Pengalaman proses terapi : berjuang hingga sekedar rutinitas Rasa sakit dan ketidakleluasaan beraktivitas

Dari sudut pandangnya, tujuan pengobatan dipahami sebagai usaha untuk menjaga kondisi badan tetap sehat —yang coba diraih dengan memenuhi pengobatan-pengobatan yang telah ditentukan. Pemahaman akan tujuan pengobatan ini sendiri merupakan konsekuensi logis dari adanya pengetahuan yang dimiliki Dd 18 mengenai obat yang harus dikonsumsi beserta tujuan dari obat tersebut, seperti Ferriprox, Exjade, Asam Folat , dan Vitamin E. Hal ini juga berkenaan dengan pemahaman Dd 18 atas perbedaan jenis pengobatan, sebagaimana yang ia tunjukkan terkait pemahaman akan tujuan dari penyuntikan desferal dan kesadaran bahwa penyuntikan desferal lebih efektif membuang zat besi dibandingan terapi oral, yaitu Ferriprox.

b. Pengalaman proses terapi : berjuang hingga sekedar rutinitas

Saat menyadari dirinya sebagai seorang penderita thalassaemia, Dd 18 menyatakan dirinya tidak bersedih hati. Ia tidak sedih karena menurutnya masih ada hal yang bisa ia perjuangkan dalam hidup, yaitu kondisi tubuhnya sendiri. Cara pandang ini mendorong Dd 18 untuk memaknai pengobatan sebagai upaya untuk menjaga kondisi tubuh. Proses pengobatan adalah sebuah harapan untuk terus hidup. Dengan berobat, Dd 18 dapat terus melanjutkan hidupnya. Pandangan bahwa tranfusi dan proses terapi yang dijalani sebagai suatu kewajiban, adalah suatu cara yang dilakukan Dd 18 untuk membuat dirinya mau berobat dan tidak lagi merasa malas. Dd 18 mengharapkan adanya perubahan kondisi fisik untuk menjadi lebih putih karena proses terapi yang dilakukannya selama ini. Namun, seiring dengan berjalannya pengobatan yang terus menerus, semenjak SMP Dd 18 mulai merasakan adanya kejenuhan. Pengobatan yang telah berlangsung sejak usia kecil membuat Dd 18 menganggap proses terapi sebagai suatu hal yang monoton. Dd 18 mengibaratkan proses pengobatan layaknya aktivitas sehari-hari yang sudah seharusnya dilakukan seperti mandi dan makan. Hal ini berkaitan pula dengan rentang proses pengobatan yang ia jalani mulai usia 9 bulan hingga masuk ke usia remaja kini. Proses terapi yang terus berulang inilah yang menimbulkan adanya pergeseran cara pandang Dd 18 yang awalnya bertekad memperjuangkan badannya saat usia SD menjadi bosan dan jenuh untuk menjalani proses terapi medis.

c. Rasa sakit dan ketidakleluasaan beraktivitas

Kejenuhan untuk menjalani proses pengobatan diiringi pula dengan pengalaman-pengalaman negatif terkait terapi medis yang dirasakan Dd 18. Ingatan mengenai rasa sakit atas penyuntikan merupakan memori masa kecil yang paling diingat oleh Dd 18 selama proses terapi. Alergi saat tranfusi yang menimbulkan bentol-bentol, demam dan rasa nyeri di tulang belakang, rasa sakit serta tangan yang membengkak bila pembuluh vena sulit di dapat saat mau disuntik adalah cerminan pengalaman negatif yang dirasakan Dd 18. Rasa sakit dan waktu yang cukup lama dalam proses penyuntikan desferal membuat aktivitas Dd 18 untuk mengerjakan PR dan berjalan- jalan menjadi terganggu. Ketidaknyamanan lain muncul dari rasa sakit atas penyuntikan desferal dan frekuensi penyuntikan yang berulang. Hal ini mendorong Dd 18 memiliki keinginan akan adanya perubahan prosedur penyuntikan desferal seperti dulu. Menurut Dd 18, awalnya penyuntikan desferal dilakukan dalam satu waktu setelah tranfusi langsung desferal sehingga proses penyuntikan hanya sekali saja, tidak seperti sekarang yang harus disuntik berulang kali. Dd 18 menegaskan jika proses penyuntikan desferal dilakukan seperti dulu lagi, ia bersedia untuk melakukan desferal. Selain itu, bila penyuntikan desferal diganti dengan Exjade, yang dikonsumsi secara oral, Dd 18 menyatakan mungkin saja dirinya akan lebih rajin berobat karena tidak akan merasakan sakit saat berobat. Meskipun Dd 18 mengalami pengalaman-pengalaman negatif seperti yang ia ceritakan, Dd 18 menganggap hal tersebut sudah menjadi risiko pengobatan berdasar pengalamannya.

d. Kesadaran pribadi : usaha mengatasi keengganan terapi