gejala PMS, seperti depresi, kecemasan, ketertarikan, kelelahan, perubahan pola makan, kesulitan tidur, agresif dan peningkatan selera
Saryono dan Sejati, 2009. Dari berbagai pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
riwayat keluarga merupakan faktor yang memiliki keterkaitan dengan kejadian PMS. Sayangnya faktor ini merupakan faktor yang tidak
dapat diubah, sehingga tidak dapat diintervensi. Sehingga hal yang perlu diperhatikan bagi siswi yang memiliki riwayat keluarga adalah
dengan lebih memberikan perhatian terhadap faktor lainnya yang berhubungan dengan kejadian PMS.
8. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi PMS pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi
WHO, 2014b. Aktivitas fisik tersebut meliputi seluruh kegiatan yang dilakukan setiap hari Caspersen dkk., 1985.
Berdasarkan hasil uji chi square, diperoleh nilai p = 0,375 0,05 , yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian
ditolak yaitu tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian PMS tabel 5.10. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Pujihastuti 2012 dan Aldira 2014 yang juga menemukan tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan PMS.
Walaupun hasil penelitian ini tidak menunjukan adanya hubungan, namun berdasarkan tabel distribusi frekuensi tabel 5.10
diketahui bahwa responden dengan aktivitas fisik ringan, sebanyak 34,4 mengalami PMS sedang hingga berat. Sedangkan responden
dengan aktivitas fisik sedang hingga berat, sebanyak 74,2 tidak mengalami hingga mengalami gejala ringan PMS. Hal ini bahwa
responden dengan aktivitas fisik ringan cenderung lebih banyak yang mengalami PMS sedang hingga berat dibandingkan dengan aktivitas
fisik sedang. Tidak adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian
PMS, dapat dikarenakan aktivitas fisik bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi PMS Aldira, 2014. Sepertinya halnya faktor riwayat
keluarga yang memainkan peranan penting pula terhadap perubahan serotonin Praschak-Rieder dkk., 2002 atau pun faktor psikologis
yang berhubungan dengan hormon progesteron Michel dan Bonnet, 2014. Sehingga apabila faktor yang lain terpenuhi, risiko PMS tetap
dapat diturunkan. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sianipar 2009,
Kroll 2010, dan Teixeira 2011 yang menemukan adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan PMS. Perbedaan ini mungkin disebabkan
adanya perbedaan dari metodologi yang digunakan antara penelitian ini dengan ketiga penelitian lainnya.
Penelitian Sianipar 2009 memiliki kriteria khusus dalam pengambilan sampel, seperti tidak boleh mengalami penyakit berat.
Sehingga dapat mempengaruhi hasil dari data aktivitas fisik, dimana seseorang yang memiliki penyakit berat akan cenderung memiliki
aktivitas fisik yang rendah. Penelitian Teixeira 2011 memiliki perbedaan dalam metode pengumpulan data aktivitas fisik, yaitu
menggunakan tiga bagian kuesioner aktivitas harian, latihan fisikolahraga, dan mobilitas, yang ketiganya dilihat berdasarkan
kebiasaan responden pada 12 bulan terakhir. Sedangkan penelitian Kroll 2010 menghitung aktivitas fisik berdasarkan recreational
physical activity. Sementara adanya kecenderungan yang terjadi, dikarenakan
aktivitas fisik merupakan faktor yang dapat mengurangi gejala PMS. Karena dengan adanya aktivitas fisik akan meningkatkan produksi
endorfin, menurunkan kadar estrogen dan hormon steroid lainnya, memperlancar transpor oksigen di otot, menurunkan kadar kortisol,
dan meningkatkan perilaku psikologis Harber dan Sutton, 1984. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian, yang menemukan bahwa melakukan
aktivitas fisik merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kadar serotonin di otak Young, 2007. Menurutnya serotonin ini sangat erat
kaitannya dengan depresi dan perubahan mood yang berujung pada masalah kesehatan.
9. Hubungan antara Asupan Piridoksin B
6
dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi PMS pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Piridoksin atau B
6
merupakan bagian dari vitamin larut air Almatsier, 2010. Piridoksin memiliki sifat fisik seperti kristal putih
dan tidak berbau Almatsier, 2010. Bila dilihat dari sifat kimianya,
piridokin memiliki sifat yang tahan terhadap panas, namun tidak tahan terhadap cahaya dan tidak stabil dalam larutan alkali Almatsier,
2010. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,234
0,05, yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian ditolak yaitu tidak ada hubungan antara asupan piridoksin dengan
kejadian PMS. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Septiani 2009, Pujihatuti 2012, dan Kusumatutik
2013. Meskipun asupan piridoksin tidak berhubungan dengan PMS,
tetapi berdasarkan tabel distribusi frekuensi tabel 5.11, dari 87 orang yang memiliki asupan piridoksin kurang terdapat 35,6 yang
mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat. Sedangkan dari 40 orang yang memiliki asupan piridoksin cukup, terdapat 25,0 yang
mengalami gejala sedang hingga berat. Hal ini terlihat bahwa cenderung siswi dengan asupan piridoksin kurang lebih banyak
mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat dibandingkan dengan siswi dengan asupan piridoksin cukup. Hal ini dikarenakan
piridoksin dapat memperbaiki gejala-gejala gangguan mood dan
perilaku pada PMS, seperti kegelisahan, hidrasi,dan depresi Lustyk dan Gerrish, 2010.
Penyebab tidak berhubungannya variabel ini mungkin disebabkan adanya faktor hormonal yang lebih dominan, yaitu
keseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron Kusumatutik,