Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom

60 menit memiliki berpeluang mengalami PMS gejala sedang hingga berat, siswi yang memiliki kualitas tidur buruk berpeluang untuk mengalami PMS gejala sedang hingga berat, dan siswi yang mengalami PMS gejala sedang hingga berat berpeluang mengalami gangguan aktivitas di sian g hari ≥ 3 kali dalam seminggu. Menurut Buysse, dkk. 1988 untuk melihat kesulitan tidur dilihat berdasarkan latensi tidur. Latensi tidur merupakan periode waktu antara persiapan untuk tidur dan awal tidur yang sebenarnya terlelap buruk Buysse dkk., 1989. Dalam hal ini latensi tidur dibagi menjadi empat skor, yaitu 0 jika ≤ 15 menit; 1 jika 15-30 menit; 2 jika 30-60 menit; dan 3 jika 60 menit, dengan 0 = sangat baik dan 3 = sangat buruk Buysse dkk., 1989. Kemudian kualitas tidur yang dihasilkan dari kuesioner PSQI merupakan kualitas tidur yang dinilai berdasarkan subjektivitas responden. Komponen ini memiliki skor antara 0 sangat baik sampai dengan 3 sangat buruk Buysse dkk., 1989. Sedangkan gangguan aktivitas di siang hari merupakan komponen yang melihat dampak dari komponen lainnya, seperti latensi tidur dan kualitas tidur Buysse dkk., 1989. Komponen ini dihitung berdasarkan gangguan mengantuk saat menjalani aktivitas dan jumlah masalah yang sedang dihadapi. Skor komponen ini meliputi 0 sangat baik sampai dengan 3 sangat buruk Buysse dkk., 1989. Buruknya latensi tidur dan kualitas tidur pada siswi di SMA 112 Jakarta mungkin dapat disebabkan oleh penggunaan media elektronik gadget, seperti handphone mau pun tablet. Sebab telah kita ketahui bahwa di zaman sekarang ini penggunaan gadget sangat umum di masyarakat, khususnya para remaja yang cenderung mengikuti tren. Berdasarkan penelitian di SMA Santo Thomas 1 Medan yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi penggunaan handphone dan durasi penggunaan handphone terhadap kualitas tidur Meliani, 2014. Dengan demikian maka siswi SMA 112 Jakarta perlu memperhatikan pola tidur, karena berdasarkan hasil pengumpulan data diketahui bahwa pola tidur siswi SMA 112 Jakarta sebagian besar kurang memenuhi syarat. Hal ini dibuktikan dari hasil pengumpulan data, diketahui banyak siswi yang mengalami gangguan aktivitas pada siang hari, seperti mengantuk, yang mungkin disebabkan adanya latensi tidur dan kualitas tidur yang buruk. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan upaya untuk memperbaiki latensi dan kualitas tidur, yang mungkin dapat dilakukan dengan cara mengurangi penggunaan gadget. Di samping itu buruknya pola tidur juga mungkin dapat disebabkan oleh rendahnya asupan kalsium pada siswi SMA 112 Jakarta. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kalsium memiliki efek terhadap metabolism dan regulasi serotonin Thys-Jacobs, 2000. Sedangkan serotonin merupakan zat kimia yang berguna untuk kualitas tidur yang normal Lau, 2011. Dikarenakan zat ini sangat mempengaruhi suasana hati seseorang yang berhubungan dengan gejala PMS, seperti depresi, kecemasan, ketertarikan, kelelahan, dan kesulitan tidur Saryono dan Sejati, 2009. Sehingga cara lain yang dapat dilakukan dalam memperbaiki pola tidur adalah dengan meningkatkan konsumsi sumber kalsium, seperti susu dan hasil produksinya.

13. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom

Pramenstruasi PMS pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh seimbang atau tidaknya jumlah asupan intake dan jumlah zat gizi yang dibutuhkan required oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis, seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas atau produktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya Depkes, 2006. Dalam Kemenkes 2011 disebutkan bahwa terdapat lima jenis status gizi, yaitu sangat kurus, kurus, normal, gemuk, dan obesitas. Berdasarkan hasil uji chi square,diperoleh nilai p = 0,108 0,05, yang menunjukan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian ditolak yaitu tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian PMS. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Munthe 2013 bahwa tidak ada hubungan antara tatus gizi dengan kejadian PMS. Meskipun hasil penelitian ini menunjukan tidak ada hubungan, namun cenderung responden yang memiliki status gizi gemuk lebih banyak yang mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat dibandingkan dengan status gizi kurus dan normal. Hal ini dibuktikan berdasarkan tabel distribusi frekuensi tabel 5.16, ditemukan 44,4 dari 9 orang yang memiliki status gizi kurus, 28,2 dari 103 orang yang memiliki status gizi normal, dan 53,5 dari 15 orang yang memiliki status gizi gemuk PMS dengan gejala sedang hingga berat. Hal ini mungkin dapat disebabkan adanya faktor lain yang lebih dominan seperti faktor riwayat keluarga dan faktor psikologis. Dimana faktor genetik memainkan peranan penting terhadap hormon estogen dan serotonin Praschak-Rieder dkk., 2002, Huo dkk., 2007, sedangkan faktor psikologis berhubungan dengan hormon progesterone Michel dan Bonnet, 2014 yang merupakan penyebab utama dari kejadian PMS. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Masho 2005, Aminah 2011, dan Seedhom 2013 yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan PMS. Hasil penelitian ini yang menemukan tidak berhubungan mungkin dapat dikarenakan tidak adanya siswi yang memiliki status gizi obesitas. Karena menurut penelitian Masho 2005, PMS berkaitan dengan obesitas. Karena pada wanita obesitas terjadi peningkatan kadar serotonin Dickerson, dkk., 2003 dan dapat meningkatkan risiko terjadinya peradangan inflamasi yang berujung pada tingginya risiko mengalami gejala PMS Bussell, 2014. Sedangkan berbedanya hasil penelitian ini dengan penelitian Aminah 2011 dapat disebabkan dengan hasil ukur yang berbeda, dimana Aminah 2011 menggunakan dua hasil ukur, yaitu normal dan tidak normal. 119

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta mengalami PMS gejala ringan sebesar 68 86 orang dan sebesar 32 41 orang yang mengalami gejala sedang hingga berat. Gejala yang paling banyak dialami antara lain mudah tersinggung dan nyeri perut, yang keduanya masing- masing sebesar 91 116 orang. 2. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta mengalami usia menarche normal yakni 68 86 orang, sebesar 13 17 orang mengalami usia menarche cepat, dan sebesar 19 24 orang mengalami usia menarche lambat. 3. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki riwayat keluarga yang mengalami sindrom pramenstruasi yakni sebesar 52 66 orang, dan sebesar 48 61 orang tidak memiliki riwayat keluarga yang mengalami sindrom pramenstruasi 4. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki aktivitas fisik ringan yakni sebesar 75 96 orang, sebesar 25 31 orang memiliki aktivitas sedang, dan tidak ada yang memiliki aktivitas fisik berat. 5. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan piridoksin kurang yakni sebesar 68 87 orang dan sebesar 32 40 orang memiliki asupan piridoksin cukup. 6. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan kalsium kurang yakini sebesar 83 105 orang dan sebesar 17 22 orang memiliki asupan kalsium cukup. 7. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan magnesium kurang yakni sebesar 81 103 orang dan sebesar 19 24 orang memiliki asupan magnesium cukup. 8. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki pola tidur yang buruk yakni sebesar 70 89 orang dan sebesar 30 38 orang memiliki kualitas tidur baik. 9. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki status gizi sangat gizi normal yakni sebesar 81 103 orang, sebesar 7 9 orang memiliki status gizi kurus, sebesar memiliki status gizi gemuk 12 15 orang, dan tidak ada yang memiliki status gizi sangat kurus dan obesitas. 10. Tidak terdapat hubungan antara usia menarche dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta. 11. Terdapat hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta. 12. Tidak terdapat ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta. 13. Tidak terdapat hubungan antara asupan piridoksin B 6 dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta. 14. Terdapat hubungan antara asupan kalsium Ca dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta.