Keunggulan Interpretative Phenomenology Analysis IPA dalam penyakit kronis

pendekatan fenomenologi interpretatif bertujuan untuk mengeksplorasi pandangan individu akan dunianya serta memahami perspektif pribadi tentang suatu pengalaman yang dialami, khususnya dalam penelitian ini mengenai pengalaman remaja thalassaemia mayor dalam menjalani proses pengobatan. Keunggulan pendekatan IPA dalam menguraikan pengalaman informantif individu inilah yang menjadi kekuatan peneliti untuk memahami secara lebih dekat pengalaman remaja dengan thalassaemia mayor saat menjalani proses pengobatan sekaligus menangkap gambaran proses mereka dalam menghadapi kondisi tersebut.

B. Keunggulan Interpretative Phenomenology Analysis IPA dalam penyakit kronis

Interpretative Phenomenology Analysis IPA bertujuan untuk menciptakan suatu dialog, mengeksplorasi pandangan individu akan dunianya serta memahami perspektif pribadi tentang suatu pengalaman yang dialami. Hal ini mengasumsikan individu sebagai seseorang yang mampu memaknai pengalamannya, yang berarti mereka secara aktif terlibat dalam memaknai suatu pengalaman, objek dan orang-orang yang ada di dalam hidupnya Conrad, 1987 dalam Smith, Flowers Osborn, 1997. Pendekatan IPA memungkinkan pula terjadinya refleksi-diri oleh informan Smith et al., 1997. Dasar pemikiran dari pendekatan ini memungkinkan informan untuk menceritakan kisah mereka sendiri, dalam kata-kata mereka sendiri, tentang pengalaman dalam menjalani proses pengobatan. Dalam konteks penyakit kronis, IPA berfokus pada cara individu menafsirkan, memahami, dan membicarakan isu-isu berkenaan dengan kesehatan dan penyakit Smith et al., 1997. Dengan demikian peneliti berusaha untuk memahami pengalaman sebagaimana yang dirasakan oleh informan dari sudut pandangnya. Paparan tersebut menggambarkan poin penting dasar penggunaan IPA dalam menelusuri pengalaman remaja dengan thalassaemia mayor dalam menjalani proses pengobatan. Penekanan atas hal tersebut dapat diberikan karena deskripsi objektif atas penyakit dan proses pengobatan berbeda dengan persepsi subjektif yang dirasakan oleh remaja dengan thalassaemia mayor. IPA dalam hal ini akan membantu menguraikan perbedaan tersebut. Ada alasan-alasan bagi peneliti untuk lebih memilih menggunakan perspektif IPA daripada perspektif lainnya. Hal ini mengacu pada tiga perspektif teoritik yang mendasari IPA, yakni fenomenologi, hermeneutika dan idiografik. Pertama, perlu diperhatikan bahwa fenomenologi pada IPA berbeda dengan perspektif fenomenologi-fenomenologi yang lain, misalnya fenomenologi yang digagas oleh Amedeo Giorgi, yang merupakan pendekatan psikologi fenomenologis tertua. Pendekatan Giorgi berusaha sedekat mungkin dengan metode fenomenologi milik Husserl. Perbedaan signifikan antara dua perspektif ini adalah bahwa IPA bersifat interpretatif, sedangkan fenomenologi Giorgi lebih bersikap deskriptif Smith, 2009. Kedua, prinsip hermeneutika membuat peniliti memiliki peran aktif untuk memaknai dunia personal informan. Informan mengartikan dunianya; kemudian peneliti mencoba untuk mengartikan kegiatan informan yang tengah mengartikan dunianya itu. Peneliti disini memiliki peran ganda, yakni adanya peran peneliti untuk memahami sesuatu seperti apa adanya dengan sudut pandang informan, sekaligus pada saat yang sama menjaga jarak dan bersikap kritis tehadap partisipan sebagai seorang peneliti. Kedua aspek ini mengarahkan peneliti kepada analisis yang lebih kaya dan lebih sesuai dengan totalitas seorang partisipan, dari segala sisi Smith, 2009 Ketiga, prinsip idiografik membuat peneliti untuk mensituasikan para informan dalam konteks khusus mereka dan mengeksplorasi perspektif personal mereka. IPA berusaha menangkap dan mengungkapkan pengalaman personal dari setiap individu. Dalam hal ini, peneliti IPA mencari informasi idiografik tentang individu-individu, bukan untuk mencari struktur umum fenomena yang diteliti Smith, 2009. Dari tiga perspektif yang ditunjukkan, dapat dilihat bahwa keunggulan IPA berada pada peran peneliti dalam penelitian. Berdasarkan prinsip fenomenologi IPA, peneliti berusaha untuk memahami partisipan dengan dunianya secara interpretatif. Peneliti memiliki hak untuk memberikan interpretasi atas makna yang disampaikan oleh informan hingga akhirnya melakukan proses struktualisasi atas makna-makna yang muncul dari pengalaman informan. Selain itu, tujuan idiografik dalam IPA memberikan analisis persamaan dan perbedaan antar kasus. Hal ini semakin memberi kekayaan pengalaman dari tiap-tiap informan. Keunggulan pendekatan IPA dalam menguraikan pengalaman subjektif individu juga menjadi kekuatan peneliti untuk memahami secara lebih dekat pengalaman remaja dengan thalassaemia mayor saat menjalani proses pengobatan sekaligus menangkap gambaran proses mereka dalam menghadapi kondisi tersebut. Hal ini berkenaan pula dengan upaya peneliti dalam memahami alasan utama yang mempengaruhi munculnya keengganan yang dirasakan oleh remaja thalassaemia mayor dalam menjalani proses pengobatan. Berikutnya, melalui aktivitas interpretatif yang dilakukan oleh peneliti, peneliti akan mendorong pengalaman tersebut untuk dimengerti dengan melakukan penerjemahan atasnya dengan suatu bentuk penyampaian yang baru. Peneliti percaya analisis interpretatif fenomenologis dapat memberi suatu sumbangan yang berarti dalam memperkaya cara psikologi memahami pengalaman individu dalam menghadapi suatu penyakit kronis, khususnya thalassaemia dalam studi ini.

C. Refleksivitas Peneliti