Karena pada saat menopause, ovarium akan berhenti memproduksi hormon estrogen dan progesteron, sehingga siklus menstruasi
berhenti North American Menopause Society, 2010. Menurut Saryono dan Sejati 2009, seiring bertambahnya usia tingkat risiko
kejadian PMS akan semakin bertambah, terutama antara usia 35-40 tahun. Pernyataan tersebut juga didukung oleh pernyataan yang
dikemukakan oleh UMM 2013, yang menyatakan bahwa kejadian PMS akan cenderung terjadi lebih parah pada wanita yang berada
di akhir 20-an dan di awal 40-an. Hal ini juga diperkuat dengan sebuah penelitian yang
meneliti pada dua populasi, yaitu populasi wanita muda dan wanita setengah baya, bahwa gejala PMS lebih sering ditemukan pada
wanita setengah baya Brahmbhatt dkk., 2013. Meskipun hal ini tidak dapat secara jelas dipaparkan penyebabnya, namun hal ini
mungkin dapat terjadi karena adanya konsumsi kontrasepsi hormonal dan kurangnya aktifitas fisik pada rentang usia tersebut
Brahmbahtt dkk., 2013. Tetapi pernyataan di atas tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Amjad, dkk. 2014 yang menemukan terdapat hubungan P value 0,05 antara usia wanita dengan PMS. Dari
hasil penelitiannya, ditemukan bahwa wanita dengan rentang usia 15-24 tahun lebih banyak 64,67 menderita PMS dibandingkan
dengan wanita yang memiliki rentang usia 25-34 tahun 22,75
dan 35-45 tahun 12,57. Namun terkait hal ini belum dapat dijelaskan secara pasti.
b. Status perkawinan
Saryono dan Sejati 2009 menjelaskan bahwa status perkawinan juga dapat meningkatkan risiko kejadian PMS.
Menurutnya, wanita dengan kesulitan untuk menikah akan memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kejadian PMS. Hal ini
sangat erat kaitannya dengan masalah psikologis yang dialami pada wanita tersebut.
Sejalan dengan Saryono dan Sejati 2009, hasil penelitian Amjad, dkk. 2014 menemukan bahwa status perkawinan
memiliki hubungan P value 0,05 dengan kejadian PMS. Dari hasil tersebut diketahui bahwa wanita yang belum menikah lebih
banyak yang mengalami PMS 59,88 dibandingan dengan wanita yang sudah menikah 39,52 dan wanita yang sudah
menjanda 0,6.
c. Pernah atau tidak melahirkan
Kejadian PMS akan semakin berat setelah melahirkan beberapa anak, terutama bila pernah mengalami kehamilan dengan
komplikasi seperti toksima pre-eklampsia Saryono, 2009. d.
Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecepatan seseorang secara intelektual dan emosional Notoatmodjo, 2007.
Sejatinya pendidikan memiliki keterkaitan yang erat dengan
kejadian PMS. Dengan adanya tingkat pendidikan yang tinggi akan sejalan dengan tingginya pengetahuan terhadap kesehatan,
khususnya dalam hal ini kejadian PMS, sehingga kejadian PMS dapat disikapi dengan lebih baik Dewi, 2010.
Hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang menemukan bahwa sebanyak 52,6 responden yang memiliki pengetahuan
baik, memberikan sikap positif dalam menghadapi PMS, sedangkan 92,9 responden yang memiliki pengetahuan kurang
baik, memberikan sikap negatif dalam menghadapi PMS Dewi, 2010. Dari hasil penelitian tersebut juga didapatkan bahwa
terdapat hubungan P value 0,05 antar pengetahuan dengan sikap remaja dalam menghadapi PMS.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Amjad, dkk. 2014 menemukan bahwa terdapat hubungan P value 0,05 antara
pendidikan dengan PMS. Dimana hasil tersebut menunjukan bahwa wanita dengan tingkat pendidikan yang tinggi, lebih banyak
mengalami PMS dibandingan wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini mungkin berhubungan dengan tingkat stres
yang dialami dari tuntutan urusan di bidang pendidikan Amjad dkk., 2014.
e. Pendapatan
Pendapatan memiliki hubungan yang tidak langsung dengan kejadian PMS. Dimana besar kecilnya pendapatan dapat
mempengaruhi kepuasaan seseorang terhadap hidup Lustyk dan