Kesadaran pribadi : usaha mengatasi keengganan terapi

penyuntikan desferal dan frekuensi penyuntikan yang berulang. Hal ini mendorong Dd 18 memiliki keinginan akan adanya perubahan prosedur penyuntikan desferal seperti dulu. Menurut Dd 18, awalnya penyuntikan desferal dilakukan dalam satu waktu setelah tranfusi langsung desferal sehingga proses penyuntikan hanya sekali saja, tidak seperti sekarang yang harus disuntik berulang kali. Dd 18 menegaskan jika proses penyuntikan desferal dilakukan seperti dulu lagi, ia bersedia untuk melakukan desferal. Selain itu, bila penyuntikan desferal diganti dengan Exjade, yang dikonsumsi secara oral, Dd 18 menyatakan mungkin saja dirinya akan lebih rajin berobat karena tidak akan merasakan sakit saat berobat. Meskipun Dd 18 mengalami pengalaman-pengalaman negatif seperti yang ia ceritakan, Dd 18 menganggap hal tersebut sudah menjadi risiko pengobatan berdasar pengalamannya.

d. Kesadaran pribadi : usaha mengatasi keengganan terapi

Dd 18 menyadari bahwa alasannya untuk tidak berobat disebabkan oleh dirinya sendiri yang tidak mau berusaha untuk minum obat. Menurutnya, selain motivasi dari dirinya sendiri, tak ada hal lain yang bisa menjadi pendorong dirinya untuk berobat karena orang lain hanya berperan sebagai orang yang mengingatkan. Dari sudut pandang Dd 18, semangat dan kesadaran diri ialah hal yang penting dalam mendorong dirinya untuk minum obat. Hanya saja, Dd 18 mengakui bahwa meskipun dirinya sadar akan kondisi tubuh yang harus diperjuangkan, berobat tetaplah sulit dilakukan atas dasar malas dan jenuh. Kejenuhan yang Dd 18 rasakan selama menjalani proses terapi mendorong adanya keengganan dalam menjalani proses terapi yang seharusnya dilakukan. Perasaan enggan yang dirasakan oleh Dd 18 pada akhirnya menjadi suatu bentuk pengabaian atas proses terapi. Dd 18 menegaskan bahwa ia tahu ia perlu mengonsumsi obat, tetapi rasa malas selalu menjadi penghalang untuknya. Rasa malas adalah hal lain yang membuat Dd 18 enggan berobat. Rasa malas menurut Dd 18 muncul dari situasi monoton yang membuatnya merasa capek dan bosan untuk terus melakukan proses terapi. Rasa malas telah menjadi perasaan dominan yang dirasakan selama menjalani proses pengobatan. Keengganan untuk minum obat dan rasa malas ini telah ia rasakan sejak SMP kelas 8, tepatnya sejak usia 15 atau 16 tahun karena tidak adanya perkembangan dari proses pengobatan. Selain kemalasan untuk desferal¸ bentuk pengabaian atas kondisi diri lainnya yang dilakukan oleh Dd 18 adalah tetap mengkonsumsi minuman bersoda hingga kekenyangan yang akhirnya menghambat dirinya untuk minum obat. Persoalan kesadaran tersebut secara tidak langsung menjadi dasar atas tindakan beresiko yang dilakukan oleh Dd 18 terkait aktivitas kegemarannya. Aktivitas yang dijalani Dd 18 ia pandang bukan yang melatarbelakangi kelalaiannya dalam minum obat. Dd 18 menyatakan bahwa dia tidak akan merasa lelah jika melakukan sesuatu yang ia suka, seperti bermain futsal.

e. Sikap membohongi diri sebagai alasan enggan terapi