Pancoran  maupun kader kesehatan didapatkan  fakta bahwa terkadang  ibu yang  bukan  dari  keluarga  miskin  pun  ikut  meminta  biskuit.  Sehingga
alokasi  biskuit  berkurang  untuk  yang  seharusnya  menerima  biskuit tersebut.
Sebanyak  51,2  baduta  tidak  menghabiskan  biskuit  sesuai  anjuran yaitu  120ghari  dan  48,8  baduta  menghabiskan  biskuit  sesuai  anjuran
yang telah ditetapkan. Dari 82 baduta yang menjadi responden didapatkan hasil sebanyak 61 biskuit tersebut tidak hanya dimakan oleh baduta dan
39 hanya dimakan oleh baduta. Rata-rata sebanyak 25,6 ikut dimakan oleh  ibuayah, 22  ikut dimakan oleh kakakadik,  11 oleh saudara dan
sebanyak 2,4 ikut dimakan oleh saudara. Dari fakta tersebut seharusnya lebih  disosialisasikan  mengenai  program  MP-ASI  Kemenkes  biskuit
bahwa  biskuit  tersebut  hanya  boleh  dimakan  oleh  badutanya  saja. Sehingga  dapat  disimpulkan  bahwa  lamanya  pemberian  MP-ASI
Kemenkes  biskuit  sangat  erat  kaitannya  dengan  berat  badan  tidak  naik 2T.  Karena  dengan  adanya  program  MP-ASI  tersebut  seharusnya  dapat
memperbaiki status gizi bayi dan baduta.
6.3.3  Hubungan  antara  Riwayat  Penyakit  Infeksi  dengan  Berat  Badan Tidak Naik    2T
Hadirnya  penyakit  infeksi  dalam  tubuh  anak  akan  membawa pengaruh terhadap keadaan gizinya. Sebagai reaksi pertama akibat adanya
infeksi  adalah  menurunnya  nafsu  makan  anak  sehingga  anak  menolak
makanan  yang  diberikan  ibunya.  Penolakan  terhadap  makanan  berarti berkurangnya pemasukan zat gizi ke dalam tubuh anak Moehyi, 1988.
Penyakit  infeksi  dapat  pula  disebabkan  kurangnya  kesadaran  untuk menjaga  kebersihan  dan  sanitasi.  Sanitasi  lingkungan  yang  kurang  akan
mempermudah penularan penyakit infeksi. Pada penelitian kali ini lebih banyak baduta yang pernah mengalami
riwayat penyakit infeksi sebesar 52 baduta 65,9 dan 28 baduta 34,1 tidak  pernah  mengalami  riwayat  penyakit  infeksi.  Dimana  peneliti
melakukan  cross  check  untuk  mengurangi  bias  terhadap  sebagian  besar data responden ke posyandupuskesmas, terhadap jawaban yang diberikan
oleh  responden.  Dimana  terkadang  ada  responden  yang  menjawab  tidak pernah  menderita  penyakit  infeksi  selama  periode  pemberian  MP-ASI
tetapi saat diberikan pertanyaan tentang gejala-gelaja yang pernah dialami hasilnya  pun  menyatakan  bahwa  baduta  tersebut  pernah  menderita
penyakit infeksi. Mungkin responden terkesan takut dengan kata penyakit infeksi,  disini  peneliti  melakukan  bahasa  yang  lebih  halus  dan  mudah
dimengerti agar data yang diharapkan sesuai dengan fakta dilapangan. Hasil analisis hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat
badan  tidak  naik  2T,  diperoleh  bahwa  dari  28  baduta  yang  tidak mengalami  riwayat  penyakit  infeksi,  yang  mengalami  2T  sebanyak  9
baduta 22 dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 19 baduta 46,3. Sedangkan dari 54 baduta yang mengalami riwayat penyakit infeksi, yang
mengalami  2T  sebanyak  32  baduta  78  dan  yang  tidak  mengalami  2T sebanyak 22 baduta 53,7.
Hasil  uji  statistik  diketahui  bahwa  nilai  OR  sebesar  3,071  dengan interval  CI  95  1,174-8,028    sehingga  dapat  disimpulkan  bahwa  ada
hubungan  antara  riwayat  penyakit  infeksi  dengan  berat  badan  tidak  naik 2T,  dimana  baduta  yang  mengalami  riwayat  penyakit  infeksi  memiliki
resiko  3,071  kali  mengalami  2T  dibandingkan  baduta  yang  tidak mengalami riwayat penyakit infeksi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sukmadewi 2003 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara riwayat penyakit
infeksi dengan status gizi balita. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian Hadi 2005 dan  Feddelia 2006  menyatakan  bahwa proporsi balita  yang
mengalami  kurang  gizi  lebih  banyak  ditemukan  pada  balita  yang mengalami  infeksi  beratdiare  dibandingkan  dengan  balita  yang
mengalami infeksi ringantidak menderita diare. Keusch  dan  Scrimshaw  dalam  Kartika,  dkk  2003,  menyatakan
bahwa ada hubungan sinergis antara keadaan gizi dengan penyakit infeksi. Penyakit  infeksi  dapat  berpengaruh  negatif  terhadap  daya  tahan  tubuh,
karena  penyakit  infeksi  dapat  menurunkan  nafsu  makan  sehingga konsumsi  makanan  menurun.  Padahal  kebutuhan  gizi  anak  sewaktu  sakit
justru  meningkat.  Di  samping  itu,  infeksi  menggangu  metabolisme, membuat  ketidakseimbangan  hormon  dan  menggangu  fungsi  imunitas.
Jadi  anak  yang  terkena  penyakit  infeksi  yang  berulang  dan  kronis  akan
mengalami gangguan gizi dan imunitas baik secara absolut maupun relatif. Kurang gizi walaupun masih ringan mempunyai pengaruh negatif tehadap
daya  tahan  tubuh  terhadap  penyakit  infeksi  derajat  apapun  dapat memperburuk  keadaam  gizi.  Semua  akibat  infeksi  ini  merugikan
pertumbuhan  anak,  sehingga  pertumbuhan  anak  secara  antropometris terganggu.
Penyakit infeksi erat kaitannya dengan status gizi rendah. Hubungan antara kekurangan gizi dengan penyakit infeksi antara lain dapat dijelaskan
melalui mekanisme pertahanan tubuh, dimana pada balita yang mengalami kekurangan gizi akan mengalami kekurangan masukan energi dan protein,
sehingga kemampuan tubuh untuk membentuk protein baru berkurang. Hal ini  mengakibatkan  pembentukan  kekebalan  tubuh  seluler  terganggu
sehingga  tubuh  menjadi  rawan  terhadap  serangan  infeksi  Jellife,  1989 dalam Hadi, 2005.
Dari  hasil  penelitian  ini  didapatkan  sebanyak  18,3  diare,  12,2 demam,  9,8  ISPA,  4,9  TBC  dan  23,2  menderita  penyakit  lainnya
seperti  batuk,  pilek  dan  sebagainya.  Dari  faktwa  dilapangan  didapatkan seorang anak yang menderita gizi buruk serta mengalami kelainan jantung
bawaan. Bahkan kasus anak tersebut sampai diliput oleh media. Sebanyak 68,3  ibu  baduta  tersebut  sudah  berusaha  mencari  pengobatan  untuk
anaknya,  37,8  berobat  ke  RSKlinik  dan  28  berobat  ke PuskesmasPosyandu.
Dari hasil pengamatan dilapangan saat dilakukan penelitian memang benar  bahwa  lingkungan  rumah  responden  tidak  cukup  bersih,  keadaan
rumah yang padat penduduk, rumah-rumah kontrakan dipusat ibukota dan dibelakang gedung-gedung bertingkat terlihat penuh sesak, didekat rumah-
rumah  tersebut  masih  terdapat  sumber  pencemar    5m  sebanyak  40,2. Sanitasi dan ventilasi yang kurang menyebabkan lingkungan rumah kurang
mendapatkan  sirkulasi  udara  yang  baik,  sebanyak  78  sirkulasi  udara terhambat  dan  22  sirkulasi  udara  lancar.  Selain  itu  banyaknya  keluarga
yang  mengkonsumsi  air  kemasan  isi  ulang  yang  tingkat  hygienitasnya tidak terjamin yaitu sebesar 45,1. Selain itu personal hygiene ibu kurang
diterapkan karena sebanyak 67,1 hanya  mencuci tangan dengan air saja saat  memberikan  makanan  ke  anak  dan  12,2  tidak  pernah  mencuci
tangan  dengan  sabun  atau  air  sekalipun.  Sehingga  dapat  disimpulkan bahwa lingkungan rumah dan personal hygiene pun berpengaruh terhadap
kesehatan  seseorang.  Dimana  baduta  yang  mengalami  riwayat  penyakit infeksi akan mempengaruhi berat badannya selain itu dapat memperburuk
status gizinya.
6.3.4  Hubungan  antara  Pola  Konsumsi  Makan  dengan  Berat  badan  Tidak Naik 2T