Gas Rumah Kaca GRK

2.4. Gas Rumah Kaca GRK

Berdasarkan publikasi UNDP 2007, sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton Mt CO 2 -e. Namun pada Conference of Paties COP ke 12 di Nairobi, Kenya dengan dipresentasikannya makalah Wetland International Hooijer et al., 2006 perhatian dunia secara mendadak tertuju kepada Indonesia, terlebih lagi sesudah Intergovermental Panel on Climate Change IPCC yang terdiri dari 3000 pakar itu menerima laporan dari Wetland International ini. Menurut tulisan tersebut Indonesia merupakan penghasil gas rumah kaca tertinggi ketiga di dunia sesudah Amerika Serikat dan China. Emisi gas rumah kaca Indonesia diperkirakan setinggi 3000 Mt atau 3 Giga ton Gt CO 2 COP 13 di Bali tidak menghasilkan resolussi mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Degradation REDD, baik untuk lahan gambut maupun tanah mineral, namum sepakat dengan perlunya dilakukan “demonstration” tentang cara pengurangan emisi gas rumah kaca melalui REDD. -e per tahun. Lebih lanjut dikatakan bahwa sekitar 2000 Mt berasal dari lahan gambut. Pembukaan hutan gambut yang pada umumnya dilakukan dengan tebas bakar diperkirakan mengasilkan CO2 sebanyak 1400 Mt dan dekomposisi gambut menyumbangkan sekitar 600 Mt CO2 setiap tahun. Emisi dari pembukaan hutan dan perubahan penggunaan lahan bukan gambut dengan pembakaran juga sebesar 500 Mt dan yang berhubungan dengan pembakaran juga sebesar 500 Mt CO2-e. Mungkin angka tersebut lebih disebabkan oleh ekstrakpolasi data saat kebakaran hutan di musim kemarau IPCC, 2007. Universitas Sumatera Utara Sebagai salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, Indonesia sangat berkepentingan dalam usaha penanggulangan pemanasan global dan perubahan iklim yang menyertainya. Indonesia bertekad untuk meningkatkan absorpsi karbon atau menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor energi dan kehutanan. Perhatian terhadap pemanasan global terus meningkat sejalan kenaikan emisi gas rumah kaca utama seperti karbon dioksida CO2, metan CH 4 dan nitrogen dioksida N2O. Menurut Inubushi et al. 2001, kontribusi gas CO 2 , CH4, dan N 2 Hasil pengukuran atmosfer menunjukkan bahwa kadar gas rumah kaca GRK di udara terus meningkat seiring dengan aktivitas manusia. GRK menimbulkan fenomena alam yang disebut efek rumah kaca yang berpengaruh terhadap perubahan iklim global Taylor dan MacCracken, 1990 yang ditandai oleh timbulnya cuaca ekstrim yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas tanaman. O secara berturut-turut sekitar 60, 20, dan 6 terhadap total gas rumah kaca. Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil, proses alamai, dan kegiatan alih guna lahan. Proses tersebut dapat menghasilkan gas-gas yang makin lama makin banyak jumlahnya di atmosfer. Diantara gas-gas tersebut adalah karbon dioksida CO 2 , metan CH 4 dan nitrogen dioksida N 2 O. Gas- gas tersebut memiliki sifat seperti rumah kaca yang meneruskan radiasi gelombang pendek atau cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang-panjang yang dipancarkan bumi yang bersifat panas sehingga suhu di atmosfer bumi makin meningkat. Universitas Sumatera Utara Dalam kurun waktu 100 tahun mendatang konsentrasi gas-gas rumah kaca tersebut diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dibanding zaman pra industri. Pada kondisi demikian, berbagai GCM global circulation model memperkirakan peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi antara 1,7-4,5 o Pemanasan global juga diperkirakan meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim. Menurut Boer 2002 apabila konsentrasi CO C dalam 100 tahun mendatang. Menurut IPCC Inter-Governmental Panel on Climate Change 2007, peningkatan suhu global sebesar itu akan disertai dengan kenaikan air laut setinggi 15 hingga 95 cm yang disebabkan oleh mencairnya es di kedua kutub bumi. Gupta 1997 membuat scenario dampak terhadap lingkungan di Indonesia pada tahun 2070 apabila emisi GRK tidak ditekan , yaitu: i kenaikan permukaan air laut 60 cm yang akan menyebabkan 3.3 juta penduduk pesisir pantai mengungsi; ii di sektor kesehatan, perubahan iklim global menyebabkan meningkatnya kasus malaria dari 2.075 pada tahun 1989 menjadi 3.246 pada tahun 2070; iii 1.000 km jalan akan hilang beserta lima pelabuhan laut; iv 800.000 ha sawah akan mengalami salinasi dan produksi padi menurun 2,5, jagung 20, kedelai 40. Total kerugian di bidang pertanian diperkirakan mencapai Rp 23 trilyuntahun, dan v 300.000 ha perikanan tepi pantai akan hilang dan 25 hutan bakau akan rusak. Semua permasalahan ini dapat menyebabkan kerugian sekitar US 113 milyar. 2 di atmosfer meningkat dua kali lipat dari konsentrasi CO 2 saat ini, maka diperkirakan frekuensi kejadian ENSO El-Nino and Southem Oscilation akan meningkat dari sekali dalam 3-7 tahun menjadi sekali dalam 2-5 tahun. Apabila konsentrasinya meningkat tiga kali lipat, frekuensi kejadian menjadi sekali dalam Universitas Sumatera Utara 2-3 tahun. Selain itu, intensitas ENSO juga diperkirakan meningkat dua sampai tiga kali lipat. Mitigasi emisi GRK gas rumah kaca adalah upaya untuk menekan laju emisi GRK dari berbagai kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas manusia. Untuk menekan laju emisi GRK bukanlah suatu pekerjaan mudah, sebab sumber pelepasan GRK berhubungan erat dengan berbagai sektor yang berkaitan langsung dengan kehidupan manusia seperti energi, industry, pertanian, kehutanan, dan pengelolaan limbah.Konvensi bangsa-bangsa untuk perubahan iklim UNFCCC United Nation Framework Convention on Climate Change sudah membuat komitmen untuk menekan laju perubahan iklim.Protokol Kyoto adalah salah satu komitmen yang dihasilkan dalam UNFCCC. Kesepakatan yang dicapai adalah bahwa selama periode 2008-2012, negara-negara maju wajib mengurangi tingkat emisi GRK dengan rata-rata 5,2 dari emisi pada tahun 1990. Dalam implementasinya, beberapa negara maju yang sudah menandatangani protocol tersebut ternyata mengalami kesulitan, karena penekanan laju GRK akan memukul sektor industry mereka. Oleh karena itu, terbentuklah suatu pola kerjasama yang terkenal dengan istilah perdagangan karbon carbon trade.Ada beberapa mekanisme perdagangan karbon yang ditawarkan dalam Protokol Kyoto. Dari beberapa mekanisme tersebut, mekanisme pembangunan bersih clean development mechanism,CDM dianggap yang paling cocok diterapkan di negara- negara berkembang, karena negara maju dapat menyerahkan komitmennya untuk menekan laju emisi di negara berkembang dengan memberikan dana kompensasi pada negara yang bersangkutan untuk setiap proyek yang dapat menekan dan Universitas Sumatera Utara menyerap emisi GRK. Indonesia sebagai negara berkembang sangat berpotensi dalam upaya menyerap emisi karbon karena luasnya lahan hutan dan pertanian. Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi konvensi perubahan iklim melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 dan juga telah meratifikasi Protokol Kyoto melalui Undang-Undang Nomor 17 yang dikeluarkan pada tanggal 28 Juli 2004. Dengan ikutnya Indonesia dalam konvensi perubahan iklim, maka Indonesia akan dikenakan kewajiban untuk melaporkan inventarisasi GRK dan juga dapat memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh konvensi, seperti dana mitigasi gas rumah kaca, dana adaptasi terhadap perubahan iklim dan lain- lain. Walau tulisan Hooijer et al. 2006 merupakan analisis terlengkap yang ada saat ini dalam pendugaan emisi karbon lahan gambut di Indonesia, namun tingkat ketidakpastian pendugaan seperti diakui penulisnya dalam tulisan tersebut sangat besar sekitar 60-70. Perkiraan emisi tahunan CO2 yang nilai tengahnya sekirat 3.000 Mt tersebut, berkisar 14.000 sampai 45.000 Mt. Pemanasan global menyebabkan permukaan air laut naik dengan konsekuensi risiko tenggelamnya wilayah pantai, perubahan pola curah hujan dan iklim secara regional maupun global dan berpotensi merubah sistem vegetasi dan pertanian. Secara umum masalah pemanasan global merupakan ancaman serius bagi kelestarian kehidupan organisme dan menjadi isu lingkungan hidup global sejak tahun 1990 Soemarwoto, 1991; Duxbury dan Mosier, 1997; Greene dan Salt, 1997; Murdiyarso, 2003. Perjalanan panjang mencapai suatu komitmen yang diharapkan mengikat peran serta seluruh negara untuk ikut menjaga bumi membuktikan betapa rumitnya menyikapi masalah pemanasan global. Dokumen Universitas Sumatera Utara terkini yang mengatur peran masing-masing negara dan sektor kehidupan terhadap emisi GRK adalah Protokol Kyoto. Dalam dokumen tersebut sektor pertanian juga mendapat porsi tugas mengatur besarnya emisi GRK. Proses produksi pertanian on farm berkontribusi terhadap emisi CO 2 , CH 4 dan N 2 O, sedangkan kegiatan pertanian off farm misalnya pengawetan hasil pertanian secara pendinginan berpotensi mengemisikan CFC. Pada kegiatan budidaya padi sawah GRK CO2 dihasilkan dari dekomposisi bahan organik secara aerobik, emisi CH 4 dihasilkan dari dekomposisi bahan organik secara anaerob dan emisi N 2 Gas rumah kaca yang dihasilkan dalam tanah akan ditransportasikan ke atmosfer melalui lintasan difusi gas dan sebagian lain gas terlarut dalam air dan bergerak ke atmosfer melalui evapotranspirasi. Produksi dan transportasi GRK tersebut berkaitan erat dengan potensial redoks, pH, porositas serta aerasi yang secara praktikal dapat didekati dengan pengelolaan air. Pemanasan global global warming yang disebabkan oleh menumpuknya gas-gas rumah kaca GRK seperti karbon dioksida CO O dari dari tanah melalui peristiwa denitrifikasi, nitrifikasi Ishizuka et al., 2002; Inubushi et al., 2003 dan emisi yang dimediasi oleh tanaman Chen et al., 1999; Hou et al., 2000. 2 , metan CH 4 , dan nitrogen dioksida N 2 O, sering dikaitkan dengan budi daya pertanian. Lahan pertanian merupakan sumber penyumbang metan yang cukup ignifikan karena kondisi tanah yang tergenang memudahkan terjadinya pembentukan metan. Luasnya areal pertanian khususnya di negara-negara berkembang, diidentifikasi sebagai sumber dan penyumbang utama peningkatan konsentrasi metan di atmosfer. Emisi metan dari lahan pertanian diperkirakan sebesar 100 Tgtahun -1 Yagi dan Minami 1990; Seiler et Universitas Sumatera Utara al., 1984. Indonesia dengan luas lahan pertanian 6,8 dari luas lahan pertanian dunia diduga memberi kontribusi sebesar 3,4-4,5 Tg CH 4 tahun 1 Tg = 10 12 g. Berdasarkan data tersebut, tanah sawah bukan merupakan penyebab utama peningkatan emisi metan secara global. Namun pada skala nasional, kontribusi tanah sawah terhadap total emisi GRK masih cukup tinggi. Oleh karena itu upaya penurunan emisi metan dari tanah sawah harus tetap dilakukan. Cara mitigasi yang dipilih hendaknya tidak mengorbankan aspek produksi dan diupayakan bersifat spesifik lokasi. Selain itu, prioritas upaya mitigasi perlu diarahkan pada ekosistem tanah sawah yang memiliki potensi emisi metan yang tinggi, yaitu pada tanah sawah beririgasi.

2.4. 1. Gas Metan CH