tahu. Sebagian besar lapisan rumahtangga menunjukan bahwa sebelum hadirnya industri pengolahan tahu di wilayah Kampung Cikaret, masyarakat dapat
memanfaatkan sungai untuk kebutuhan airnya. Pada Gambar 17 disajikan persentase pendapat responden mengenai pemanfaatan sungai setelah hadirnya
industri pengolahan tahu di wilayahnya.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 17. Pendapat Responden Mengenai Pemanfaatan Sungai Setelah Hadirnya Industri Pengolahan Tahu
Pada Gambar 17 terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan Gambar 16. Sebagian besar responden pada setiap lapisan rumahtangga
menyatakan bahwa air sungai di wilayahnya tidak dapat lagi dimanfaatkan setelah hadirnya industri pengolahan tahu, karena telah tercemar limbah tahu. Hampir
semua penduduk RW 01 kini beralih menggunakan PAM, ada yang kembali menggunakan sumur gali bahkan ada menggunakan mata air di seberang sungai
yang disambung dengan pipa-pipa agar sampai menuju rumahnya. Sungai hanya
dimanfaatkan untuk budidaya Karamba ikan kecil yang dipelihara di sungai
untuk dijual. Akibat limbah tahu yang mencemari air sungai di wilayah Kampung Cikaret, sungai tidak lagi dimanfaatkan untuk kebutuhan air bagi masyarakat
lokal.
6.2.2 Kualitas Sumber Air
Pencemaran air sungai di wilayah RW 01 Kampung Cikaret menimbulkan perubahan kualitas air yang digunakan. Terutama bagi penduduk yang
mengutamakan sungai sebagai sumber air bagi kebutuhannya. Pada Gambar 18 disajikan persentase pendapat responden mengenai kualitas air yang digunakan
setelah adanya industri pengolahan tahu di wilayahnya.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 18. Pendapat Responden Mengenai Kualitas Sumber Air yang Digunakan Setelah Hadirnya Industri Pengolahan Tahu
Berdasarkan Gambar 18 sebagian besar responden atau masyarakat lokal menyatakan ada pencemaran akibat limbah tahu yang dibuang ke sungai oleh
pihak industri pengolahan tahu di wilayah Kampung Cikaret. Lapisan bawah jumlah rumahtangga yang menggunakan sungai termasuk cukup banyak
dibandingkan pada lapisan menengah dan lapisan atas, sehingga yang berpendapat bahwa kualitas sumber air sungai tercemar juga banyak. Lapisan bawah
cenderung menggunakan lebih banyak air sungai sebagai sumber air bagi kebutuhan sehari-hari dibandingkan pada lapisan menengah dan atas. Bukan
hanya pada lapisan bawah saja yang berpendapat sumber air tercemar, tetapi pada lapisan menengah dan atas pun berpendapat hal yang sama.
Responden yang menyatakan sumber air yang digunakan tercemar merupakan penduduk yang masih menggunakan sungai sebagai salah satu sumber
airnya. Melihat kondisi kualitas air sungai yang berubah setelah hadirnya industri pengolahan tahu dari jernih menjadi tidak jernih, kotor dan berbau membuat
responden berpendapat bahwa kualitas sumber airnya tercemar limbah tahu. Pada lapisan bawah sebesar 63 persen atau sebanyak 17 rumahtangga yang menyatakan
kualitas sumber air yang digunakan tercemar. Pada lapisan menengah sebesar 56
persen atau sebanyak 14 rumahtangga yang menyatakan kualitas sumber air yang digunakan tercemar. Pada lapisan atas sebesar 50 persen atau sebanyak tujuh
rumah tangga yang menyatakan kualitas sumber air yang digunakan juga tercemar. Pada Gambar 19 disajikan persentase responden mengenai
terganggunya sumber air akibat limbah tahu.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 19. Pendapat Responden Mengenai Terganggunya Sumber Air Akibat Limbah Tahu
Berdasarkan Gambar 19 percemaran sungai juga menimbulkan perubahan pada sumber air yang digunakan responden sehari-hari sebab jumlah sumber air
yang digunakan menjadi berkurang. Salah satunya adalah sungai yang kini tidak dapat diakses kembali oleh responden terutama pada masyarakat lokal lapisan
bawah yang lebih banyak mengakses sungai sebagai sumber air bagi kebutuhan air sehari-hari dilihat pada Gambar 19. Lapisan bawah lebih banyak atau sebesar
74 persen yang menyatakan terganggunya kualitas sumber air akibat limbah tahu. Responden yang menggunakan mata air pun kini cenderung berkurang karena
untuk mengakses mata air tidak dapat langsung turun ke sungai hal ini akan menimbulkan penyakit gatal-gatal sehingga pengguna mata air harus
menyambungkan pipa-pipa yang panjangnya disesuaikan dengan jarak ke rumahnya. Bagi responden atau masyarakat lokal yang memang tidak mampu
membeli pipa-pipa sesuai ukuran jarak ke rumahnya kembali menggunakan air sumur. Adapun responden atau penduduk setempat yang kini telah menggunakan
PAM dan meninggalkan sungai, sumur serta mata air yang dulu biasa digunakan.
Lapisan bawah 74 persen atau 20 rumahtangga dari 27 rumahtangga, sedangkan pada lapisan menengah 48 persen atau 12 rumahtangga dari 25
rumahtangga dan lapisan atas sebesar 64 persen atau sembilan dari 14 rumahtangga yang berpendapat sumber air yang digunakan terganggu akibat
limbah industri pengolahan tahu. Responden yang menyatakan merasa sumber air yang digunakan terganggu disebabkan mereka menggunakan sungai sebagai
sumber airnya, meskipun air sungai tersebut hanya digunakan untuk sekedar mandi atau hanya untuk mencuci. Pada lapisan bawah, lapisan menengah dan
lapisan atas yang berpendapat sumber air tidak terganggu akibat limbah karena responden tersebut hanya sebentar menggunakan sungai dan lebih banyak
menggunakan sumur. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Rhy, salah satu responden pada lapisan atas yang sempat menggunakan sungai hanya sebentar saja dan
langsung beralih menggunakan PAM: “Saya dulu sempat menggunakan sungai untuk cuci pakaian, tapi
hanya sebentar. Saya langsung pasang PAM di rumah kebetulan anak saya diterima bekerja di PAM. Pemasangan PAM di kampung ini juga
dipelopori oleh saya awalnya. Dulu yang ikut pasang PAM hanya sebagian kecil, karena mereka itu kebanyakan menggunakan sungai.
Semakin lama kesini-sininya masyarakat di wilayah RW 01 jadi mengikuti saya untuk pasang PAM
” Ibu Rhy, 73 tahun, responden di RT 07.
Responden pada lapisan atas hanya sesekali menggunakan sungai saat sungai masih dalam kondisi jernih airnya. Berbeda pada lapisan bawah yang dominan
lebih banyak menggunakan sungai untuk kebutuhan hidupnya seperti mencuci dan mandi.
6.3 Tingkat Kenyamanan Hidup 6.3.1 Kondisi Lingkungan Tempat Tinggal Responden