Point of View 1. Setting Novel

Namun terkait dengan dengan setting sosial budaya masyarakat dalam novel PBS dan Pintu ada kemipripan atau kesamaan yang signifikan. Hal itu terlihat salah satu tokoh dalam Lek Khudhori seorang yang belajar diluar negeri. Begitu juga dengan Bowo tokoh utama Pintu yang kuliah di Amerika. Kedua tokoh tersebut memberikan warna kehidupan yang unik dalam novel. Lek Khudori setelah pulang dari Berlin, dan juga kairo telah menularkan ilmunya kepada para mahasiswa dan juga pondok pesantren. Sedangkan Bowo dalam novel tersebut digambarkan orang yang kehilangan kendali karena selalu melakukan kejahatan dan free sex. Sehingga dapat dikatakan meskipun sama-sama mengenyam pindikan luar negeri atau barat ternyata seseorang mengalami orientasi hidup yang berbeda. Hal lain dalam novel ini juga sama-sama mengangkat kultur Jawa yang dominan. Dalam PBS menyajikan kultur Jawa dalam Pesantren akan tetapi dalam Pintu lebih mengarah pada kultur jawa yang penuh dengan mistik, kesaktian, dan juga ruh serta ilmu gaib. Secara intekstualitas setting kehidupan novel PBS dan Pintu ada kesamaan yaitu keduanya menggabungkan antara sosial budaya jawa dengan kehidupan barat. Novel Pintu lebih detail mengulas setiing budaya, dan tempat tentang kultur Indonesia Jawa dan juga kultur Amerika barat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel Pintu merupakan hipogram dari PBS bila kita tinjau dari sisi setting sosial budaya.

e. Point of View 1.

Point of View Novel PBS Sudut pandang atau point of view , mengacu pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ini merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi atau novel kepada pembaca. Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi, memang milik pengarang, pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun semua itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kaca mata tokoh. Sudut pandang pengarang dalam novel PBS, menggunakan sudut pandang orang pertama. Sudut pandang ini pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan sebutan kata aku. Disamping itu, pengarang dalam menampilkan tokoh cerita juga menyebut nama, atau panggilannya. Sudut pandang yang paling dominan atau menonjol dalam novel PBS dengan cara di atas. Hal itu terlihat pada kutipan berikut: Sejak aku terlahir ke dunia, kata ibuku, Hajjah Mutmainah, aku selalu digadang dan diharapkan agar kelak dapat menggantikan posisi bapak. Tetapi, dalam benakku, harapan itu tak pernah muncul sebagai cita-cita. Sepertinya, aku lebih suka untuk bersekolah dan mencari ilmu yang lebih luas dari kompleks pondok kami, juga lebih tinggi dari ilmu yang diperoleh para santri yang paling tua sekalipun.Pondok kami memang bukan pondok besar sebagaimana pondok pesantren Bahrul ulum Tambakberas atau Tebuireng. Abidah El Khalieqy, 2001: 51-52. Berbeda dengan Wildan yang pendiam dan banyak merenung, ia hanya mengangguk dan banyak mengerakkan tangannya yang menunjukkan tidak setuju. Abidah El Khalieqy, 2001: 9. Didukung lek Khudhori yang mendapat cuti selama setahun setamat mondok di Gontor untuk mempersiapkan beasiswanya di Al-Azhar, Kairo, aku habiskan seluruh jam mainku untuk latihan naik kuda, mendengar kisah para istri nabi dalam al qur’an, para ratu yang terlupakan dan kisah-kisah perempuan sufi dai mulut lek Khudhori. Abidah El Khalieqy, 2001: 25. 2. Point of View Novel Pintu Sudut pandang atau point of view , mengacu pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ini merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi atau novel kepada pembaca. Dengan demikian sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi, memang milik pengarang, pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun semua itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kaca mata tokoh. Sudut pandang pengarang dalam novel Pintu, menggunakan sudut pandang orang pertama. Sudut pandang ini pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan sebutan kata aku. Disamping itu, pengarang dalam menampilkan tokoh cerita juga menyebut nama, atau panggilannya. Sudut pandang yang paling dominan atau menonjol dalam novel Pintu dengan cara di atas. Hal itu terlihat pada kutipan berikut: Itulah pesan Eyang putri atau Yangti yang dibisikkan ke telingaku saat aku bersujud di hadapannya. Yangti memang pandai nembang dan hapal banyak kinanthi. Fira Basuki, 2002: 1. June datang ke Amerika bulan juni 1990, begitu ia lulus SMA. Ia berkukuh ingin tinggal Mandiri, karena itu ia menolak kuliah di Chicago denganku. Fira Basuki, 2002: 67. Cuma pacaran dengan Aida nyaris mustahil. Pertama karena dia tinggal di Bandung, kedua karena dalam seminggu di Bandung Kutahu dari teman-teman kalau kakaknya, Aini, ternyata naksir aku. Lebih lanjut, Aida sepertinya selalu memusuhi aku dan tidak suka padaku. Sempat aku bertandang ke rumahnya di daerah Sangkuriang, yang kudapatkan hanyalah obrolan dan keramahtamahan dari Aini, sedangkan ia sendiri konon memilih tinggal di kamarnya mendengarkan musik. Fira Basuki, 2002: 3. “ Nyuwun duko, Ma, Pa,” kataku sambil bersujud dihadapan mereka.” “Mama-Papa tahu kamu nggak mungkin ‘mbunuh orang, ya ‘kan Bowo?” tanya mama miris. Fira Basuki, 2002: 51. Namun terkait dengan dengan setting sosial budaya masyarakat dalam novel PBS dan Pintu ada kemiripan atau kesamaan yang signifikan. Hal itu terlihat salah satu tokoh dalam Lek Khudhori seorang yang belajar diluar negeri. Begitu juga dengan Bowo tokoh utama Pintu yang kuliah di Amerika. Kedua tokoh tersebut memberikan warna kehidupan yang unik dalam novel. Lek Khudori setelah pulang dari Berlin, dan juga kairo telah menularkan ilmunya kepada para mahasiswa dan juga pondok pesantren. Sedangkan Bowo dalam novel tersebut digambarkan orang yang kehilangan kendali karena selalu melakukan kejahatan dan free sex. Sehingga dapat dikatakan meskipun sama-sama mengenyam pindikan luar negeri atau barat ternyata seseorang mengalami orientasi hidup yang berbeda. Hal lain dalam novel ini juga sama-sama mengangkat kultur Jawa yang dominan. Dalam PBS menyajikan kultur Jawa dalam pesantren akan tetapi dalam Pintu lebih mengarah pada kultur Jawa yang penuh dengan mistik, kesaktian, dan juga ruh serta ilmu gaib. Secara intekstualitas setting kehidupan novel PBS dan Pintu ada kesamaan yaitu keduanya menggabungkan antara sosial budaya Jawa dengan kehidupan Barat. Novel Pintu lebih detail mengulas setiing budaya, dan tempat tentang kultur Indonesia Jawa dan juga kultur Amerika Barat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel Pintu merupakan hipogram dari PBS bila kita tinjau dari sisi setting sosial budaya.

3. Persamaan dan Perbedaan Unsur-unsur Struktur Novel