2.3.2. Pencemaran Air dan Kualitas Air Sawah
Kebutuhan air untuk irigasi akan bersaing dengan kebutuhan industri, perumahan dan lainnya yang akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan
penduduk, perkembangan industri dan pembangunan perumahan. Ketersediaan sumberdaya air secara nasional masih besar. Namun jika ditinjau potensi sumber
daya air yang dapat dimanfaatkan potentially utilizable water resource, PUWR, Indonesia telah memasuki status kelangkaan air. Ketersediaan sumberdaya air
tahunan annual water resources, AWR memang masih besar, terutama di wilayah barat, tetapi tidak semuanya dapat dimanfaatkan utilizable.Sebaliknya,
pada sebagian wilayah di kawasan Timur yang radiasinya melimpah, curah hujan rendah 1500 mmtahun yang hanya terdistribusi selama 3-4 bulan.
Sistem pertanian padi sangat rentan terhadap kejadian iklim ekstrim atau tingkat kemampuan beradaptasi rendah. Sebagai contoh luas areal tanaman padi
terkena kekeringan di Indonesia di beberapa kabupaten di Jawa Barat Indramayu, Bandung, Cilacap, Sukabumi, Tangerang, dan Tasikmalaya konsisten terkena
kekeringan cukup luas apabila terjadi El-Nino. Kehilangan produksi padi pada tahun El-Nino di kabupaten-kabupaten ini meningkat tajam dari sekitar 5.000 ton
pada tahun normal menjadi lebih dari 50.000 ton pada tahun El-Nino. Kehilangan produksi padi tahun El-Nino 198283 kurang dari 0,5 juta ton, sedangkan pada
tahun El-Nino 199798 meningkat sampai diatas 1,50 juta ton. Kondisi ini menunjukkan behwa tingkat adaptasi sistem produksi padi terhadap kejadian
iklim ekstrim masih rendah. Beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini antara lain: i areal tanaman padi semakin luas dan lokasi perluasan areal umumnya
pada wilayah rawan kekeringan, dan ii belum berkembangnya teknologi
Universitas Sumatera Utara
antisipasi atau masih rendahnya tingkat adopsi petani dalam memanfaatkan teknologi antisipasi atau masih rendahnya tingkat adopsi petani dalam
memanfaatkan teknologi antisipasi Boer et al., 2003 Berdasarkan analisis ketersediaan air pada saat ini dapat diprediksi bahwa
kebutuhan air di Indonesia sampai tahun 2020 hanya 18 dari total air tersedia. Proyeksi permintaan air pada tahun 2020 hanya 18 dari total air tersedia, 66
digunakan untuk irigasi, 17 untuk rumah tangga, 7 untuk perkotaan, dan 9 untuk industri. Untuk mempertahankan ketersediaan air tanah dan sumber-
sumber air dangkal, penghijauan kembali semua pebukitan dan gunung-gunung yang sudah gundul dan pelestarian hutan-hutan lindung perlu segera
direalisasikan. Ketersediaan air yang berlimpah tidak mencerminkan kecukupan air. Rasio antara kebutuhan dan ketersediaan air yang kurang 40 termasuk
kategori aman Katumi et al., 2002 Ketersediaan air makin mendapat perhatian yang serius tidak hanya
disebabkan oleh peningkatan kebutuhan dan kurang efisiennya penggunaan air untuk pertanian, tetapi juga oleh makin meningkatnya kebutuhan air untuk sektor
nonpertanian. Selain itu, pengembangan industri dan pemukiman tidak hanya akan meningkatkan penggunaan air tetapi juga mempunyai dampak tersendiri terhadap
kualitas air. Padahal sumber daya air makin terbatas dan makin tidak teratur pasokannya Pawitan et al., 1997.
Sengketa antar berbagai penggunaan air, termasuk di sektor pertanian semakin sering terjadi akibat tidak adilnya alokasi pembagian air antara di
wilayah hulu head dan hilir tail end. Petani di wilayah hulu biasanya mendapatkan air lebih awal dan relative banyak bahkan berlebihan, sedangkan di
Universitas Sumatera Utara
wilayah hilir sering mengalami kekurangan dan keterlambatan pasokan air, yang umumnya terjadi pada musim kemarau.
Berdasarkan pola curah hujan, daerah pertanian yang rawan kekeringan dalam arti berpeluang tinggi terjadinya kekeringan umumnya mengalami defisit
air tahunan antara 50-1.000 mm. Artinya jumlah curah hujan kumulatif satu tahun lebih rendah dibandingkan dengan evapotranspirasi potensial. Kebanyakan daerah
tersebut mempunyai tipe agroklimat C3, D3, D4, dan E yang mempunyai bulan kering berturut-turut lebih dari empat bulan Fagi dan Manwan, 1992.
Padi dan palawija di lahan irigasi ditanam dalam pola tanam berorientasi padi rice based cropping system. Sebab itu ditempuh dua pendekatan untuk
menanggulangi dampak negatif kemarau panjang. Pertama, pendekatan sistem produksi. Air yang tersedia dalam satuan waktu dimanfaatkan untuk
meningkatkan atau mempertahankan intensitas tanam dengan memperpendek turn around time, ini juga akan membuat tanaman musim kemarau terhindar dari
cekaman kekeringan. Kedua, pendekatan komoditas. Air yang tersedia dalam satuan volume digunakan secara efisien bagi masing-masing komoditas dalam
suatu pola tanam untuk meningkatkan dan mempertahankan areal tanam dan tingkat produktivitas. Pendekatan komoditas dapat ditempuh: a efisiensi sistem
pendistribusian air irigasi, dan b efisiensi penggunaan air irigasi. Variabilitas debit air dari sungai-sungai lokal dijadikan kriteria bagi sistem pendistribusian air
di wilayah pengairan timur PJT II seperti berikut: sistem gilir giring diterapkan jika debit air sungai 40 dari debit air normal dan sistem gilir glontor jika debit
air sungai 60 dari debit air normal.
Universitas Sumatera Utara
Efisiensi penggunaan air di tingkat petani masih rendah yaitu 30 pada kondisi pasokan air normal.Di tingkat petani, kehilangan air melalui rembesan dan
perkolasi relative sedikit, tetapi kehilangan air permukaan surface losses besar akibat kurangnya perhatian terhadap pendistribusian air. Drainase permukaan
sering melebihi 50 dari pasokan air total, terutama selama periode curah hujan tinggi.Kebanyakan sistem irigasi padi sawah di Indonesia menerapkan metode
pendistribusian aliran air secara kontinu dengan pengendalian minimal, sehingga efisiensi penggunaan air umumnya rendah.
Meskipun budi daya padi sawah dengan sistem penggenangan air 50-150 mm memberikan beberapa keuntungan seperti menekan pertumbuhan populasi
spesies gulma tertentu, memberikan hasil yang lebih tinggi, dan meningkatkan ketersediaan hara namun metode ini mengkonsumsi air irigasi relatif banyak,
memacu emisi metan, lingkungan yang cocok bagi berkembangnya hama dan penyakit, mengakibatkan struktur tanah buruk akibat proses pelumpuran, sehingga
menyebabkan kerebahan tanaman akibat lemahnya batang padi dan menekan ketersediaan hara mikro seperti seng Zn.
Adanya tekanan kebutuhan air diluar sektor pertanian yang terus meningkat dan makin menurunnya ketersediaan air maka diperlukan berbagai opsi
dalam reduksi input air yang dapat memperbaiki produktivitas air dalam budi daya padi sawah dilahan beririgasi. Untuk meningkatkan ketersediaan sumberdaya air
bagi tanaman padi pada musim kemarau relatif sulit dilaksanakan dalam satu kawasan yang luas sekalipun usaha ke arah tersebut sudah banyak dilakukan,
misalnya mealui pemberian air secara berselang intermittent irrigation. Usaha lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air yaitu
Universitas Sumatera Utara
melengkapi, merehabilitas, membangun jaringan irigasi yang sumber airnya masih tersedia pada musim kemarau. Prakiraan iklim yang tepat diperlukan dalam
penentuan waktu dan pola tanam yang tepat, termasuk percepatan tanam. Dalam upaya pengembangan teknologi hemat air di tingkat petak
usahatani tersier dalam budidaya padi sawah perlu tindakan sebagai berikut: 1 pembuatan jadwal tanam dan pola tanam yang sesuai dengan golongan air; 2
penggunaan varietas padi yang relatif toleran kekeringan dan berumur genjah, namun bila ketersediaan air tidak mencukupi tidak perlu dipaksakan menanam
padi, dapat diganti dengan palawija; 3 penyusunan peta dan teknik pergiliran air; 4 pemberdayaan kelembagaan air yang ada sehingga terjalin koordinasi dengan
instansi terkait; 5 perbaikan saluran dan pintu air serta dilengkapi alat ukur yang tepat dan akurat; dan 6 perlu sosialisasi penggunaan alat field tube di tingkat
kelompok tani sehingga penghematan air irigasi secara bertahap dapat dicapai Setiobudi, 2010.
Rendahnya tingkat efisiensi penggunaan air selama proses pemakaian diantaranya disebabkan kebiasaan petani yang masih senang menggunakan
genangan yang tinggi sampai 15 cm secara terus-menerus continous flow ;beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian air irigasi macak-
macak dan tidak secara terus-menerus rotasi hasilnya tidak berbeda nyata dengan genangan tinggi secara terus-menerus Abdurachman et al., 1985.
Pengolahan tanah dengan cara dilumpurkan puddling pada sawah bukaan baru juga telah diteliti meskipun belum dikaitkan dengan produksi tanaman padi.
Hasilnya menunjukkan bahwa makin intensif pelumpuran dilakukan makin kecil
Universitas Sumatera Utara
kehilangan air melaui perkolasi yang berimplikasi pada peningkatan efisiensi pemanfaatan air Subagyono et al., 2001.
Efisiensi penggunaan air merupakan aspek penting berkenaan dengan upaya peningkatan nilai ekonomi produksi pertanian pada lahan beririgasi.
Berkenaan dengan sawah beririgasi, Abbas et al. 1985 melaporkan bahwa efisiensi penggunaan air pada lahan yang diirigasi secara macak-macak hampir 2-
3 kali lebih tinggi dibanding dengan lahan yang digenangi terus-menerus. Hasil yang serupa dilaporkan juga oleh Setiobudi 2001, bahwa dengan irigasi macak-
macak dari sejak tanam sampai 7 hari menjelang panen pada musim kemarau maupun musim hujan dapat menghemat penggunaan air 40 dibanding dengan
penggunaan secara kontinu. Sistem penggenangan juga berpengaruh terhadap effisiensi penggunaan
air. Genangan dalam 10-15 cm seperti yang dilakukan petani pada umumnya dapat menyebabkan tingginya kehilangan air lewat perkolasi sebesar 12.612,8
cu.m ha
-1
yang di dalamnya juga terdapat unsur yang bersifat mobile, sehingga tingkat kehilangan hara juga menjadi tinggi dan hasil yang diperoleh sebesar 7,8 t
ha
-1
. Penurunan genangan menjadi 5-7 cm selain dapat menurunkan tingkat kebutuhan air irigasi sebesar 8.918,4 cu.m ha
-1
dan juga dapat meningkatkan hasil tanaman hingga 10,5 t ha
-1
Hasil penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa teknik irigasi dengan sistem rotasi dapat menghemat penggunaan air 20-30 tanpa menyebabkan
terjadinya penurunan hasil. Metode ini juga mendukung lebih baiknya pertumbuhan tanaman dan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan dan
penggunaan tenaga kerja Bhuiyan, 1980. Hasil penelitian yang dilakukan di Ghosh, 2003.
Universitas Sumatera Utara
Nueva Ecija, Filipina juga menunjukkan bahwa pemberian air dengan sistem rotasi tidak menyebabkan terjadinya penurunan hasil, bahkan nampak adanya
kecenderungan peningkatan hasil panen. Dengan irigasi berselang hasil padi meningkat hampir 7 dibanding
dengan hasil pada lahan yang terus-menerus digenangi, sementara hasil padi dengan irigasi bergilir meningkat 2. Kebutuhan air irigasi untuk sistem irigasi
dengan penggenangan terus-menerus adalah sebesar 725 mm, sedangkan untuk irigasi gilir dan berselang masing-masing adalah 659 mm dan 563 mm. Curah
hujan selama periode irigasi adalah 579 mm Krishnasamy et al., 2003. Dari hasil penelitian di Tuanlin, Propinsi Huibei, China, Cagabon et al. 2002 melaporkan
bahwa irigasi dengan penggenangan terus-menerus membutuhkan air yang lebih banyak, kemudian secara berurutan diikuti dengan pengairan berselang, sistem
penjenuhan pada bedengan, irigasi dengan penggelontoran flus irrigation pada lahan kering tanah dalam kondisi aerobik, dengan irigasi pada lahan tadah hujan.
Irigasi berselang lebih tinggi kontribusinys dalam peningkatan jumlah anakan padi, lebar daun leaf area dan produksi biomassa Gani et al., 2002.
Lebih jauh Krishnasamy et al., 2003 melaporkan bahwa produkstivitas lahan pada sistem irigasi berselang lebih tinggi 6,73 dibanding penggenangan
dan dengan sistem tersebut penggunaan air irigasi dapat dihemat hingga 21 lebih tinggi dari sistem penggenangan. Efisiensi irigasi dengan sistem irigasi
berselang mencapai 77 lebih tinggi dibanding pada sistem penggenangan terus- menerus 52 dan sistem irigasi bergilir 68.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang dilakukan IRRI dengan menggunakan varietas IR-8 menunjukkan tidak ada pengaruh nyata terhadap hasil tanaman untuk tingkat
penggenangan 1-15 cm. Sistem genangan dangkal shallow flooding, bagaimanapun memberikan hasil per unit penggunaan air yang lebih rendah, salah
satunya disebabkan oleh relatif lebihrendahnya kehilangan air lewat perkolasi. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun pada dasarnya penggenangan
secara terus-menerus tidak menyebabkan peningkatan hasil, penggenangan sedalam 5-7 cm secara terus menerus kemungkinan merupakan praktek terbaik,
khususnya dalam hubungan pengendalian gulma dan efisiensi pemupukan De Datta et al., 1980.
Aktivitas pertanian terutama pertanaman padi, merupakan konsumen air terbesar dunia. Di Asia, 86 dari total pemakaian air digunakan untuk pertanian
jauh lebih besar bila dibandingkan dengan Amerika Utara dan Amerika Tengah 49 , serta Eropa 38. Padi sawah beririgasi merupakan konsumen air yang
luar biasa besarnya, karena untuk menghasilkan 1 kg beras, konsumsi air mencapai 5.000 liter. Bila dibandingkan dengan tanaman lain, padi tergolong
kurang efisien dalam menggunakan air karena dapat mengkonsumsi air sebesar 7.650 m
3
Menurut Tejoyuwono, 1992 dengan mengambil hasil panen rerata Nasional dengan program dengan program intensifikasi pada tahun 1989 sebesar
4,6 ton ha per hektar IRRI, 1995.
-1
gabah kering giling, koefisien konversi ke beras 0,7 dan kebutuhan air satu kali panen 1.842 mm, maka untuk menghasilkan setiap 1 kg beras dengan
sistem sawah diperlukan air secara rerata sebanyak 5.720 liter. Jadi sistem sawah untuk menghasilkan beras memang boros sekali air.
Universitas Sumatera Utara
Pertanaman padi di sawah merupakan budidaya tanaman yang paling banyak menggunakan air. Air merupakan unsur sangat penting pada sistem sawah
dan ketersedian air dalam jumlah tinggi merupakan prasyarat persawahan. Air diperlukan banyak untuk melumpurkan tanah, untuk menggenangi petak
pertanaman, dan untuk dapat dialirkan dari petak ke satu petak yang lain sehingga sawah memberikan beban paling berat kepada sumberdaya air. Untuk satu musim
tanam diperlukan air sebanyak 1.500 mm, walaupun tidak semua air ini dimanfaatkan untuk proses pertumbuhan dan evapotranspirasi. Sebagian air
tersebut mengisi cadangan air tanah ground water, dan sebagian lagi merembes kembali ke badan air. Dengan semakin kompetitifnya pengadaan air maka tidak
mudah mengadakan air dengan jumlah yang berlimpah tersebut untuk sawah Watung et al., 2003.
Pada budidaya padi sawah, ketersediaan air merupakan persyaratan utama. Sys 1985 memaparkan persyaratan kesesuaian lahan untuk padi sawah dengan
kriteria S1 sangat sesuai adalah curah hujan selama periode tumbuh 1.400 mmperiode tumbuh, dan pada daerah dengan curah hujan kurang dari 800
mmperiode tumbuh dikategorikan sebagai lahan tidak sesuai N. Kondisi tersebut mengacu pada kebutuhan air pada petak sawah yang mencapai 940.7
mmperiode tumbuh Arsyad, 1989. Berdasarkan standar kebutuhan air menurut Departemen Pekerjaan Umum
untuk padi sawah atau dengan kata lain pembekalan baku air kepada lahan sawah di Indonesia adalah 1 liter detik
-1
ha
-1
. Pembekalan baku tersebut ditetapkan dengan asumsi bahwa laju kehilangan air karena perkolasi berada dalam kisaran
1-2 mm per hari.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut pengukuran Mukarami dalam Kalpage, 1976, kebutuhan air sawah dapat juga dihitung secara rinci dengan menjumlahkan
kebutuhan air tiap tahap kegiatan budidaya. Kebutuhan air pada musim kemarau lebih tinggi dari pada musim hujan karena laju evapotranspirasi lebih besar.
Untuk pelumpuran tanah, perataan muka tanah dan mempertahankan tanah jenuh air selama 2 hari sebelum menyemai diperlukan air 170 mm. Evapotranspirasi
selama penyemaian air selama 20 hari menghabiskan air 66 mm pada musim hujan MH atau 130 mm pada musim kemarau MK. Perkolasi mulai
pembibitan sampai panen dengan laju 7 mm per hari selama 140 hari 20 hari pembibitan ditambah 120 hari umur masak pertanaman padi menghabiskan air
980 mm. Menurut pengukuran di Indonesia, evapotranspirasi pada pertanaman padi
berlangsung dengan laju 4,4 mm pada MH atau 5,5 mm pada MK per hari. Maka jumlahnya selama 120 hari adalah 528 mm pada MH atau 660 pada MK. Dengan
demikian jumlah kebutuhan air untuk satu kali panen adalah 1.744 mm pada MH atau 1940 mm pada MK. Jumlah pada MH dapat dipenuhi dengan laju bekalan
1,6 liter detik
-1
ha
-1
sedang pada MK 1,8 liter detik
-1
ha
-1
. Untuk angka pedoman, bisa diambil puratanya sebesar 1,7 liter detik
-1
ha
-1
dan jumlah keperluan air untuk satu kali panen sebesar 1.842 mm Tejoyuwono, 1992. Untuk
meningkatkan intensitas tanam menjadi 3 kali tanam dan panen selama satu tahun IP 300 untuk menuju Indeks Pertanaman Padi 400 diperkirakan dibutuhkan air
sebesar 5526 mm.
Universitas Sumatera Utara
Sumber air irigasi harus memenuhi syarat kualitas agar tidak berbahaya bagi tanaman yang akan diairi, karena dalam jangka panjang dapat berpengaruh
terhadap kualitas hasil atau produk pertanian. Schwab dan Flevert, 1981 mensyaratkan kualitas air irigasi sangat tergantung dari kandungan sedimen atau
lumpur dan kandungan unsur-unsur kimia dalam air tersebut. Sedimen atau lumpur dalam air pengairan berpengaruh terhadap tekstur tanah, terutama pada
penampang tanah akibat pori-pori tanah terisi atau tersumbat sedimen tersebut, dan menurunkan kesuburan tanah. Sedimen atau lumpur yang mengendap di
dalam saluran irigasi akan mengurangi kapasitas pengaliran air dan memerlukan biaya tinggi untuk pembersihannya.
Sifat-sifat kimia air pengairan berpengaruh terhadap kesesuaian air untuk berbagai penggunaan, sehingga aman untuk setiap pemakaian. Sifat-sifat kimia
pengairan yang sangat penting diketahui dalam kaitannya dengan kegiatan pertanian diantaranya adalah 1 konsentrasi garam total yang terlarut; 2
proporsi garam Na terhadap kation lainnya sodium adsorption ratio =SAR; 3 konsentrasi unsur-unsur racun potensial yang dapat mencemari atau merusak
tanah; dan d konsentrasi bikarbonat, yang berkaitan erat dengan Ca dan Mg. Bila sifat-sifat kimia air tersebut melebihi konsentrasi yang diizinkan,
pertumbuhan tanaman akan terhambat dan akan mengalami penurunan hasi Subagyono et al., 2005. Menurut Ramadhi 2002 hasil gabah di persawahan
Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung berkurang sekitar 60-70 dari produksi normal akibat kualitas air mengandung Na dengan konsentrasi tinggi
yang berkisar antara 560-880 ppm Na. Dengan pemberian air bersih dan
Universitas Sumatera Utara
berkualitas, hasil gabah pada persawahan tersebut dapat encapai 8-10 t ha
-1
Kurnia et al., 2003. Pada umumnya, aspek kualitas air irigasi sering diabaikan karena
perhatian kita selalu tertumpu pada kuantitas. Salinitas dan salinisasi merupakan masalah yang dapat terjadi pada lahan beririgasi, termasuk lahan sawah beririgasi.
Meskipun di Indonesia jarang terjadi walau pernah terjadi dalam jumlah yang kecil, namun hal ini harus tetap diwaspadai. Dari hasil penelitian Kitamura et al.
2003 di Kazakhtan melaporkan bahwa sumber salinitas ini berasal dari sumber air irigasi yang berkadar garam relatif tinggi atau dapat juga dari air bawah tanah
yang melalui proses aliran air ke atas upward movement. Hasil penelitian Hur et al. 2003, dalam kasus kualitas air, pendekatan
baru dan konsep mempertimbangkan penggunaan lahan termasuk lahan sawah yang meliputi 61 dari tanah garapan diperlukan untuk meningkatkan kualitas air
yang terkontaminasi oleh polutan pertanian di Korea.
Pada penelitian ini standart kualitas air yang digunakan sebagai acuan baik atau tidaknya kualitas air dan tidak membahayakan lingkungan mengacu pada
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 Tanggal 14 Desember 2001 tentang Pengelolaan Kualitas air dan Pengendalian Pencemaran air.
Hal ini dapat dimungkinkan melalui sistem beban pencemaran evaluasi, klasifikasi DAS dengan karakteristik
topografi dan batuan induk, sub-klasifikasi lahan garapan, penilaian potensi erosi dan kemungkinan situs-spesifik Best Management Practice aplikasi BMP di
lapangan.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Gas Rumah Kaca GRK