Analisis optimasi statik pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru

Berdasar analisis diatas terlihat bahwa berbagai skenario besaran pungutan baik untuk model statik maupun model dinamik. Hal ini dapat memberikan berbagai pilihan besaran jumlah pungutan, akan tetapi tentunya mekanisme pengumpulan pungutan perlu dilakukan secara efisien. Apabila dilihat dari besaran nilai RRT maka model statik memiliki nilai RRT yang paling besar dibandingkan dengan model dinamik pada berbagai skenario dan tingkat discount rate. Model pungutan pada skenario 2 lebih dapat diterapkan karena kegiatan usaha penangkapan ikan lemuru dipandang sebagai suatu unit bisnis sehingga perlu dimasukkan besaran biaya investasi yang dikeluarkan oleh pelaku usaha. Besaran nilai user fee pada skenario ini pada kondisi pengelolaan statik dan tingkat discount rate 10 sebesar Rp 192.511 per trip. Nilai tersebut merupakan nilai user fee paling tinggi. Apabila tingkat discount rate 18 maka perlu dilakukan secara lebih berhati-hati, karena pada kondisi optimal dinamik dengan i=15 dan i=18 kegiatan usaha penangkapan secara bisnis mengalami kerugian.

5.12 Implikasi Kebijakan

Tujuan pengelolaan perikanan termasuk di dalamnya perikanan tangkap sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Perikanan mengandung beberapa makna, diantaranya adalah melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, serta meningkatkan peran perikanan tangkap terhadap pembangunan perikanan nasional Sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open access dan common property, artinya pemanfaatan ikan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum, tanpa ada pengelolaan. Konsekuensi dari sifat sumberdaya seperti ini adalah munculnya gejala eksploitasi berlebih over exploitation, investasi berlebih over investment dan tenaga kerja berlebih over employment. Dalam kondisi seperti ini, jika tidak segera diambil kebijakan yang tepat, maka sulit rasanya untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan yang telah digariskan di atas. Begitu pula dengan yang terjadi pada sumberdaya ikan lemur di Perairan Selat Bali. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru selama kurun waktu dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2010 sudah nampak tingginya tingkat aktivitas penangkapan, sehingga walaupun secara rata- rata masih berada dibawah tingkat MSY akan tetapi pada sejak tahun 2006 hingga tahun 2009 tingkat eksploitasi penangkapan sudah melebihi nilai MSY. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas panangkapan sumberdaya ikan lemuru memiliki kecenderungan overfishing. Hal ini juga yang diindikasi menjadi penyebab hasil tangkapan ikan lemuru mulai tahun 2010 mengalami penurunan yang cukup drastis. Perairan Selat Bali memiliki potensi sumberdaya ikan lemuru yang sangat besar sebagai salah satu sumber ekonomi bagi pendapatan daerah, namun besarnya potensi sumberdaya ikan lemuru di perairan Selat Bali belum diimbangi dengan optimalnya pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki. Dari hasil penelitian menunjukkan selain terjadinya ketidakefektifan biaya dalam kegiatan penangkapan ikan juga menunjukkan adanya indikasi terjadi gejala kelebihan tangkap secara ekologi dan secara ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di perairan Selat Bali. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengelolaan yang baik dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru dengan melakukan penilaian menyeluruh, menentukan tujuan dan sasaran, merencanakan dan mengelola seluruh kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal dan berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa volume produksi sumberdaya ikan lemuru optimal pada kondisi MSY sebesar 40.651,94 ton per tahun dengan tingkat effort sebesar 12.801 trip per tahun, tingkat CPUE rata-rata sebesar 3,2 ton per trip dan rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp 78,9 milyar per tahun, sedangkan pada kondisi MEY produksi optimal ikan lemuru sebesar 40.239,31 ton per tahun diperoleh pada tingkat effort optimal sebanyak 11.512 trip per tahun, dengan tingkat CPUE sebesar 3,5 ton per trip dan rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp 79,9 milyar per tahun. Pada analisis laju degradasi dan laju depresiasi juga menunjukkan arah semakin kuatnya tekanan terhadap sumberdaya ikan lemuru yang diakibatkan besarnya tingkat effort yang dilakukan dalam kegiatan penangkapan dibandingkan dengan jumlah upaya effort optimal. Dari hasil analisis bionomi pada pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru menunjukkan jumlah effort aktual lebih besar dibandingkan effort optimal E aktual E optimal . Selama selang periode tahun 1995 hingga tahun 2010, rata-rata jumlah effort aktual sebesar 17.605 trip per tahun, sedangkan jumlah effort optimal pada kondisi MSY sebesar 12.801 trip per tahun dan pada kondisi MEY sebesar 11.512 trip per tahun. Dengan demikian maka perlu adanya pengurangan jumlah upaya penangkapan effort. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa banyaknya jumlah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan lemuru di perairan Selat Bali yaitu purse seine sebanyak 324 unit, payang sebanyak 103 unit dan gillnet sebanyak 7278 unit. setelah dilakukan standarisasi alat tangkap ke alat tangkap purse seine diperoleh jumlah alat tangkap sebanyak 357 unit setara purse seine. berdasarkan hasil analisis optimal maka perlu adanya pengurangan unit alat tangkap sehingga pada kondisi MEY menjadi sebanyak 234 unit setara purse seine. Apabila dikonversi dengan index power maka diperoleh rincian sebanyak 212 unit purse seine, payang sebanyak 67 unit dan gillnet sebanyak 4767 unit. Dari data tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali selama ini belum berjalan dengan optimal, sehingga berdampak pada minimnya produksi dan manfaat ekonomi yang diperoleh nelayan. Oleh karena itu, harus segera melakukan pembenahan, membuat kebijakan antisipatif dan strategis sebagai solusi dari permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. Sehubungan dengan hal itu, kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru dapat dilakukan melalui pengendalian output dan pengendalian input. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dalam pengendalian dari sisi output sebagai berikut: - Penetapan kuota atau pembatasan dari sisi output yang dapat dilakukan melalui batasan jumlah maksimum ikan lemuru yang dapat ditangkap. Hasil analisis bionomi menunjukkan batasan jumlah ikan maksimum sumberdaya ikan lemuru pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield MEY yaitu sebesar 40.239,31 ton per tahun. - Melakukan moratorium penangkapan ikan lemuru di Selat Bali selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada ikan lemuru untuk melakukan reproduksi kembali hingga mencapai pada kondisi yang optimum. - Melakukan moratorium penangkatan ikan lemuru secara terbatas, yaitu hanya boleh melakukan aktivitas penangkapan ikan lemuru pada saat musim penangkapan, sedangkan pada saat musim sedikit ikan yang berlangsung mulai bulan April sampai bulan Juli penangkapan ikan lemuru ditutup. Karena pada bulan April sampai dengan bulan Juli ikan lemuru sempenit dan protolan masih berukuran muda dan sebagian besar diduga belum matang gonad reproduksi sehingga aktivitas penangkapan pada bulan tersebut cukup membahayakan kelestarian sumberdaya ikan lemuru. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dari sisi pengendalian input sebagai berikut : - Membuat regulasi tentang rasionalisasi jumlah alat tangkap. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dari jumlah alat tangkap yang berlebih. jumlah unit alat tangkap yang optimal pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield MEY yaitu sebanyak 234 unit. Saat ini jumlah unit alat tangkap yang tersedia sebannyak 357 unit setara purse seine. Sehingga ada sekitar 123 unit alat tangkap setara purse seine yang perlu dirasionalisasi. Kebijakan ini memiliki cost dan resistensi yang cukup tinggi, karena dengan kebijakan mengurangi alat tangkap dan membatasi alat tangkap, apabila memang sudah berlebih, berarti menuntut harus ada yang dikorbankan, kondisi ini sama halnya dengan menghalangi seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. - Pengurangan jumlah alat tangkap yang melebihi jumlah optimum dapat dilakukan oleh pemerintah dengan membeli kelebihan jumlah alat tangkap dengan harga yang sesuai dan biaya lain sebagai kompensasi bagi nelayan maupun masyarakat yang terkena dampak dari kebijakan divestasi. Konsekuensinya adalah pemerintah harus menganggarkan sejumlah dana agar program pengurangan jumlah alat tangkap dapat terlaksana. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan mengalihkan unit armada alat tangkap ke jenis alat tangkap lainnya dengan target spesies ikan yang berbeda seperti alat tangkap pancing untuk menangkap ikan tuna. Hal ini dapat dilakukan mengingat di sebelah selatan perairan selat bali saat ini banyak yang dipasang rumpon dengan target spesies ikan tuna dan tongkol. - Penetapan schedule of catch. Kebijakan penetapan jadwal penangkapan ikan dilatarbelakangi oleh banyaknya kendala dalam implementasi kebijakan untuk mengurangi dan mengontrol peningkatan jumlah alat tangkap. Dengan kebijakan ini diharapkan tidak ada yang dikorbankan terutama para nelayan, karena masih bisa melaut. Penjadwalan ini diatur sedemikian rupa, sehingga tingkat produksi effort dan manfaat rente yang diperoleh tetap dalam kondisi yang optimal. Apabila dilihat dari uraian di atas, maka kegiatan pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru dari sisi output lebih sulit diimplementasikan dan memerlukan biaya yang cukup besar. Pengawasan terhadap output hasil tangkapan ikan nelayan relatif lebih sulit, selain itu nilai kearifan lokal dalam prilaku penangkapan ikan di Selat Bali sudah hilang. Kegiatan moratorium penangkapan akan memberikan dampak perekonomian kepada masyarakat nelayan, mengingat aktivitas penangkapan ikan merupakan mata pencaharian utamanya. Oleh karena itu, pengendalian dari sisi input akan lebih relevan dilakukan dan lebih mudah yakni dengan melakukan pembatasan effort penangkapan. Aturan kegiatan pengelolaan ikan lemuru di Perairan Selat Bali yang sudah diatur dalam SKB Gubernur Tingkat I Jawa Timur dan Bali No.238 Tahun 1992674 Tahun 1992 perlu diaktifkan kembali dan ditinjau mengingat bahwa pada peraturan tersebut jumlah purse seine yang diijinkan sebanyak 273 unit Jawa Timur=190 unit dan Bali=83 unit. Pada kenyataannya jumlah alat tangkap purse seine yang beroperasi telah melebihi dari batas maksimum yang ditetapkan SKB tersebut yaitu sebanyak 357 unit. Semantara itu, hasil analisis bioekonmi diperoleh jumlah optimal alat tangkap purse seine sebanyak 234 unit Kebijakan lainnya yang dapat dilakukan yaitu pengembangan sumberdaya manusia human development, mengingat manusia merupakan pelaku utama dalam aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan. Kebijakan sehebat apa pun atau sebagus apa pun seringkali terlihat mentah di lapangan, tidak memberikan dampak apa-apa sebagaimana tujuan dari ditetapkannya kebijakan tersebut, jika tidak didukung sendiri oleh para pelaku utama dari kebijakan tersebut, baik pembuat kebijakan atau pun yang harus melaksanakan kebijakan. Kebijakan ini ditujukan