berupa suasana menyenangkan, menggembirakan, romantis, menyedihkan, marah dan sebagainya.
Tingkatan ketiga disebut
niveaux animal
, yaitu tingkatan jiwa seperti yang dicapai oleh binatang, sudah mempunyai nafsu jasmaniah. Bila tingkatan ini terjilma
dalam kata berupa nafsu-nafsu kehewanan, seperti nafsu makan, minum, seksual, nafsu untuk membunuh atau kanibal, dan sebagainya.
Tingkatan keempat disebut
niveaux human
, yaitu tingkatan jiwa yang hanya dapat dicapai oleh manusia, berupa perasaan belas kasihan, dapat membedakan baik
buruk, berjiwa gotong royong, saling bantu membantu. Bila tingkatan itu terjilma ke dalam kata, berupa renungan-renungan batin, konflik-konflik kejiwaan, rasa belas
kasihan, rasa simpati, renungan-renungan moral. Menurut T.S. Eliot 1999: 41 bahwa mengukur kesamaan sebuah karya sastra
adalah dengan kriteria estetik. Sedangkan mengukur kebesaran karya sastra adalah dengan kriteria di luar estetik Mochtar Lubis, 1981: 15. Salah satu kriteria estetik
yang bisa dipakai adalah kriteria norma sastra. Menurut Rene Wellek dalam analisis Roman Ingarden dengan metode fenomenologi bahwa norma karya sastra terdiri dari
beberapa lapis, yaitu: lapis suara berupa kata, lapis arti berupa kalimat, lapis objek berupa dunia sastrawan, lapis dunia berupa sudut pandang sastrawan, dan lapis
metafisika berupa renungan terhadap yang kudus. Dari beberapa pendapat tentang nilai pendidikan yang terdapat dalam karya
sastra dapat disimpulkan bahwa ada beberapa nilai pendidikan yang bisa diperoleh dari sebuah cerita dalam hal ini novel. Nilai pendidikan itu diantaranya adalah yang
berhubungan dengan sosial, budaya, kemanusiaan, religiagama, dan moral.
a. Nilai Pendidikan Sosial
Nilai pendidikan sosial yang diambil dari sebuah cerita, dalam hal ini adalah novel yang bisa dari hal-hal yang bersifat positif ataupun negatif. Kedua hal tersebut
perlu disampaikan agar kita dapat memperoleh banyak teladan yang bermanfaat. Sosial dapat diartikan hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat atau kepentingan umum.
Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial.
M. Zaini Hasan dan Salladin 1996: 83 menyatakan bahwa nilai sosial adalah aspek-aspek budaya yang diupayakan oleh kelompok untuk memperoleh makna dan
penghargaan yang tinggi. Sementara itu menurut Arifin L. Bertrand dalam M. Munandar Soelaeman,
1998: 9 nilai sosial adalah kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek, gagasan, atau orang.
Karya sastra dapat berfungsi sebagai daya penggoncangan nilai-nilai sosial yang sudah mapan. Dasar dari pendidikan sosial bahwa manusia itu merupakan kawan sosial
bagi manusia lain Suyitno, 1986: 31. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan sosial dalam diri manusia
khususnya masyarakat akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan kelompok dalam ikatan kekeluargaan antara individu satu dengan yang lain.
b. Nilai Pendidikan Budaya
Karya sastra lahir tidak dalam kekosongan sejarah. Sastra dicipta berdasarkan situasi dan kondisi sosial budaya setempat. Sastra tidak akan terasing dari masyarakat
karena sastra akan mengungkap nilai-nilai kemanusiaan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pandangan budaya Jawa tentang wanita sebagai
“ kanca wingking”
akan
tergeser dengan pandangan bahwa wanita tidak sekedar “
kanca wingking”
, tetapi mempunyai hak yang sama dengan kaum pria, emansipasi wanita.
Dalam budaya Jawa dikenal beberapa tokoh wanita dan tokoh pria dalam cerita wayang. Ada tokoh Srikandi, Subadra, Sinta, Sarpakenaka, Banuwati, Bathari Durga,
dan lain-lain sebagai tokoh wanita yang cukup dikenal. Beberapa tokoh pewayangan pria yang cukup dikenal, yaitu: Dewa Brata, Begawan Abiyasa, Batara Guru, Rahwana,
Bima, Arjuna, Kresna dan lain-lain. Dan tidak jarang bahwa orang Jawa mengidentikkan dirinya dengan tokoh-tokoh wayang tersebut.
Koentjaraningrat 1985: 18 mengemukakan bahwa sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga
masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan
manusia. Nilai–nilai budaya yang terkandung didalam cerita dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.
Secara terperinci F. Kluckhohn dalam Koentjaraningrat, 1994: 435 secara universal nilai-nilai budaya dari semua negara di dunia ke dalam lima kategori
berdasarkan lima masalah terpenting di dalam kehidupan semua manusia, yaitu: 1 masalah universal mengenai hakikat hidup; 2 masalah universal mengenai hakikat dari
kerja serta usaha manusia; 3 masalah universal mengenai hubungan antara manusia dan alam; 4 persepsi manusia tentang waktu; dan 5 masalah universal mengenai
hubungan antara manusia dan sesamanya. Rachel Bowditch 2007: 140 memiliki pandangan yang berbeda tentang
budaya. Ia mengatakan bahwa:
Underlying all rituals is an ultimate danger, lurking beneath the smallest and largest of them, the more banal and the most ambitious – the possibility that we
will encounter ourselves making up our conceptions of the world, society, our very selves. We may slip in that fatal perspective of recognizing culture as our
construct, arbitrary, conventional, invented by mortals.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa semua ritual adalah bahaya utama, bersembunyi di bawah terkecil dan terbesar dari mereka, semakin dangkal dan
paling ambisius kemungkinan yang akan kita hadapi diri kita menyusun konsep-konsep kita di dunia, masyarakat, kami sangat diri. Kita mungkin akan terpeleset dalam
perspektif fatal mengenali kebudayaan sebagai konstruksi kami, sewenang-wenang, konvensional, yang ditemukan oleh manusia.
c. Nilai Pendidikan Kemanusiaan