.....Tidak seperti Wildan dan Rizal, yang bebas keluyuran dalam kuasanya, main bola main layang-layang, sementara aku disekap di dapur untuk mencuci kotoran
mereka, mengiris bawang hingga mataku pedas demi kelezatan dan kenyamanan perut mereka. Abidah El Khalieqy, 2001: 44.
2.
Nilai Pendidikan Kemanusiaan dalam Novel
Pintu
Tokoh Aku bowo adalah sosok orang yang peduli terhadap derajat kemanusiaan orang lain, baik itu yang dikenal atau tidak. Hal itu terlihat saat kematian
paris yang menghebohkan. Tokoh aku mengutuk kebiadaban tersebut. Hal itu terlihat pada kutipan berikut:
Rasanya baru kemarin Paris meracau aneh. Kini Paris tiada, meninggal mengenaskan ditangan suami. Aku mengutuk diri. Mengapa baru kini suami
ditangkap polisi? Laki-laki macam apa aku ini membiarkan Paris terkunkung bahaya Fira Basuki, 2002: 131.
Tokoh Bowo juga sosok yang memiliki pribadi yang sederhana. Ia tidak silau meskipun ia keturunan priyayi dan memiliki mata ketiga bisa melihat alam gaib. Hal
itu terlihat dengan jelas pada kutipan berikut: Martabat. Apa arti sebuah darah priyayi, mata ketiga, dan martabat? Banyak.
Untuk keluargaku, untuk diriku sendiri. Hal ini yang membuatku insyaf. Seharusnya, selain dosa, aku takut hal lain: penyakit kelamin. Untungnya aku
selamat dari AIDS. Fira Basuki, 2002: 144.
d. Nilai Pendidikan ReligiusAgama
Nilai religius dapat dikatakan nilai dasar kemanusiaan yang berkaitan dengan ketuhanan secara umum dan diakui oleh semua pemeluk agama. Dicontohkan lagu
”Tuhan” karya Bimbo, semua pemeluk agama mengatakan bahwa lagu itu mempunyai
nilai religius. Dan Mangunwijaya mengatakan bahwa karya sastra yang baik itu religius. 1.
Nilai Pendidikan ReligiusAgama dalam Novel
PBS
Dengan sikap hormat dan tawadu’ kepada orang tua khususnya Ibu tokoh Nisa selalu mendengarkan nasihat-nasihat agama yang dapat dijadikan pemahaman dalam
menjalani kehidupan dan menjawab permasalahan-permasalahn hidup. Ia mendapatkan
nasihat tentang kekuasaan Allah yang Maha agung. Hal itu bisa dilihat pada kutipan berikut:
“Anakku, Nisa. Didunia ini, semua yang diciptakan oleh Allah, apa saja jenis kelaminnya, baik laki-laki mapun perempuan, semuanya sama baiknya, sama
bagusnya, sama enaknya. Sebab Allah juga memberikan kenikmatan yang sama pada keduanya. Tinggal bagaimana kita mensyukurinya. Jadi laki-laki, enak.
Jadi perempuan juga enak. Abidah El Khalieqy, 2001: 15.
Tidak itu saja sosok Nisa sebagai tokoh utama dalam novel ini juga memiliki semangat yang tinggi untuk belajar khususnya belajar ilmu agama. Ia selalu belajar
kepada siapa saja termasuk kepada Mbak May untuk mengajari baca qira’ah. Hal itu terlihat pada kutipan berikut:
Dengan berbisik ditelinga Mbak May, agar tidak didengar oleh orang lain, kuucapkan keinginan secara pelan dan spontan.
“Mbak....maukah Mbak May, mengajariku qira’ah?” “Mengapa tidak? Jika Nisa mau, Nisa bisa datang ke kamar Mbak May setiap
sore menjelang magrib.” Abidah El Khalieqy, 2001: 17.
Sebagai anak seorang pemilik pesantren Nisa telah didik untuk belajar agama. Sehingga tak mengherankan kalau Nisa sudah menyelesaikan tiga puluh juz Al qur’an
yang ia pelajari. Oleh karena itu, ibunya juga memberikan dorongan dengan mengadakan pengajian. Hal ini terlihat pada kutipan berikut:
Dan kini, sejak lek Khudhori tingal disini, aku telah menyelesaikan tiga puluh juz dan Ibu menyelenggarakan acara khataman.Bahkan mengundang juga kiai
Jamaluddin untuk memberi pengajian. Abidah El Khalieqy, 2001: 40.
Nisa sebagai tokoh utama dalam novel ini oleh Abidah El Khalieqy digambarkan sebagai sosok yang unik. Dalam novel ini ia dididik oleh bapaknya
sebagai kepala keluarga yang juga pengasuh pondok pesantren untuk menjadi perempuan yang bisa menghargai kehormatan wanita. Ia harus menutup aurat meski
belum baliq. Hal itu karena kultur pesantren yang mereka hadapi. Hal itu terlihat pada kutipan berikut:
.....Tidak seperti Wildan dan Rizal, yang bebas keluyuran dalam kuasanya, main bola main layang-layang, sementara aku disekap di dapur untuk mencuci kotoran
mereka, mengiris bawang hingga mataku pedas demi kelezatan dan kenyamanan perut mereka. Kemarin Bapak bilang, katanya aku harus segera mengenakan
kerudung dan baju kurung, sebab sekalipun belum baligh, katanya tubuhku bongsor sekan gadis usia dua belas tahun yang harus memakai jilbab. Abidah El
Khalieqy, 2001: 44-45.
2. Nilai Pendidikan ReligiusAgama dalam Novel