Latar belakang Model Optimum Budidaya Padi Intensif Dengan Pertimbangan Gas Metan Pada Sawah Irigasi Teknis

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Upaya pemenuhan kebutuhan beras bagi 230 juta penduduk Indonesia dewasa ini memerlukan kerja keras dengan melibatkan puluhan juta orang yang berhadapan dengan berbagai faktor alam dan pasar yang tidak selalu bersahabat dan mendukung. Penyediaan pangan terutama beras dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau tetap menjadi prioritas utama pembangunan nasional. Selain merupakan makanan pokok lebih dari 95 rakyat Indonesia, bercocok tanam padi juga telah menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 36,1 juta rumah tangga petani di pedesaan, sehingga dari sisi ketahanan pangan nasional fungsinya menjadi sangat penting dan strategis karena turut mempengaruhi tatanan politik dan stabilitas nasional Deptan, 2008. Pertumbuhan jumlah penduduk dan dan tingkat konsumsi beras yang masih tinggi menyebabkan kebutuhan beras terus meningkat. Hal ini berarti pertumbuhan produksi tidak mampu mengimbangi peningkatan jumlah penduduk Hilman et al., 2010. Pada tahun 2011 jumlah penduduk 241,1 juta orang dengan tingkat konsumsi 139,15 kg beras perkapita pertahun BPS, 2011. Upaya peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan pangan yang semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dapat ditempuh dengan strategi pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, dan pemanfaatan sumberdaya teknologi. Salah satu indikator penting kinerja pemerintah terutama untuk sektor pertanian adalah terpenuhinya kebutuhan pangan dalam jumlah yang cukup dan Universitas Sumatera Utara berkualitas serta harga yang terjangkau bagi masyarakat. Ditengah krisis pangan dunia yang dipicu oleh perubahan iklim, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian tetap menargetkan surplus 10 juta ton beras sampai tahun 2014, dan pada akhirnya dijadikan agenda penting Kementerian Pertanian yang harus didukung oleh seluruh Provinsi di Indonesia termasuk Sumatera Utara. Program tersebut juga membutuhkan pengawalan dan kerjakeras secara terintegrasi dan komprehensif dari seluruh pemangku kepentingan, baik pusat maupun daerah. Pencapaian surplus ini dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu menurunkan konsumsi beras dan meningkatkan produksi beras. Penurunan konsumsi beras dapat dicapai melalui diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal dan budaya lokal. Penurunan ini menjadi bermakna karena diharapkan mampu berkontribusi dalam menurunkan angka kerawanan pangan dunia yang mencapai 1,02 miliar orang atau 15,8 persen dari jumlah total penduduk dunia Renstra Kementan, 2009. Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mempertahankan swasembada beras. Diantara tingginya pertumbuhan populasi penduduk, konversi lahan sawah subur ke tanaman lainnya yang lebih bernilai jual tinggi, pembangunan kawasan perumahan, perkantoran dan kawasan industri, meningkatnya kompetisi antar-usahatani, keterbatasan sumberdaya air serta terjadinya banjir dan kekeringan akibat perubahan iklim climate change karena pemanasan global global warming, Suyamto dan Zaini, 2010 . Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain juga disebabkan oleh: 1 Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun; 2 Peningkatan luas areal Universitas Sumatera Utara penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua faktor tersebut memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun. Untuk mengatasi dua permasalahan teknis yang mendasar tersebut perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian pangan khususnya dalam kerangka program ketahanan pangan nasional untuk pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan. Ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional, karena : 1 akses terhadap pangan dan gizi yang cukup menjadi hak paling azasi bagi manusia, 2 kecukupan pangan berperan penting dalam pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas, dan 3 ketahanan pangan menjadi pilar utama dalam menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan Las et al., 2006. Sehingga Upaya mempertahankan ketahanan pangan nasional perlu dilaksanakan secara simultan melalui : 1 pengendalian konversi lahan pertanian; 2 mencetak lahan pertanian baru; dan 3 intensifikasi sistem pertanian dengan menerapkan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas peningkatan intensitas tanam dan sekaligus mempertahankan kualitas lingkungan. Namun menurut Agus dan Mulyani 2006, peningkatan produktivitas dapat mengalami berbagai kendala diantaranya; 1 degradasi dan konversi lahan pertanian; 2 infrastruktur pertanian; 3 ketersediaan sarana produksi; 4 adopsi teknologi tepat guna; 5 luas kepemilikan lahan; 6 kelembagaan pertanian; 7 akses permodalan petani; 8 jaminan harga hasil panen dan 9 perubahan iklim global. Berbagai penelitian dan permodelan terhadap produksi pertanian dan perubahan iklim menunjukkan bahwa perubahan Universitas Sumatera Utara iklim memiliki dampak negatif terhadap produksi pertanian. Bahkan Warren et al. 2006 memprediksi peningkatan suhu sebesar 3 Penelitian Wahyuni dan Wihardjaka 2007 serta Susandi 2008 menyimpulkan dampak pemanasan global terhadap usaha pertanian adalah; 1 penyusutan luas lahan sawah dan makin luasnya areal sawah yang terintrusi air laut di daerah pantai akibat naiknya permukaan air laut ; 2 Makin sering terjadi banjir dan kekeringan pada lahan sawah; 3 Kenaikan suhu yang berpengaruh terhadap pola pertumbuhan dan produktivitas tanaman padi; 4 Variabilitas intensitas dan distribusi hujan akan mengubah awal musim tanam dan jadwal musim tanam yang kemudian berdampak terhadap penurunan produksi pertanian; 5 Menstimulasi perkembangan organisme penggangu tanaman OPT. C akan menimbulkan kelaparan bagi 600 juta jiwa, terutama dinegara-negara berkembang termasuk Indonesia. Lahan sawah, yang luasnya mencapai 7,7 juta ha, ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan pangan terutama beras, sehingga perlu ditambah dengan impor. Produksi dan kebutuhan beras pada tahun 2010 mencapai 32,65 juta ton, sedangkan kebutuhan mencapai 36,77 juta ton beras, sehingga terjadi defisit sekitar 4,12 juta ton beras. Pada tahun 2015 diprediksi di Indonesia terjadi kekurangan beras sebanyak 5,8 juta ton dan meningkat menjadi 7,49 ton beras pada tahun 2020. Untuk menghasilkan padi sebanyak itu diperlukan luas panen sekitar 13.500-15.000 ha lahan sawah atau luas baku sawah sekitar 9.000-10.000 ha dengan asumsi IP 150. Laju pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi beras yang relatif tinggi menuntut peningkatan produksi yang sinambung, sementara sebagian lahan sawah yang subur telah beralih fungsi untuk usaha lain Universitas Sumatera Utara Peningkatan Indeks Pertanaman IP merupakan salah satu skenario yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produksi padi DEPTAN, 2008. Menurut Pusat Sosial-Ekonomi dan kebijakan Pertanian 2010, kebutuhan beras Indonesia pada tahun 2050 diperkirakan 48,2 juta ton setara dengan 80,3 juta ton gabah kering giling GKG. Pada saat ini tingkat produksi beras baru mencapai 36 juta ton atau setara 60 juta ton GKG. Kekurangan 12,2 juta ton beras pada tahun 2050 atau setara 20,3 juta ton GKG sebagian dapat dipenuhi melalui peningkatan produktivitas. Dengan kapasitas produksi gabah maksimal pada lahan sawah irigasi dan tadah hujan yang dewasa ini 60,2 juta ton, maka defisit sekitar 20 juta ton hanya dapat dicukupi melalui pemanfaatan lahan rawa, lahan kering, dan peningkatan intensitas pertanaman Suyamto dan Zaini, 2010. Target Pemerintah melalui Kementerian Pertanian yaitu 70,6 juta ton GKG dan 10 juta ton beras pada 2014 Inpres No 5 Tahun 2011. Jumlah kebutuhan beras yang sangat tinggi tersebut dapat dipenuhi dengan berbagai skenario antara lain dengan peningkatan intensitas Pertanaman atau meningkatkan IP. Luas lahan potensial untuk penerapan IP padi 400 di 17 provinsi mencapai 231.000 hektar BB Penelitian Padi, 2009, terutama pada lahan sawah beririgasi teknis di sekitar waduk di Jawa dan luar pulau Jawa. Namun demikian, upaya peningkatan intensitas tanam padi yang selama ini dipraktekkan akan mengurangi luas areal pertanaman palawija, sayuran, tebu, dan tembakau pada lahan sawah. Dari segi ekonomi usahatani, petani akan memilih pola tanam setahun yang paling menguntungkan, namun dengan penerapan Indeks Pertanaman 3 sampai 4 kali Universitas Sumatera Utara setahun upaya pencapaian swasembada dan swasembada pangan berkelanjutan dapat diwujudkan. Lembaga-lembaga penelitian seperti Badan Litbang Pertanian melalui Balai Besar Penelitian Tanaman Padi BB Padi di Sukamandi telah menghasilkan varietas padi umur pendek Super genjah dan Ultra genjah dengan tingkat produktivitas yang tinggi, demikian juga teknologi pendukungnya sehingga dalam waktu satu tahun melalui pengelolaan dan pola tanam yang baik dapat dilakukan peningkatan produksi minimal 20 t ha -1 tahun -1 Konsep IP Padi 400 juga ditujukan untuk optimalisasi ruang dan waktu sehingga indeks pertanaman dapat dimaksimalkan. Sumarno dan Kartasasmita 2009 menyatakan bahwa budidaya kerja petani padi sawah pada saat ini belum sepenuhnya mendukung diterapkannya program padi sawah IP 300 apalagi IP 400, walaupun sebenarnya dengan peningkatan intensitas tanam dari IP Padi 200 ke IP Padi 300 bahkan jika sampai ke IP Padi 400 dapat meningkatkan perluasan dan kesempatan kerja yang semakin tinggi. Upaya peningkatan produksi padi melalui intensitas tanam juga tidak bisa terlepas dari peran kelembagaan petani dan kelompok tani, kelembagaan permodalan, kelembagaan pemasaran dan kelembagaan penyuluhan pertanian. Menurut Mangkuprawira 2008, revitalisasi kelembagaan pertanian melalaui peningkatan sumberdaya manusia. melalui peningkatan IP sampai 400 khususnya pada lahan-lahan sawah beririgasi teknis. Pengembangan indeks pertanaman padi menuju 400 IP Padi 400 melalui peningkatan intensitas tanam merupakan pilihan menjanjikan guna meningkatkan produksi padi di Propinsi Sumatera Utara khususnya dan Nasional secara umum tanpa memerlukan tambahan irigasi yang luar biasa. IP Padi 400 artinya petani Universitas Sumatera Utara dapat menanam dan memanen padi sebanyak empat kali secara rotasi dalam satu tahun, secara terus menerus pada hamparan lahan yang sama. Pengembangan IP Padi 400 memerlukan empat pilar pendukung. Pertama, produksi benih super genjah dengan umur kurang 85 hari; kedua, dukungan pengendalian hama terpadu PHT, ketiga pengelolaan hara terpadu dan spesifik lokasi; dan keempat, manajemen tanam dan panen yang efisien. Peningkatan intensitas tanam perlu didukung dengan pengelolaan tanaman terpadu PTT yang meliputi penerapan komponen teknologi dasar dan komponen teknologi penunjang. Komponen teknologi dasar meliputi ;1 penggunaan varietas unggul baru; 2 benih bermutu dan berlabel; 3 peningkatan populasi tanaman dengan sistem jajar legowo 4:1 atau 2:1; 4 pemupukan berimbang spesifik lokasi berdasarkan analisa tanah, Perangkat Uji Tanah Sawah PUTS, Permentan NO. 40OT.14042007, penggunaan BWD Bagan Warna Daun ;5 pengendalian organisme pengganggu tanaman OPT melaui pengendalian hama terpadu PHT; dan 6 pemberian pupuk organik. Komponen teknologi penunjang meliputi; 1 pengolahan tanah secara tepat; 2 tanam bibit muda 15 hari; 3 tanam bibit 1 bibit per lubang tanam; 4 pengairan berselang intermittent, dan 5 panen tepat waktu Irianto, 2008. Peningkatan Indek Pertanaman IP merupakan langkah yang lebih operasional dan lebih realistis dalam meningkatkan luas tanam dan panen menuju produksi padi berkelanjutan, karena relatif tidak memerlukan biaya yang besar namun dapat meningkatkan pendapatan petani walaupun dengan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan perubahan kualitas lingkungan baik kualitas tanah, air, emisi gas rumah kaca GRK terutama metan CH 4 dan perkembangan hama dan penyakit pada tanaman padi. Lahan pertanian Universitas Sumatera Utara merupakan sumber penyumbang metan yang cukup signifikan karena kondisi tanah yang tergenang memudahkan terjadinya pembentukan metan. Luasnya areal tanah pertanian khususnya di negara-negara berkembang, diidentifikasi sebagai sumber dan penyumbang utama peningkatan konsentrasi metan di atmosfer. Emisi metan tahunan secara global diduga sebesar 420-620 Tg tahun -1 dan konsentrasinya meningkat 1 tiap tahunnya. Konsentrasi metan di atmosfer saat ini diperkirakan mencapai 1.7 ppmV IPCC 1992. Emisi metan dari lahan pertanian diperkirakan sebesar 100 Tg tahun -1 Yagi dan Minami 1990; Seiler et al., 1984. Indonesia dengan luas lahan pertanian sebesar 6,8 dari luas lahan pertanian di dunia, diduga memberi kontribusi sebesar 3.4-4.5 Tg CH 4 Pada skala nasional kontribusi lahan sawah terhadap total emisi GRK masih cukup tinggi. Peningkatan intensitas pertanaman dengan sistem budidaya padi sepanjang tahun merupakan salah satu upaya untuk peningkatan produksi namun disatu sisi dapat memicu emisi metan dari lahan sawah. Salah satu upaya penurunan emisi metan dari lahan sawah dapat dilakukan dengan cara mitigasi yang tidak mengorbankan aspek produksi dan diupayakan bersifat spesifik lokasi yaitu dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu PTT. tahun. Penelitian tentang perubahan kualitas lingkungan terutama kualitas tannah, kialitas air dan emisi metan di sentra produksi padi akibat peningkatan intensitas tanam menjadi Indeks Pertanaman Padi 400 IP Padi 400 dilakukan untuk mendukung produksi dan produktivitas padi berkelanjutan.

1.2. Perumusan Masalah