Setting tempat Setting Sosial Budaya

Kulihat Mbak Kalsum sudah mengantuk dan merasa lelah dengan geliat Fadilah, anaknya. Akupun bergegas menuju kamar dan menata hatiku untuk menyambut kedatangan lek Khudhori pada suatu pagi di awal Juli nanti. Abidah El Khalieqy, 2001: 141-142. “Kalau belum terlalu capek, temuilah mereka kembali. Memang adat kita seperti ini. Jika kalian kangen, kan masih ada esok dan lusa. Dan kau, Nisa sebaiknya temani Ibumu diruang tamu, jangan ngumpet terus, tidak baik.” Abidah El Khalieqy, 2001: 150.

b. Setting tempat

Setting tempat adalah tempat cerita. Setting cerita dalam novel PBS ini lebih banyak di lingkungan pesantren, Gontor, Jogja, Kairo Mesir, Berlin, RS Sarjito, dan gedung bioskop. Hal itu terlihat pada kutipan berikut: Sejak aku terlahir ke dunia, kata ibuku, Hajjah Mutmainah, aku selalu digadang dan diharapkan agar kelak dapat menggantikan posisi bapak. Tetapi, dalam benakku, harapan itu tak pernah muncul sebagai cita-cita. Sepertinya, aku lebih suka untuk bersekolah dan mencari ilmu yang lebih luas dari kompleks pondok kami, juga lebih tinggi dari ilmu yang diperoleh para santri yang paling tua sekalipun. Pondok kami memang bukan pondok besar sebagaimana pondok pesantren Bahrul ulum Tambakberas atau Tebuireng. Abidah El Khalieqy, 2001: 51- 52. Berdua menuju gedung bioskop, berdebar juga perasaanku. Ini pengalaman pertamaku. Seakan menuju sebuah jurang hitam penuh ular berbisa yang siap menggigitku. Abidah El Khalieqy, 2001: 64. Keindahan kata-katanya dalam menyatakan kerinduan membuatku terus berada dalam situasi kepayang. Ia meminta fotoku terbaru dengan mengenakan baju ghalabeya Mesir, kirimannya dan sebait puisi. Abidah El Khalieqy, 2001: 56. Didukung lek Khudhori yang mendapat cuti selama setahun setamat mondok di Gontor untuk mempersiapkan beasiswanya di Al-Azhar, Kairo, aku habiskan seluruh jam mainku untuk latihan naik kuda, mendengar kisah para istri nabi dalam al qur’an, para ratu yang terlupakan dan kisah-kisah perempuan sufi dai mulut lek Khudhori. Abidah El Khalieqy, 2001: 25. “Sedang meneruskan sekolahnya di Berlin, Mbak. Mengambil es-dua.” “Berlin? Berlin itu negara Jerman ya....? Aku mengangguk bangga, Mbak Kalsum terkesima. Abidah El Khalieqy, 2001: 127.

c. Setting Sosial Budaya

Pengarang novel ini Abidah El Khalieqy telah memaparkan cerita dalam bentuk peristiwa lebih menonjolkan kultur sosial pondok pesantren tetapi juga menempatkan setting budaya tempat-tempat yang sekuler. Misalnya dalam hal ini dia memaparkan kondisi sosial budaya di sekitar gedung bioskop dan segala aktivitasnya. Hal ini menandakan bahwa novel ini memberikan gambaran kehidupan sosial budaya yang komplek meskipun novel ini menceritakan kehidupan anggota keluarga para kiai. Hal itu terlihat pada kutipan berikut: Berdua menuju gedung bioskop, berdebar juga perasaanku. Ini pengalaman pertamaku. Seakan menuju sebuah jurang hitam penuh ular berbisa yang siap menggigitku. Abidah El Khalieqy, 2001: 64. “Kalau begitu, panggil saja lekmu kemari dan nonton saja bersamanya. Lagian film apa yang ingin kamu tonton? Film Si Unyil atau filmu cinta-cintaan? Kau benar-benar ingin merasakan penjara bapakmu. Abidah El Khalieqy, 2001: 64. “Entahlah, Kata, lekku sih, termasuk bahasa Arab. Bahasa Arab itu simbolnya orang Islam, tapi kalau di negeri Arab, orang jahat juga menggunakan bahasa Arab. Para penari perempuan membuka bajunya juga dengan bahasa Arab. Ah, entahlah...” Abidah El Khalieqy, 2001: 61. “Kalau belum terlalu capek, temuilah mereka kembali. Memang adat kita seperti ini. Jika kalian kangen, kan masih ada esok dan lusa. Dan kau, Nisa sebaiknya temani Ibumu diruang tamu, jangan ngumpet terus, tidak baik.” Abidah El Khalieqy, 2001: 150.

5. Point of View Novel