Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emisi Gas Metan Potensi reduksi-oksidasi tanah

2.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emisi Gas Metan Potensi reduksi-oksidasi tanah

Metan terbentuk akibat dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerobik. Organisma yang berperan dalam proses pembentukan metan ini disebut bakteri metanogenik, sedangkan bakteri yang menyebabkan berkurangnya metan adalah bakteri metanotropik. Bakteri metanogenik sangat peka terhadap oksigen sedangkan metanotropik menggunakan metan sebagai satu-satunya sumber energi untuk metabolisme. Mikroorganisma-mikroorganisma ini dapat berfungsi dengan maksimal sesuai perannya masing-masing tergantung dari ketersediaan oksigen dalam kondisi tanah jenuh air. Sedangkan ketersediaan oksigen tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi oksidan-oksidan tanah seperti NO 3 , SO 4 , Fe 2 O 3 , MnO 4 dan CO 2 Redoks potensial merupakan faktor penting pengontrol pembentukan metan. Tahapan proses redoks yang terjadi di lahan sawah yang tergenang adalah berkurangnya kandungan oksigen tanah, reduksi NO . Salah satu faktor penting yang mempengaruhi cepat lambatnya proses produksi dan konsumsi metan adalah reaksi reduksi dan oksidasi redoks dari oksidan-oksidan tanah. Redoks potensial Eh merupakan petunjuk status oksidasi dan reduksi tanah. Kondisi oksidasi maupun reduksi dapat terjadi serempak dalam tanah; saat lapisan permukaan tanah berada pada kondisi oksidasi, lapisan bawah dapat berada pada kondisi reduksi akibat fluktuasi permukaan air tanah. Reduksi juga terjadi di dalam agregat liat tanah. 3 , Mn 4+ , Fe 3+ , SO 4 dan reduksi CH 4 Tabel 2.6. Bakteri metanogenik dapat bekerja optimal pada redoks potensial kurang dari -150 mV. Proses reduksi dari oksidan-oksidan tanah ini diakibatkan oleh aktivitas mikroorganisme yang berbeda; oksigen direduksi oleh Universitas Sumatera Utara mikroorganisme anaerobik, sedangkan Mn 4+ dan Fe 3+ Tabel 2.6. Urutan pemakaian elektron aseptor dalam tanah dan redoks potensial oleh bakteri fakultatif anaerobic. Urutan pemakaian electron aseptor seperti yang disebutkan dalam Tabel 2.6 merupakan petunjuk kapan metan dapat terbentuk dalam tanah. Semakin kaya kandungan oksidan dalam tanah, semakin lama metan terbentuk dalam tanah. terukur dalam tanah Ponnamperuma, 1972 Sebagian besar bakteri metanogenik adalah neutrofilik, yaitu hidup pada kisaran pH antara 6-8. Wang et al. 1993, menemukan bahwa pembentukan metan maksimum terjadi pada pH 6,9 hingga 7,1. Perubahan kecil pada pH akan menyebabkan menurunnya pembentukan metan. Pada pH dibawah 5,75 atau diatas 8,75 menyebabkan pembentukan metan terhambat. Suhu tanah Suhu tanah memegang peranan penting dalam aktivitas mikroorganisme tanah. Sebagian besar bakteri metanogenik adalah mesofilik dengan suhu Reaksi Redoks potensial terukur di dalam tanah mV Hilangnya O O 2 2 + 4 e- + 4 H + → H 2 O 600 – 400 Hilangnya NO 3 NO - 3 + 2 e- + 2 H + → NO 2 - + H 2 O 500 – 200 Pembentukan Mn MnO 2+ 2 + 2 e- + 4 H + → Mn 2+ + 2 H 2 400 – 200 Pembentukan Fe FeOOH + e- + 3 H 2+ + → Fe 2+ + 2 H 2 300 – 100 Pembentukan HS SO - 4 - + 9 H + + 6 e- → HS – -150 - Pembentukan CH CH 4 2 On → n2 CO 2 + n2 CH 4 -150 – -220 Pembentukan H 2 H 2 + + 2 e- → H 2 -150 – -220 Universitas Sumatera Utara optimum antara 30-40 o C Vogels et al., 1988. Yamane dan Sato 1961 menemukan bahwa pembentukan metan di rizosfir tertinggi dicapai pada suhu 40 o C. Sedangkan menurut Holzapfel-Pschorn dan Seiler 1986 emisi metan dari lahan sawah meningkat dua kali lipat bila suhu tanah meningkat 20 o C menjadi 25 o Penggenangan diam adalah lingkungan yang cocok untuk pembentukan metan terutama di daerah tropis karena penggenangan diam meningkatkan suhu tanah dan suhu air di lahan sawah pada siang hari dengan kisaran 30 C. Hal ini dibenarkan pula oleh Schutz et al. 1989. o C hingga 40 o C. Meningkatnya suhu tanah dan air disebabkan oleh efek rumah kaca di lahan tersebut dimana genangan air akan meneruskan radiasi gelombang pendek ultra ungu matahari ke tanah dan mengurangi pancaran gelombang panjang infra merah ke atas. Suhu tanah dapat meningkat hingga 40 o Sebagian besar strain bakteri metanogenik menunjukkan tingkat pembentukan metan optimum pada suhu 30 C bila tidak ditanami. Suhu tinggi ini dapat diturunkan melalui penutupan oleh tanaman, aliran air dan hujan. o Varietas padi C Neue dan Scharpenseel, 1984. Ada 18 jenis bakteri metanogenik yang sudah diisolasi dari tanah, diantaranya yaitu Methanobacterium dan Methanosarcina yang umum terdapat di lahan sawah. Tanaman padi memegang peranan penting dalam emisi metan dari lahan sawah. Diduga 90 metan yang dilepas dari lahan sawah ke atmosfer dipancarkan melalui tanaman dan sisanya melalui gelembung air ebullition. Ruang udara pada pembuluh aerenkima daun, batang dan akar yang berkembang dengan baik Universitas Sumatera Utara menyebabkan pertukaran gas pada tanah tergenang berlangsung cepat. Pembuluh tersebut bertindak sebagai cerobong chimney bagi pelepasan metan ke atmosfer. Suplai O 2 untuk respirasi pada akar melalui pembuluh aerenkima dan demikian pula gas-gas yang dihasilkan dari dalam tanah, seperti metan akan dilepaskan ke atmosfer juga melalui pembuluh yang sama untuk menjaga keseimbangan termodinamika Raimbault et al., 1977; Wagatsuma et al., 1990. Mekanisme ini terjadi akibat perbedaan gradient menyebabkan CH 4 terlarut di sekitar perakaran terdifusi ke permukaan cairan akar menuju dinding sel korteks akar. Pada dinding korteks akar, metan terlarut akan berubah menjadi gas dan disalurkan ke batang melalui pembuluh aerenkima dan ruang antar sel lisigenus. Selanjutnya metan Aulakh et al. 2000, dalam penelitiannya menggunakan tujuh varietas padi yang memiliki perbedaan berdasarkan: a tinggi tanaman Dular, B40, dan Intan; b pendek dengan hasil tinggi IR-72 dan IR-64; c padi tipe baru IR- 65597; dan d hibrida Magat, menemukan bahwa varietas-varietas tersebut mempunyai kapasitas angkut metan methane transport capacity berbeda yang tidak hanya dipengaruhi oleh stadium tumbuh tanaman tetapi juga oleh perbedaan fisiologis dan morfologis antar varietas padi. Perbedaan kapasitas angkut metan tanaman padi terletak pada pembuluh aerenkima tanaman. Menurut Aulakh et al. 2000 varitas padi mempunyai bentuk, kerapatan, dan jumlah pembuluh aerenkima yang berbeda. Kludze et al. 1993 juga menyebutkan bahwa pembentukan pembuluh aerenkima padi itu sendiri sangat dipengaruhi oleh redoks potensial tanah di mana pada kondisi reduksi, pembentukan pembuluh aerenkima padi semakin banyak dan rapat. akan dilepas melalui pori-pori mikro pada pelepah daun bagian bawah. Universitas Sumatera Utara Biomassa akar dan tanaman juga berpengaruh terhadap emisi metan terutama pada stadium awal pertumbuhan tanaman padi karena pada fase aeal pertumbuhan banyak eksudat akar yang dilepas ke rizosfir sebagai hasil samping metabolism karbon oleh tanaman. Menurut Aulakh et al. 2001, tanaman padi memiliki kemampuan berbeda dalam melepaskan eksudat akar dalam tanah. Hal ini tergantung dari efisiensi penguraian fotosintat oleh tanaman.Semakin efisien dalam mengurai fotosintat dalam membentuk biji padi, semakin kecil eksudat akar yang dilepaskan dari emisi metan semakin rendah. Dampak lain dari pengurangan pembentukan eksudat akar adalah meningkatkan produksi padi. Padi tipe baru IR-65598 dan IR-65600 mengeluarkan eksudat akar yang rendah disbanding IR-72, IR-64, IR-52, dan padi hibrida Magat Aulakh et al., 2001. Kedua padi tipe baru tersebut memiliki potensi hasil gabah yang tinggi dibanding padi lainnya. Jumlah anakan juga merupakan faktor penentu besarnya pelepasan metan dari tanah sawah karena semakin banyak anakan, semakin banyak juga cerobong yang menghubungkan rizosfera dan atmosfer. Jumlah anakan dapat meningkatkan kerapatan dan jumlah pembuluh aerenkima sehingga kapasitas angkut metan menjadi besar Aulakh et al., 2000. Varietas-varietas padi yang memiliki biomassa dan anakan rendah dapat menekan pembentukan dan pelepasan metan dari dalam tanah. Pengaruh varietas padi terhadap emisi metan juga dievaluasi di Jakenan Setyanto et al., 2004; Wihardjaka et al., 1999, dan Wihardjaka et al., 1997. Mereka menemukan bahwa lama tumbuh tanaman juga merupakan salah satu faktor penentu tingkat emisi metan dari lahan sawah. Semakin lama periode tumbuh tanaman, semakin banyak eksudat dan biomassa akar yang terbentuk sehingga emisi metan menjadi tinggi. Universitas Sumatera Utara Eksudat dan pembusukan akar merupakan sumber karbon bagi bakteri metanogenik. Pembentukan eksudat ini erat kaitannya dengan biomas akar, dalam arti semakin banyak biomas akar, semakin banyak pula metan terbentuk Setyanto et al., 2004. Bahan organik tanah Bahan organik tanah merupakan bahan ameliorant penting dalam menunjang kesuburan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Menurut Soepardi 1983, setengah dari kapasitas tukar kation tanah berasal dari bahan organik. Bahan organik juga merupakan salah satu sumber hara mikro tanaman, selain sebagai sumber energi dari sebagian mikroorganisme tanah. Dalam memainkan peran tersebut, bahan organik sangat tergantung dari sumber bahan penyusunnya. Bahan organik yang mudah terdekomposisi merupakan bahan baku utama bagi bakteri metanogenik dalam membentuk metan dilahan sawah. Neue 1984, menghitung total emisi metan dari lahan sawah dari total biomassa kalau dikembalikan ke dalam tanah. Dengan asumsi rata-rata 15 jerami, 50 gulma tanah dan seluruh akar tanaman ditambah biomassa aquatic algae dan gulma; jumlah yang dikembalikan itu setiap tahun kurang lebih setara 390 juta t biomassa atau setara 156 juta t -1 karbon, dan 30 karbon yang dikembalikan tersebut diubah menjadi metan, maka sekitar 62,4 Tg terra gram = 10 12 g metan Schutz et al. 1989 melaporkan bahwa penambahan jerami kering 3 t ha akan dihasilkan dari lahan sawah setiap tahunnya di seluruh dunia. -1 menghasilkan emisi metan 0,5 kali lebih tinggi dibanding dengan tanpa pemberian jerami, dua kali lebih tinggi pada penambahan 5 t ha -1 , dan 2,4 kali lebih tinggi Universitas Sumatera Utara pada penambahan 12 t ha -1 . Sedangkan penambahan 60 t ha -1 jerami memberikan emisi yang sama dengan pemberian 12 t ha -1 . Dari hasil penelitian tersebut ditemukan pula bahwa lahan sawah dengan penambahan jerami, urea dan amonium sulfat memberi emisi yang lebih tinggi dibanding lahan yang hanya sekedar diberi jerami tanpa pemupukan. Yagi dan Minami 1990 menemukan bahwa penambahan jerami 6 t ha -1 dapat meningkatkan emisi metan 1,8 – 3,3 kali lebih besar dibanding hanya pemberian pupuk anorganik. Pada penambahan 9 t ha -1 Sistem Pengairan Pengenangan Air emisi metan yang dihasilkan 3,5 kali lebih besar. Hal yang menarik dari penelitian ini adalah bahwa penambahan jerami yang sudah menjadi kompos terhumifikasi tidak memberi emisi yang lebih tinggi. Setyanto et al. 2009 mengemukakan bahwa kondisi tanah dengan penggenangan berlanjut continously flooded relatif mengemisi metan lebih tinggi dibandingkan dengan macak-macak dan pengairan berselang intermittent. Hasil penelitian Setyanto, 2008 menunjukkan bahwa dengan perlakuaan PTT intermittent, non PTT intermittent dan SRI menghasilkan fluks metan yang lebih rendah. Pengeringan membuat kondisi aerob pada tanah dan mengaktifkan bakteri metanotrof yang berperan mengoksidasi metan CH 4 menjadi CO 2 sehingga lebih banyak metan yang teroksidasi sebelum dilepas ke atmosfer. Setyanto 2004 mengemukakan bahwa seluruh metan yang diproduksi dalam tanah hanya 16,6 yang diemisikan selebihnya dioksidasi. Rendahnya emisi metan pada pengairan intermittent disebabkan oleh meningkatnya nilai reduksi-oksidasi tanah sehingga dekomposisi secara anaerobik tidak berlangsung. Universitas Sumatera Utara Perlakuan intermittent memang ditujukan untuk mengatur kondisi lahan menjadi kering-tergenang secara bergantian. Selain menghemat air irigasi, intermittent dapat memberikan kesempatan pada akar untuk mendapatkan udara sehingga dapat berkembang lebih dalam. Pengairan secara berselang memberikan manfaat pada lahan pertanian antara lain dapat mencegah keracunan besi, mencegah penimbunan bahan organik dan gas H 2 S yang dapat menghambat perkembangan akar, mengaktifkan mikroba yang bermanfat, mengurangi kerebahan, mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif, menyeragamkan gabah pemasakan gabah, mempercepat waktu panen, dan mencegah penyakit busuk akar pada padi, dan memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah.

2.5. Analisis Keberlanjutan