Keengganan dalam Proses Terapi

terapi yang sebelumnya ia terima tanpa banyak kesulitan Michaud, Suris Viner, 2007. Demi menunjukkan dirinya yang normal, remaja dengan penyakit kronis mencoba untuk menghadapi berbagai keterbatasan yang diberikan oleh penyakit, yang terkadang mengarah pada sikap menolak proses terapi Taylor, et al., 2008.

D. Keengganan dalam Proses Terapi

1. Keengganan proses terapi Non-compliant Behaviour Individu dengan penyakit kronis akan menemui suatu “proses yang terus berlanjut serta terus bergeser dimana individu akan mengalami suatu interaksi dua arah antara dirinya dan dunianya” Paterson, 2001 dalam Kralik, Telford, Koch, 2005. Lebih lanjut, melalui proses ini, individu akan merasakan adanya pergeseran perspektif dan cara mereka memaknai segala pengalamannya. Pergeseran ini bersifat dinamis, bisa berujung pada dua titik: pentingnya menjalani dan mempertahankan hidup atau jenuh terhadap proses berulang serta menyerah untuk berjuang. Pengalaman proses terapi yang terus berulang menghadirkan kejenuhan dan perasaan tidak lagi ingin melakukan terapi. Kejenuhan ini menjadi landasaan dari munculnya perasaan enggan untuk menjalani satu-satunya cara bertahan hidup mereka dengan penyakit kronis, yakni proses terapi. Berbagai usaha tentunya telah dilakukan oleh para individu dengan penyakit kronis untuk menyesuaikan diri dengan kondisi mereka yang baru, yakni dengan penyakit kronis. Namun, hal tersebut tidak menghindarkan mereka dari situasi kejenuhan yang dirasakan dan mengarahkannya pada pilihan untuk tidak menjalani proses terapi. Secara konseptual, sikap yang ditunjukkan oleh individu dengan penyakit kronis seringkali dilihat sebagai “non-compliance behaviour” NCB. Non-compliance behaviour dapat dimengerti sebagai “sejauh mana perilaku seseorang memiliki ketepatan dengan nasihat medis” Sacket, 1976 dalam Kyngas, Hentinen, Barlow, 1998. Kelebihan sudut pandang ini, kepatuhan dan ketidakpatuhan dipandang sebagai sebuah usaha aktif sekaligus proses perawatan yang bertanggung jawab, di mana pasien bekerja untuk menjaga kesehatan mereka dengan bekerjasama dengan para ahli kesehatan. Pasien disini bukan hanya mengikuti aturan yang ditata oleh ahli kesehatan, melainkan menunjukkan komitmen aktif untuk peduli secara aktif tentang kesehatannya Hentinen, 1988 dalam Kyngas, et al., 1998. Hal ini menjadi pembeda utama dengan konsep yang terkadang sering dipertukarkan dengan istilah non-compliance behaviour, yakni non-adherence. NCB menghadirkan pergeseran dari sebuah pendekatan otoriter yang lebih tradisional menjadi sebuah kemitraan kolaboratif antara pasien dan dokter yang didasarkan pada tujuan yang saling menguntungkan sekaligus memberikan pemahaman bersama terkait masalah dan solusi yang potensial. NCB memunculkan sebuah model yang saat ini banyak digunakan yang disertai pengambilan keputusan bersama, di mana dokter dan pasien, setelah diskusi, bersepakat atas masalah mendasar yang dihadapi dan menawarkan jalan menuju penanggulangan Kleinsinger, 2010. Dengan perspektif ini, suatu keengganan yang muncul dalam proses terapi individu dengan penyakit kronis tidak serta merta dapat melimpahkan kesalahan pada individu yang dianggap enggan. Penekanan ini dikarenakan adanya fokus pada keputusan bersama. Di sisi lain, NCB menjadi penting untuk dilihat lebih lanjut karena merupakan salah satu penyebab paling umum dari kegagalan pengobatan untuk kondisi kronis, meskipun hal ini tidak secara luas atau secara konsisten diakui Kleinsinger, 2010. Menggunakan NCB sebagai bingkai melihat keengganan ini menjadi penting karena kepatuhan yang buruk adalah penyebab utama kegagalan pengobatan Michaud, et al., 2007. Penelitian lain mengindikasikan keengganan paling banyak terjadi di masa remaja. Masa remaja menjadi periode kritis terhadap kepatuhan menjalani terapi karena adanya transisi tanggung jawab atas proses terapi dari orangtua kepada dirinya sendiri Pai Ostendorf, 2011; Kyngas, et al., 1998. Masalah ini sangat penting karena selama periode kehidupan mereka, remaja membingkai cara mereka bersikap terhadap pengobatan dan tindakan medis umum Michaud, et al., 2007. Secara implisit, ini mencerminkan adanya otonomi atas keputusan dalam menjalani terapi yang dipegang oleh remaja berpenyakit kronis. Dengan menaruh perhatian pada hal tersebut, bisa dilihat bahwa konsepsi tentang keputusan bersama dalam NCB dapat merangkai fenomena keengganan yang terjadi pada masa remaja secara komprehensif. Keengganan yang dirasakan oleh remaja dengan penyakit kronis tidak semata dibebankan kepadanya, melainkan juga terletak pada proses interaksi antara ahli kesehatan dengan remaja dalam proses terapi. Memahami ini sebagai fenomena umum, dan menyadari kemungkinan yang akan terjadi dalam situasi klinis tertentu, adalah langkah pertama untuk mengatasi masalah ini. 2. Ketidakteraturan terapi pada penderita thalassaemia mayor Rutinitas setiap individu thalassaemia mayor dalam menjalani proses terapi bergantung pada kondisi fisik masing-masing penderita seperti: usia, berat badan, kadar zat besi dan haemoglobin. Namun, setidaknya secara garis besar, mengikuti paparan Gandi 2007, rutinitas proses pengobatan yang harus mereka jalani dapat dijabarkan sebagai berikut. 1. Tranfusi Darah Tranfusi darah dilakukan sesuai dengan kondisi fisik masing-masing penderita Berdasarkan fungsinya, tranfusi darah ini dilakukan untuk meningkatkan kadar haemoglobin dalam tubuh agar penderita dapat bertahan hidup. Secara umum, tranfusi darah ini dilakukan setiap satu bulan sekali. Namun, bila kadar haemoglobin penderita kembali rendah, maka tranfusi darah perlu untuk dilakukan lagi. Untuk itu, adapula pemberian tranfusi yang diberikan lebih dari satu kali setiap bulannya, yakni setiap 2 sampai 5 minggu sekali seumur hidupnya untuk mempertahankan kadar hemoglobin normal lebih dari 12gdl sampai 15gdl. 2. Terapi kelasi : a. Terapi kelasi oral Secara umum, terapi kelasi yang dilakukan secara oral terdiri dari dua jenis yaitu ferriprox atau exjade. Dosis yang diberikan untuk setiap obatnya sangat bergantung pada kondisi fisik masing-masing penderita. Pada umumnya, ferriprox diminum 3 kali sehari. Untuk exjade, jenis ini lebih praktis karena hanya diminum sekali sehari. b. Terapi kelasi desferal Idealnya terapi kelasi jenis injeksi suntikan desferal diberikan lima hari dalam seminggu di sepanjang hidup penderita. Biasanya desferal digunakan selama 8-12 jam setiap kali selama minimal 5 hari per minggu. Paparan di atas menunjukkan kondisi ideal yang setidaknya perlu dipenuhi oleh individu dengan thalassaemia mayor untuk mencegah kondisi fisiknya memburuk. Dengan begitu, kita dapat membedakan individu yang secara umum rajin atau kurang rajin menjalani proses pengobatan berdasarkan jumlah ideal proses terapi yang seharusnya dilakukan oleh penderita dengan proses terapi yang biasanya mereka lakukan.

E. Pencarian makna hidup menurut Frankl