Keterbatasan Penelitian Makanan Pokok

94

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan, antara lain adanya beberapa variabel dari kerangka teori yang tidak diteliti, seperti karakteristik anak dan karakteristik keluarga. Serta adanya variabel metabolisme bawaan yang tidak dijadikan variabel pada penelitian ini, karena untuk melakukan penelitian terhadap faktor metabolisme bawaan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya yang besar dan biasanya lebih difokuskan pada bidang kedokteran. Sehingga variabel-variabel yang tidak dijadikan kerangka konsep pada penelitian ini kemungkinan dapat mempengaruhi hasil penelitian. Karena penelitian ini menggunakan desain case control, sehingga data- data yang dibutuhkan adalah data masa lalu adanya faktor jeda waktu yang terpotong sehingga terkadang menyulitkan responden yang harus mengingat kembali terhadap pertanyaan-pertanyaan kuesioner, sehingga apabila responden tidak menjawab secara jujur dapat mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu jika jumlah sampel lebih banyak, kemungkinan hasil penelitian pun berbeda. Dimana jumlah responden pada penelitian ini hanya berjumlah 82 ibu baduta 1:1. Untuk variabel konsumsi makan metode yang digunakan adalah FFQ kualitatif, pada metode ini jawaban sangat bergantung pada kejujuran dan kemampuan responden dalam mengingat jenis makanan yang dimakan baduta. Pola konsumsi makan tersebut tidak di observasi mendetail satu persatu dikarenakan keterbatasan waktu dan tenaga. Selain itu seharusnya untuk variabel konsumsi makan diteliti saat periode program MP-ASI Kemenkes pada bulan November 2010- Februari 2011. Berdasarkan penelitian dilapangan, terdapat faktor keterbatasan dari peneliti seperti keterbatasan waktu, dana dan tenaga dan lain sebagainya.

6.2 Gambaran Berat Badan Tidak Naik 2T di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi Almatsier, 2004. Depkes 2003 mengartikan status gizi sebagai keadaan gizi seseorang yang dapat dinilai untuk mengetahui apakah seseorang itu normal atau bermasalah gizi salahmalnutrisi. Status gizi dapat dibedakan menjadi gizi baik, kurang dan buruk. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Anak balita sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umurnya dengan standar yang telah ditetapkan Depkes, 2005. Pada penelitian kali ini yang mengkategorikan apakah seorang baduta tersebut 2T atau tidak adalah kader kesehatan yang dilakukan di Posyandu. Dimana berat badan baduta tersebut tidak naik dua bulan berturut-turut. Dalam penelitian kali ini proporsi baduta yang dijadikan subjek penelitian yang mengalami 2T dan tidak non 2T masing-masing berjumlah 41 baduta. Adapun jumlah keseluruhan baduta 2T di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan berjumlah 60 baduta untuk periode Program MP-ASI Kemenkes bulan November 2010-Februari 2011. Diagram 6.1 Proporsi Sampel Baduta 2T dan Non 2T di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 6.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Berat Badan Tidak Naik 2T Pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 Faktor-faktor yang diteliti dalam penelitian ini adalah ASI Eksklusif, Lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat penyakit infeksi dan Pola konsumsi makan. Faktor-faktor tersebut yang secara langsung dialami oleh baduta. Berikut ini hasil dan pembahasan terhadap faktor-faktor yang diteliti dihubungkan dengan Berat badan tidak naik 2T.

6.3.1 Hubungan antara ASI Eksklusif dengan Berat Badan Tidak Naik 2T

ASI Eksklusif merupakan pemberian hanya air susu ibu saja tanpa tambahan cairan atau makan lain sampai balita berumur 6 bulan. Terjadinya kurang gizi, erat kaitannya dengan produksi ASI maupun lamanya pemberian ASI. Tidak diberikannya atau terlalu cepatnya bayi disapih akan memperbesar kemungkinan keadaan gizi kurang Depkes, 2003. 2T 50 Non 2T 50 Proporsi Baduta Hasil analisis hubungan antara ASI Eksklusif dengan berat badan tidak naik 2T diperoleh bahwa dapat dari 48 ibu yang memberikan ASI Eksklusif, yang mengalami 2T sebanyak 18 baduta 43,9 dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 30 baduta 73,2. Sedangkan dari 34 ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif yang mengalami 2T sebanyak 23 baduta 56,1 dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 11 baduta 26,8. Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 3,485 dengan nilai interval CI 95 1,380-8,798, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara faktor ASI Eksklusif dengan berat badan tidak naik 2T, dimana ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif kepada anaknya berisiko 3,485 kali mengalami 2T dibandingkan ibu yang memberikan ASI Eksklusif. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Mutiara 2006 dan Okviyanti 2007 bahwa terdapat hubungan bermakna antara pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi balita. Serta sesuai dengan penelitian Widodo dkk, 2005, berdasarkan indeks antropometri BB menunjukkan bahwa sejak usia 2 – 4 bulan kenaikan rata-rata BB bayi yang diberi ASI Eksklusif daripada bayi yang diberi MP-ASI sebelum usia 4 bulan. Selain itu dari hasil penelitian ini didapatkan sebanyak 56 ibu 63,8 langsung memberikan ASI kepada anaknya saat lahir dan 26 ibu 31,7 tidak memberikan ASI secara langsung. Sebanyak 13,4 diberikan susu formula, 11 madu, 3,7 pisang, 2,4 air putih. Bagi ibu- ibu yang mengalami hambatan dalam menyusui sebanyak 20,7 tetap diberikan ASI, 23,2 diberikan susu formula dan lainnya diberikan pisang, madu ataupun air putih. Karena zat gizi dalam ASI cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi dan komposisi sesuai untuk bayi WHO, 1999. Pada penelitian ini diketahui pula sebanyak 45 ibu 54,9 yang tidak memberikan ASI sampai 2 tahun sedangkan hanya 37 ibu 45,1 yang tetap memberikan ASI sampai 2 tahun. Padahal WHO dan UNICEF menganjurkan ibu untuk tetap menyusui anaknya sampai usia 2 tahun. Karena pemberian ASI pada batita 1tahun memberikan manfaat seperti: 31 kebutuhan energi anak, 38 kebutuhan protein anak, 45 kebutuhan vitamin A anak, 95 kebutuhan vitamin C anak WHO, 2003. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian ASI Eksklusif sangat mempengaruhi berat badan anak tersebut, apabila anak tidak diberikan ASI Eksklusif kemungkinan akan memperbesar keadaan gizi kurang atau dengan kata lain mengalami ketidaknaikan berat badan.

6.3.2 Hubungan antara Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes dengan Berat Badan Tidak Naik 2T

Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, yang diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain ASI Depkes, 2006. MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi atau anak. Pemberian MP-ASI yang cukup kualitas dan kuantitasnya penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak Depkes, 2000. Tujuan pemberian MP-ASI adalah untuk menambah energi dan zat- zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus. Dengan demikian makanan tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi total pada anak dengan jumlah yang didapatkan dari ASI WHO, 2003. Kementrian Kesehatan RI melakukan program pemberian MP-ASI untuk seluruh keluarga miskin dengan sasaran pemberian MP-ASI berupa bubur adalah bayi usia 6-11 bulan dan sasaran pemberian MP-ASI berupa biskuit adalah anak usia 12-24 bulan. Jangka waktu pemberian MP-ASI diberikan selama 90 hari. Adapun jumlah MP-ASI yang diberikan: 1. Untuk sasaran bayi umur 6-11 bulan akan mendapat MP-ASI bubur sebanyak 100 grhari yang diberikan dalam 3 kali penyajian per hari 2. Untuk sasaran anak umur 12-24 bulan akan mendapat MP-ASI biskuit sebanyak 120 grhari Pada penelitian kali ini yang difokuskan adalah jenis MP-ASI Kemenkes berupa biskuit untuk baduta berumur 12-24 bulan, karena data sekunder dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan didapatkan bahwa lebih banyak baduta yang mengalami berat badan tidak naik dua bulan berturut-turut 2T. Hasil analisis hubungan antara lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes dengan berat badan tidak naik 2T diperoleh bahwa dari 64 baduta yang memakan MP- ASI Kemenkes ≥ 90 hari, yang mengalami 2T sebanyak 36 baduta 87,8 dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 28 baduta 68,3. Sedangkan dari 18 baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes 90 hari, yang mengalami 2T sebanyak 5 baduta 12,23 dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 13 baduta 31,7. Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,299 dengan interval CI 95 0,095-0,939 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes dengan berat badan tidak naik 2T, dimana baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes 90 hari berisiko 10,299 atau 3,34 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang memakan MP- ASI Kemenkes ≥ 90 hari, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pemberian MP- ASI Kemenkes ≥ 90 hari merupakan faktor protektif. Hasil penelitian ini sesuai dengan anjuran dari Kementrian Kesehatan RI yang menetapkan jangka waktu pemberian MP-ASI Kemenkes adalah 90 hari. Walaupun fakta dilapangan masih adanya baduta yang mendapatkan MP-ASI berupa biskuit ≥ 90 hari maupun 90 hari. Dimana program MP-ASI Kemenkes RI ini dikhususkan untuk bayi dan baduta dari keluarga miskin yang mengalami gizi kurang maupun gizi buruk. Dari hasil wawancara koordinator gizi di Puskesmas Kecamatan Pancoran maupun kader kesehatan didapatkan fakta bahwa terkadang ibu yang bukan dari keluarga miskin pun ikut meminta biskuit. Sehingga alokasi biskuit berkurang untuk yang seharusnya menerima biskuit tersebut. Sebanyak 51,2 baduta tidak menghabiskan biskuit sesuai anjuran yaitu 120ghari dan 48,8 baduta menghabiskan biskuit sesuai anjuran yang telah ditetapkan. Dari 82 baduta yang menjadi responden didapatkan hasil sebanyak 61 biskuit tersebut tidak hanya dimakan oleh baduta dan 39 hanya dimakan oleh baduta. Rata-rata sebanyak 25,6 ikut dimakan oleh ibuayah, 22 ikut dimakan oleh kakakadik, 11 oleh saudara dan sebanyak 2,4 ikut dimakan oleh saudara. Dari fakta tersebut seharusnya lebih disosialisasikan mengenai program MP-ASI Kemenkes biskuit bahwa biskuit tersebut hanya boleh dimakan oleh badutanya saja. Sehingga dapat disimpulkan bahwa lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes biskuit sangat erat kaitannya dengan berat badan tidak naik 2T. Karena dengan adanya program MP-ASI tersebut seharusnya dapat memperbaiki status gizi bayi dan baduta.

6.3.3 Hubungan antara Riwayat Penyakit Infeksi dengan Berat Badan Tidak Naik 2T

Hadirnya penyakit infeksi dalam tubuh anak akan membawa pengaruh terhadap keadaan gizinya. Sebagai reaksi pertama akibat adanya infeksi adalah menurunnya nafsu makan anak sehingga anak menolak makanan yang diberikan ibunya. Penolakan terhadap makanan berarti berkurangnya pemasukan zat gizi ke dalam tubuh anak Moehyi, 1988. Penyakit infeksi dapat pula disebabkan kurangnya kesadaran untuk menjaga kebersihan dan sanitasi. Sanitasi lingkungan yang kurang akan mempermudah penularan penyakit infeksi. Pada penelitian kali ini lebih banyak baduta yang pernah mengalami riwayat penyakit infeksi sebesar 52 baduta 65,9 dan 28 baduta 34,1 tidak pernah mengalami riwayat penyakit infeksi. Dimana peneliti melakukan cross check untuk mengurangi bias terhadap sebagian besar data responden ke posyandupuskesmas, terhadap jawaban yang diberikan oleh responden. Dimana terkadang ada responden yang menjawab tidak pernah menderita penyakit infeksi selama periode pemberian MP-ASI tetapi saat diberikan pertanyaan tentang gejala-gelaja yang pernah dialami hasilnya pun menyatakan bahwa baduta tersebut pernah menderita penyakit infeksi. Mungkin responden terkesan takut dengan kata penyakit infeksi, disini peneliti melakukan bahasa yang lebih halus dan mudah dimengerti agar data yang diharapkan sesuai dengan fakta dilapangan. Hasil analisis hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik 2T, diperoleh bahwa dari 28 baduta yang tidak mengalami riwayat penyakit infeksi, yang mengalami 2T sebanyak 9 baduta 22 dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 19 baduta 46,3. Sedangkan dari 54 baduta yang mengalami riwayat penyakit infeksi, yang mengalami 2T sebanyak 32 baduta 78 dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 22 baduta 53,7. Hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 3,071 dengan interval CI 95 1,174-8,028 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik 2T, dimana baduta yang mengalami riwayat penyakit infeksi memiliki resiko 3,071 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang tidak mengalami riwayat penyakit infeksi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sukmadewi 2003 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara riwayat penyakit infeksi dengan status gizi balita. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian Hadi 2005 dan Feddelia 2006 menyatakan bahwa proporsi balita yang mengalami kurang gizi lebih banyak ditemukan pada balita yang mengalami infeksi beratdiare dibandingkan dengan balita yang mengalami infeksi ringantidak menderita diare. Keusch dan Scrimshaw dalam Kartika, dkk 2003, menyatakan bahwa ada hubungan sinergis antara keadaan gizi dengan penyakit infeksi. Penyakit infeksi dapat berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh, karena penyakit infeksi dapat menurunkan nafsu makan sehingga konsumsi makanan menurun. Padahal kebutuhan gizi anak sewaktu sakit justru meningkat. Di samping itu, infeksi menggangu metabolisme, membuat ketidakseimbangan hormon dan menggangu fungsi imunitas. Jadi anak yang terkena penyakit infeksi yang berulang dan kronis akan mengalami gangguan gizi dan imunitas baik secara absolut maupun relatif. Kurang gizi walaupun masih ringan mempunyai pengaruh negatif tehadap daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaam gizi. Semua akibat infeksi ini merugikan pertumbuhan anak, sehingga pertumbuhan anak secara antropometris terganggu. Penyakit infeksi erat kaitannya dengan status gizi rendah. Hubungan antara kekurangan gizi dengan penyakit infeksi antara lain dapat dijelaskan melalui mekanisme pertahanan tubuh, dimana pada balita yang mengalami kekurangan gizi akan mengalami kekurangan masukan energi dan protein, sehingga kemampuan tubuh untuk membentuk protein baru berkurang. Hal ini mengakibatkan pembentukan kekebalan tubuh seluler terganggu sehingga tubuh menjadi rawan terhadap serangan infeksi Jellife, 1989 dalam Hadi, 2005. Dari hasil penelitian ini didapatkan sebanyak 18,3 diare, 12,2 demam, 9,8 ISPA, 4,9 TBC dan 23,2 menderita penyakit lainnya seperti batuk, pilek dan sebagainya. Dari faktwa dilapangan didapatkan seorang anak yang menderita gizi buruk serta mengalami kelainan jantung bawaan. Bahkan kasus anak tersebut sampai diliput oleh media. Sebanyak 68,3 ibu baduta tersebut sudah berusaha mencari pengobatan untuk anaknya, 37,8 berobat ke RSKlinik dan 28 berobat ke PuskesmasPosyandu. Dari hasil pengamatan dilapangan saat dilakukan penelitian memang benar bahwa lingkungan rumah responden tidak cukup bersih, keadaan rumah yang padat penduduk, rumah-rumah kontrakan dipusat ibukota dan dibelakang gedung-gedung bertingkat terlihat penuh sesak, didekat rumah- rumah tersebut masih terdapat sumber pencemar 5m sebanyak 40,2. Sanitasi dan ventilasi yang kurang menyebabkan lingkungan rumah kurang mendapatkan sirkulasi udara yang baik, sebanyak 78 sirkulasi udara terhambat dan 22 sirkulasi udara lancar. Selain itu banyaknya keluarga yang mengkonsumsi air kemasan isi ulang yang tingkat hygienitasnya tidak terjamin yaitu sebesar 45,1. Selain itu personal hygiene ibu kurang diterapkan karena sebanyak 67,1 hanya mencuci tangan dengan air saja saat memberikan makanan ke anak dan 12,2 tidak pernah mencuci tangan dengan sabun atau air sekalipun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa lingkungan rumah dan personal hygiene pun berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Dimana baduta yang mengalami riwayat penyakit infeksi akan mempengaruhi berat badannya selain itu dapat memperburuk status gizinya.

6.3.4 Hubungan antara Pola Konsumsi Makan dengan Berat badan Tidak Naik 2T

Makanan yang dikonsumsi sehari-hari berpengaruh terhadap asupan energi yang masuk ke tubuh. Mengkonsumsi makanan yang bergizi bermanfaat untuk meningkatkan derajat kesehatan seseorang. Konsumsi makanan tersebut berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Makanan sehari-hari seperti: makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, susu dan buah dapat mencukupi nilai gizi seseorang setiap harinya Almatsier, 2001. Dari bermacam-macam makanan tersebut menghasilkan berbagai zat gizi yang diperlukan oleh tubuh baduta. Asupan zat gizi dalam jumlah mutlak diperlukan pada berbagai tahap tumbuh kembang manusia, khususnya bayi dan balita. Karena intake yang kurang maupun berlebihan secara terus-menerus akan menggangu pertumbuhan dan kesehatan Pudjiadi, 2000. Dalam siklus kehidupan manusia, terutama saat tumbuh kembang anak, makanan merupakan kebutuhan yang terpenting. Menurut Muhammad as-Syyid 2009 disebutkan bahwa makanan seimbang adalah makanan yang ideal, baik kuantitas maupun kualitas, bagi setiap penduduk bumi dengan berbagai macam kepercayaannya. Al- Qur’an telah membuat pondasi dasar yang jelas dan bijak dalam hal makanan ini. Bahkan Nabi Muhammad SAW telah mengukuhkan dasar tersebut sembari memberikan beberapa ketentuan dan aturan yang menjamin realisasinya sehingga seorang muslim benar-benar dapat mengkonsumsi makanan yang sempurna dan bergizi seimbang, jasmani maupun rohani dan kesemuanya itu tersedia di alam, tinggal bagaimana manusi mengolah dan memanfaatkanny dengan sebaik-baiknya. Seperti firman Allah SWT :                                    “Maka hendaklah manusia itu memerhatikan makanannya, Kamilah yang telah mencurahkan air melimpah dari langit, kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu di sana Kami tumbuhkan biji-bijian, dan anggur dan sayur-sayuran, dan zaitun dan pohon kurma, dan kebun-kebun yang rindang, dan buah-buahan serta rerumputan. Semua itu untuk kesenanan kalian dan untuk hewan-h ewan ternak kalian” QS.‟Abasa: 24- 32. Berdasarkan kitab Shofwat Al-Tafasir karya Imam Muhammad „Ali Al-Shobuny ayat diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: Yakni hendaknya manusia melihat dengan pemikiran dan berangan-angan terhadap urusan kehidupannya bagaimana dia diciptakan dan diberi kebahagiaan dengan rahmat Allah, dan bagaimana ia menyiapkan sebab kehidupannya, serta diciptakan bagi manusia makanan sebagai penopang kehidupannya, seperti air dari langit, bermacam-macam tumbuhan yang subur, sayuran, biji- bijian, pohon zaitun dan buah kurma, rerumputan. Kami jadikan dan kami tumbuhkan agar bermanfaat dan sebagai penopang kehidupan untukmu para manusia dan untuk binatang-bintangmu. Pada penelitian ini pola konsumsi makan dikelompokkan menjadi: makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu. Hasil analisis terhadap masing-masing makanan adalah sebagai berikut:

a. Makanan Pokok

Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan makanan pokok dengan berat badan tidak naik 2T, diperoleh bahwa dari 55 baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok, yang mengalami 2T sebanyak 29 baduta 70,7 dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 26 baduta 63,4. Sedangkan dari 27 baduta yang jarang mengkonsumsi makanan pokok, yang mengalami 2T sebanyak 12 baduta 29,3 dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 15 baduta 36,6. Dari uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,717 dimana dengan interval CI 95 0,284-1,810, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pola konsumsi makan makanan pokok dengan berat badan tidak naik 2T. Nilai OR menunjukkan bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi makanan pokok memiliki resiko 10,717 atau 1,39 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok, sehingga dengan kata lain baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok merupakan faktor protektif terhadap berat badan tidak naik 2T.

b. Lauk Hewani