sembuh demi bisa terus sehat dan bisa berkumpul bersama orang-orang yang ia sayangi.
f. Rasa malas dan aktivitas kerja sebagai penghambat
Meski Nn 20 memiliki keinginan yang kuat untuk sembuh, ia menyadari dirinya masih seringkali tidak menjalani proses terapi secara
maksimal. Ia sadar bahwa ia lumayan rajin transfusi tetapi malas melakukan desferal dan minum obat. Rasa malas adalah dorongan
emosional yang tak terelakkan dan menjadi penghambat proses pengobatan yang Nn 20 lakukan. Nn 20 mengakui bila ia sudah
terserang rasa malas ia akan cenderung malas berobat terutama bila suntik desferal karena ketidakleluasaan yang dirasakan. Nn 20 juga menyatakan
dirinya sendiri bingung mengapa ia seringkali malas padahal ia sadar berobat juga untuk kebaikan dirinya sendiri. Tak hanya rasa malas yang
dominan, Nn 20 menyatakan faktor lain yang menghambatnya untuk berobat seperti lupa. Nn 20 menjelaskan bahwa dirinya seorang pelupa.
Padahal ia menyatakan bahwa sebenarnya selama kerja ia pun selalu membawa obat dalam saku celana, hanya saja ia seringkali lupa untuk
meminumnya. Selain itu, banyaknya dosis salah satu jenis obat tertentu menjadi salah satu alasan yang membuatnya sering lupa minum obat. Tak
hanya itu, ia mengakui ia selalu membawa obat tetapi malas minum obat karena minder dan takut dilihat oleh teman sebaya. Ia menyadari bahwa ia
seringkali lupa bila sedang pergi ke luar tetapi selalu rajin dan ingat bila di rumah.
Hal lain yang menghambat Nn 20 untuk menjalani pengobatan yakni padatnya aktivitas kerja. Nn 20 bekerja sebagai seorang admin dan
mulai bekerja dari pagi hari hingga sore hari setiap harinya. Hal itu membuat Nn 20 tidak memiliki waktu untuk berobat. Selain tidak adanya
waktu luang, ia juga merasa tidak enak hati pada atasan dan rekan kerjanya bila ia harus seringkali izin meminta waktu untuk tranfusi darah.
g. Kepasrahan dan keinginan menjadi orang pada umumnya
Ada kalanya sakit yang diderita Nn 20 membuatnya pasrah menerima keadaan. Seperti ketika ia harus menuruti anjuran ibunya yang
memintanya untuk tidak lagi menari supaya tidak kelelahan. Nn 20 sendiri menyatakan keinginannya untuk kembali terjun ke dunia tari tapi ia
pasrah atas kondisi dirinya karena tidak lagi memungkinkan dan menganggapnya sebagai jalan dari Tuhan. Di sisi lain, ia juga menerima
kondisinya sebagai penderita Thallassaemia meski merasa sedih. Nn 20 merasa bahwa ia tidak bisa melakukan apapun untuk mengubah
kondisinya. Selain itu, ia beranggapan tidak semua orang yang sehat itu sempurna dan tidak pernah sakit.
Perasaan ingin seperti orang pada umumnya yang sehat dan bebas melakukan apa saja dan tak perlu khawatir akan kelelahan adalah hal yang
dominan dirasakan Nn 20 terkait penyakitnya. Keinginan untuk menjadi orang normal inilah yang membuat Nn 20 pada akhirnya malas berobat.
Nn 20 ingin merasakan apa yang dirasakan orang yang tidak punya penyakit dengan tidak mengonsumsi obat seperti layaknya orang sehat.
Menurutnya, dengan mengkonsumsi obat pun dirinya tidak akan bisa sembuh. Dengan tidak mengonsumsi obat, Nn 20 menganggap dirinya
tidak sakit sehingga dapat terlihat seperti orang yang sehat. Ia memandang orang normal adalah orang yang bebas melakukan apa saja yang disukai,
tidak perlu transfusi, tidak tergantung pada obat, dan orang yang meski sakit pun, sakit yang dialami mereka tidak setiap saat seperti yang dia
alami. Perasaan ini juga didorong oleh adanya keinginan Nn 20 untuk tidak terlihat sakit di hadapan orang lain. Ia sendiri sebenarnya tahu bahwa
pandangan ini tidak hanya karena ia membawa dan mengonsumsi obat, tapi juga karena pengalamannya yang merasa dianggap sebagai orang yang
sakit karena sering tidak masuk sekolah.
h. Ibu : pendorong proses terapi