kami, juga lebih tinggi dari ilmu yang diperoleh para santri yang paling tua sekalipun.
Pondok kami memang bukan pondok besar sebagaimana pondok pesantren Bahrul ulum Tambakberas atau Tebuireng. Abidah El Khalieqy, 2001: 51-52.
2. Nilai Penddikan Budaya dalam Novel
Pintu
Bowo selaku tokoh utama dalam novel ini adalah pribadi yang unik. Dia selalu menurut apa yang disarankan oleh Yangti. Ia besar dikalangan kultur jawa. Sehingga
setiap tindakkannya mencerminkan dan menjunjung budaya Jawa misalnya mengetuk pintu bila mau memasuki kamar yang bukan miliknya. Hal itu terlihat pada kutipan
berikut: Aku mengetok kamar Yangti
“Masuk
Le.
” Aku buru-buru duduk di sebelah Yangti yang sepertinya sudah menanti
kedatanganku. Fira basuki, 2002: 31.
Tokoh Aku Bowo dalam novel
Pintu
ini sosok orang yang berikiran bebas, liar, dan jahat. Sehingga pola hidupnya cenderung mudah tergoda oleh pengaruh budaya
terkadang tidak sesuai kultur yang ia terima saat masih kecil. Ia menjadi sosok orang yang tanpa kendali sehingga ia dipenjara karena terjebak mafia kejahatan. Hal itu
terlihat pada kutipan berikut: Mr. William menjanjikan semua ini hanya sementara jika aku menuruti
nasihatnya. Menurutnya, sebaiknya aku pura-pura menjadi pelajar asing yang lugu dan tidak tahu menahu soal hukum di Amerika. Jadi ia akan berkilah bahwa
aku sekedar pelajar asing yang jenius dan ingin mencoba-coba kepintaran komputerku dengan membobol beberapa lembaga pemerintahan. Fira basuki,
2002: 88.
c. Nilai Pendidikan Kemanusiaan
Nilai-nilai pendidikan kemanusiaan dari tokoh-tokoh novel menurut adalah Mangunwijaya: 1 sikap pribadi yang keras, teguh, kuat, dan tegas dalam
memperjuangkan harga diri sebagai seorang perempuan; 2 sikap dan nilai keberanian dalam melawan penindasan, kesewenang-wenangan terhadap kaum lemah; 3 nilai
keberanian melawan kebatilan, ketidakadilan, pengekangan diri manusia; 4 nilai kecerdasan, rasional, keadilan, kejujuran, kesederhanaan, dan keberanian berkorban, 5
nilai perlawanan terhadap perlakuan merendahkan derajat kemanusiaan; 6 nilai
pentingnya pembelaan terhadap kaum lemah. 1.
Nilai Pendidikan Kemanusiaan dalam Novel
PBS
Tokoh Aku Annisa dalam novel ini memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Ia selalu membela orang lemah, orang yang membutuhkan pertolongan, dan selalu
mencurahkan perhatiannya pada orang yang nyaris celaka Rizal. Hal itu terlihat pada kutipan berikut:
Setelah memeras akal, kuambil sepotong kayu dan mengulurkannya ke arah Rizal. Dengan rasa takut, ia mencengkramnya dan aku menariknya dengan
sekuat tenaga. Agaknya ketakutan telah memberi tenaga lebih di urat tanganku yang mungil. Didorong juga keinginan Rizal untuk selamat, kami saling
membahu, mencari keselamatan. Abidah El Khalieqy, 2001: 4.
Tokoh aku Nisa sebagai seorang istri yang sah Samsudin selalu mendapatkan tekanan baik fisik dan batin. Samsudin menjadikan Nisa sebagai sebagai sasaran
kekerasan dalam rumah tangga. Hal itu terlihat pada kutipan berikut: “Sejak malam pertama sampai sekarang, tak bosan-bosannya, ia menyakitiku,
menjambak rambutku, menendang dan menempeleng, memaksa dan memaki serta melecehkanku sebagai perempuan dan seorang istri.”
“Masyaallah Benarkah itu, Anakku?” Ibu merangkul dan terisak,” mengapa kau tidak pernah mengatakannya pada Ibu, Nisa. Mengapa....? Abidah El Khalieqy,
2001: 161-162.
Sebagai tokoh utama dalam novel ini Nisa menjadi sentral dalam cerita sehingga ia selalu menarik baik kata-kata maupun perilakunya. Nisa selalu mendapatkan
perlakuan yang tidak manusiawi dari Bapaknya dan juga dari para kakaknya. Ia selalu menjadi “objek” dan simbol malapetaka. Ia sering diperlakukan tidak adil oleh
bapaknya karena ia perempuan. Hal itu bisa kita lihat pada kutipan berikut:
.....Tidak seperti Wildan dan Rizal, yang bebas keluyuran dalam kuasanya, main bola main layang-layang, sementara aku disekap di dapur untuk mencuci kotoran
mereka, mengiris bawang hingga mataku pedas demi kelezatan dan kenyamanan perut mereka. Abidah El Khalieqy, 2001: 44.
2.
Nilai Pendidikan Kemanusiaan dalam Novel
Pintu
Tokoh Aku bowo adalah sosok orang yang peduli terhadap derajat kemanusiaan orang lain, baik itu yang dikenal atau tidak. Hal itu terlihat saat kematian
paris yang menghebohkan. Tokoh aku mengutuk kebiadaban tersebut. Hal itu terlihat pada kutipan berikut:
Rasanya baru kemarin Paris meracau aneh. Kini Paris tiada, meninggal mengenaskan ditangan suami. Aku mengutuk diri. Mengapa baru kini suami
ditangkap polisi? Laki-laki macam apa aku ini membiarkan Paris terkunkung bahaya Fira Basuki, 2002: 131.
Tokoh Bowo juga sosok yang memiliki pribadi yang sederhana. Ia tidak silau meskipun ia keturunan priyayi dan memiliki mata ketiga bisa melihat alam gaib. Hal
itu terlihat dengan jelas pada kutipan berikut: Martabat. Apa arti sebuah darah priyayi, mata ketiga, dan martabat? Banyak.
Untuk keluargaku, untuk diriku sendiri. Hal ini yang membuatku insyaf. Seharusnya, selain dosa, aku takut hal lain: penyakit kelamin. Untungnya aku
selamat dari AIDS. Fira Basuki, 2002: 144.
d. Nilai Pendidikan ReligiusAgama