Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

(1)

SISWI SMA 112 JAKARTA TAHUN 2015

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh:

INDAH RATIKASARI 1111101000115

PEMINATAN GIZI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1436 H/2015 M


(2)

(3)

ii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMNINATAN GIZI

Skripsi, Juli 2015

Indah Ratikasari, NIM: 1111101000115

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

xviii + 161 halaman, 22 tabel, 2 bagan, 11 grafik, 7 lampiran ABSTRAK

Sindrom pramenstruasi (PMS) merupakan kumpulan gejala psikis dan fisik yang dialami oleh wanita usia subur (WUS) antara 7 – 10 hari sebelum menstruasi. PMS merupakan gangguan yang umum terjadi pada WUS, namun akan berdampak buruk bila gejala dirasakan berat. Pada remaja, PMS dapat berdampak pada aktivitas sosial dan prestasi di sekolah. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai dengan Juni 2015. Penelitian ini merupakan studi epidemiologi dengan desain studi cross sectional. Sampel dalam penelitian berjumlah 127 orang siswi kelas X dan XI dengan metode simple random sampling dan menggunakan uji statistik chi square.

Hasil penelitian menunjukan bahwa siswi yang mengalami PMS gejala sedang hingga berat sebanyak 32%. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa riwayat keluarga (pvalue = 0,001), asupan kalsium (pvalue = 0,011), dan pola tidur (pvalue = 0,013) berhubungan dengan kejadian PMS.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti menyarankan kepada pihak sekolah SMA 112 Jakarta dapat memberikan promosi kesehatan baik secara langsung seperti penyuluhan, maupun tidak langsung melalui media kesehatan, yang berhubungan dengan sindrom pramenstruasi, pentingnya mengkonsumsi kalsium sesuai kebutuhan, serta pentingnya pola tidur yang baik dan cukup, yang mudah dipahami dan menarik bagi siswi.

Daftar Bacaan: 108 (1984 – 2015)


(4)

iii

ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM SPECIALIZATION OF NUTRITION Undergraduate Thesis, July 2015

Indah Ratikasari, NIM: 1111101000115

Factors Associated with Premenstrual Syndrom (PMS) in Female Students of 112 Senior High School Jakarta in 2015

xviii + 161 pages, 22 tables, 2 charts 11 graphs, 7 attachments ABSTRACT

Premenstrual syndrome (PMS) is a collection of psychological and physical symptoms that usually happen at women of reproductive age (WUS) between 710 days before the menstruation. PMS is a common disorder on WUS, but it would be bad if the symptoms felt heavy. In adolescents PMS can impact on social activities and its perfomance at school. So, the main purpose of this study is to determine the factors associated with the PMS in female students of 112 Senior High School in Jakarta on 2015.

The research was conducted on November 2014 up to June 2015. This study is an epidemiological study with cross sectional study design. The total of sample is for 127 female students of classes X and XI by simple random sampling technique. The statistical test used was chi square.

The results were showed that the students who has experience moderate to severe PMS symptoms are 32%. Based on the analysis, it is known that family history (pvalue = 0.001), Calcium intake (pvalue = 0.011), and sleep patterns (pvalue = 0.013) associated with the PMS.

Based on this research, we recommend to 112 State Senior High School Jakarta to provide health promotion, such as trough the education and health media related to premenstrual syndrome, the importance of taking calcium as needed, and the importance of good sleep patterns, that easy to understand and attractive to the female students.

References: 108 (1984 – 2015)


(5)

(6)

(7)

vi

LEMBAR PERSEMBAHAN

Syukurku kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kemudahan, dan karunia, sehingga akhirnya karya yang sederhana ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam tak lupa terlimpahkan kepada Rasul-Mu,

Muhammad SAW.

Karya ini kupersembahkan untuk :

Bunda dan Ayah Tercinta

Sebagai tanda bakti dan rasa terima kasih Indah yang tak terhingga, Indah persembahkan karya ini kepada bunda dan ayah yang telah memberikan

kasih sayang, cinta, dukungan, dan sujudnya setiap malam untuk mendoakan Indah. Tak mungkin dapat Indah balaskan hanya dengan

selembar kertas ini. Namun semoga ini menjadi langkah awal untuk membuat bunda dan ayah bangga .

Kedua Adikku Tersayang

Adik-adik kakak, Ibnu dan Iman terima kasih untuk kasih sayang, cinta, dukungan, dan nasehat yang tiada pernah berhenti kalian berikan kepada kakak. Maaf karena belum bisa menjadi panutan yang baik bagi kalian, tapi

insyaallah kasih sayang kakak akan selalu ada untuk kalian berdua.

ُبلْطأُ مْلعْلاُ نمُدْح مْلاى لإُدْ َللا (ها رملسم)

“Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahat”

(HR. Muslim)

Jakarta, 9 Juli 2015


(8)

vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi / Personal Details

Nama / Name : Indah Ratikasari

Tempat & Tanggal Lahir / Place & Date of Birth : Jakarta, 9 Juli 1993

Jenis Kelamin / Sex : Perempuan / Female

Status Marital / Marital Status : Belum Menikah / Single

Kewarganegaraan / Nationality : WNI

Agama / Religion : Islam

No. HP / Mobile Phone Number : 081298183008

E-mail : indahratikasari@gmail.com

Jenjang Pendidikan / Education Information

1. 1996 – 1997 Karang Balita Komplek DKI Joglo 2. 1997 – 1999 TK Islam Al-Azhar 19 Pamulang 3. 1999 – 2005 SD Islam Al-Azhar 08 Kembangan 4. 2005 – 2008 SMP Islam Al-Azhar 10 Kembangan 5. 2008 – 2011 SMA Negeri 112 Jakarta (IPA)

6. 2011 – 2015 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (Strata 1 Peminatan Gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan)


(9)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015” ini. Shalawat dan salam tak lupa pula dihanturkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Di kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga, kepada:

1. Ibu Euis Sari Susanti, S.Ag dan Bapak Ir. Deslison, selaku kedua orang tua yang senantiasa memberikan doa dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembimbing akademik.

3. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D, selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Febrianti, Sp., M.Si dan Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes, selaku dosen pembimbing skripsi, yang senantiasa memberikan waktunya untuk membimbing saya dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Riastuti Kusumawardani, SKM, MKM, Ibu Dewi Utami, M.Kes, Ph.D, dan Ibu Laily Hanifah, SKM, M.Kes, selaku dosen penguji skripsi, yang telah memberikan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.

6. Bapak Dr. Saryono, M.Si, selaku Kepala Sekolah dan Ibu Triyem, S.Pd, M.Si, selaku Wakil Kepala Sekolah SMA 112 Jakarta yang telah memberikan izin penelitian dan bantuan selama proses proses pengambilan data.


(10)

7. Bapak Anang Burhan, S.Pd, selaku Kepala Sekolah dan Ibu Gayatri, S.Pd, selaku Wakil Kepala Sekolah SMA 65 Jakarta yang telah memberikan izin penelitian dan bantuan selama proses proses pengambilan data.

8. Seluruh guru, staf dan siswi SMA 112 Jakarta dan SMA 65 Jakarta yang telah berpartisipasi dalam proses pengambilan data.

9. Donna Pertiwi, SKM dan Hasanah Putri, SKM, selaku sahabat tercinta, yang senantiasa memberikan bantuan, doa, nasihat, hiburan, dan semangat selama kita bersama.

10. Teman-teman gizi 2011 yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang senantiasa berbagi ilmu, canda, tawa, pengalaman, dan pelajaran hidup selama kita bersama.

11. Semua pihak lainnya yang senantiasa memberikan bantuan dan dukungan dari awal perkuliahan hingga skripsi ini selesai.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun skripsi ini, namun tentu masih ada berbagai kekurangan. Sesuai kata orang bijak, “tidak ada

yang sempurna di dunia ini, kecuali hanya Allah SWT”. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca sekalian, untuk dapat menyempurnakan hasil akhir dari skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat, menambah wawasan dan ilmu bagi kita semua.

Jakarta, 9 Juli 2015


(11)

x

DAFTARISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... iv

PENGESAHAN PANITIA SIDANG ... v

LEMBAR PERSEMBAHAN ... vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR GRAFIK ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Pertanyaan Penelitian ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 9

1. Tujuan Umum ... 9

2. Tujuan Khusus ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 11

1. SMA 112 Jakarta ... 11

2. Siswi SMA 112 Jakarta ... 12

3. Peneliti Lainnya ... 12

F. Ruang Lingkup ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ... 13

A. Definisi Sindrom Pramenstruasi (PMS) ... 13

B. Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS) ... 14


(12)

D. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom

Pramenstruasi (PMS) ... 16

1. Faktor Hormonal ... 17

2. Faktor Kimiawi ... 19

3. Faktor Genetik ... 20

4. Faktor Psikologis ... 21

5. Faktor Gaya Hidup ... 22

6. Faktor Sosio-Demografi ... 33

E. Kerangka Teori... 39

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS ... 42

A. Kerangka Konsep ... 42

B. Definisi Operasional ... 45

C. Hipotesis Penelitian ... 47

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 48

A. Desain Penelitian ... 48

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 48

C. Populasi dan Sampel ... 48

1. Populasi ... 48

2. Sampel ... 49

D. Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 51

E. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ... 57

1. Teknik Pengolahan Data ... 57

2. Analisis data ... 59

BAB V HASIL ... 61

A. Gambaran Karakteristik Responden di SMA 112 Jakarta ... 61

B. Analisis Univariat ... 62

1. Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 62

2. Gambaran Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .. 64

3. Gambaran Riwayat Keluarga pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 66 4. Gambaran Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 67


(13)

5. Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun

2015 ... 68

6. Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 69

7. Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 70

8. Gambaran Pola Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 71

9. Gambaran Status Gizi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 73

C. Analisis Bivariat ... 74

1. Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 74

2. Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 74

3. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 75

4. Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 76

5. Hubungan antara Asupan Kalsium (Ca) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 76

6. Hubungan antara Asupan Magnesium (Mg) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 77

7. Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 78

8. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 79

BAB VI PEMBAHASAN ... 81

A. Keterbatasan Penelitian ... 81

B. Analisis Univariat dan Bivariat ... 82

1. Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 82

2. Gambaran Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 87

3. Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 90

4. Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 92


(14)

5. Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta

Tahun 2015 ... 96

6. Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 98

7. Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 101

8. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 104

9. Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 106

10. Hubungan antara Asupan Kalsium (Ca) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 108

11. Hubungan antara Asupan Magnesium (Mg) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 110

12. Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 112

13. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 117

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 119

A. Simpulan ... 119

B. Saran ... 121

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia... 121

2. SMA 112 Jakarta ... 121

3. Siswi SMA 112 Jakarta ... 122

4. Peneliti Lain ... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 123


(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman

2.1 Angka Kecukupan Piridoksin (B6) Perempuan Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013

25

2.2 Angka Kecukupan Kalsium (Ca) Perempuan

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013

27

2.3 Angka Kecukupan Magnesium (Mg) Perempuan

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013

29

2.4 Kategori Indeks Massa Tubuh Menurut Umum 33

3.1 Definisi Operasional 45

4.1 Besar Sampel Minimal Menurut Variabel yang Diteliti Berdasarkan Hasil Penelitian Sebelumnya

50

5.1 Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi

(PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

62

5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Jenis Gejala Sindrom Pramenstruasi yang Dialami pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

63

5.3 Gambaran Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

65 5.4 Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi

SMA 112 Jakarta Tahun 2015

68

5.5 Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi

SMA 112 Jakarta Tahun 2015

69

5.6 Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi

SMA 112 Jakarta Tahun 2015

71

5.7 Gambaran Pola Tidur pada Siswi SMA 112

Jakarta Tahun 2015

72 5.8 Analisis Hubungan antara Usia Menarche dengan

Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

74

5.9 Analisis Hubungan antara Riwayat Keluarga

dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

75

5.10 Analisis Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015


(16)

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman

5.11 Analisis Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

76

5.12 Analisis Hubungan antara Kalsium (Ca) dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

77

5.13 Analisis Hubungan antara Magnesium (Mg)

dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

77

5.14 Analisis Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

78

5.15 Analisis Hubungan antara Komponen Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

79

5.16 Analisis Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015


(17)

xvi

DAFTAR BAGAN

Nomor Bagan Judul Bagan Halaman

2.1 Kerangka Teori 41


(18)

xvii

DAFTAR GRAFIK

Nomor Grafik Judul Grafik Halaman

5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

63

5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Jumlah Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS) yang Dialami pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

64

5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

65

5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Riwayat Keluarga pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

66

5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Anggota Keluarga yang Memiliki Riwayat Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

67

5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

67

5.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

69

5.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

70

5.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

71

5.10 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pola Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015

72

5.11 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Gizi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015


(19)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Judul Bagan Halaman

1 Kuesioner Penelitian 133

2 Perhitungan Kuesioner PSQI 141

3 Perhitungan Recall Aktivitas Fisik 143

4 Surat Izin Studi Pendahuluan 144

5 Surat Izin Penelitian 146

6 Surat Bukti Penelitian 147


(20)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menstruasi atau pendarahan periodik normal uterus merupakan proses katabolisme yang terjadi akibat adanya pengaruh dari hormon hipofisis dan ovarium, seperti hormon estrogen dan progesteron (Benson dan Pernoll, 1994). Umumnya menstruasi akan terjadi secara normal setiap bulan pada wanita usia subur (WUS).

Biasanya 7-10 hari sebelum terjadi menstruasi, wanita akan mengalami beberapa gejala perubahan tertentu, dari segi fisik (nyeri payudara, sakit kepala, jerawat, nyeri panggul bahkan edema (Andrews, 2001, NIH, 2014) maupun emosional (perubahan mood, penurunan fungsi sosial, penurunan konsentrasi, bahkan depresi (Andrews, 2001, Souza dkk., 2012, Freeman, 2007, Delara dkk., 2012) yang akan mereda ketika siklus menstruasi dimulai (NIH, 2014). Namun pada beberapa wanita juga dapat terjadi gejala yang terus berlanjut hingga 24-48 jam pertama siklus menstruasi dan akan mereda selama beberapa hari ke depan (O'Brien dkk., 2007). Gejala-gejala tersebut biasa dikenal dengan sindrom pramenstruasi (PMS).

Sindrom pramenstruasi merupakan salah satu masalah yang umum terjadi pada wanita, dengan demikian maka sindrom pramenstruasi


(21)

merupakan masalah kesehatan masyarakat (Balaha dkk., 2010). Pada dasarnya sindrom ini pernah dialami hampir seluruh wanita di dunia. Dimana sebanyak 90% wanita mengalami setidaknya satu gejala dalam beberapa siklus menstruasi selama masa usia subur mereka (Zaka dan Mahmood, 2012) dan 5-10% wanita mengalami gejala yang bersifat sedang sampai berat (Freeman, 2007).

Dari hasil meta analisis pertama yang pernah dilakukan, diketahui bahwa prevalensi sindrom pramenstruasi dari seluruh dunia adalah 47,8% (Moghadam dkk., 2014). Dari hasil tersebut terlihat, bahwa dari tahun ke tahun kejadian sindrom pramenstruasi berbeda di setiap negara. Sebagai contoh, di negara Pakistan, kejadian sindrom pramenstruasi pada tahun 1996 sebanyak 41% dan meningkat pada tahun 2004 menjadi 53%. Sedangkan di Brazil, kejadian sindrom pramenstruasi stabil dari tahun 2003 hingga 2009 yaitu sebesar 60% (Moghadam dkk., 2014).

Selanjutnya pada remaja putri (usia 14-19 tahun) di Iran, ditemukan bahwa dari 602 orang, 100% dilaporkan setidaknya pernah mengalami satu gejala sindrom pramenstruasi (Delara dkk., 2012). Penelitian lainnya pada remaja putri di Turki, ditemukan sebanyak 61,4% mengalami sindrom pramenstruasi (49,5% sindrom pramenstruasi ringan dan 50,5% sedang hingga berat) dengan gejala yang paling umum seperti stres (87,6%) dan kegelisahan (87,6%) (Derman dkk., 2004).

Di Indonesia dari 260 orang wanita usia subur, ditemukan sebanyak 95% memiliki setidaknya satu gejala sindrom pramenstruasi, dengan tingkat sindrom pramenstruasi sedang hingga berat sebesar 3,9%


(22)

(Emilia, 2008). Penelitian yang dilakukan di kota Padang menunjukkan bahwa 51,8% siswi SMA mengalami sindrom pramenstruasi (Siantina, 2010). Sedangkan penelitian yang dilakukan di kota Purworejo pada siswi SMA, prevalensi sindrom pramenstruasi sebanyak 24,6% (Nurmiaty dkk., 2011). Penelitian lainnya juga dilakukan pada siswi SMA di kota Bogor, ditemukan bahwa seluruh responden mengalami sindrom pramenstruasi, dengan jenis keluhan ringan sebanyak 32,2% dan keluhan sedang sampai berat sebanyak 67,8% (Aldira, 2014).

Penelitian yang dilakukan di Jakarta terhadap siswi SMK Jakarta Selatan didapatkan sebanyak 45% siswi mengalami sindrom pramenstruasi (Devi, 2009). Penelitian selanjutnya di SMA “X” di Kecamatan Pulo Gadung Jakarta Timur didapatkan bahwa sebanyak 43,9% siswi mengalami sindrom pramenstruasi (Sianipar dkk., 2009). Kemudian penelitian yang dilakukan di MAN 4 Jakarta Selatan menemukan sebanyak 28,66% siswi yang mengalami sindrom pramenstruasi.

Diketahui bahwa berdasarkan berbagai penelitian tersebut, kejadian sindrom pramenstruasi cukup banyak dan bervariasi jenis gejalanya pada setiap individu. Bagi beberapa wanita, gejala ini ada yang masuk dalam kategori berat, sehingga dapat mengganggu aktivitas mereka (NIH, 2014). Khusus bagi para remaja putri yang bersekolah, dapat menganggu kualitas kesehatan, konsentrasi, prestasi dan keaktifan kegiatan belajar di sekolah. Pernyataan tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Delara dkk. (2012) yang menunjukkan bahwa siswi dengan gangguan pramenstruasi mengalami beberapa penurunan, seperti: kondisi mental,


(23)

peran fisik, dan fungsi sosial. Di samping itu sindrom pramenstruasi juga dapat berhubungan dengan kasus bunuh diri, tingkat kecelakaan, dan masalah kejiwaan akut (Tolossa dan Bekele, 2014). Oleh karena itu, perlu diketahuinya penyebab dari kejadian sindrom ini, agar masalah yang terjadi dapat dikurangi atau bahkan dicegah.

Namun sampai saat ini penyebab dari sindrom pramenstruasi belum diketahui secara pasti (Wiley dan Sons, 2012). Walaupun dari beberapa literatur yang ada, dikatakan bahwa faktor penyebab utamanya adalah akibat adanya ketidakseimbangan kerja dari hormon estrogen dan progesteron (Andrews, 2001, Dickerson dkk., 2003) serta adanya perubahan kadar serotonin (Saryono dan Sejati, 2009). Pada sebuah penelitian ditemukan bahwa PMS biasanya lebih mudah terjadi pada wanita yang peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid (Saryono dan Sejati, 2009).

Selain faktor hormonal, ada beberapa faktor lain yang berhubungan dengan timbul dan parahnya gejala sindrom pramenstruasi. Salah satu faktor tersebut adalah riwayat keluarga (Saryono dan Sejati, 2009, Amjad dkk., 2014) dan gaya hidup (Saryono dan Sejati, 2009). Riwayat keluarga memainkan peran yang penting. Dimana faktor ini erat kaitannya dengan insidens sindrom pramenstruasi, yang biasanya terjadi dua kali lebih tinggi (93%) pada kembar satu telur (monozigot) dibanding kembar dua telur (44%) (Zaka dan Mahmood, 2012). Di samping itu, terdapat penelitian yang menemukan bahwa ada hubungan antara riwayat keluarga dengan PMS (Abdillah, 2010).


(24)

Untuk faktor gaya hidup, terbagi menjadi beberapa faktor lainnya seperti status gizi berdasarkan IMT (Masho dkk., 2005); dan aktivitas fisik (Saryono dan Sejati, 2009). Faktor status gizi memiliki peranan yang cukup penting pada tingkat keparahan kejadian sindrom pramenstruasi. Berdasarkan sebuah penelitian, ditemukan bahwa obesitas memiliki keterkaitan yang dengan kejadian PMS (Masho dkk., 2005). Sependapat dengan penelitian tersebut, penelitian lainnya juga mendapatkan bahwa setiap kenaikan 1 kg/m2 pada IMT dikaitkan dengan peningkatan yang signifikan terhadap risiko sindrom pramenstruasi sebesar 3% (Johnson dkk., 2010).

Sedangkan faktor aktivitas fisik merupakan faktor yang dapat mengurangi rasa sakit akibat sindrom pramenstruasi, dimana dengan rendahnya aktivitas fisik juga dapat meningkatkan keparahan gejala, seperti rasa tegang, emosi, dan depresi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa aktivitas fisik secara signifikan dapat menurunkan resiko gejala sindrom pramenstruasi, seperti perubahan nafsu makan, hipersensitivitas emosi, dan sakit kepala (Sianipar, dkk., 2009, Kroll, 2010).

Berdasarkan berbagai ulasan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui lebih mendalam tentang hubungan kejadian sindrom pramenstruasi dengan faktor-faktornya pada siswi di SMA 112 Jakarta. Dasar dari pemilihan SMA untuk penelitian ini karena peneliti menganggap bahwa hampir seluruh remaja putri di SMA sudah mengalami menstruasi, berbeda halnya dengan remaja putri yang masih


(25)

duduk di bangku SMP. Sindrom pramenstruasi umumnya mulai terjadi sekitar usia 14 tahun atau 2 tahun setelah menarche (Zaka dan Mahmood, 2012). Di samping itu, remaja di SMA merupakan remaja yang memiliki rentang umur 16-17 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Delara, dkk. (2012), didapatkan bahwa usia 16-17 tahun paling banyak (52%) mengalami sindrom pramenstruasi, disusul oleh remaja berusia 14-15 tahun sebesar 44%, dan remaja berusia 18-19 tahun sebesar (3,8%).

Selanjutnya dipilihnya SMA 112 Jakarta didasarkan karena SMA ini merupakan salah satu sekolah peringkat kelima terbesar yang memiliki jumlah siswi terbanyak di Jakarta Barat (Kemdikbud, 2014). Berdasarkan studi pendahuluan di SMA 112, ditemukan bahwa dari 30 orang siswi, seluruh siswi mengalami gejala sindrom pramenstruasi (sedikitnya mengalami nyeri payudara dan perut), dimana 36,7% mengalami sindrom pramenstruasi gejala sedang hingga berat. Berbeda dengan di SMA 112, di SMA 65 ditemukan sebesar 19,0% siswi mengalami sindrom pramenstruasi gejala sedang hingga berat. Di samping itu, di SMA 112 ini juga belum ada peneliti yang meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS), bahkan di Jakarta Barat. Melihat kondisi tersebut, maka peneliti tertantang untuk memilih SMA 112 Jakarta sebagai lokasi penelitian tentang kejadian sindrom pramenstruasi dan faktor-faktornya.


(26)

B. Rumusan Masalah

Diketahui berdasarkan hasil studi pendahuluan, kejadian PMS merupakan masalah yang banyak terjadi di SMA 112 Jakarta. Dari paparan latar belakang diketahui bahwa pada remaja kejadian PMS dapat mengganggu kualitas kesehatan, konsentrasi belajar, keaktifan kegiatan belajar, dan prestasi di sekolah. Dampak terparah dari kejadian PMS adalah dapat meningkatkan risiko tingkat kecelakan, masalah kejiwaan akut, bahkan kasus bunuh diri. Faktor utama dari kejadian PMS adalah ketidakseimbangan hormon dan kadar serotonin. Namun terdapat beberapa faktor lainnya yang memiliki asosiasi dengan kejadian PMS, yaitu riwayat keluarga dan gaya hidup.

C. Pertanyaan Penelitian

Sebagai landasan awal untuk memulai penelitian dan

merangkumnya dalam skripsi ini, peneliti mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015?

2. Bagaimana gambaran usia menarche pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

3. Bagaimana gambaran riwayat keluarga pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?


(27)

4. Bagaimana gambaran aktivitas fisik pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

5. Bagaimana gambaran asupan piridoksin (B6) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

6. Bagaimana gambaran asupan kalsium (Ca) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

7. Bagaimana gambaran asupan magnesium (Mg) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

8. Bagaimana gambaran pola tidur pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

9. Bagaimana gambaran status gizi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

10.Apakah ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

11.Apakah ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

12.Apakah ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

13.Apakah ada hubungan antara asupan piridoksin (B6) dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?


(28)

14.Apakah ada hubungan antara asupan kalsium (Ca) dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

15.Apakah ada hubungan antara asupan magnesium (Mg) dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

16.Apakah ada hubungan antara pola tidur dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

17.Apakah ada hubungan antara status gizi dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?

D. Tujuan Penelitian

1. TujuanUmum

Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

b. Diketahuinya gambaran usia menarche pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.


(29)

c. Diketahuinya gambaran riwayat keluarga pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

d. Diketahuinya gambaran aktivitas fisik pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

e. Diketahuinya gambaran asupan piridoksin (B6) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

f. Diketahuinya gambaran asupan kalsium (Ca) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

g. Diketahuinya gambaran asupan magnesium (Mg) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

h. Diketahuinya gambaran pola tidur pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

i. Diketahuinya gambaran status gizi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

j. Diketahuinya hubungan antara usia menarche dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

k. Diketahuinya hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

l. Diketahuinya hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.


(30)

m. Diketahuinya hubungan antara asupan piridoksin (B6) dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

n. Diketahuinya hubungan antara asupan kalsium (Ca) dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi di SMA 112 Jakarta tahun 2015.

o. Diketahuinya hubungan antara asupan magnesium (Mg) dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

p. Diketahuinya hubungan antara pola tidur dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015. q. Diketahuinya hubungan antara status gizi dengan kejadian sindrom

pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.

E. Manfaat Penelitian

Peneliti berharap penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk beberapa pihak:

1. SMA 112 Jakarta

a. Memberikan tambahan informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS). b. Menjadi bahan dalam pemberian promosi kesehatan reproduksi


(31)

2. Siswi SMA 112 Jakarta

a. Memberikan wawasan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS).

b. Menjadi bahan pembelajaran tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS).

3. Peneliti Lainnya

a. Memberi informasi pada peneliti lainnya tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS). b. Sebagai pengalaman dan pembelajaran untuk peneliti lainnya

dalam melakukan penelitian lanjutan.

F. RuangLingkup

Penelitian ini merupakan studi epidemiologi dengan desain studi

cross sectional tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta yang dimulai pada November 2014 sampai Juni 2015. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kejadian PMS yang masih banyak terjadi di kalangan siswi SMA 112 Jakarta dan dapat berdampak buruk. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswi peminatan Gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menggunakan jenis data primer. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah chi-square.


(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

A. Definisi Sindrom Pramenstruasi (PMS)

Menstruasi adalah peristiwa paling penting pada masa pubertas remaja putri dan merupakan penanda biologis terjadinya kematangan seksual (Almatsier dkk., 2011). Menstruasi atau pendarahan periodik normal uterus merupakan proses katabolisme yang terjadi akibat adanya pengaruh dari hormon hipofisis dan ovarium, seperti hormon estrogen dan progesteron, dengan interval siklus normal antara 24-32 hari dan pengeluaran darah sekitar 35-90 ml (Benson dan Pernoll, 1994). Pada beberapa wanita, sebelum siklus menstruasi berlangsung akan mengalami beberapa perubahan hormonal dan fisiologis menstruasi, seperti nyeri payudara, kembung, dan perubahan psikologis yang biasa disebut dengan sindrom pramenstruasi (Nelson, 2012).

Sindrom pramenstruasi atau PMS merupakan kumpulan gejala fisik, psikologis, dan emosi yang terkait dengan siklus menstruasi wanita, terjadi selama fase luteal (pasca ovulasi) dari siklus menstruasi yang berhubungan dengan siklus saat ovulasi (pelepasan sel telur dari ovarium) dan menstruasi (Saryono dan Sejati, 2009). PMS ini biasanya akan terjadi pada rentang 1-2 minggu, atau lebih tepatnya 7-10 hari sebelum terjadi menstruasi dan akan berhenti saat dimulainya siklus menstruasi (NIH, 2014). Akan tetapi, pada beberapa wanita juga bisa terjadi gejala PMS


(33)

yang terus berlanjut hingga 1-2 hari atau 24-48 jam pertama siklus menstruasi dan akan segera mereda selama beberapa hari ke depan siklus menstruasi (O'Brien dkk., 2007). Pada remaja umumnya PMS mulai dialami sekitar usia 14 tahun atau 2 tahun setelah menarche dan akan berlanjut sampai menopause (Zaka dan Mahmood, 2012).

B. Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS)

Terdapat macam-macam gejala PMS yang terjadi pada wanita. Gejala-gejala tersebut dapat mempengaruhi hampir seluruh sistem tubuh. Namun setiap individu mungkin akan mengalami gejala yang berbeda. Berikut merupakan beberapa gejala yang umum terjadi (Saryono dan Sejati, 2009):

1. Perubahan fisik

a. Gejala gastrointestinal: sakit punggung, perut kembung, perubahan nafsu makan, daerah panggul terasa berat tertekan, mual, muntah, penambahan berat badan, kram abdominal.

b. Gejala-gejala pada payudara: payudara terasa penuh, bengkak, mengeras, nyeri.

c. Permasalahan pada kulit: kulit wajah, leher, dada, tampak merah dan terasa terbakar, kelainan kulit(misalya jerawat).

d. Gejala vaskuler dan neurologi: pusing, pingsan, sakit kepala, tidak bertenaga, kelelahan, nyeri sendi,dankejang otot.


(34)

f. Permasalahan pernapasan: alergi, peradangan.

2. Perubahan suasana hati: mudah marah, cemas, depresi, mudah tersinggung, gelisah, agresif, tertekan, gugup, hipersensitivitas secara emosional, kemurungan.

3. Perubahan mental: kalut, bingung, sulit berkonsentrasi, dan pelupa. 4. Perubahan tingkah laku: perubahan pada libido, pola tidur, dan nafsu

makan.

C. Dampak Sindrom Pramenstrasi (PMS)

Bagi beberapa wanita gejala PMS dapat terjadi cukup parah, sehingga dapat menimbulkan dampak yang merugikan. Umumnya dampak dari PMS tersebut adalah gangguan aktivitas harian (NIH, 2014), seperti penurunan produktivitas kerja, sekolah, dan hubungan interpersonal penderita (Suparman, 2010). Di samping itu PMS yang berat juga dapat berhubungan dengan kasus bunuh diri yang tinggi, tingkat kecelakaan, dan masalah kejiwaan akut (Tolossa dan Bekele, 2014).

Dari segi aktivitas harian, penelitian membuktikan bahwa sebanyak 17% dari penderita PMS merasakan dampak klinis yang signifikan pada ADL (activities daily life) dan 9% yang terkena dampak serius terhadap ADL (Dennerstein dkk., 2010). Sedangkan dari segi produktivitas, penelitian yang dilakukan Borenstein (2004) menemukan bahwa penurunan produktivitas lebih banyak dialami oleh penderita PMS dibandingkan dengan bukan penderita PMS, yang dikaitkan dengan


(35)

keluhan sulit berkonsentrasi, menurunnya entusiasme, menjadi pelupa, mudah tersinggung, dan labilitas emosi (Borenstein dkk., 2004). Di samping itu penderita PMS juga lebih banyak mengalami gangguan hobi, peningkatan frekuensi kunjungan ke dokter rawat jalan dan peningkatan hari tidak bekerja dengan alasan kesehatan.

Kemudian khusus untuk para remaja putri yang bersekolah, PMS dapat mengganggu kualitas kesehatan, konsentrasi, prestasi dan keaktifan kegiatan belajar di sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Delara dkk. (2012) menunjukkan bahwa siswi dengan gangguan pramenstruasi mengalami beberapa penurunan, seperti: kondisi mental, vitalitas, peran fisik, fungsi sosial, dan kesehatan secara keseluruhan.

D. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS)

Sampai saat ini penyebab PMS belum dapat dijelaskan secara pasti (Wiley dan Sons, 2012). Beberapa teori menyebutkan PMS terjadi karena ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron (Andrews, 2001, Dickerson dkk., 2003, Saryono dan Sejati, 2009, Zaka dan Mahmood, 2012) serta adanya perubahan kadar serotonin (Saryono dan Sejati, 2009). Sedangkan beberapa penelitian lainnya menemukan bahwa PMS berhubungan dengan faktor riwayat keluarga (Abdillah, 2010, Amjad dkk., 2014), status gizi (Johnson dkk., 2010, Masho dkk., 2005), dan aktivitas fisik (Kroll, 2010).


(36)

Namun secara umum diketahui bahwa ada beberapa faktor yang memiliki hubungan dengan PMS, yaitu faktor hormonal, faktor kimiawi, faktor genetik, faktor psikologi, dan faktor gaya hidup (Saryono dan Sejati, 2009). Kemudian terdapat faktor lainnya yang berhubungan dengan kejadian PMS, yaitu faktor sosio-demografi (Saryono dan Sejati, Amjad dkk., 2014). Di bawah ini merupakan penjelasan masing-masing faktor dari kejadian PMS, antara lain:

1. Faktor Hormonal

Hormon berasal dari kata Yunani, hormein, yang berarti memacu atau menggalakan (Wijaya, 2006). Hormon merupakan senyawa khas yang dihasilkan oleh organ tubuh, yang bekerja dalam memacu fungsi organ tubuh tertentu sehingga akan terlihat hasilnya (Wijaya, 2006). Pengertian lain menyebutkan bahwa hormon adalah zat yang dihasilkan oleh suatu kelenjar endokrin, yang disekresikan ke dalam darah untuk sampai ke sel sasaran di jaringan lain dalam tubuh tempat hormon tersebut menimbulkan efek fisiologis (William dan Wilkins, 2000).

Hormon tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, termasuk dari kejadian PMS yang dialami oleh para wanita. Dalam beberapa literatur yang ada, dikatakan bahwa faktor hormon adalah faktor yang paling utama yang dapat menyebabkan PMS, yaitu akibat adanya ketidakseimbangan kerja dari hormon estrogen dan progesteron (Andrews, 2001, Dickerson dkk., 2003). Teori lain menunjukkan bahwa ternyata, adanya kelebihan estrogen atau defisit progesteron


(37)

dalam fase luteal dari siklus menstruasi akan menyebabkan PMS (Brunner dan Suddarth, 2001, Saryono dan Sejati, 2009). Kadar hormon estrogen dalam darah yang meningkat, disebut-sebut dapat menyebabkan gejala depresi dan beberapa gangguan mental. Kadar estrogen yang meningkat ini akan mengganggu proses kimia tubuh termasuk vitamin B6 (piridoksin) yang dikenal sebagai vitamin anti depresi karena berfungsi mengontrol produksi serotonin (Brunner dan Suddarth, 2001, Saryono dan Sejati, 2009). Di samping itu, pada sebuah penelitian ditemukan bahwa PMS biasanya lebih mudah terjadi pada wanita yang peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid (Saryono dan Sejati, 2009).

Untuk mengetahui kadar estrogen dan progesteron di dalam tubuh, diperlukan pengukuran metabolit urin. Pengukuran ini telah lama dilakukan dan masih dilakukan sampai saat ini untuk memperkirakan fungsi hormonal secara keseluruhan, walaupun sudah tersedia pemeriksaan-periksaan spesifik untuk mengukur kadar hormon serum (Sacher dan McPherson, 2004). Ekskresi di urin merupakan 70-95% dari estrogen total yang diproduksi, dimana hasil yang disajikan akan terlihat estrogen total atau sebagai proporsi Estriol (E1), Estradiol (E2), dan Estron (E3) yang ada (Sacher dan McPherson, 2004). Sedangkan aktivitas progesteron tercemin dari pregnanediol (produk ekskretorik progesteron) urin (Sacher dan McPherson, 2004).


(38)

2. Faktor Kimiawi

Faktor kimiawi juga berhubungan dengan kejadian PMS. Zat kimia tertentu seperti serotonin dan endorfin dapat mengalami perubahan selama siklus menstruasi (Saryono dan Sejati, 2009). Menurut Saryono dan Sejati (2009), perubahan senyawa kimia serotonin merupakan salah satu penyebab dari PMS. Serotonin merupakan suatu zat kimia yang diproduksi tubuh secara alami, yang dapat berguna untuk kualitas tidur yang normal (Lau, 2011). Hal ini dikarenakan, zat ini sangat mempengaruhi suasana hati seseorang yang berhubungan dengan gejala depresi, kecemasan, ketertarikan, kelelahan, perubahan pola makan, kesulitan untuk tidur, agresif dan peningkatan selera (Saryono dan Sejati, 2009).

Sedangkan endorfin merupakan senyawa kimia mirip opium yang dibuat di dalam tubuh yang terlibat dalam sensasi euphoria dan persepsi nyeri (Saryono dan Sejati, 2009). Namun, dikarenakan kadar endorfin di dalam darah berfluktuasi, tetapi tidak mencerminkan aktivitas di dalam otak, penjelasan keterkaitan endorfin dengan kejadian PMS ini belum memiliki cukup teori yang mendukung (Saryono dan Sejati, 2009).

Pernyataan terkait serotonin di atas diperkuat dengan hasil dari sebuah penelitian, yang menemukan bahwa SSRI (selective serotonin reuptake inhibitors) efektif dalam mengurangi gejala PMS, khususnya mual (Marjoribanks dkk., 2013). SSRI itu sendiri merupakan zat kimia yang mengandung serotonin, yang digunakan untuk terapi para


(39)

penderita PMS. SSRI dapat dikonsumsi baik pada fase luteal (pasca ovulasi) atau terus menerus (setiap hari). SSRI umumnya dianggap efektif untuk mengurangi gejala pramenstruasi namun dapat menyebabkan efek samping bila dikonsumsi secara berkelanjutan.

Untuk mengukur kadar serotonin di dalam tubuh, terdapat dua metode utama, yaitu metode konvensional dan metode positron emission tomography (PET) (Visser dkk., 2011). Metode konvensional merupakan metode yang invasif dan tidak langsung mengukur tingkat sintesis dari serotonin itu sendiri, namun metode ini dapat memberikan hasil pada tingkat turnover, seperti pengukuran melalui sampel darah. Sedangkan pengukuran PET adalah teknik non-invasif yang dapat melacak proses metabolisme dari serotonin tersebut, seperti dengan cara autoradiography.

3. FaktorGenetik

Genetik merupakan faktor yang memainkan peran penting pada kejadian PMS. Dimana, gen sangat erat kaitannya dengan insidens (kasus baru) PMS, yang biasanya terjadi dua kali lebih tinggi (93%) pada kembar satu telur (monozigot) dibanding kembar dua telur (44%) (Zaka dan Mahmood, 2012, Saryono dan Sejati, 2009). Hal ini dikarenakan faktor genetik ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan perubahan hormon dan serotonin di dalam tubuh. Penelitian terbaru pada perilaku manusia, telah meneliti peran genetik dalam etiologi dari PMS, dimana terdapat varian pada gen reseptor estrogen alpha yang dapat menyebabkan risiko kejadian PMS (Huo dkk., 2007). Di


(40)

samping itu, varian di promotor untuk gen serotonin transporter juga memiliki efek pada ekspresi serotonin 5-HT transporter molekul (Praschak-Rieder dkk., 2002). Varian promotor ini berhubungan dengan depresi dan gangguan afektif.

Faktor genetik dapat dilihat dari riwayat keluarga. Sebuah penelitian menemukan bahwa ada hubungan secara signifikan antara riwayat keluarga dengan PMS (Abdillah, 2010). Di samping itu, hasil penelitian Amjad, dkk (2014) juga menemukan bahwa terdapat hubungan antara riwayat ibu dan saudara kandung perempuan dengan kejadian PMS. Dimana seseorang yang memiliki ibu dan/atau saudara kandung perempuan yang mengalami PMS lebih banyak yang menderita PMS, dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki ibu dan/atau saudara kandung perempuan yang mengalami PMS (Amjad dkk., 2014). Namun, hal tersebut bertentangan pada penelitian lain yang tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan terhadap faktor gen pembawa PMS dengan kejadian PMS itu sendiri (Magnay dkk., 2006).

4. Faktor Psikologis

Faktor psikologis yang dimaksud adalah stres (Saryono dan Sejati, 2009). Stres inilah yang akan memperberat gangguan PMS (Saryono dan Sejati, 2009). Menurut sebuah teori, dikatakan bahwa seorang wanita akan lebih mudah menderita PMS apabila wanita tersebut lebih peka terhadap perubahan psikologis, khususnya stres (UMM, 2013).


(41)

Stres ini sebenarnya memiliki hubungan dengan hormon progesteron. Berdasarkan hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh Michel dan Bonnet (2014) pada marmut, ditemukan bahwa konsentrasi progesteron dapat menurun sebesar 50,9% setelah terjadinya stres (Michel dan Bonnet, 2014).

Penelitian lainnya ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan dengan PMS. Hubungan ini membentuk kecenderungan semakin tinggi tingkat kecemasan seseorang maka sindrom yang dialami seseorang juga akan semakin berat (Siyamti dan Pertiwi, 2011) Hasil yang sejalan juga dihasilkan oleh penelitian lainnya yang menemukan bahwa terdapat hubungan positif dengan korelasi yang sedang antara tingkat stres dengan kejadian PMS (Mayyane, 2011).

5. Faktor Gaya Hidup

Faktor gaya hidup yang berhubungan dengan PMS terdiri atas aktivitas fisik (Saryono dan Sejati, 2009, Lustyk dan Gerrish, 2010, Zaka dan Mahmood, 2012), pola tidur (Saryono dan Sejati, 2009, Shechter dan Boivin, 2010), asupan zat gizi mikro (Saryono dan Sejati, 2009), dan status gizi (Masho dkk., 2005). Berikut penjelasan dari masing-masing dari faktor tersebut:

a. Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi


(42)

(WHO, 2014b). Aktivitas fisik merupakan faktor yang dapat mengurangi rasa sakit akibat PMS, sehingga apabila aktivitas fisik rendah dapat meningkatkan keparahan dari PMS, seperti rasa tegang, emosi, dan depresi. Sebuah teori menyebutkan, dengan adanya aktivitas fisik akan meningkatkan produksi endorfin, menurunkan kadar estrogen dan hormon steroid lainnya, memperlancar transpor oksigen di otot, menurunkan kadar kortisol, dan meningkatkan perilaku psikologis (Harber dan Sutton, 1984). Hal ini juga diperkuat sebuah review, yang menyatakan bahwa melakukan aktivitas fisik merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kadar serotonin di otak (Young, 2007). Menurutnya serotonin ini sangat erat kaitannya dengan depresi dan perubahan

mood yang berujung pada masalah kesehatan.

Selain itu berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa aktivitas fisik secara signifikan dapat menurunkan resiko gejala PMS, seperti perubahan nafsu makan, hipersensitivitas emosi, dan sakit kepala (Sianipar, dkk., 2009, Kroll, 2010). Namun terdapat penelitian lain, yang mendapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan tingkat keluhan sindrom pramenstruasi (Aldira, 2014, Pujihastuti, 2012).

Menurut WHO (1985) modifikasi WNPG VIII (2004), terdapat 3 (tiga) kategori aktivitas fisik, yaitu (Dinkes, 2014):


(43)

1) Ringan, jika 75% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk atau berdiri dan 25% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang pekerjaannya;

2) Sedang jika 40% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk dan berdiri dan 60% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang pekerjaannya;

3) Berat, jika 25% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk dan berdiri dan 75% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang pekerjaannya.

b. Asupan Zat Mikro

Asupan zat mikro memiliki keterkaitan sendiri terhadap PMS. Menurut Saryono dan Sejati (2009), salah satu penyebab PMS adalah karena kurang asupan piridoksin (B6), kalisum (Ca), dan magnesium (Mg). Berikut ini merupakan penjelasan dari masing-masing zat mikro

1) Asupan Piridoksin (B6)

Piridoksin atau B6 merupakan bagian dari vitamin larut

air, yang wujudnya seperti kristal putih dan tidak berbau;

memiliki sifat yang tahan terhadap panas; serta tidak tahan

terhadap cahaya dan tidak stabil dalam larutan alkali (Almatsier,

2010). Piridoksin memiliki keterkaitan sendiri dengan kejadian

sindrom pramenstruasi. Menurut Saryono dan Sejati (2009)

salah satu penyebab PMS adalah karena kurang asupan piridoksin.


(44)

Hal ini dikarenakan piridoksin sangat penting dalam

pembentukan serotonin yang berkaitan dengan kejadian sindrom

pramenstruasi (Almatsier, 2010). Sehingga apabila tubuh

mengalami kekurangan piridoksin, akan terjadi gejala-gejala yang

berhubungan dengan metabolisme protein, seperti lemah, mudah

tersinggung, dan sukar tidur yang. merupakan gejala dari sindrom

pramenstruasi (Almatsier, 2010). Piridoksinjuga diketahui dapat

memperbaiki gejala-gejala gangguan mood dan perilaku yang berlangsung selama PMS, seperti kegelisahan, hidrasi,depresi, dan mual (Lustyk dan Gerrish, 2010). Di samping itu, berdasarkan hasil literature review, didapatkan juga bahwa dengan mengonsumsi suplemen 50-100 mg/hari piridoksin

dapat mencegah dan menurunkan risiko terjadinya PMS (Lustyk dan Gerrish, 2010).

Berikut merupakan angka kecukupan piridoksin untuk

perempuan usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun menurut AKG 2013 (Kemenkes, 2014):

Tabel 2.1 Angka Kecukupan Piridoksin (B6) Perempuan

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013

Untuk memenuhi asupan piridoksin di atas, dibutuhkan bahan makanan yang memiliki kandungan piridoksin tinggi.

Usia Asupan B6 (mg)

13-15 tahun 1,2

16-18 tahun 1,3

Rata-rata 1,25


(45)

Bahan makanan tersebut adalah kecambah gandum, hati, ginjal, serealia, kacang-kacangan, kentang dan pisang (Almatsier, 2010).

2) Asupan Kalsium (Ca)

Kalsium atau Ca merupakan mineral yang paling banyak

disimpan di dalam tubuh (± 1 kg), dengan distibusi 99% berada di

tulang dan gizi (Almatsier, 2010). Kalsium berfungsi dalam

mengatur fungsi sel (transmisi saraf, kontraksi otot, dan

penggumpulan darah), mengatur kerja hormon, dan faktor

pertumbuhan (Almatsier, 2010).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa kalsium berhubungan dengan kejadian PMS, sebab kalsium berperan dalam meringankan dan menekan resiko terjadinya PMS (Nurmalasari dkk., 2013). Di samping itu, berdasarkan hasil literature review, didapatkan juga bahwa dengan mengonsumsi suplemen 1200-1600 mg/hari kalsium dapat mencegah dan menurunkan risiko terjadinya PMS (Lustyk dan Gerrish, 2010).

Kemudian hasil penelitian yang dilakukan oleh

Thys-Jacobs (2000) diketahui bahwa kalsium merupakan salah satu

mineral yang terbukti secara signifikan menghasilkan 50%

pengurangan dari gejala sindrom pramenstruasi, seperti gangguan

mood dan perilaku yang berlangsung selama sindrom


(46)

juga memiliki keterkaitan dengan hormon, karena pada dasarnya hormon estrogen mempengaruhi metabolisme

kalsium, penyerapan kalsium dalam usus, dan memicu fluktuasi

siklus menstruasi (Thys-Jacobs, 2000). Perubahan kalsium di

dalam tubuh (hipokalsemia dan hiperkalsemia) telah lama dikaitkan dengan banyak gejala PMS, seperti depresi dan kecemasan. Hal ini dikarenakan kalsium juga memiliki efek

terhadap metabolisme dan regulasi serotonin (Thys-Jacobs, 2000).

Berikut merupakan angka kecukupan kalsium untuk

perempuan usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun menurut AKG 2013 (Kemenkes, 2014):

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Kalsium (Ca) Perempuan Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013

Untuk memenuhi asupan kalsium di atas, dibutuhkan bahan makanan yang memiliki kandungan kalsium tinggi.

Bahan makanan tersebut adalah susu dan hasil produksi susu, seperti keju dan yoghurt (Almatsier, 2010).

Usia Asupan Ca (mg)

13-15 tahun 1200

16-18 tahun 1100

Rata-rata 1150


(47)

3) Asupan Magnesium (Mg)

Magnesium atau Mg adalah kation nomor dua paling

banyak setelah natrium di dalam cairan interselular dan banyak

terlibat pada berbagai proses metabolisme (Almatsier, 2010).

Magnesium memegang peranan penting dalam > 300 jenis sistem

enzim di dalam tubuh, karena magnesium bertindak di dalam

semua sel jaringan lunak sebagai katalisator, termasuk

metabolisme zat gizi makro (Almatsier, 2010). Sehingga

magnesium sangat penting baik tubuh, seperti mengendorkan otot,

melemaskan saraf, dan mencegah kerusakan gigi (Almatsier,

2010).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa magnesium berhubungan dengan kejadian PMS, sebab

magnesium berperan dalam meringankan dan menekan resiko

terjadinya PMS (Nurmalasari dkk., 2013). Di samping itu, berdasarkan hasil literature review, didapatkan juga bahwa dengan mengonsumsi 400-800 mg/hari magnesium dapat

mencegah dan menurunkan risiko terjadinya PMS (Lustyk dan Gerrish, 2010). Magnesium juga memiliki keterkaitan dengan

hormon. Karena pada dasarnya hormon estrogen

mempengaruhi metabolisme magnesium (Thys-Jacobs, 2000).

Magnesium juga berfungsi dalam membantu relaksasi otot,


(48)

penenang ilmiah yang dibutuhkan oleh perempuan saat mengalami PMS (Lustyk dan Gerrish, 2010).

Berikut merupakan angka kecukupan magnesium untuk

perempuan usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun menurut AKG 2013 (Kemenkes, 2014):

Tabel 2.3 Angka Kecukupan Magnesium (Mg) Perempuan Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013

Untuk memenuhi asupan magnesium di atas,

dibutuhkan bahan makanan yang memiliki kandungan

magnesium tinggi. Bahan makanan tersebut adalah sayuran

hijau, serealia tumbuk,biji-bijian, dan kacang-kacangan (Almatsier, 2010).

4) Metode Pengukuran Asupan Zat Mikro

Dalam mengukur asupan zat mikro digunakan food recall 3x24 jam., sebab food recall yang dilakukan selama 3 hari dapat melihat kebiasaan asupan zat gizi seseorang (Gibson, 2005). Dalam metode food Recall, responden diwawancarai oleh enumerator yang telah terlatih dalam melakukan wawancara terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi responden selama 24 jam yang lalu (Gibson,

Usia Asupan Mg (mg)

13-15 tahun 220

16-18 tahun 310

Rata-rata 265


(49)

2005). Untuk meningkatkan keakuratan hasil dari food recall

ini, berikut beberapa hal yang dapat dilakukan (Gibson, 2005): a) Memberikan pelatihan kepada enumerator terkait estimasi

ukuran porsi sebelum recall dilakukan

b) Menyediakan alat makan, seperti mangkuk, piring dan gelas untuk membantu responden membayangkan jumlah makanan yang dikonsumsi

c) Menimbang ukuran porsi dari makanan yang dikonsumsi oleh responden.

Kemudian untuk memvalidasi food recall, digunakan

food record 3x24 jam. Dalam penggunaan food record,

responden melakukan pencatatan sendiri terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsinya selama periode yang ditentukan (Gibson, 2005).

c. Pola Tidur

Tidur merupakan keadaan hilangnya kesadaran secara normal dan periodik (Lanywati, 2008). Dengan tidur, maka akan dapat diperoleh kesempatan untuk beristirahat dan memulihkan kondisi tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis (Lanywati, 2008). Hal ini dikarenakan pusat saraf tidur yang terletak di otak akan mengatur fisiologis tidur yang sangat penting bagi kesehatan (Lanywati, 2008).


(50)

Tidur tidur merupakan salah satu faktor yang memiliki keterkaitan dengan PMS. Dimana pola tidur yang baik (tidur tanpa gangguan) ternyata dapat memperingan gejala PMS. Hal ini dikarenakan baik dan buruknya pola tidur akan mempengaruhi sekresi berbagai hormon yang ada di dalam tubuh (Shechter dan Boivin, 2010). Di samping itu menurut Baker, dkk (2007), meskipun pola tidur yang buruk merupakan salah satu gejala dari PMS yang parah, namun berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa pola tidur yang buruk akan meningkatkan keparahan dari gejala PMS yang dirasakan (Baker dkk., 2007).

Menurut penelitian yang dilakukan di Surabaya, diketahui bahwa prevalensi kejadian insomnia pada wanita yang sedang mengalami sindroma pramenstruasi lebih tinggi, yaitu sebesar 66,67% dari jumlah responden yang mengalami insomnia (Hapsari, 2010). Kemudian, dari hasil analisis data yang dilakukan ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan insomnia antara wanita yang mengalami sindroma pramenstruasi dan wanita yang tidak mengalami sindroma pramenstruasi. Di samping itu, penelitian yang serupa dengan menggunakan kuesioner PSQI, menemukan bahwa PMS memiliki hubungan dengan buruknya kualitas tidur (Cheng dkk., 2013, Karaman dkk., 2012).

d. Status Gizi

Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh adanya keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah


(51)

yang dibutuhkan (required) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis, seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas atau produktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya (Depkes, 2006). Status gizi ini memiliki peranan yang cukup penting pada tingkat keparahan kejadian PMS. Hal ini dikarenakan seseorang yang mengalami kegemukan atau obesitas dapat meningkatkan risiko terjadinya peradangan (inflamasi) yang berujung pada meningkatnya risiko mengalami gejala PMS (Bussell, 2014).

Berdasarkan sebuah penelitian, ditemukan bahwa obesitas memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kejadian PMS (Masho dkk., 2005). Sependapat dengan penelitian tersebut, penelitian lainnya juga mendapatkan bahwa teradapat hubungan yang kuat antara IMT pada awal dan risiko kejadian PMS, dengan setiap kenaikan 1 kg / m2 pada IMT , yang dikaitkan dengan peningkatan yang signifikan terhadap risiko PMS sebesar 3% (Johnson dkk., 2010). Sedangkan menurut Dickerson, dkk. (2003), pada wanita obesitas terjadi peningkatan kadar serotonin, yang berujung pada terjadinya gejala PMS.

Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian Aminah, dkk. (2011) yang juga diketahui bahwa terdapat hubungan antara status gizi menurut IMT dengan PMS, dimana siswi dengan status gizi tidak normal (obesitas, overweight iatau under weight) memiliki kemungkinan mengalami PMS 3,3 kali lebih besar dibandingkan dengan siswi yang memiliki status gizi normal. Namun, ada juga


(52)

penelitian lain yang menemukan bahwa ternyata tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian PMS pada remaja puteri (Munthe, 2013).

Pada remaja status gizi dilihat berdasarkan indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) dengan 5 (lima) kategori, yaitu (Kemenkes, 2011):

Tabel 2.4 Kategori Indeks Massa Tubuh Menurut Umur

Kategori Standar Deviasi

Sangat kurus < -3 SD

Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD

Normal -2 SD sampai dengan 1 SD

Gemuk > 1 SD sampai dengan 2 SD

Obesitas > 2 SD

6. Faktor Sosio-Demografi

Faktor sosio-demografi yang berhubungan dengan kejadian PMS adalah umur (Saryono dan Sejati, 2009, Amjad dkk., 2014), status perkawinan (Saryono dan Sejati, 2009, Amjad dkk., 2014), pernah atau tidak melahirkan (Saryono dan Sejati, 2009), pendidikan (Amjad dkk., 2014), pendapatan (Amjad dkk., 2014), usia menarche

(Amjad dkk., 2014), dan tempat tinggal (Amjad dkk., 2014). Berikut penjelasan masing-masing faktor:

a. Umur

Umur menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan kejadian PMS. Dimana PMS akan terjadi pada saat wanita berada pada usia subur hingga saat wanita mengalami menoupause.


(53)

Karena pada saat menopause, ovarium akan berhenti memproduksi hormon estrogen dan progesteron, sehingga siklus menstruasi berhenti (North American Menopause Society, 2010). Menurut Saryono dan Sejati (2009), seiring bertambahnya usia tingkat risiko kejadian PMS akan semakin bertambah, terutama antara usia 35-40 tahun. Pernyataan tersebut juga didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh UMM (2013), yang menyatakan bahwa kejadian PMS akan cenderung terjadi lebih parah pada wanita yang berada di akhir 20-an dan di awal 40-an.

Hal ini juga diperkuat dengan sebuah penelitian yang meneliti pada dua populasi, yaitu populasi wanita muda dan wanita setengah baya, bahwa gejala PMS lebih sering ditemukan pada wanita setengah baya (Brahmbhatt dkk., 2013). Meskipun hal ini tidak dapat secara jelas dipaparkan penyebabnya, namun hal ini mungkin dapat terjadi karena adanya konsumsi kontrasepsi hormonal dan kurangnya aktifitas fisik pada rentang usia tersebut (Brahmbahtt dkk., 2013).

Tetapi pernyataan di atas tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amjad, dkk. (2014) yang menemukan terdapat hubungan (P value < 0,05) antara usia wanita dengan PMS. Dari hasil penelitiannya, ditemukan bahwa wanita dengan rentang usia 15-24 tahun lebih banyak (64,67%) menderita PMS dibandingkan dengan wanita yang memiliki rentang usia 25-34 tahun (22,75%)


(54)

dan 35-45 tahun (12,57%). Namun terkait hal ini belum dapat dijelaskan secara pasti.

b. Status perkawinan

Saryono dan Sejati (2009) menjelaskan bahwa status perkawinan juga dapat meningkatkan risiko kejadian PMS. Menurutnya, wanita dengan kesulitan untuk menikah akan memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kejadian PMS. Hal ini sangat erat kaitannya dengan masalah psikologis yang dialami pada wanita tersebut.

Sejalan dengan Saryono dan Sejati (2009), hasil penelitian Amjad, dkk. (2014) menemukan bahwa status perkawinan memiliki hubungan (P value < 0,05) dengan kejadian PMS. Dari hasil tersebut diketahui bahwa wanita yang belum menikah lebih banyak yang mengalami PMS (59,88%) dibandingan dengan wanita yang sudah menikah (39,52%) dan wanita yang sudah menjanda (0,6%).

c. Pernah atau tidak melahirkan

Kejadian PMS akan semakin berat setelah melahirkan beberapa anak, terutama bila pernah mengalami kehamilan dengan komplikasi seperti toksima (pre-eklampsia) (Saryono, 2009).

d. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecepatan seseorang secara intelektual dan emosional (Notoatmodjo, 2007). Sejatinya pendidikan memiliki keterkaitan yang erat dengan


(55)

kejadian PMS. Dengan adanya tingkat pendidikan yang tinggi akan sejalan dengan tingginya pengetahuan terhadap kesehatan, khususnya dalam hal ini kejadian PMS, sehingga kejadian PMS dapat disikapi dengan lebih baik (Dewi, 2010).

Hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang menemukan bahwa sebanyak 52,6% responden yang memiliki pengetahuan baik, memberikan sikap positif dalam menghadapi PMS, sedangkan 92,9% responden yang memiliki pengetahuan kurang baik, memberikan sikap negatif dalam menghadapi PMS (Dewi, 2010). Dari hasil penelitian tersebut juga didapatkan bahwa terdapat hubungan (P value < 0,05) antar pengetahuan dengan sikap remaja dalam menghadapi PMS.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Amjad, dkk. (2014) menemukan bahwa terdapat hubungan (P value < 0,05) antara pendidikan dengan PMS. Dimana hasil tersebut menunjukan bahwa wanita dengan tingkat pendidikan yang tinggi, lebih banyak mengalami PMS dibandingan wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini mungkin berhubungan dengan tingkat stres yang dialami dari tuntutan urusan di bidang pendidikan (Amjad dkk., 2014).

e. Pendapatan

Pendapatan memiliki hubungan yang tidak langsung dengan kejadian PMS. Dimana besar kecilnya pendapatan dapat mempengaruhi kepuasaan seseorang terhadap hidup (Lustyk dan


(56)

Gerrish, 2010). Sehingga, apabila seseorang memiliki pendapatan yang cukup, tentunya risiko seseorang mengalami stres akan menurun. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Amjad, dkk. (2014) yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara kejadian PMS dengan pendapatan seseorang.

f. Usia menarche

Menarche adalah kata lain dari menstruasi pertama, yang biasanya di Indonesia terjadi pada usia ±12 tahun (Amaliah dkk., 2012) atau 13 tahun (Kemenkes, 2010). Sedangkan kategori usia

menarche dibagi menjadi 3, yaitu (Bagga dan Kulkarni, 2000): 1) Cepat, jika usia menarche ≤11 tahun.

2) Normal, jika usia menarche 12-13 tahun. 3) Lambat, jika usia menarche >13 tahun

Usia menarche juga merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan PMS. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aminah, dkk. (2011) diketahui bahwa terdapat hubungan (P

value < 0,05) antara usia menarche siswi dengan PMS. Menurut penelitian tersebut, siswi dengan usia menarche cepat (< 12 tahun) berisiko 2,3 kali lebih besar untuk menderita PMS dibandingkan dengan siswi yang mengalami menarche lebih lambat (Aminah dkk., 2011). Hal ini sejalan dengan penelitian Amjad, dkk. (2014) yang juga menemukan hal yang serupa.

Sebenarnya mekanisme antara usia menarche yang dikaitkan dengan PMS masih belum jelas (Amjad dkk., 2014).


(57)

Namun ada kemungkinan bahwa proses pematangan dari sisi fisiologi dan psikologis yang belum sepenuhnya sempurna pada awal fungsi ovariumlah yang mungkin bertanggung jawab atas hubungan tersebut (Aminah dkk., 2011, Amjad dkk., 2014).

Namun terdapat juga penelitian lain yang menemukan bahwa tidak ditemukannya hubungan antara usia menarche dengan gejala pra menstruasi dan gejala PMS (Padmavathi dkk., 2013, Silvia dkk., 2008), meskipun terlihat bahwa tingkat prevalensi gejala dan sindrom pramenstruasi lebih tinggi pada wanita usia yang pada menarche kurang dari 11 tahun (Silvia dkk, 2008).

g. Tempat Tinggal

Tempat tinggal juga merupakan faktor yang berhubungan dengan PMS. Tempat tinggal yang dimaksud adalah daerah rural (pedesaan) dan urban (perkotaan) (Amjad dkk., 2014). Amjad, dkk. (2014) menemukan bahwa terdapat hubungan (P value < 0,05) antara tempat tinggal dan PMS. Dimana menurut hasil peneitian tersebut, wanita yang tinggal di daerah perkotaan lebih banyak (85,62%) yang mengalami PMS, dibandingankan dengan wanita yang tinggal di daerah pedesaan (12,57). Hal ini sejalan dengan penelitian lainnya, yang menemukan bahwa remaja putri yang mengalami PMS lebih banyak ditemukan pada remaja putri yang tinggal di kota (70,3%), dibandingkan dengan remaja putri yang tinggal di desa (56,6%) (Emilia dkk., 2013, Ray dkk., 2010).


(58)

Kejadian PMS tersebut disebabkan karena adanya faktor stres pada siswi, dimana siswi yang tinggal di kota lebih banyak mengalami stres (Emilia dkk., 2013). Kehidupan yang penuh stres akan mempengaruhi dan memperparah gejala-gejala fisik maupun psikologis dari PMS (Emilia dkk., 2013).

E. Kerangka Teori

Saat ini penyebab dari sindrom pramenstruasi (PMS) belum diketahui secara pasti. Namun terdapat beberapa literatur yang menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbul dan parahnya gejala PMS. Menurut Saryono (2009), terdapat empat faktor umum yang menyebabkan PMS, yang meliputi, faktor genetik (riwayat keluarga (Amjad dkk., 2014)), faktor psikologis (stres), faktor gaya hidup (aktivitas fisik, asupan piridoksin, asupan kalsium, dan asupan magnesium, dan aktivitas fisik), faktor hormonal (kadar estrogen dan progestreron), dan faktor kimiawi (kadar serotonin dan endorfin).

Selanjutnya menurut Amjad, dkk. (2014), diketahui bahwa terdapat faktor lain, yaitu sosio-demografi yang dapat menyebabkan PMS, seperti umur, status perkawinan, pendidikan, pendapatan, usia menarche, dan tempat tinggal. Faktor sosio-demografi ditambah lagi dengan faktor pernah atau tidaknya melahirkan yang dikemukakan oleh Saryono dan Sejati (2009).


(59)

Kemudian Shecter dan Boivin (2010), menyatakan bahwa pola tidur dapat mempengaruhi sekresi hormon, yang berkaitan dengan kejadian PMS. Sedangkan penelitian Masho (2005) menyatakan bahwa status gizi yang dilihat dari indeks massa tubuh (IMT) juga dapat menjadi salah faktor yang menyebabkan PMS.

Adapun kerangka teori dari kelima literatur tersebut dapat terlihat pada bagan 2.1:


(60)

ba

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Sumber: 1. Saryono dan

Sejati (2009), 2. Masho, dkk (2005), 3. Shecter dan Boivini (2010), 4. Amjad, dkk. (2014)

Status gizi2

Faktor Genetik

Faktor Psikologis

Faktor Gaya Hidup

Aktifitas fisik1

Asupan piridoksin (B6)1

Pola tidur3

Asupan kalsium (Ca)1

Asupan magnesium (Mg)1

Stres1

Riwayat keluarga1,4

Faktor Hormonal

Peningkatan kadar hormon estrogen1

Penurunan kadar hormon progesteron1

Gejala sindrom pramenstruasi

Faktor Kimiawi

Perubahan kadar serotonin1

Defisiensi endorfin1

Kejadian sindrom pramenstruasi Faktor Sosio-Demografi

Umur1,4

Status perkawinan1,4

Pernah/ tidak melahirkan1

Pendidikan4

Pendapatan4

Usia menarche4

Tempat tinggal4

Keterangan: Perbedaan garis hanya untuk memudahkan dalam


(61)

42

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Pada penelitian ini terdapat dua variabel penelitian, yaitu variabel dependen yang meliputi kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) dan variabel independen yang meliputi usia menarche, riwayat keluarga, aktivitas fisik, asupan sumber piridoksin,asupan sumber kalsium, asupan magnesium, pola tidur, dan status gizi.

Peneliti tidak meneliti semua faktor yang ada. Beberapa faktor yang tidak diteliti adalah faktor karakteristik wanita (kecuali usia

menarche), faktor psikologis, dan faktor kimiawi. Faktor karakteristik wanita yang meliputi umur, pendapatan, pendidikan, status perkawinan, tempat tinggal, dan pernah atau tidaknya melahirkan tidak diteliti karena apabila faktor ini diteliti kemungkinan akan terjadinya kehomogenan data. Hal ini disebabkan objek penelitian ini adalah anak sekolah yang secara umum memiliki karakteristik yang sama. Kemudian faktor lainnya yang tidak diteliti meliputi faktor psikologis, faktor hormonal, dan kimiawi karena sudah banyak penelitian yang meneliti ketiga hal tersebut dan mendapatkan hasil yang sama, yaitu memiliki hubungan dengan kejadian PMS.


(1)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.775a

1 .183

Continuity Correctionb

1.188 1 .276

Likelihood Ratio 1.887 1 .170

Fisher's Exact Test .230 .137

Linear-by-Linear

Association 1.761 1 .185

N of Valid Cases 127

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.75. b. Computed only for a 2x2 table

Kategori pola tidur * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS

Total Tidak ada

gejala hingga ringan

Gejala sedang hingga berat

Kategori pola tidur Baik Count 36 8 44

% within Kategori pola tidur 81.8% 18.2% 100.0%

Buruk Count 50 33 83

% within Kategori pola tidur 60.2% 39.8% 100.0%

Total Count 86 41 127

% within Kategori pola tidur 67.7% 32.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 6.124a

1 .013

Continuity Correctionb 5.177 1 .023

Likelihood Ratio 6.483 1 .011

Fisher's Exact Test .017 .010

Linear-by-Linear

Association 6.076 1 .014

N of Valid Cases 127

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.20. b. Computed only for a 2x2 table


(2)

Status Gizi New * Kategori PMS Crosstabulation

Kategori PMS

Total Tidak ada

gejala hingga ringan

Gejala sedang hingga berat Status Gizi

New

Kurus Count 5 4 9

% within Status Gizi

New 55.6% 44.4% 100.0%

Normal Count 74 29 103

% within Status Gizi

New 71.8% 28.2% 100.0%

Gemuk Count 7 8 15

% within Status Gizi

New 46.7% 53.3% 100.0%

Total Count 86 41 127

% within Status Gizi

New 67.7% 32.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 4.452a 2 .108

Likelihood Ratio 4.220 2 .121

Linear-by-Linear Association .814 1 .367

N of Valid Cases 127

a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.91.

Duration of sleep * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS

Total Tidak ada

gejala hingga ringan

Gejala sedang hingga berat

Duration of sleep > 7 jam Count 38 14 52

% within Duration of sleep 73.1% 26.9% 100.0%

6-7 jam Count 20 12 32

% within Duration of sleep 62.5% 37.5% 100.0%

5-6 jam Count 19 11 30

% within Duration of sleep 63.3% 36.7% 100.0%

< 5 jam Count 9 4 13

% within Duration of sleep 69.2% 30.8% 100.0%

Total Count 86 41 127

% within Duration of sleep 67.7% 32.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.359a

3 .715

Likelihood Ratio 1.366 3 .714

Linear-by-Linear Association .466 1 .495

N of Valid Cases 127

a. 1 cells (12.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.20.


(3)

Sleep disturbance * Kategori PMS Crosstabulation

Kategori PMS

Total Tidak ada

gejala hingga ringan

Gejala sedang hingga berat Sleep

disturbance

Tdk pernah slm 1 bln terakhir

Count 5 2 7

% within Sleep

disturbance 71.4% 28.6% 100.0%

< 1 kali dlm seminggu Count 72 29 101

% within Sleep

disturbance 71.3% 28.7% 100.0%

1-2 kali dlm seminggu Count 9 8 17

% within Sleep

disturbance 52.9% 47.1% 100.0%

>= 3 kali dlm seminggu Count 0 2 2

% within Sleep

disturbance 0.0% 100.0% 100.0%

Total Count 86 41 127

% within Sleep

disturbance 67.7% 32.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 6.526a 3 .089

Likelihood Ratio 6.768 3 .080

Linear-by-Linear Association 4.475 1 .034

N of Valid Cases 127

a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .65.

Sleep latency * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS

Total Tidak ada gejala

hingga ringan

Gejala sedang hingga berat

Sleep latency <= 15 menit Count 20 5 25

% within Sleep latency 80.0% 20.0% 100.0%

16-30 menit Count 38 23 61

% within Sleep latency 62.3% 37.7% 100.0%

31-60 menit Count 26 8 34

% within Sleep latency 76.5% 23.5% 100.0%

> 60 menit Count 2 5 7

% within Sleep latency 28.6% 71.4% 100.0%

Total Count 86 41 127

% within Sleep latency 67.7% 32.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 8.644a 3 .034

Likelihood Ratio 8.429 3 .038

Linear-by-Linear Association 1.703 1 .192

N of Valid Cases 127


(4)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 7.820a 3 .050

Likelihood Ratio 8.135 3 .043

Linear-by-Linear Association 7.300 1 .007

N of Valid Cases 127

a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.26.

Sleep efficiency * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS

Total Tidak ada gejala

hingga ringan

Gejala sedang hingga berat

Sleep efficiency > 85 Count 68 30 98

% within Sleep efficiency 69.4% 30.6% 100.0%

75-84 Count 13 7 20

% within Sleep efficiency 65.0% 35.0% 100.0%

65-74 Count 3 2 5

% within Sleep efficiency 60.0% 40.0% 100.0%

< 65 Count 2 2 4

% within Sleep efficiency 50.0% 50.0% 100.0%

Total Count 86 41 127

% within Sleep efficiency 67.7% 32.3% 100.0%

Day disfunction due to sleep * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS

Total Tidak ada

gejala hingga ringan

Gejala sedang hingga berat Day disfunction due to

sleep

Skor 0 Count 6 1 7

% within Day disfunction due to sleep

85.7% 14.3% 100.0%

Skor 1-2 Count 34 8 42

% within Day disfunction due to sleep

81.0% 19.0% 100.0%

Skor 3-4 Count 34 21 55

% within Day disfunction due to sleep

61.8% 38.2% 100.0%

Skor 5-6 Count 12 11 23

% within Day disfunction due to sleep

52.2% 47.8% 100.0%

Total Count 86 41 127

% within Day disfunction due to sleep


(5)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square .903a 3 .825

Likelihood Ratio .861 3 .835

Linear-by-Linear Association .865 1 .352

N of Valid Cases 127

a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.29.

Overall sleep quality * Kategori PMS Crosstabulation Kategori PMS

Total Tidak ada

gejala hingga ringan

Gejala sedang hingga berat

Overall sleep quality Sangat baik Count 11 6 17

% within Overall sleep

quality 64.7% 35.3% 100.0%

Cukup Baik Count 57 14 71

% within Overall sleep

quality 80.3% 19.7% 100.0%

Cukup baik Count 17 20 37

% within Overall sleep

quality 45.9% 54.1% 100.0%

Sangat buruk Count 1 1 2

% within Overall sleep

quality 50.0% 50.0% 100.0%

Total Count 86 41 127

% within Overall sleep

quality 67.7% 32.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 13.507a

3 .004

Likelihood Ratio 13.367 3 .004

Linear-by-Linear Association 5.378 1 .020

N of Valid Cases 127

a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .65.


(6)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 3.253a 3 .354

Likelihood Ratio 3.048 3 .384

Linear-by-Linear Association 3.047 1 .081

N of Valid Cases 127

a. 5 cells (62.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.94.

Need meds to sleep * Kategori PMS Crosstabulation

Kategori PMS

Total Tidak ada

gejala hingga ringan

Gejala sedang hingga berat Need meds to

sleep

Tdk pernah slm 1 bln terakhir

Count 70 29 99

% within Need meds to

sleep 70.7% 29.3% 100.0%

< 1 kali dlm seminggu Count 10 5 15

% within Need meds to

sleep 66.7% 33.3% 100.0%

1-2 kali dlm seminggu Count 3 3 6

% within Need meds to

sleep 50.0% 50.0% 100.0%

>= 3 kali dlm seminggu Count 3 4 7

% within Need meds to

sleep 42.9% 57.1% 100.0%

Total Count 86 41 127

% within Need meds to