terjadinya data pola konsumsi yang tidak menggambarkan kondisi sebenarnya.
3. Penggunaan recall untuk aktivitas fisik juga memiliki keterbatasan yang sama dengan recall pada asupan zat mikro. Hanya saja untuk
mengurangi keterbatasan tersebut, peneliti melakukan probing yang berguna agar responden dapat lebih mengingat dan merincikan
kegiatan yang dilakukannya selama 24 jam. 4. Pengolahan data konsumsi pangan dengan menggunakan software
memiliki kelemahan, karena tidak semua jenis bahan makanan yang dikonsumsi responden tersedia dan dapat dianalisis oleh program
tersebut. Oleh karena itu, untuk meminimalisir terjadinya bias, peneliti melakukan perhitungan kandungan zat gizi yang hampir sama dengan
makanan yang sejenis atau mencari sendiri nilai zat gizi pada sumber lain seperti daftar kandungan bahan makanan DKBM dan situs
web, sehingga hasil yang diperoleh dapat mendekati nilai gizi yang sebenarnya.
B. Analisis Univariat dan Bivariat
1. Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi PMS pada Siswi
SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Sindrom pramenstruasi atau PMS merupakan gangguan siklik umum dari wanita muda dan setengah baya yang ditandai dengan
gejala emosional dan fisik yang konsisten terjadi selama fase luteal pasca ovulasi dari siklus menstruasi Dickerson dkk., 2003.
Biasanya gejala ini terjadi pada rentang 1-2 minggu atau lebih tepatnya 7-10 hari sebelum terjadi menstruasi, dan akan berhenti saat
dimulainya siklus menstruasi NIH, 2014. Sindrom ini merupakan salah satu masalah yang sangat umum terjadi pada wanita, sehingga
PMS merupakan masalah kesehatan masyarakat Balaha dkk., 2010. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya PMS pernah dialami
hampir seluruh wanita di dunia. Dimana sebanyak 90 wanita mengalami setidaknya satu gejala PMS dalam beberapa siklus
menstruasi selama masa usia subur mereka Zaka dan Mahmood, 2012 dan 5-10 wanita mengalami gejala PMS yang bersifat sedang
sampai berat Freeman, 2007. Sedangkan di Indonesia dari 260 orang WUS, ditemukan sebanyak 95 wanita mengalami setidaknya satu
gejala PMS dan 3,9 wanita mengalami gejala PMS yang bersifat sedang sampai berat Emilia, 2008.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif yang terlihat pada grafik 5.1 diketahui bahwa jumlah siswi yang mengalami PMS dengan gejala
sedang hingga berat sebesar 32,2 41 orang. Bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, penelitian di Turki menemukan sebesar
31 remaja putri mengalami PMS tingkat sedang hingga berat Derman dkk, 2004. Hal ini berarti prevalensi kejadian PMS tingkat
sedang hingga berat pada penelitian ini, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian di Turki. Namun juga terdapat
penelitian lain pada siswi SMA di Tasikmalaya dan Bogor, yang
menemukan prevalensi yang jauh lebih besar, yaitu sebesar 58,7 dan 67,8 Nurmalasari dkk., 2013, Aldira, 2014.
Sedangkan bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan metode sama sPAF dalam menilai kejadian PMS,
diketahui bahwa prevalensi pada penelitian ini lebih besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan penelitian yang pernah dilakukan di
Purworejo dan Semarang yang masing-masing hanya menemukan sebesar 24,6 dan 3,2 remaja putri yang mengalami PMS tingkat
sedang hingga berat Tambing, 2012, Putri, 2013. Kemudian penelitian lainnya yang dilakukan oleh Prabowo juga hanya
menemukan sebesar 5,91 remaja putri yang mengalami PMS tingkat sedang hingga berat Prabowo dkk., 2013.
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis deskriptif juga diketahui bahwa nilai tengah skor PMS sebesar 27 poin tabel 5.1. Hal ini
menunjukan bahwa kejadian PMS pada siswi di SMA 112 Jakarta juga lebih parah dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Hal ini dapat
dibuktikan dengan hasil penelitian yang menemukan angka pemusatan skor PMS sebesar 24,7 poin dengan angka penyebaran 10-49 poin
Nurmiaty dkk., 2011. Tingginya kejadian PMS ini disebabkan karena masa remaja
merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Dimana masa remaja adalah masa dimana seseorang berada pada rentang usia
antara 10-19 tahun Depkes, 2006, WHO, 2014a. Pada masa inilah