang. Sejalan dengan itu, Plato juga mengatakan bahwa sastra dan seni hanya peniruaan atau pencerminan dari kenyataan, maka ia berada di bawah kenyataan itu sendiri. Berberda dengan apa yang diungkapkan Aristoteles bahwa dalam proses penciptaan, sastrawan tidak semata-mata meniru kenyataan, tetapi juga menciptakan dunia baru dengan kekuatan kreativitasnya.

Karya sastra dapat dikaji melalui beberapa pendekatan, seperti strukturalisme murni, srtukturalisme genetik, sosiologi sastra, resepsi sastra, kritik feminis, psikologi sastra, stilistika, dan lain sebagainya. Pengkajian terhadap karya sastra dalam tulisan ini mengambil dengam pendekatan kajian feminisme, secara etimologis feminis berasal dari kata femme (women), berarti perempuan


(15)

(jamak). Tujuan feminis adalah merupakan keseimbangan, interelasi genner dalam pengertian yang paling luas, feminisme yaitu gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimaginasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.

Dikaitkan dengan aspek-aspek kemasyarakatan, kritik sastra feminisme pada umumnya membicarakan tradisi sastra oleh kaum perempuan, pengalaman perempuan di dalamnya kemungkinan adanya penulis khas perempuan. Dikaitkan dengan gerakan emansipasi wanita, satra feminisme bertujuan untuk membongkar, mendekunstruksi sistem penilaian terhadap karya sastra yang pada umumnya selalu ditinjau melalui pemahaman laki-laki.Artinya pemahamaman terhadap unsur-unsur sastra dinilai atas dasar paradigma laki-laki, dengan konsekuensi logis perempuan selalu sebagai perempuan selalu sebagai kaum yang lemah, sebaliknya laki-laki sebagai kaum yang kuat.

Emansipasi perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini telah membawa perempuan pada kesetaraannya dengan laki-laki untuk memperoleh pendidikan sampai tingkat tertinggi. Dalam diri perempuan itu muncul keinginan untuk berprestasi dalam mewujudkan kemampuan dirinya sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajarinya. Perempuan menginginkan untuk berkiprah di ranah publik dalam rangka mengaktualisasikan diri. Kartini berkeyakinan bahwa pendidikan merupakan salah satu pilar utama untuk membebaskan perempuan dari berbagai bentuk keterbelakangannya. Meskipun Kartini belum berhasil membebaskan dirinya dari lingkungan patriarki karena


(16)

menerima untuk dinikahkan pada usia yang sangat muda untuk laki-laki bukan pilihannya, tetapi gagasannya merupakan pembaharuan untuk kemajuan perempuan.

Pada novel Ista na Ema s yang mengupas kehidupan sosok wanita yang berpendidikan,berasal dari keluarga sederhana, orang tuanya (ayah) bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil, hidup di kota gudeg (yogyakarta). Dalam hal percintaan mengalami hal yang tidak menyenangkan, menyakitkan tetapi wanita tersebut tetap kuat dan tabah dalam menjalaninya, tokoh dalam cerita ini perempuan tidak mau diremekhan, dimanja, bak boneka bar bei.

Suasana ketidakadilan gender sangat tampak dalam novel Ista na Emas karya Maria A Sardjono ini. Ketidakadilan gender tersebut dilawan melalui tokoh-tokoh wanita di dalam novel. Pengarang (Maria A. Sardjono). Ketidakadilan

gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni

marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan nega tive, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (bur der), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Guna memahami bagaimana perbedaan gender telah berakibat pada ketidakadilan gender dapat dipahami melalui berbagai manifestasi ketidakadilan tersebut (Sugihastuti 2002:16). Ketidakadilan yang terjadi dalam konstruksi gender saat ini terutama kaum perempuan, menjadi sebuah masalah yang disebabkan adanya marginalisasi, sterotipi, subordinasi, kekerasan dan beban kerja lebih berat. Semua itu akan menimbulkan berbagai


(17)

mengenai masing-masing manifestasi ketidakadilan gender, yaitu marginalisasi, subordinasi, sterotipi, violence, dan beban kerja lebih berat.

Meninjau novel Ista na Emas karya Maria A. Sardjono berdasarkan sudut pandang feminisme dalam penelitian ini akan mengangkat permasalahan tentang eksistensi perempuan, pokok-pokok pikiran feminisme, dan nilai pendidikan yang terdapat dalam novel tersebut. Sehubungan dengan keinginan dan kebutuhan perempuan untuk menunjukkan eksistensi dirinya tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran perempuan di tengah lingkungan budaya patriarki yang ada dalam karya sastra berdasarkan perspektif feminisme. Dengan demikian, judul penelitian ini adalah

Feminisme da n Nilai Pendidika n)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah eksistensi perempuan yang terdapat dalam novel Ista na Ema s karya Maria A. Sardjojono?

2. Bagaimanakah pokok-pokok pikiran feminisme dalam novel Ista na Ema s karya Maria A. Sardjono?

3. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan yang ada dalam Novel Ista n Ema s karya Maria A. Sardjono?


(18)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun kedua tujuan itu adalah:

1. Tujuan Umum

Penelian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui bagaimana perspektif feminisme dalam dunia sastra. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlawanan perempuan terhadap kekerasan akibat ketidakadilan gender.

2. Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan:

a. eksisitensi perempuan yang terdapat dalam novel Ista na Ema s karya Maria

A. Sardjono,

b. pokok-pokok pikiran feminisme dalam novel Istan Ema s karya Maria A.

Sardjono, dan

c. nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Ista na Emas karya

Maria A. Sardjono.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.

a. Manfaat Teoretis


(19)

khususnya dengan pendekatan feminisme. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberi sumbangan dalam teori sastra dan teori feminisme dalam mengkaji novel Ista na Ema s.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami isi cerita dalam novel Ista na Ema s, Maria A. Sardjono, yang beraliran feminisme. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa dan guru bahasa serta sastra Indonesia, hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai wahana pembelajaran apresiasi sastra, dalam hal ini siswa dapat menganalisis karya sastra dengan pendekatan feminisme.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Hakikat Sastra

a. Pengertian Karya Sastra

Retno Winarni (2009:89), menyatakan bahwa karya sastra merupakan ungkapan yang terarah pada ragam yang melahirkannya atau fungsi puitik memusatkan perhatiannya pada pesan dan demi pesan itu sendiri.

Menurut Suwardi Endraswara (2011:7), karya sastra adalah fenomena di dalamnya penuh serangkaian makna dan fungsi, hal ini sering kabur dan tidak jelas, memang syarat dengan imajinasi.

Kutha Ratna (2005:15), menyatakan bahwa karya sastra membangun dunia melalui kata-kata sebab kata-kata memiliki energi, energi itulah terbentuk citra tentang dunia tertentu, sebagai dunia baru. Melalui kualitas hubungan paradigmatis, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya, sehingga peristiwa baru hadir secara terus-menerus.

Karya sastra berbentuk fiksi berupa karya yang terurai, bercerita memaparkan secara langsung (ora te provorsa )


(21)

kenyataan, yaitu kenyataan yang diolah oleh pengarang, maka dunia yang .

Prosa fiksi atau roman, cerpen dan novel. Roman adalah fiksi yang mengisahkan sebagian besar episode kehidupan tokohnya, bahkan biasanya

roma gna

digunakan di sekitar Roma yang menceritakan tokoh dengan perkembangan psikologisnya. (Herman J. Waluyo, 2011:2).

Karya sastra yang paling tua usianya adalah puisi, mantra-mantra dan cerita-cerita harus ditulis dalam bentuk puisi. Dalam prinsipnya dalam puisi terjadi pemadatan bahasa atau konsentrasi bahasa dengan tujuan untuk memperoleh kekuatan makna atau kekuatan magis dari bahasa. Drama juga merupakan karya sastra yang berwujut dialog yang dapat dipentaskan. Marjorie Boulton (dalam Herman J. Waluyo, 2011:3) menyatakan bahwa drama adalah kesenian yang berjalan karena aspek pementasan drama sangat dipentingkan dalam drama.

Menurut (Riffaterre dalam Teeuw, 1984:650) menyatakan bahwa karya sastra merupan respon jawaban atau tanggapan terhadap karya sastra sebelumnya. Teeuw (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1995:106) menambahkan bahwa karya sastra adalah artefek atau benda mati, baru mempunyai makna dan menjadi obyek estetika, bila diberi arti oleh manusia. Misalnya sebagaimana arfek peninggalan manusia purba mempunyai arti bila diberi nama oleh arkeologi.


(22)

Menurut Preminger, 1974 (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 107) karya sastra adalah sebuah karya yang bermedium bahasa, bahasa sebagai medium tidaklah netral, dalam arti sebelum menjadi unsur sastra, bahasa sudah mempunyai arti sendiri. Bahasa merupakan sebuah sistem semiotik (ketandaan) tingkat pertama, yang sudah mempunyai arti (mea ning).

Rachmat Djoko Pradopo (1995:108), menyatakan bahwa karya sastra adalah sebuah setruktur tanda yang bermakna. Di samping itu, karya sastra adalah yang ditulis oleh pengarang, pengarang tidak terlepas dari sejarah sastra dan latar belakang sosial budayanya. Maka semuanya itu tercermin dalam karya sastra akan tetapi karya sastra juga tidak akan mempunyai makna tanpa adanya pembaca yang memberikan makna kepadanya. Oleh karena itu seluruh situasi yang berhubungan dengan karya sastra harus diperhatiakan dalam konkretisasi atau pemaknaan karya sastra.

Bertitik tolak dari pendapat di atas, karya sastra merupakan karya yang terurai memaparkan cerita secara langsung, ceritanya merupakan imajinatif, berupa benda mati, dan mempunyai makna apabila sudah diberi arti oleh manusia.

b. Jenis-jenis Sastra

Ni Nyoman karmini (2011:11), menyatakan bahwa karya fiksi haruslah tetap menarik, tetap merupakan bangun struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan estetik walau pengalaman dan permasalahan


(23)

(dalam Karmini 2011:12), fiksi merupakan cerita rekaan dalam bentuk prosa, hasil olahan pengarang berdasarkan pandangan, tafsiran, dan penilaiannya tentang peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi.

Prosa fiksi dapat diketahui bahwa disamping prosa fiksi ada prosa yang bukan fiksi atau prosa nonfiksi. Prosa fiksi yaitu jenis prosa yang

fiction

khayalan atau sesuatu yang tidak ada. Cerita-cerita sastra, seperti roman, novel, dan cerita pendek diklasifikasikan sebagai prosa fiksi, sedangkan prosa yang bukan karya sastra, yang merupakan deskripsi dari kenyataan dinyatakan dari prosa nonfiksi. Misalnya, biografi, catatan harian, laporan kegiatan, dan sebagainya.

Prosa berasal dari kata yang berarti uraian

langsung, cerita langsung, atau karya sastra yang mengunakan bahasa terurai. Dikatakan menggunakan bahasa terurai, artinya tidak sama dengan puisi (menggunakan bahasa yang dipadatkan), dan tidak sama dengan drama (menggunakan bahasa dialog).

Kata fiksi berasal dari bahasa latin fictio berarti membentuk,

membuat, atau mengadakan. Dalam bahasa Indonesia, kata dapat

diartikan sebagai yang dikhayalkan atau diimajinasikan. Yang ditampilkan dalam ceita fiksi adalah hasil imajinasi dari juru cerita, baik juru cerita lisan maupun juru cerita tertulis yang disebut pengarang (Herman J. Waluyo:1-2).

Prosa fiksi terdiri atas roman, cerita pendek, dan novel (diurutkan


(24)

Novel telah ditulis dalam sastra Indonsia pertama kali tahun 1917, yaitu dengan roman yang berjudul Azab dan Sengsara. Cerita pendek ditulis pertama kali pada tahun 1920-an oleh Moh. Kasim, misalnya cerpen

Te

Sastra fiksi adalah bersifat khayali, bahasanya konotatif, dan

memenuhi syarat estetika seni, sedangkan ciri sastra nonfiksi adalah lebih banyak unsur faktual daripada khayalinya, bahasanya cenderung denotatif, dan memenuhi syarat estetika seni, dalam praktiknya jenis sastra nonfiksi berbentuk esei, kritik, biografi, dan sejarah, akan tetapi jenis memori, catatan harian, dan surat-surat kadang dimasukkan dalam jenis sastra nonfiksi ini.

Cerita-cerita sastra, seperti roman, novel, dan cerpen

diklasifikasikan sebagai prosa fiksi, sedangkan prosa yang bukan karya sastra yang merupakan deskripsi dari kenyataan dinyatakan sebagai prosa nonfiksi, misalnya: biografi, laporan kegiatan, dan sebagainya merupakan karya yang bukan hasil imajinasi (Herman J. Waloyo dan Nugraeni Eko Wardhani, 2008:1).

Lebih lanjut, Brook menjelaskan bahwa dalam cerita fiksi,

pengaranag mengolah dunia imajinasinya dengan dunia kenyataan yang dihadapi atau kenyataan sosial budaya, dalam (Herman J. Waloyo dan Nugraheni Eko Wardhani, 2008:2). Pengalaman manusia yang dipaparkan adalah pengalaman manusia sekitar penulis, sehingga oleh pembaca


(25)

(pendengar) akan dihayati sebagai pengalaman mereka sendiri. Dunia yang dialami penulis cerita, diolah sesuai dengan visi penulis tentang kehidupan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa roman, novel,

dan cerpen termasuk dalam jenis prosa fiksi, mempunyai tujuan estetik, sedangkan yang termasuk jenis prosa nonfiksi adalah biografi, laporan kegiatan, dan lain sebagainya. Adapun yang ditampilakan dalam prosa fiksi adalah hasil imajinasi dari pengarang.

c. Pengertian Novel

novellus ti

baru. Novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru. Menurut Robert Lindell, karya sastra yang berupa novel, pertama kali lahir di Inggris dengan judul Pa mella yang terbit pada tahun 1740 (Tarigan, 1984:164). Tadinya novel (Pa mella ) merupakan bentuk catatan harian seorang pembantu rumah tangga. Kemudian berkembang dan menjadi bentuk prosa fiksi yang kita kenal seperti saat ini (menggantikan pengertian roman di samping bentuknya yang utama).

Menurut Herman J. Waluyo (2011:2), novel adalah bentuk prosa fiksi yang paling baru dalam sastra Indonesia karena baru ditulis sejak tahun 1945-an oleh Idrus, lewat novelnya yang berjudul Aki.

Novel merupakan salah satu bentuk prosa fiksi di samping roman dan cerpen Secara etimologis, kata novel berasal dari novella (bahasa Jerman: novella


(26)

dengan jenis-jenis sastra lainya seperti puisi dan drama (Herman J. Waloyo, 2008:8). Jenis novel dalam sastra Inggris dan Amerika disebut novel.

Karya fiksi, seperti dalam kesusasteraan Inggris dan Amerika, menunjuk pada karya yang berwujud novel dan cerita pendek (roman) (Burhan Nurgiyantoro, 2007:8). Kebenaran dalam dunia fiksi, tidak harus sama dan tidak perlu disamakan dengan kebenaran dalam dunia nyata. Dalam dunia fiksi dikenal dengan adanya licentia poetika , sehingga seorang pengarang dapat berkreasi maupun memanipulasi berbagai masalah kehidupan yang dialami dan diamati menjadi kebenaran yang hakiki dan universal dalam karyanya, walaupun secara faktual merupakan hal yang salah.

Pendapat Korsmeyer (2004:69), novel merupakan salah satu bentuk karya sastra imajinatif yang sebagian ceritanya berisi romantik dan petualang yang dapat berasal dari pengalaman hidup pengarang. Lebih lanjut Herman J. Waluyo (2006:37), mendifinisikan bahwa dalam novel terdapat: (1) perubahan nasib dari tokoh cerita, (2) ada beberapa episode dalam tokoh utamanya, (3) biasanya tokoh utamanya tidak sampai mati.

Burhan Nurgiyantoro (2007:4), memberikan pengertian bahwa novel adalah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner yang dibangun melalui beberapa unsur intrinsik seperti peristiwa, plot, penokohan, latar, sudut pandang, yang semuanya tentu bersifat imajiner.


(27)

Novel dan cerita pendek merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Sebagai karya fiksi novel dan cerita pendek mempunyai persamaan dan perbedaan. Adapun persamaannya adalah keduanya dibangun oleh unsur-unsur pembangun (unsur-unsur cerita) yang sama, keduanya dibangun dari dua unsur intrinsik dan ekstrisik. Novel dan cerita pendek sama-sama memiliki unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Maka novel dan cerita pendek dapat dianalisis dengan pendekatan yang kurang lebih sama.

(Burhan Nurgiyantaro, 2007:10) lebih lanjut menjelaskan perbedaan antara novel dan cerita pendek yang pertama dan yang utama dapat dilihat dari segi formalitas bentuk dan segi panjang cerita. Dari segi panjang cerita, novel jauh lebih panjang dari pada cerita pendek. Oleh kerena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih luas, libih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.

Novel adalah bersifat realistis dan tokoh dalam novel lebih realistis lebih obyektif, ia merupakan tokoh yang memiliki derajat (lifelike),. (Yani Purwanti, 2009:21). Hal ini sesuai dengan pendapat Wellek dan Warren (1990: 15) bahwa novel lebih menggambarkan tokoh nyata, tokoh yang berangkat dari realitas sosial, merupakan tokoh yang memiliki derajat (lifelike).

Abram (1981:61 dalam Karmini, 2011:11), menyatakan bahwa novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia yang berisi


(28)

model kehidupan yang diidialkan, dunia imajiner yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya, seperti plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain sebagainya.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, bahwa novel adalah bentuk prosa fiksi yang lebih panjang daripada cerita pendek, yang hanya memuat sebagian kehidupan seseorang, tokoh dan penokohan, setting serta sudut pandang pengarang yang bersifat imajiner.

d. Struktur Novel

Novel merupakan sebuah totalitas, suatu keseluruhan yang bersifat artistik. Sebagai totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Jika novel dikatakan sebagai suatu totalitas, unsur, kata, bahasa, misalnya menjadi salah satu bagian dari totalitas itu, salah satu unsur pembangun cerita itu, salah satu subsistem organisme itu. Kata inilah yang menyebabkan novel, juga sastra pada umumnya, menjadi berwujud. (Burhan Nurgiyantoro, 2007:23).

Prosa fiksi dibagi menjadi beberapa unsur yaitu: tema cerita, plot atau kerangka cerita, penokohan dan perwatakan, setting atau tempat kejadian cerita atau disebut juga latar, sudut pandang pengarang atau point of view, latar belakang atau back-ground, dialog atau percakapan, gaya bahasa/gaya bercerita, waktu cerita dan waktu penceritaan, serta amanat (Herman J. Waluyo, 2011:6).


(29)

Bertitik tolak dari pendapat di atas, struktur novel memuat keseluruhan kehidupan seseorang, yang lengkap dengan penokohan, perwatakan, setting, alur cerita mulai dari awal sampai dengan akhir/klimaksnya.

1.Penokohan dan Perwatakan

Bagian cerita fiksi ini membicarakan tokoh-tokoh cerita (penokohan) dan watak tokoh-tokoh (perwatakan), keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Tokoh-tokoh itu yang mempunyai watak yang menyebabkan terjadinya konflik dan konflik itulah yang menghasilkan cerita. Dalam hal perwatakan, Kenney (dalam Herman J. Waluyo, 2011: 18-19) menyebutkan adanya istilah lifelikeness, yang dapat diartikan kehidupan tokoh-tokohnyanya mendekati kehidupan dalam alam ini sebenarnya.

Burhan Nurgiyantoro (2007:65), berpendapat menggunakan istilah

tokoh untuk menunjukkan pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan watak, perwatakan, dan karakter menunjukan pada sifat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca. Abram (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007:165) memberikan difinisi tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Secara garis besar, tokoh yang menyebabkan konflik disebut tokoh

protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik.


(30)

Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh protagonis, yaitu tokoh yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan antipati atau benci. Konflik antara kedua tokoh ini berkembang terus, kedua tokoh ini menguasai (mendominasi) seluruh cerita, kedua tokoh ini diklasifikasikan sebagai tokoh sentral yang berarti tokoh-tokoh penting atau pusat penceritaan.

Tokoh adalah pelaku cerita yang mengalami peristiwa yang

ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang memiliki derajat (lifelike). Watak tokoh harus memiliki relevansi dengan elemen cerita yang lain, seperti; plot, Seting, tema, dan sebagainya, dan mempunyai relevansi dengan hubungan antar tokoh yang satu dengan yang lain, dan juga dengan keseluruhan cerita. Dalam menggambarkan watak tokoh, pengarang mempertimbangkan tiga dimensi watak, (Herman J. Waluyo, 2011:11-12).

Watak dari segi psikis merupakan faktor utama yang terpenting

dalam penggambaran watak atau temperamen tokoh, apakah tokoh itu baik hati, penyabar, murah hati, dermawan, pemaaf, atau pemberang, sombong, pendengki dan lain sebagainya. Contoh dalam novel Siti Nurba ya , tokoh Datuk Maringgih, misalnya berwatak serakah, kikir, jahat, kejam, pendendam, tidak memiliki rasa belas kasih, dan licik.

Watak dari segi fisiologis atau keadaan fisik, dapat dikaitkan

dengan umur, ciri fisik, penyakit, keadaan diri, dan sebagainya. Datuk Maringgih, misalnya adalah lelaki tua berusia 60 tahun, badannya kurus,


(31)

wajahnya selalu murung, pakaiannya kumal, destar yang berwarna hitam juga kumal, dan sebagainya.

Watak dari segi Sosiologis melukiskan suku, jenis kelamin,

kekayaan, kelas sosial, pangkat /kedudukan, dan profesi atau pekerjaan. Datuk Maringgih, misalnya; seorang pedagang kaya raya yang tadinya hanya seorang penjual ikan karena kegigihan dan kelicikannya dalam membungakan uang, ia dapat menguasai pedagang-pedangan lain di daerah itu.

Lebih lanjut dinyatakan Sugihastuti dan Suharto (2010:47), sebagai

tokoh utama pendukung dalam nonel Sitti Nurba ya , Samsulbahri dan Sitti Nurbaya digambarkan kebaikan secara berlebihan, fisik Samsulbahri sebagai laki-laki muda berusia 18 tahun, baju sekolahnya jas tutup putih dan celana pendek hitam, sepatu hitam tinggi disambung ke atas kaus sutera, sedangkan Sitti Nurbaya perempuaan berumur 15 tahun pakaiannya seperti anak Belanda, sepatu dan kaus berwarna cokelat, rambutnya diikat dengan benang sutera, alangkah eloknya paras anak perawan ini, pipinya sebagai pauh dilayang.

Bertitik tolak dari pendapat di atas, watak tokoh harus memiliki

relevansi dengan elemen cerita yang lain, seperti, plot. Seting, tema, dan sebagainya, dan mempunyai relevansi dengan hubungan antar tokoh yang satu dengan yang lain dan juga dengan keseluruhan cerita.


(32)

2. Alur atau Plot

Alur atau plot sering disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam kurun waktu yang menunjukkan hubungan sebab akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang. Lebih lanjut Lukman Ali (dalam Herman J. Waluyo, 2011:9) menyatakan plot merupakan sambung-sinambungnya cerita berdasarkan hubungan sebab akibat dan menjelaskan sesuatu terjadi.

Panuti-Sudjiman (1991:31), menyatakan peristiwa pertama yang

memberikan informasi awal kepada pembaca itu disebut paparan atau eksposisi. Lebih lanjut dijelaskan (Sugihastuti dan Suharto, 201:47), cerita diawali dengan peristiwa tertentu dan diakhiri dengan peristiwa tertentu lainnya tanpa terikat pada urutan waktu.

Menurut E.M. Forster (dalam Herman J. Waluyo, 2011:9),

Plot is a na rra tive of events, the empha sis fa lling on ca usa lity.ca usa lity overshadows time sequence

dari suatu urutan cerita yang mengembangkan konflik cerita.

Bagian struktur alur sesudah klimaks meliputi leraian (falling

a ction) yang menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian. Selesaian bukan penyelesaian masalah yang dihadapi tokoh cerita. Selesaian (denoument) adalah bagian akhir atau penutup cerita. Selesaian dapat berupa penyelesaian masalah yang melegakan (happy enda ng), penyelesaian


(33)

masalah yang menyedihkan (sa d ending), atau masalah dibiarkan menggantung tanpa pemecahan (Panuti-Sudjiman, 1991:35-36).

Menggambarkan diagram struktur alur secara runtut dan kronologis

sebagai berikut.

Klimaks

Inciting Forces +) **) Pemecahan

*)

Awal Tengah Akhir

Keterangan :

*) Konflik dimunculkan dan semakin ditinggalkan. **) Konflik dan ketegangan dikendorkan.

+) Inticing F or ces menyarankan pada hal-hal yang semakin konflik sehingga akhirnya semakin klimaks.

Pada prinsipnya, ada tiga jenis alur yaitu: (1) alur garis lurus atau alur progresif atau konvensional. Penulisnprosa fiksi menggunakan alur lurus karena urutan peristiwa berturutan dari awal hingga akhir, (2) alur flashback atau sorot balik, atau alur regresif, cerita ini dimulai dari cerita tokoh yang paling akhir menuju cerita ke depan, (3) alur campuran , yaitu pemakaian alur garis lurus dan fla sh-back sekaligus di dalam cerita fiksi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa alur atau plot

merupakan kerangka cerita yang ada hubungan sebab akibat,

berkesinambungan dari suatu cerita yang mengembangkan konflik cerita sampai cerita itu berakhir.


(34)

3. Tema Cerita atau Pokok Pikiran

Sugihastuti dan Suharto (2010:45), menyatakan bahwa tema menjadi salah satu unsur cerita rekaan yang memberikan kekuatan dan sekaligus pemersatu semua fakta dan sarana cerita yang mengungkapkan permasalahan kehidupan.

Menurut Nurgiyantoro (1998:68), tema dapat ditemukan dengan cara menampilkan keseluruhan cerita, tema tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya.

Menurut Herman J. Waluyo (2010:124) menyatakan bahwa tema

merupakan gagasan pokok atau subject-ma ster yang dikemukaan oleh penyair atau pengarang. Tema itu begitu kuat mendesak dalam jiwa pengarang, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Lebih lanjut oleh William Kenney (1966:91), menyebutkan tema sebagai

, definisi ini kurang jelas dan operasional oleh karena itu ia memberikan penjelasan dengan;

mea ning of the mpra l of the story, it is not the subject, it is not tha t people .

Tema cerita dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis yaitu: (1) tema ya ng bersifa t fisik, (2) tema orga nik, (3) tema sosia l, (4) tema egoik (rea ksi proba di), dan (5) tema divine (Ketuhana n). Tema yang bersifa t fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari nafkah, hubungan


(35)

menyangkut soal hubungan antara manusia, misalnya penipuan, masalah keluarga, problem politik, ekonomi, adat, tatacara, dan sebagainya. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan problem masyarakat. Tema egoik a ta u rea ksi individua l, berkaitan dengan protespribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu. Sedangkan divine (Ketuhana n) menyangkut renungan yang bersifat religius hubungan manusia dengan Sang Khalik.

4. Sudut Pandang

Menurut Herman J.Waluyo (2011:25), point of view dinyatakan sebagai sudut pandang pengarang, yaitu teknik yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam cerita itu. Apakah ia sebagai orang pertama (juru cerita) ataukah sebagai orang ketiga (menyebut pelaku sebagai dia). Yang pertama dikatakan sebagai bergaya akuan, sedangkan yang kedua dinyatakan sebagai bergaya diaan. Sebagai orang pertama pengarang juga dapat ditanya bagaimana ia berperan sebagai orang pertama. Demikian juga jika ia berperan sebagai orang ketiga, bagaimanakah ia berperan sebagai orang ketiga.

Lebih lanjut, Shipley (dalam Herman J. Waluyo, 2011:25) menyebutkan adanaya 2 jenis point of view yaitu: interna l point of view dan externa l point of view. Inter na l point of view ada 4 macam, yaitu: (1) tokoh yang bercerita, (2) pencerita menjadi salah seorang pelaku, (3) sudut pandang akuan, dan (4) pencerita sebagai tokoh sampingan dan bukan tokoh


(36)

hero. Sementara untuk gaya eksternal, dikemukakan ada 2 jenis, yaitu: (1) gaya diaan, dan (2) penampilan gagasan dari luar tokoh-tokohnya.

Burhan Nurgiyantoro (2007:256), membedakan sudut pandang pengarang menjadi dua macam, yaitu: persona pertama dan persona ketiga.

a. Sudut pandang persona pertama

Dalam pengisahan cerita menggunakan sudut pandang persona pertama, pencerita adalah seorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah

mengisahkan peristiwa dan tindakan yang dialami, dilihat, didengar, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh. Sudut pandang persona pertama

b.Sudut pandang persona ketiga

Sudut pandang persona ketiga ini, pencerita adalah seorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan

menyebut nama atau kata ganti (ia, dia, mereka).

Berpijak dari uraian tersebut diatas, bahwa sudut pandang merupakan teknik yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam suatu cerita fiksi, tokoh yang bercerita dan atau pencerita salah seorang pelaku.

5. Dialog atau Percakapan


(37)

2011:25), menyatakan dua jenis fungsi dialog yaitu: (1) memperkonkret watak dan kehadiran pelaku, (2) memperhidup karakter tokoh. Dialog harus

dibuat secara natural, selektif, gaya - atau tindak tutur

(percakapan tokoh yang satu disambut oleh tokoh lain atau lawan bicara).

Dialog dalam prosa fiksi jaman Balai Pustaka dan Pujangga Baru

rata-rata panjang-panjang, tidak sesuai dengan situasi percakapan pada umumnya. Novel-novel mutakir berusaha meniru percakapan dalam kehidupan sehari-hari yang dialognya relatif pendek-pendek.

Bertolak dari uraian di atas, percakapan atau dialog merupakan

bentuk kegiatan yang berujud dialog para pelaku, yang sesuai dengan tokoh yang diperankan atau karakter tokoh dalam suatu cerita.

6. Latar atau Setting

Setting adalah tempat kejadian cerita, tempat kejadian cerita dapat

berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologi, dan aspek psikis. setting juga dapat dikaitkan dengan tempat yang luas, misalnya negara, privinsi, kota, desa, di dalam rumah, di luar rumah, di jalan, di sawah, di sungai, dan sebagainya. Yang berkaitan dengan waktu, dapat dulu, sekarang, tahun, bulan, minggu, hari, jam, siang, malam, dan seterusnya.

Pelukisan waktu sangat erat kaitannya dengan anakronisme, yaitu

pemggambaran situasi yang tidak sesuai dengan zamannya. Lebih lanjut dikatakan oleh Hudson (dalam Herman J. Waluyo: 2011 23), setting juga dikaitkan dengan keseluruan lingkungan cerita yang meliputi adat istiadat,


(38)

kebiasaan, dan pandangan hidup tokoh. Setting material adalah lingkungan alam, sedangkan yang lain disebut setting sosial.

Dijelaskan bahwa setting mempunyai fungsi untuk: (1)

mempertegas watak pelaku, (2) memberikan tekanan pada tema cerita, (3) memperjelas tema yang disampaikan, (4) metefora bagi situasi psikis pelaku, (5) sebagai pemberi atmosfis (kesan), (6) memperkuat posisi plot. Seting berkaitan dengan pengadegan, latar belakang, waktu cerita. Pengadegan artinya penyusunan adegan-adegan di dalam cerita, tidak semua kejadian dalam kehidupan sang tokoh dilukiskan di dalam adegan-adegan.

Sugihastuti dan Suharto (2010:54), menyatakan bahwa latar

(setting) merupakan unsur yang sangat penting pada penentuan nilai astetik karya sastra, sering juga disebut atmosfer karya sastra (novel) yang mendukung masalah tema, alur, dan penokohan.

Lebih lanjut Herman J. Waluyo, (2011:24), latar belakang

(ba ckground) dalam menampilkan setting dapat berupa latar belakang sosial, budaya, psikis, dan fisik yang kira-kira dapat memperhidup cerita. Dengan dekripsi dan narasi, latar belakang dapat muncul, namun jika diperkaya dengan latar lain, cerita akan lebih hidup.

Latar yang baik dapat mendiskripsikan secara jelas

peristiwa-peristiwa, perwatakan tokoh, dan konflik yang dihadapi tokoh cerita sehingga cerita terasa hidup dan segar, seolah-olah sungguh-sungguh terjadi dalam kehidupan nyata, (Nurgiyantoro dalam Sugihastuti dan Suharto,


(39)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa setting merupakan tempat kejadian suatu peristiwa yang terjadi dan yang menonjol di dalam cerita sehingga cerita itu lebih hidup, setting dapat berupa tempat, dan waktu.

2. Hakikat Pendekatan Feminisme

a. Pengertian Feminisme

Dasar pemikiran dalam penelitian sastra berprespektip feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra: (1) kedudukan dan peran para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia menunjukan masih didominasi oleh laki-laki.

Menurut Rothenberg feminisme muncul akibat dominasi pria atas kaum wanita dalam beberapa dekade di setiap bidang.

Domina nce theory posits tha t men and women a re different because of the historic societa l fa ct tha t men hold a dominant position, while women occupy a subordina te one. (Rothenberg dalam Brown 2005: 90)

Dengan demikian, upaya pemahamannya merupakan keharusan untuk mengetahui ketimpangan gender, (2) dari resepsi pembaca karya sastra Indonesia, secara sepintas terlihat bahwa para tokoh perempuan tertinggal dari laki-laki, misalnya dalam hal latar sosial pendidikanya, pekerjaanya, perannya dalam masyarakat, (3) masih adanya resepsi pembaca karya sastra Indonesia bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan


(40)

hanyalah merupakan hubungan berdasarkan pada pertimbangan biologis dan sosial-ekonomis semata-mata. Pandangan ini tidak sejalan dengan pandangan perspektip feminis bahwa permpuan mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki, (4) penelitian sastra Indonesia telah melahirkan banyak perubahan analisis dan metodologinya salah satunya penelitian sastra yang berperspektip feminis, (5) banyak pembaca yang meganggap bahwa peran dan kedu-dukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. (Sugihastuti, Suharto, 2010: 15-16).

Lebih lanjut, dikatakan Soenarjati Djajanegara (2000:4), bahwa feminisme mempunyai tujuan untuk meningkatkan kedudukan serta derajat perempuan agar sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara, salah satunya memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki. Maka muncullah istilah

movement atau gerakan persamaan hak, cara lain adalah membebaskan

perempuan dari ikatan lingkungan keluarga dan rumah tangga. Cara ini

sering dinamakan disingkat

yaitu gerakan pembebasan wanita.

Menurut Culler (dalam Herman J .Waluyo, 2011:106) menyatakan bahwa kritik sastra feminisme mengkritik sastra dengan kesadasar khusus, yakni kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak hubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita, jenis kelamin menciptakan perbedaan


(41)

pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan faktor luar yang mempengaruhi.

The a pproa ch of woma n in pevelopment which portr ay women a s a viktim a nd men as the beneficia ries of moder niza tion a nd the see to right these wrongs of moderniza tion, is discorded by the empower men perspective. Instead women a nd men a r not necessa rily poised a nta gonistica lly a ga in ea th other, nor are a ll women joined by the invisble stra nds of sisterhood. Element of cla s, ethnicity a nd ra ce intersect with gender to form a llia nce between men and women, (Ma rianne H. Ma rcha nd and Ja ne L. Pa rpat, 1995:38)

Pendekatan dari wanita dalam perkembangan pembangunan yang menggambarkan wanita sebagai korban dan pria sebagai keuntungan dari modernisasi dan kemudian mencari kebenaran dari kesalahan modernisasi.

Menurut Herman J. Waluyo (2011:100) feminis adalah keseimbangan, interelasi gender, dalam pengertian yang paling luas, feminisme adalah gerakan wanita untuk menolak segala sesuatu yang

dimerginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh

kebudayaan dominant baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.

Feminisme merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia, gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan sama dengan kaum laki-laki. Seperti diketahui sejak berabad-abad, perempuan berada di bawah dominasi laki-laki, perempuan sebagai pelengkap, perempuan sebagai makluk kelas dua. Secara biologis perempuan lebih lemah, sebaliknya laki-laki lebih kuat.Meskipun demikian perbedaan biologis mestinya tidaknya tidak dengan sendirinya, tidak secara ilmiah membedakan posisi dan kondisinya dalam masyarakat.


(42)

Kemajuan teori feminisme dalam bermacam-macam bidang dan menjelaskan pengaruh dalam beberapa faktor. Sebagai contoh dalam kelompok seksual dari ketenagakerjaan berlangsung pada beberapa sosial yang diketahui, di mana dibedakan antara beberapa tugas perempuan dan tugas laki-laki, tugas laki-laki dalam bidang ekonomi dan bernilai sosial. Perempuan selalu tidak demikian. (penegetahuan sosial yang paling dekat dengan pendekatan kualitas yang terlibat dalam diri masing-masing yang mengontrol produksinya sendiri-sendiri dan laki-laki membutuhkan hal yang mereka produksi).

Berpijak dari pendapat di atas, bahwa feminisme adalah gerakan perempuan yang memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

b. Aliran Feminisme

Pemikiran feminisme mempunyai label-label yang berbeda, label- label ini menyiratkan bahwa feminisme bukanlah ideokogi monolitik, bahwa feminisme tidak tidak berpikiran sama, pemikiran feminis mempunyai masa lalu, masa kini, dan masa depan. Label pemikiran feminis membantu menandai cakupan dari pendekatan, perspektif, dan bingkai kerja yang berbeda, yang telah digunakan beragam feminis untuk membangun tidak saja penjelasan mereka terhadap opresi perempuan, tetapi juga ditawarkan pemecahan untuk menghapuskannya, (Karmini, 2011:127)

Menurut Mansour Fakih (2007:80-106), ada beberapa perspektif yang digunakan dalam menjawab permasalahan perempuan, yaitu feminis liberal, feminis marxis, dan feminis radikal. Aliran-aliran feminis tersebut


(43)

penyebab penindasan wanita itu, serta cara-cara pemecahan yang ditawarkannya bagi perubahan sosial atau individual.

Hal tersebut lebih lanjut dikemukakan Iwann Abdulah (dalam Herman J. Waluyo, 2011:112) mengaklasifikasikan analisis gender sebagai feminisme moderat selain itu ada beberapa jenis aliran feminisme yaitu:

(1) feminis liberal, yang menganggap kodrat wanita lebih lemah dan tidak

sejajar dengan laki-laki, (2) feminisme radikal adalah jenis femininisme yang menuntut persamaan hak lelaki dan perempuan secara total, (3) feminisme psikoanalitik, ialah jenis feminisme yang memandang terjadinya opresinya terhadap wanita terutama dalam hal psikis, (4) feminisme sosialis, ialah feminisme yang memandang bahwa posisi wanita ditentukan oleh struktur produksi, reproduksi, seksualitas, dan sosialisasi masa kanak-kanak, (5) feminisme eksistensialis yaitu feminisme yang berpandangan bahwa

men

eksistensiny, dan (6) feminisme pasca-modern, yaitu feminisme yang memandang bahwa pengalaman wanita berbeda dengan laki-laki karena perbedaan klas, ras, dan budayanya.

1) Feminisme Liberal

Mounsur Fakih (2012:81), menjelaskan asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equa lity) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminisme liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada kesempatan dan hak kaum perempuan. Kesempatan


(44)

dan hak yang sama antara laki-laki perempuan ini penting bagi mereka karenanya tidak perlu pembedaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan.

Feminis liberal adalah setiap manusi, laki-laki maupun perempuan, diciptakan seimbang dan serasi, karena itu semestinya tidak terjadi penindasan. Meskipun keduanya ada perbedaan, khususnya secara reproduksi, secara ontologis sama. Aliran ini mengupayakan agar perempuan diberi peren publik, bekerja di luar rumag, sehingga tidak terjadi dominasi jenis kelamin.

Riant Nugroho (2011:66), berpendapat bahwa feminis liberal lebih dikenal karena memberi dampak nyata, misalnya pendirian pusat kajian perempuan, proyek pengentasan kemiskinan, perubahan

perundang-intervensi lain

Aliran feminisme liberal ini, menolak segala bentuk diskriminasi terhadap, hal ini mampu membawa kesetaraan bagi perempuan dalam semua institusi publik dan untuk memperluas penciptaan pengetahuan bagi perempuan agar isu-isu tentang perempuan tidak lagi diabaikan, (Sugihastuti, 2007:97). Lebih lanjut Herman J. Waluyo, (2011:112), menyatakan bahwa feminis liberal, menganggap kodrat wanita lebih lemah dan tidak sejajar dengan laki-laki,


(45)

pembatasan kebebasan individu. Oleh karena itu, tuntutan feminisme liberal adalah perempuan harus diberi kesempatan dalam institusi-institusi pendidikan dan ekonomi agar sejajar dengan laki-laki.

2) Feminisme Marxis

Soenarji Djajanegara (2000:30) menjelaskan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi karena adanya pembedaan kelas dalam masyarakat. Kaum perempuan disamakan dengan kelas buruh yang hanya memiliki modal tenaga dan tidak memiliki modal uang atau alat-alat produksi. Kaum perempuan ditindas dan diperas tenaganya oleh kaum laki-laki yang disamakan dengan pemilik modal dan alat-alat produksi.

Feminis marxis menawarkan bahwa kemandirian ekonomi perempuan, dengan reintrukduksi kiprah perempuan di sektor publik. Perempun tidak harus bergantung pada laki-laki, kemandirian ekonomi perempuan memperoleh yang sejajar dengan laki-laki, feminis marxis sering diserang karena dianggap ingin menghancurkan keluarga, tetapi yang dihancurkan adalah keluarga sebagai relasi ekonomi yang biasanya

menempati perempuan sebagai -laki sebagai

Menurut Luxemburg (dalam Karmini, 2011:131), bahwa akar masalah ketimpangan perempuan dan laki-laki adalah sistem klasisme bukan seksisme. Menurut Marxis, hanya dengan penghapusan kelas secara ekonomis, dan penindasan ekonomi, penindasan patriarkis dapat


(46)

diselesaikan. Untuk itu perlu dilakukan perubahan penindasan struktur ekonomi dan membangkitkan kesadaran kelas di masyarakat.

Fakih (2012:86-89), menyatakan bahwa feminis marxis menolak keyakinan kaun feminis radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan gender, akan tetapi penindasan perempuan merupakan bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Jaman kapitalisme, penindasan perempuan malah dilanggengkan oleh berbagai cara dan alasan karena menguntungkan. Pertama, melalui eksploitasi pulang ke rumah, yakni membuat laki-laki di pabrik bekerja lebih produktif. Kedua, kaum perempuan dianggap bermanfaat bagi sistem kapitalisme dalam reproduksi buruh murah. Ketiga, masuknya buruh perempuan menguntungkan sistem kapitalime, dengan alasan; pertama, upah buruh perempuan lebih rendah, dan kedua, dengan masuknya perempuan dalam sektor perburuhan juga dianggap menguntungkan sistem kapitalisme karena dianggap sebagai proses penciptaan buruh cadangan yang tak terbatas.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penindasan kaum perempuan terjadi akibat adanya pembagian kelas dalam masyarakat yakni perempuan dianggap kaum proletar sedangkan laki-laki dianggap sebagai kaum borjuis. Adapun jalan keluar menurut aliran marxis ini adalah dengan cara menghilangkan pembagian kelas dalam masyarakat.

3). Feminisme Sosialis


(47)

kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis ini mencoba mengungkapkan bahwa kaum perempuan merupakan kelas masyarakat yang tertindas.

Menurut Sugihastuti (2007:98), feminis sosialis berusaha melakukan kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme secara bersamaan dengan kritik ketidakadilan gender yang mengakibatkan domonasi, subordinasi, dan marginalisi atas kaum perempuan.

Menurut Samhuri (2004:45), femins sosial menawarkan bahwa perjuangan perempuan hanya akan berhasil jika sistem pemilikan pribadi berhasil dihancurkan dan lalu berhasilnya tranformasi sosial masyarakat yang menghancurkan kelas-kelas dan penguasa alat-alat produksi segelintir orang untuk diserahkan dan dikelola secara sosial

Goldenberg (2007:12), menyatakan dalam feminisme sosial perempuan yang diperdebatkan essentialise perempuan, dan kontra konstruksionis sosial feminis menyumbang lebih lanjut oleh essentialised tidak termasuk pengalaman hidup perempuan terpinggirkan, seperti perempuan miskin dan kelas pekerja, perempuan warna, dan lesbian. The problem of exclusion ha s been widely cha ra cterised a s essentialism. Sex istconstructions of women a re ar gued to essentia lise women, a nd feminist socia l constructionist counter a ccounts further essentia lised by excluding the lived experiences of margina lised women, such as poor and working-cla ss women, women of colour, and lesbians. Goldenberg (2007: 12)


(48)

Menurut Herman J. Waluyo (2011:112), feminisme sosialis ialah feminisme yang memandang bahwa posisi wanita ditentukan oleh struktur produksi, reproduksi, seksualitas, dan sosialisasi masa kanak-kanak.

Feminis sosialis lebih dipengaruhi oleh pemikir abad ke-20, seperti Loui Althursser dan Jurgen Harberman (dalam Karmini, 2011:132), menegaskan bahwa penyebab fundamental opresi terhadap perempuan bukanlah klasisme, melainkan suatu keterkaitan yang sangat rumit antara kapitalisme dan patriarki. Feminis Marxis dan sosialis percaya bahwa opresi terhadap perempuan bukan hasilntindakan sengaja dari satu individu, melainkan produk dari suatu politik, sosial, dan ekonomi tempat individu itu hidup.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa feminisme sosialis memandang ketertindasan perempuan terjadi akibat adanya manifestasi ketidakadilan gender yang merupakan konruksi sosial dalam masyarakat. Aliran ini merupakan gerakan untuk membebaskan kaum perempuan melalui perubahan struktur patriakat untuk kesetaraan gender. 4) Feminisme Radikal

Riant Nugroho (2011:67), menjelaskan bahwa ada dua sistem kelas dalam feminisme radikal, yaitu sistem kelas ekonomi yang didasarkan pada hubungan produksi dan sistem kelas seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi. Sistem kedualah yang menyebabkan penindasan terhadap perempuan sedangkan konsep patriarki merujuk pada sistem kelas kedua ini,


(49)

pada pemilikan dan kontrol kaum laki-laki atas kapasitas reproduksi perempuan.

Dijelaskan oleh Fakih (2012:84-85), feminis radikal merupakan revolusi terjadi setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk merubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. Lebih lanjut dinyatakan Herman J. Waluyo (2011:112), feminisme radikal adalah jenis femininisme yang menuntut persamaan hak lelaki dan perempuan secara total.

Feminis radikal bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki, feminis radikal mempermasalahkan antar lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianesme), seksisime, relasi kuasa perempuan dan laki-laki dikotomi privat publik, (Sugihastuti, 2007:97).

Menurut Karmini (2011:129-130), feminisme radikal adalah

patriarkis, rasisme, eksploitasi fisik, heteroseksisme, dan klasisme terjadi secara signifikan. Upaya yang harus dilakukan adalah mengubah masyarakat yang berstruktur patriarkis.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa feminisme radikal memandang penguasaan kaum laki-laki terhadap perempuan dari sudut seksualitas merupakan bentuk penindasan perempuan.


(50)

Feminis liberal menegaskan bahwa ketertindasan perempuan terjadi karena adanya pembatasan kebebasan individu. Oleh karena itu, tuntutan feminisme liberal adalah perempuan harus diberi kesempatan dalam institusi-institusi pendidikan dan ekonomi agar sejajar dengan laki-laki.

Feminisme marsix memandang penindasan kaum perempuan terjadi akibat adanya pembagian kelas dalam masyarakat yakni perempuan dianggap kaum proletar sedangkan laki-laki dianggap sebagai kaum borjuis. Adapun jalan keluar menurut aliran in adalah dengan cara menghilangkan pembagian kelas dalam masyarakat.

Feminisme sosialis memandang ketertindasan perempuan terjadi akibat adanya manifestasi ketidakadilan gender yang merupakan konruksi sosial dalam masyarakat. Aliran ini merupakan gerakan untuk membebaskan kaum perempuan melalui perubahan struktur patriakat untuk kesetaraan gender.

Feminisme radikal memandang penguasaan kaum laki-laki terhadap perempuan dari sudut seksualitas merupakan bentuk penindasan perempuan.

c. Kritik Sastra Feminisme

Citra kritis feminisme terutama berkaitan dengan karakter-karakter wanita diwakili dalam satra, terutama dalam karya-karya yang ditulis oleh kaum pria. Lebih lanjut, Josephine Donovan (dalam Retno Winarni, 2009: 178), menyatakan kritik feminis perioritas pertama yaitu mengubah


(51)

kaum pria sebagai yang lain, sebagai objek perhatian hanya jika mereka melayani atau menyimpang dari tujuan protagonis laki-laki.

Kritik Feminis terhadap rasio kerap kali berhubungan dengan apa , kritik ini mengungkapkan bahwa koherensi yang tampak dalam rasio sebenarnya bergantung pada pengucilan dan penindasan atas pelbagai ciri yang berkaitan dengan sifat feminin. Hal ini khusus pada penalaran hukum yang memperoleh legimitasi dari sifat abstrak dan universal.

Menurut Djajanegara (dalam Retno Winarni, 2009:177),

perkembangan paham feminis dalam budaya Barat di Inggris dan Amerika, berkisar tahun 1960-an. Tujuan ini meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan (wanita) agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajad laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara, termasuk lelalui bidang sastra

Lebih lanjut dinyatakan (Soenarjati Djajanegara, 2000:15-16), berkat perjuangan para feminis, wanita Amerika (khususnya) mengalami banyak perbaikan di bidang-bidang kehidupan. Feminis-feminis terpelajar, terutama berkecimpung di perguruan tinggi, juga menyadari adanya kebijakan berdasarkan seksisme yang sampai waktu itu masih diberlakukan di berbagai bidang ilmu. Berbagai disiplin ilmu hanya memberi sedikit perhatian kepada, atau sama sekali mengabaikan, wanita sebagai kajian. Para feminis terpelajar percaya bahwa dunia ilmu pun didominasi kaum laki-laki dan menindas kaum perempuan.


(52)

Menurut Sugihastuti, Suharto (2010:61), feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan menentukan dirinya sendiri.

Kuntha Ratna (2005:418), Menjelaskan bahwa kritik sastra feminisme adalah membaca dan menilai karya sastra sebagai perempuan. Kritik ini beraggapan bahwa pada dasarnya jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan, berpengaruh besar dalam proses analisis masalah, khususnya analisis dalam analisis karya sastra.

Bertitik tolak dari uraian di atas, bahwa kritik sastra feminisme merupakan kajian karya sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya kesamaan antara perempuan dengan laki-laki, dan keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karyasastra-karyasastranya. Pengkritik memandang sastra dengan kesadaran, khusus adanya jenis kelamin yang berhubungan dengan sastra, budaya, dan kehidupan.

Annete Kolodny (dalam Soenarjati Djajanegara, 2000:19), kritik sastra feminis membeberkan wanita menurut stereotipe seksual, baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra, dan menunjukkan bahwa aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai yang telah dipakai dalam mengkaji tulisan wanita adalah tidak adil dan tidak peka.

Menurut Selden (dalam Retno Winarni, 2009:181-182), eksistensi kewanitaan dalam kritik sastra ada lima pokok masalah yaitu: (1) biologis,


(53)

adalah sebuah kandungan. Dilihat dari peranan tubuh wanita, tempat penerusan keturunan, dari pihak feminis bahwa atribut biologis wanita lebih merupakan sumber keunggulan daripada kerendahan (interioritas), (2) penga la ma n, ada perbedaan yang jelas dari segi persepsi dan emosi wanita dan laki-laki dalam hal apa yang penting dan yang tidak penting, (3) wa ca na

siapa yang menguasai wacana. Maka wajar kalau terjadi dominasi l;aki-laki -laki, (4) keta ksa dar an, seksual wanita bersifat revolusioner, subversi, beragain, dan terbuka. Oleh sebab itu ada upaya menolak untuk mendefinisikan seksualitas wanita, dan (5) kondisi sosial, dan ekonomi, kaum wanita berusaha membuat perimbangan perubahan kondisi sosial dan ekonomi dalam interaksi wanita dan laki-laki.

We lea rned a t a ver y ea rly a ge that a s a women we were not a s ca pa blea s ma les to become scientists : to engage in ra tiona l thought... you a ssimilated these mea nings prevalent in the culture (louise Morley and Val walsh, 1995:27). Maksud dari uraian tersebut bahwa kami belajar lebih awal sebagai seorang wanita kami tidak sama cakap seperti pria untuk menjadi sarjana, mengunakan pemikiran yang rasional anda memahami semua arti itu merata dalam budaya.

Feminis terpelajar berusaha membebaskan wanita dari berbagai penindasan dan pembatasan di dunia ilmu. Salah satu upaya mereka adalah menjadikan wanita sebagai bahan studi, maka muncullah gender studies


(54)

atau women studies atau ka jia n wa nita atau berbagai program studi. Kajian ini bertujuan menambah pengetahuan kita tentang pengalaman, kepentingan

dan kehidupan wanita. Pengkritik feminisme pertama berusaha

menyediakan suatu konteks yang dapat mendukung penulis wanita masa kini agar mereka mampu mengungkapkan pengalaman, perasaan serta pikiran yang selama ini direndam. Mereka menginginkan suatu kedudukan dan pengakuan dari pengkritik satra, Para pengkritik kuliah tentang tulisan-tulisan para wanita.

Menurut Annette Kolodny (dalam Soenarjati Djajanegara, 2000: 19) kritik sastra feminis

women, in both our liter ature a nd our litera ry a nd, a s well, demonstra ting the ina dequa cy of esta blished critica l schools a nd methods to dea l fa irly or Hal tersebut membeberkan wanita menurut stereotipe seksual, baik dalam kesusasteraan maupun dalam kritik sastra kita dan juga menunjukkan bahwa aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai, mengkaji tulisan wanita secara tidak adil dan tidak peka.

Bertitik tolak dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kritik feminis, terutama feminis terpelajar percaya dunia ilmu didominasi kaum laki-laki dan menindas kaum perempuan, namun kaum feminis berusaha membebaskan wanita dari berbagai penindasan dan pembatasan di dunia ilmu, dengan cara memperkenalkan kritik sastra feminis mengembangkan mata kuliah tentang tulusan-tulisan para wanita.


(55)

d. Pengertian Gender

Analisis gender sering kali berkaitan dengan kekerasan (violence), laki-laki terhadap perempuan. Yang dimaksud kekerasan oleh Fakih (dalam Retno Winarni, 2009:186-187) gender diklasifikasikan menjadi delapan hal, yaitu: (1) pemerkosaan terhadap perempuan (termasuk pemerkosaan terhadap suami kepada istri), (2) pemukulan dan serangan dalam rumah tangga (domestic violence), (3) penyiksaan yang mengarah kepada organ seksual (genita l mutila tion), (4) kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution), (5) kekerasan dalam bentuk pornografi (bersifat fisik komersialisasi tubuh), (6) kekerasan dalam pemaksaan ber-KB, (7) kekerasan terselubung (molesta tion), dan (8) pelecehan seksual (sexua l a nd emotional hara ssment).

Sugihastuti (2007:96), menyatakan bahwa ketidakadilan yang ditimbulkan oleh perbedaan gender merupakan salah satu masalah pendorong, lahirnya feminisme. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), serta sosiologi peran gender.

Lebih lanjut, Mansur Fakih menyebutkan (dalam Retno Winarni, 2009:186), topik-topik yang dapat dijadikan dasar analisis gender, yaitu: (1) perbedaan gender adalah perbedaan atribut sosial, karakteristik, perilaku, penampilan, cara berpakaian, harapan, dan peranan yang dirumuskan secara


(56)

perorangan menurut ketentuan kalahiran, (2) kesenjangan gender adalah perbedaan dalam hal berpolitik, memberikan suara, dan dalam bersikap antara laki-laki dan perempuan, (3) genderization adalah pengacuan konsep pada upaya menempatkan jenis kelamin pada pusat perhatian identitas diri dan pandangan dari dan terhadap orang lain, (4) identitas gender adalah gambaran tentang jenis kelamin yang seharusnya dimiliki dan ditampilkan peran perempuan dan laki-laki yang diaplikasikan secara nyata.

Selanjutnya, Iwan Abdullah (dalam Herman J. Waluyo, 2011:112), mengklasifikasikan analisis gender sebagai feminisme moderat. Di samping feminisme moderat ada beberapa feminisme, yaitu: (1) feminisme liberal, ialah feminisme yang menganggap kodrat wanita adalah lemah dan tidak sejajar dengan laki-laki, (2) feminisme radikal, adalah jenis feminisne yang menuntut persamaan hak lelaki dan perempuan secara total, (3) feminisme psikoanalitik, ialah jenis feminisme yang memandang terjadinya opresinya terhadap wanita terutama dalam hal psikis, (4) feminisme sosial, ialah feminisme yang memandang bahwa posisi wanita ditentukan oleh struktur produksi, reproduksi, seksualitas, dan sosialisasi masa kanak-kanak, (5) feminisme eksistensialis, yitu feminisme berpandanagan bahwa wanita

the other

eksisitensinya, dan (6) feminisme pasca-modern, yaitu feminisme yang memandang bahwa pengalaman wanita berbeda dengan laki-laki kerena perbedaan kelas, ras, dan budayanya.Telaah tentang feminisme yang


(57)

dikaitkan dengan pembangunan biasanya berkaitan dengan akses, kontrol, dan partisipasi wanita di dalam pembangunan.

Sugihastuti, Suharto (2010:35), menjelaskan bahwa gender adalah pembagian manusia menjadi laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminis) berdasarkan kontruksi sosial budaya. Gender bukanlah sesuatu yang kita dapatkan sejak lahir dan bukanlah kodrat sejak lahir tetapi dikontruksi oleh lingkungan sosial budaya. Seorang anak perempuan haruslah bersikap lembut, tidak pantas jika bermain bola, sedangkan anak laki-laki haruslah kuat, tidak pantas jika bermain boneka. Hal inilah yang berperan dalam mencetak anak menjadi fiminism atau maskulin.

Hal tersebut hampir sama yang dikemukakan Fakih (2012:8), gender suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa gender sering dikaitkan dengan kekerasan baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh kaum lelaki terhadap kaum perempuan. Gender merupakan penbentukan setelah lahir untuk membedakan kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari mana yang pantas untuk dilakukan perempuan dan mana yang pantas untuk dilakukan kaum laki-laki.

Riant Nugroho (2011:9-16), menjelaskan banyak sekali bentuk ketidakadilan gender atau perempuan, antara lain:


(58)

(a). Pemiskinan Ekonomi (Marginalisasi)

Timbulnya kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat dan negara

merupakan akibat dari proses marginalisasi yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian,antara lain: penggusuran,bencana alam atau proses eksploitasi. Meskipun tidak setiap marginalisasi prempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender, tetapi yang dipermasalahkan disini adalah bentuk marginalisasi yang disebabkan karena perbedaan gender.

Bentuk marginalisasi terhadap kaum perempuan juga terjadi dalam

rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara jadi tidak hanya terjadi dipekerjaan. Di dalam rumah tangga, marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi dalam diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Timbulnya proses marginalisasi juga diperkuat oleh tapsir keagamaan maupun adat istiadat (Riant Nugroho, 2011:11) (a). Subordinasi

Subordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap kaum perempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting muncul dari adanya anggapan bahwa perempuan itu emosional atau irasional sehingga perempuan tidak dapat memimpin, merupakan bentuk subordinasi yang dimaksud. Proses subordinasi yang disebabkan karena gender dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan mekanisme yang berbeda dari waktu ke waktu, dan dari tempat ke tempat.


(59)

(c). Stereotipe

Pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu, secara umum dinamakan stereotip. Akibat dari stereotipe ini biasanya timbul diskriminasi dan ketidakadilan. Salah satu bentuk stereotipe ini adalah yang bersumber dari pandangan gender. Sebagai contoh, adanya keyakinan di masyarakat laki-laki pencari nafkah maka setiap pekerjaan yang dilakukan perempuan dinilai sebagai tambahan saja, sehingga pekerjaan perempuan boleh dibayar lebih sedikit.

(d). Violence

Kekerasan (violence) merupakan serangan terhadap fisik maupun integritas mental fisiologis seseorang yang dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan sebagai akibat dari perbedaan gender.

(e). Beban Kerja

Beban kerja yang diakibatkan dari bias gender seringkali diperkuat dan disebabkan oleh adanya keyakinan/pandangan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis pekerjaan perempuan, seperti semua pekerjaan domestic, dianggap, dan dinilai lebih rendah dibandingakan dengan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan laki-laki sehingga tidak memperhitungkan dalam statistic ekonomi negara.

Bertitik tolak dari pendapat diatas, memberikan gambaran bahwa manifestasi ketidakadilan gender yang telah mengakar dengan kuat tersebut, tersosialisasi kepada kaum laki-laki dan perempuan secara mantap,


(60)

yang pada akirnya lambat laun, baik laki-laki dan perempuan menjadi terbiasa dan akirnya meyakini bahwa peran gender seolah-olah suatu kodrat.

3. Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel Istana Emas

Herman J. Waluyo (1992:28) berpendapat bahwa makna nilai dalam sastra adalah kebaikan yang ada dalam makna sastra seseorang. Hal ini berarti bahwa dalam karya sastra pada dasarnya selalu mengandung nilai-nilai kehidupan yang bermanfaat untuk pembaca. Muatan nilai-nilai yang tersirat dalam karya sastra pada umumnya adalah nilai religius, nilai moral, nilai sosial, dan nilai estetika atau keindahan.

Nilai merupakan kumpulan sikap dan perasaan-perasaan yang selalu

diperlihatkan melalui perilaku oleh manusia. Sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila sesuatu itu berguna, benar, indah, dan baik nilai erat hubungan dengan kebudayaan.

Bahwa nilai didik dalam karya sastra memang banyak diharapkan

dapat memberi solusi atas sebagian masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat penting bagi pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca pada kenyataan dan menolongnya mengambil suatu keputusan apabila ia menghadapi masalah (Atar Semi, 1993:20).

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa karya sastra,

terutama novel mengandung nilai-nilai pendidikan yang sangat bermanfaat

bagi pendidikan batin pembacanya atau penikmatnya. Pengamat


(1)

Nilai pendidikan gender yang ada di dalam novel Ista na Emas yang diperankan oleh sosok Retno sebagai peran utama. Mari kita lihat penggalan cerita di bawah ini.

Kukenali diriku sendiri, aku bukan perempuan lemah. Aku pasti mampu mengatasi masalah yang sebenarnya bisa kuatasi dengan perlawanan. Kalau Mas Yoyok menganggap keberadaan seorang istri sebagai penyalur kebutuhan biologisnya, kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama? Begitulah, dengan pikiran seperti itu ketiga obat yang masih ada di atas telapak tanganku itu kulempar ke arah sudut kamar. Aku tidak mau mengunsumsinya. Ketiga obat itu pun membentur dinding sehingga menimbulkan suara gemersik. (Maria A. Sardjono, 2010:263)

Retno berusaha untuk mengatasi atau menguasai dirinya dengan tidak ketergantungan dengan obat. Di akhir-akhir ini dia sering pusing, karena banyak masalah yang menyelimuti pikirannya. Seolah-olah suaminya menganggap Retno sebagai penyalur biologisnya. Untuk mengatasi supaya Retno tidak tergantung pada obat, maka obatnya di lempar. Perempuan harus kuat tidak boleh lemah, tidak tergantung pada suami saja.

Retno berlatar belakang dari keluarga yang sederhana, demokratis Ibu selalu mengajarkan kepada anak-anak dan tidak membedakan anak laki-laki ataupun anak perempuan termasuk bapak. Pada hari libur kebiasaan keluarga Retno selalu masuk ke dapur dan meliburkan pembantu rumah tangga untuk tidak memasak. Seperti penggalan cerita novel di bawah ini.


(2)

gender menjadi isu hangat, ibuku sudah menerapkannya di dalam keluarga. Semua pekerjaan harus bisa dilakukan oleh semua anaknya, laki-laki maupun perempuan. Kalau ada perbedaan, itu bersifat individual bukan karena jenis kelaminnya tetapi karena

(Maria A. Sardjono, 2010:293)

Uraian di atas bahwa Ibu Retno selalu mengajarkan pendidikan gender walaupun tidak dikemas secara langsung. Penerapan perilaku Ibu Retno yang tidak membedakan antara anak-anak laki-laki maupun perempuan hal pekerjaan yang ada di rumah itulah merupakan pendidikan gender di dalam keluarga Retno. Walaupun perempuan selalu menginginkan kesetaraan gender anatra kaum laki-laki dan perempuan namun kenyataannya di dalam kehidupan belum mencapai hasil yang signifikan seperti penggalan cerita di bawah ini.

outsider

sudahlah, kita kembali saja pembicaraan ke pokok persoalannya. Nah, untuk acara jamuan maka itu kau mau memesan masakan di


(3)

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik simpulan sebagai berikut.

1. Eksistensi perempuan yang terdapat dalam novel Ista na Ema s antara lain: a) kebebasan memilih bagi perempuan yang berupa kebebasan memilih pendidikan, memilih pekerjaan, memilih pasang hidup, dan menentukan nasibnya sendiri, b) perlawanan perempuan baik tekanan yang berasal dari diri sendiri, teman, lingkungan dan suami yang diperlakukan tidak adil.

2. Pokok-pokok pikiran feminisme dalam novel Ista na Emas meliputi: a) kekerasan terhadap perempuan yang berupa kekerasan pesikis, kekerasan fisik, kekerasan seksual, b) kemandirian tokoh perempuan, c) tokoh profeminisme dan kontrafeminisme, dan d) analisis feminisme sosialis dalam novel Ista na Ema s.

3. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Ista na Ema s antara lain: a) nilai pendidikan agama, b) nilai pendidikan moral, c) nilai pendidikan sosial, d) nilai pendidikan budaya/ adat, e) nilai budi pekerti, dan f) nilai pendidikan gender.


(4)

B. Implikasi

Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan di atas dapat dibuat implikasi penelitian. Sebuah paradigma pernovelan, merupakan fenomena yang dapat direalisasikan pemanfaatannya dalam dunia pendidikan. novel Ista na Emas dapat menjadi bahan penelitian dengan pendekatan feminisme, dan mampu membuka wawasan manusia yang memiliki kepekaan jiwa dan pikiran jika dibaca dengan penuh pemahaman.

Novel Ista na Ema s sangat tepat jika dijadikan bacaan siswa SMA yang diajarkan pada kelas X semester 1dan 2 serta kelas XII, dan mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia. Dalam novel tersebut kaya akan nilai-nilai pendidikan yang sangat bermanfaat. Siswa dapat mengambil intisari dari nilai-nilai atau ajaran-ajaran yang baik untuk diterapkan didalam kehidupannya. Nilai pendidikan tersebut antara lain: pemahaman agama, pengetahuan tentang moral, budi pekerti, pengetahuan dan pemahaman kompleksitas kehidupan sosial, dan pemahaman budaya, serta masalah kesetaraan gender.

Implikasi secara teoretis, bahwa dengan banyaknya sastra dengan berbagai pendekatan kajian sastra dengan pendekatan feminisme dan nilai-nilai pendidikan, dapat memperkaya masalah telaah sastra. Telaah novel dengan pendekatan feminisme dan nilai-nilai pendidikan dapat dijadikan model pembelajaran apresiasi sastra, khususnya apresiasi prosa fiksi.


(5)

Implikasi secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat dimanfatkan sebagai rujukan telaah sasrta dalam rangka memperbaiki pembelajaran apresisasi sastra di sekolah-sekolah.

Dalam dunia pendidikan, pendekatan feminisme dan nilai-nilai pendidikan dapat dilakukan untuk pembelajaran apresiasi sastra di SMA yang dapat diawali dengan kajian cerpen, puisi, dan novel. Dalam rangka pembenahan pembelajaran sastra kegiatan aperesiasi sastra harus mampu mendorong peserta didik lebih menghayati, mampu berkreasi melalui bahan ajar sastra yang diberikan oleh guru. Model ini akan dapat membentuk keperibadian peserta didik memiliki ketangguhan jiwa yang mandiri dan berbudi luhur.

Pembelajaran telaah novel Ista na Emas dapat mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan aspek pesikomotor peserta didik. Perkembangan aspek kognotif melalui pengetahuan dan perluasan bahasa. Aspek kognitif yang dapat diperoleh dari kajian sastra yaitu pengetahuan sastra dalam mengatasi berbagia konflik. Pengembangan yang menyangkut afektif dapat meningkatkan emosi atau perasaan. Aspek pesikomotor diperoleh dari kegiatan mengkaji novel.

C. Saran

Berdasrkan hasil penelitian, simpulan serta implikasi dapat diajukan saran sebagia berikut.


(6)

kehidupan yang akan datang, serta menjahui hal-hal negatif yang terdapat dalam novel Ista na Ema s.

b. Bagi siswa perempuan sikap dan perilaku tokoh utama perempuan yang mandiri, tegar, kuat dalam menghadapi setiap permasalahan patut dijadikan aspirasi agar kaum perempuan akan lebih maju serta tidak mudah menyerah dalam menghadapi setiap permasalah didalam kehidupan.

c. Bagi siswa laki-laki, hendaknya dapat menyikapi sikap tokoh Yoyok yang merupakan sosok laki-laki yang mendominasi kaum perempuan akan tetapi dapat meneladani sikap Yoyok yang pekerja keras.

2. Bagi Guru

a. Nilai pendidikan yang terkandung novel Ista na Ema s sangat baik ditanamkan pada siswa SMA, dengan nilai agama, moral, sosial, dan budaya.

b. Guru diajurkan untuk memberikan pengetahuan, bimbingan dan arahan tentang ketidak adilan gender sejak dini.

c. Guru bahasa dan sastra Indonesia hendaknya menghadirkan novel-novel yang beraliran feminisme sebagai bahan ajar.

3. Bagi Peniliti

Penelitian terhadap novel Ista na Ema s dengan kajian feminisme ini merupakan sebagian kecil dari ruang pengkajian sastra diharap para peneliti novel hendaknya dapat mengkaji dengan pendekatan lainnya, sehingga akan dapat memperkaya kasanah penelitian sastra.